“Bagaimana, Nad?” tanya Zulfa saat pagi duduk di kelas menunggu guru datang.
“Tidak boleh sama Ibu. Katanya, bagaimanapun Om Agung itu lelaki dewasa dan aku juga bukan anak kecil,” jawab Nadia lesu.
“Terus? Bagaimana?”
“Apa aku minta tolong Ayah aja ya, buat ngantar?”
“Coba aja, itu lebih baik. Dan juga, jaraknya jauh. Kalau kamu ajak ayah kamu ‘kan, bisa pakai mobil. Ibu kamu juga akan lebih tenang.”
“Apa Ayah mau, Zul?”
“Atau, mama tiri kamu?”
“Ah, iya. Kenapa aku tidak kepikiran, ya?”
Bel tanda masuk berbunyi. Guru yang terkenal rajin dan galak sudah berada di depan kelas. Seketika, Nadia dan Zulfa terdiam.
“Nanti anterin aku ketemu Mama Erina ya, Zul?” bisik Nadia. Sementara Zulfa yang takut dengan sosok pengajar di depan mereka, diam tidak menanggapi.
“Nadia! Belum puas ngobrol
“Pamit ya, Mbak?” ucap Anti saat menjemput putri tirinya.“Hati-hati, Rin!” pesan Anti. Meskipun dalam hati penasaran, wanita itu memilih untuk tidak mendesak Erina agar jujur. Berpikir kalau Nadia pasti punya sebuah alasan, meskipun hatinya penuh rasa cemas.Wanita itu bergegas masuk, bersiap-siap menghadiri kajian rutin yang selalu ia ikuti setiap akhir pekan.“Jalannya gak sulit ‘kan, Mah?” Nadia bertanya saat mereka mulai memasuki hutan perbatasan. Hawa dingin mulai terasa, untung jaket tebal sudah ia kenakan.“Kata temenku gak ada yang sulit, hanya saja banyak tanjakan. Kita santai saja jalannya. Yang penting sampai,” jawab Erina masih dengan fokus menyetir. Terkadang dirinya masih canggung bila harus menyebutkan diri dengan sebutan mama di hadapan Nadia.Berkali-kali, Erina terpaksa menepikan kendaraan karena Nadia meminta untuk berfoto di air terjun yang mengalir di tebing pinggir jalan.
Kedua saudara beda ayah itu masih berpelukan. Laika dengan lembut membimbing Nadia duduk kembali di kursi dengan masih tetap menggendong Bilal."Bak anis, Buk. Yah, Ayah, Bak anis ...," seru Bilal kencang. Terlihat girang melihat Nadia masih tergugu. Tubuhnya berguncang karena tangisan."Iya, Mbak nangis. Suruh diam mbaknya, dong!" jawab Agam."Bak, iyem yak? Janan anis. Udah besal," ujar Bilal lagi sambil mengelus kepala Nadia. Gadis remaja itu semakin mengeratkan pelukan. Erina mengusap punggung anak tirinya untuk menguatkan.Sejenak Nadia lupa, akan niat awal datang untuk memohon kepada Agam agar ibunya diberikan ijin bertemu Bilal. Kini, rasa itu sirna. Berganti dengan bahagia, memeluk sosok kecil yang pernah tinggal dalam rahim yang sama dengannya."Buk, Bak gak mau iyem,""Iya, biarin Mbak gak mau diam lagi seneng, ketemu Bilal," jawab Laila terdengar lembut."Bak seneng kok anis?" tanyanya lagi. Sejenak Nadia merenggangka
"Mas, maaf, apa Mas sama sekali tidak pernah mendengar kabar Mbak Anti?" Raut muka Agam terlihat berubah. Namun, itu hanya sebentar."Gak pernah sama sekali. Kabar teman-teman aja aku tidak tahu. Apalagi kabar dia. Nadia sekarang tinggal sama kamu, 'kan?" Pertanyaan dari Agam serasa sebuah pancing yang dilempar ke sebuah kolam bagi Erina."Dulu iya. Sekarang sudah tidak. Dia sudah tinggal sama Mbak Anti.""Kenapa? Sudah mau, Nadia pulang?" tanya Agam lagi. Sepertinya waktu sedikit menyembuhkan luka hatinya, sehingga tidak terlalu benci saat nama Anti disebut."Ceritanya panjang, Mas. Ya, sudah saatnya mungkin, Nadia berbaikan dengan ibunya. Dulu sama sekali gak mau, Mas. Benci banget dia sama Mbak Anti. Namun, karena sikap sabar Mbak Anti, akhirnya meluluhkan hati anaknya. Dia benar-benar berubah setelah kecelakaan. Orang yang kenal dengan dia sekarang pasti tidak tahu, kalau Mbak Anti punya masa lalu yang buruk." Mendengar perkataan Erina, hati Agam seak
Anti mengikuti kajian dengan perasaan yang tidak tenang. Hatinya dilanda cemas memikirkan Nadia yang pergi bersama Erina. Meskipun anaknya pergi bersama dengan ini tirinya, tapi, tetap saja Anti merasa cemas. Materi yang dipaparkan oleh Ustadz, sama sekali tidak masuk dalam pikirannya. Angannya berkelana jauh entah ke tempat mana yang ditujukan Nadia juga Anti.Banyak hal yang berkecamuk dalam pikiran, membuat duduknya pun gelisah. Ada banyak yang ia khawatirkan, walaupun ia yakin, Nadia tidak akan melakukan sebuah kenakalan. Namun, ia yang ia pikirkan adalah tentang keadaan Nadia yang baru mengalami kecelakaan juga rahasia apa yang tengah disembunyikan anak gadisnya itu. Sikap Nadia terasa begitu mencurigakan. Tiba-tiba teringat seseorang yang mungkin saja tahu tentang apa yang dilakukan Nadia saat ini.Agung. Nama yang pernah disebut anaknya akan diajak pergi ke suatu tempat. Kini, hatinya seakan menemukan titik terang pada siapa mencari jawab atas rasa penasaran sek
