"Seperti kamu yang perlu waktu untuk menyembuhkan luka hatimu, Nad. Om juga butuh waktu untuk itu. Dan Bilal, bila ia waktu itu sudah punya pikiran seperti kamu, pasti akan merasakan hal yang sama." Hanya itu yang bisa Agam katakan untuk menjawab semua keluh kesah Nadia. "Om minta maaf, karena telah membuat kamu menderita. Om sangat menyesal, Nadia," lanjut Agam lagi.
"Aku mohon, Om, berilah Ibu kesempatan untuk bertemu Bilal. Aku yakin, Ibu tidak akan membawanya pergi. Ibu orang yang sangat baik sekarang ini. Berikanlah ijin, Om, Bu Lik ...," mohon Nadia dengan suara bergetar.
Tangis Laila sudah tumpah.
"Mas Agam, benar apa yang dikatakan Nadia, berilah kesempatan pada Mbak Anti untuk bertemu Bilal. Setiap orang pasti punya salah. Tapi Mbak Anti, sudah sangat menyadari kesalahan dan dosanya di masa lalu. Mbak Anti sudah berjuang untuk menjadi orang yang lebih baik. Tidakkah itu cukup, Mas?" timpal Erina.
Agam. masih bergeming. Hatinya dilanda kebingu
Mohon maaf, dua hari saya bener-bener tidakpunya waktu untuk membuka laptop. Jadi tidak bisa uploud.
“Ya Allah, Dzat Pemilik Hati. Kusandarkan segala rasa dalam hati hanya kepadaMu. Kuserahkan apapun yang menimpa diri hanya kepadaMu. Ya Allah, Maha Pembolak Balik hati manusia, luluhkanlah kemarahan Mas Agam, agar hamba bias bertemu dengan anak hamba.” Lantunan doa diiringi isak tangis, dipanjatkan Anti di sepertiga malam.Hari- hari telah berlalu dari sejak Nadia mengunjungi Bilal. Rasa rindu selalu hadir dalam hati gadis remaja itu. Namun bagaimanapun, dirinya sadar kalau Agam tentu tidak akan suka kalau dia berkunjung terlalu sering. Pun dengan Erina, jelas akan keberatan bila harus selalu mengantar ke tempat yang membutuhkan waktu lebih dari satu jam dengan menempuh medan yang naik turun.Hanya sebuah harap yang akhirnya ia panjatkan, suatu ketika nanti akan diberikan jalan untuknya bisa memiliki waktu bersama sang adik.Dua foto terpampang di dinding menjadi penghibur lara hati Anti. Senyum Bilal yang terlihat polos, mampu membuatnya bahagia, me
Hari-hari berikutnya, Agung lebih bersemangat mengadakan pendekatan dengan Nadia. Karena pria itu tahu, kebahagiaan Anti hanya ada pada anaknya. Maka bila anaknya bahagia, dirinya akan ikut bahagia. “Terimalah, Anti. Kamu masih muda dan harus meneruskan hidup. Bukankah Agung sesuai dengan kriteria kamu dulu? Serang polisi.” Ucapan bapaknya membuat Anti meradang. Kalimat itu seolah membuka luka kelam masa lalu yang ingin ia kubur dalam-dalam. “Jangan ingatkan apapun tentang hal yang dulu, Pak. Bahkan aku sendiri sangat malu bila mengingatnya.” Usai berkata demikian, ibu Nadia itu beranjak dari kursi dan memilih menjauh dari kedua orang tuanya. Setiap malam Anti sholat dan berusaha meminta petunjuk atas apa yang telah terlanjur ia katakana pada Agung. “Ya Allah, bila ENGKAU tidak menghendaki aku dengannya maka, buatlah sebuah keputusan yang tidak menyakiti perasaan dia. Hanya kepadaMu hamba memohon pertolongan ya, Rabb ….” Lirih Anti dalam doanya.
“Pilihannya ada dua, Mas. Kamu tanggung jawab, atau aku melakukan aborsi,” tukas Sesil.Agung masih terpaku tak bergerak dalam duduknya. Hatinya sangat sakit dengan buah perilakunya di masa lalu.“Mas,” panggil Sesil, membuat Agung tersadar dari lamunan.“Beri aku waktu berpikir, Sesil. Aku sangat kaget dengan berita yang kamu sampaikan. Beri aku waktu untuk memngambil keputusan,” jawab Agung dengan tatapan nanar.“Apa yang akan kamu pikirkan, Mas? Ini adalah buah dari perbuatan kita selama ini. Lima bulan aku menanggungnya sendiri. Dan sekarang, kamu masih mau berpikir? Atau, kamu mau lari?” tuduh Sesil geram.“Sesil, aku sangat kaget dengan berita ini. Berbulan-bulan aku sudah berusaha keluar dari lembah hitam, dari kehidupan yang penuh hura-hura dan kemaksiatan, tapi tiba-tiba kamu datang dengan membawa berita ini. Aku sangat kaget. Aku perlu waktu untuk berpikir, memutuskan den
“Terus, kamu masih mempertimbangkan dua pilihan itu?” Anti bertanya serius. Tatapan tajam ia lemparkan pada Agung. “Ok, aku bukan orang yang baik. Aku pernah melakukan kesalahan dan dosa besar pada anakku. Tapi, itu dulu, saat aku belum mengenal dekat dengan siapa Rabb-ku. Sekarang ini, bukankah kamu sedang berusaha bertaubat? Mencari ridho-Nya Allah? Mengapa kamu berpikir untuk mempertimbangkan hal aborsi? Di luar sana, banyak orang yang menginginkan seorang anak. Dan kamu berpikir untuk itu?” tanya Anti lagi bertubi-tubi.Agung meremas rambut dengan kedua tangan. Terlihat sekali kalau dirinya frustasi.“Anti, apa kamu bahagia dengan kabar ini?”“Maksud kamu?”“Aku tahu, kamu tidak menyukai aku. Maksudnya, kamu tidak suka dengan ajakan aku untuk kita menikah,” ujar Agung lirih. “Jadi, dengan hal ini menimpa aku, kamu pasti merasa punya alasan untuk menolak, ‘kan?” tuduh A
“Om Agung kenapa tidak pernah ada kabar, Bu? Biasanya dia sering main ke sini,” ujar Nadia suatu hari.“Om Agung akan menikah, Nad,” jawab Anti membuat anak gadisnya kaget.“Kenapa menikah? Bukankah Om Agung sepertinya mendekati Ibu?” tanya Nadia lagi.“Karena Om Agung sebenarnya sudah berjanji sama seseorang akan menikahinya. Dia datang menagih janji itu,” jawab Anti berbohong. Dirinya tidak ingin, Nadia yang terlanjur menganggap Agung sosok yang baik, tiba-tiba mengetahui keburukan masa lalu pria itu. Biarlah, apa yang terjadi sebenarnya menjadi rahasia mereka berdua.Gadis itu memperlihatkan wajah yang sedih. “Bila suatu ketika nanti Ibu menikah, aku takut, aku tidak bisa dekat dengan orang itu, Bu.”“Nad, Ibu tidak ingin menikah lagi. Kamu tidak usah khawatir, ya?” Anti berusaha meyakinkan Nadia.“Tapi Ibu butuh teman bila aku harus pergi kuliah besok,”
Tanpa diduga wanita yang telah dua kali menjanda itu, keesokan harinya, Erina datang ke kantor dengan membawa surat rumah tersebut. Istri Tohir sengaja langsung mendatangi karena tahu, Anti tidak akan pernah mau bila diajak bertemu. Mereka duduk di musholla yang sepi. Karena hari masih belum siang sehingga, tempat ibadah itu belum ada yang mengunjungi. “Mas Tohir menitipkan ini, Mbak,” ucap Erina sembari mengulurkan kertas. “Kenapa kamu mau, Erina? Kenapa kamu mengijinkan Mas Tohir melakukan ini?” tanya Anti kesal. “Mbak, mungkin Mas Tohir kesepian karena aku tidak kunjung bisa memberikan anak, Jadi, apapun yang ia bisa lakukan untuk Nadia, dia akan melakukannya. Mas Tohir bilang, rumah itu, rumah orang tuanya menjadi hak miliknya. Dan akan diberikan kepada anak kami, bila suatu saat kami punya anak. Jadi, dia berusaha mendapatkan rumah Mbak Anti untuk Nadia.” Dengan penuh rasa was-was, Erina menjawab. “Aku tahu, Mbak, kalau Mbak Anti menolak. A
Hari semakin berganti. Tanpa Anti pernah tahu lagi, bagaimana kabar lelaki itu. Perihal rumah yang diberikan Tohir, dirinya sama sekali tidak berniat menempati. Namun, wanita itu tetap mengatakan pada anaknya tentang apa yang ayahnya berikan.“Suatu saat kamu menikah, kamu boleh tinggal di sana, Nad,” ucap Anti sesaat setelah Nadia tahu, kalau rumah masa kecilnya telah menjadi miliknya kembali.“Kenapa harus suatu saat, Bu. Kalau aku ingin tidur di sana, apa tidak boleh? Aku merindukan kamarku yang dulu, Bu,” ungkap Nadia jujur. Di wajahnya terlihat sebuah kesedihan.“Tapi Ibu rasanya tidak nyaman, Nad.”“Aku ingin ke rumah itu, sebentar saja, Bu. Boleh, ya?” Permintaan Nadia tidak bisa ia tolak.Hingga akhirnya, sore itu, kedua ibu anak berjalan beriringan menuju rumah yang hanya berjarak sepuluh menit dengan berjalan kaki dari rumah orang tua Anti.Terlihat lapuk karena tidak terurus. Seketik
“Mbak Nia, apa kabar?” sapa Anti sopan. Sejenak Nia bergeming. Kaget dengan sikap sopan Anti. Mereka berjabat tangan, tapi Nia tetap saja acuh.“Lhah, kamu kenal, An sama bu Nia?” tanya Yani kaget, membuat Nia tidak punya kesempatan menjawab pertanyaan dari wanita yang telah menghancurkan rumah tangganya dulu.“Iya, kenal.” Anti menjawab ssingkat.“Silakan, duduk, An. Di sini, di kasur bareng sama bu Nia, gak papa, ya? Belum sempat beres-beres,” ujar Yani yang masih menyusui anaknya.“Ah, iya, aku duduk di sini saja. Panas, sambil ngadem,” sahut Anti sembari mendaratkan tubuh di atas lantai dan bersandar pada tembok dngan menghadap kasur busa tinggi di hadapannya.“Eh, jangan! Kok di bawah gitu. Sini, ah,” ajak Yani tidak enak. Karena Yani dan Nia duduk di atas sementara Anti di bawah.“Gak papa, Yan. Udah santai saja. Kayak sama siapa,” sahut Anti berusaha t