"Maaf, Mas, bukan sengaja mau ikut campur. Aku hanya mencoba membantu Nadia. Karena dia hanya punya aku untuk bercerita dan mengadu masalah ini. Sebagai seorang ibu, meskipun hanya ibu tiri, aku ingin sekali bisa meringankan kesedihan dia. Tapi, bisa Mas Agam tidak berkenan, aku sungguh minta maaf. Aku paham apa yang Mas Agam rasakan. Namun, Mas Agam harus tahu, Mbak Anti sudah berubah. Dan satu hal, tolong ijinkan Nadia bila ingin bertemu adiknya lagi," ucap Erina merasa tidak enak."Tidak apa-apa, Rin. Aku paham juga posisi kamu. Tapi maaf, untuk saat ini, aku tidak bisa. Entah bila suatu hari nanti, sakit hati ini sembuh. Aku sudah bilang, kalau Nadia mau datang silakan saja. Tapi, tidak dengan ibunya."Di dekat kolam ikan, Nadia memeluk erat tubuh Bilal.'Semoga sampai rumah, wangi tubuh kamu masih menempel di baju Mbak, Dek. Biar Ibu bisa mencium bau kamu.' Batin Nadia berujar.Laila masih setia menemani kedua kakak beradik itu bermain."Bu Li
Karena tidak kuat melihat kemesraan Bilal dan Laila, Anti, memutuskan mengakhiri panggilan video dari Nadia."Terima kasih, Om, sudah mengijinkan aku ajak Bilal video call," ucap Nadia pada Agam yang masih terpekur di atas kursi. Sementara gadis remaja itu masih duduk di lantai yang tidak jauh dari tempat duduk Agam.Agam hanya membalas dengan anggukan dan seulas senyum yang kelihatan dipaksa."Ya sudah, kita pulang ya, Nad?" ajak Erina yang masih duduk bersebelahan dengan Laila. Sementara Bilal sudah asyik bermain di atas odong-odongnya."Om," panggil Nadia pada Agam yang masih menangkupkan kedua tangan di depan mulut."Ya ...." Agam menjawab sembari melepas tangannya."Apa memang selamanya Om tidak akan pernah mengijinkan Ibu bertemu Bilal?" Pertanyaan yang terasa bingung dijawab oleh ayah dari balita yang tengah mereka bahas."Nadia, Om hanya ...." Merasa bingung merangkai kata, Agam berhenti menjawab.Nadia terlihat sedih.
"Seperti kamu yang perlu waktu untuk menyembuhkan luka hatimu, Nad. Om juga butuh waktu untuk itu. Dan Bilal, bila ia waktu itu sudah punya pikiran seperti kamu, pasti akan merasakan hal yang sama." Hanya itu yang bisa Agam katakan untuk menjawab semua keluh kesah Nadia. "Om minta maaf, karena telah membuat kamu menderita. Om sangat menyesal, Nadia," lanjut Agam lagi. "Aku mohon, Om, berilah Ibu kesempatan untuk bertemu Bilal. Aku yakin, Ibu tidak akan membawanya pergi. Ibu orang yang sangat baik sekarang ini. Berikanlah ijin, Om, Bu Lik ...," mohon Nadia dengan suara bergetar. Tangis Laila sudah tumpah. "Mas Agam, benar apa yang dikatakan Nadia, berilah kesempatan pada Mbak Anti untuk bertemu Bilal. Setiap orang pasti punya salah. Tapi Mbak Anti, sudah sangat menyadari kesalahan dan dosanya di masa lalu. Mbak Anti sudah berjuang untuk menjadi orang yang lebih baik. Tidakkah itu cukup, Mas?" timpal Erina. Agam. masih bergeming. Hatinya dilanda kebingu
“Ya Allah, Dzat Pemilik Hati. Kusandarkan segala rasa dalam hati hanya kepadaMu. Kuserahkan apapun yang menimpa diri hanya kepadaMu. Ya Allah, Maha Pembolak Balik hati manusia, luluhkanlah kemarahan Mas Agam, agar hamba bias bertemu dengan anak hamba.” Lantunan doa diiringi isak tangis, dipanjatkan Anti di sepertiga malam.Hari- hari telah berlalu dari sejak Nadia mengunjungi Bilal. Rasa rindu selalu hadir dalam hati gadis remaja itu. Namun bagaimanapun, dirinya sadar kalau Agam tentu tidak akan suka kalau dia berkunjung terlalu sering. Pun dengan Erina, jelas akan keberatan bila harus selalu mengantar ke tempat yang membutuhkan waktu lebih dari satu jam dengan menempuh medan yang naik turun.Hanya sebuah harap yang akhirnya ia panjatkan, suatu ketika nanti akan diberikan jalan untuknya bisa memiliki waktu bersama sang adik.Dua foto terpampang di dinding menjadi penghibur lara hati Anti. Senyum Bilal yang terlihat polos, mampu membuatnya bahagia, me