“Om Agung kenapa tidak pernah ada kabar, Bu? Biasanya dia sering main ke sini,” ujar Nadia suatu hari.
“Om Agung akan menikah, Nad,” jawab Anti membuat anak gadisnya kaget.
“Kenapa menikah? Bukankah Om Agung sepertinya mendekati Ibu?” tanya Nadia lagi.
“Karena Om Agung sebenarnya sudah berjanji sama seseorang akan menikahinya. Dia datang menagih janji itu,” jawab Anti berbohong. Dirinya tidak ingin, Nadia yang terlanjur menganggap Agung sosok yang baik, tiba-tiba mengetahui keburukan masa lalu pria itu. Biarlah, apa yang terjadi sebenarnya menjadi rahasia mereka berdua.
Gadis itu memperlihatkan wajah yang sedih. “Bila suatu ketika nanti Ibu menikah, aku takut, aku tidak bisa dekat dengan orang itu, Bu.”
“Nad, Ibu tidak ingin menikah lagi. Kamu tidak usah khawatir, ya?” Anti berusaha meyakinkan Nadia.
“Tapi Ibu butuh teman bila aku harus pergi kuliah besok,”
Tanpa diduga wanita yang telah dua kali menjanda itu, keesokan harinya, Erina datang ke kantor dengan membawa surat rumah tersebut. Istri Tohir sengaja langsung mendatangi karena tahu, Anti tidak akan pernah mau bila diajak bertemu. Mereka duduk di musholla yang sepi. Karena hari masih belum siang sehingga, tempat ibadah itu belum ada yang mengunjungi. “Mas Tohir menitipkan ini, Mbak,” ucap Erina sembari mengulurkan kertas. “Kenapa kamu mau, Erina? Kenapa kamu mengijinkan Mas Tohir melakukan ini?” tanya Anti kesal. “Mbak, mungkin Mas Tohir kesepian karena aku tidak kunjung bisa memberikan anak, Jadi, apapun yang ia bisa lakukan untuk Nadia, dia akan melakukannya. Mas Tohir bilang, rumah itu, rumah orang tuanya menjadi hak miliknya. Dan akan diberikan kepada anak kami, bila suatu saat kami punya anak. Jadi, dia berusaha mendapatkan rumah Mbak Anti untuk Nadia.” Dengan penuh rasa was-was, Erina menjawab. “Aku tahu, Mbak, kalau Mbak Anti menolak. A
Hari semakin berganti. Tanpa Anti pernah tahu lagi, bagaimana kabar lelaki itu. Perihal rumah yang diberikan Tohir, dirinya sama sekali tidak berniat menempati. Namun, wanita itu tetap mengatakan pada anaknya tentang apa yang ayahnya berikan.“Suatu saat kamu menikah, kamu boleh tinggal di sana, Nad,” ucap Anti sesaat setelah Nadia tahu, kalau rumah masa kecilnya telah menjadi miliknya kembali.“Kenapa harus suatu saat, Bu. Kalau aku ingin tidur di sana, apa tidak boleh? Aku merindukan kamarku yang dulu, Bu,” ungkap Nadia jujur. Di wajahnya terlihat sebuah kesedihan.“Tapi Ibu rasanya tidak nyaman, Nad.”“Aku ingin ke rumah itu, sebentar saja, Bu. Boleh, ya?” Permintaan Nadia tidak bisa ia tolak.Hingga akhirnya, sore itu, kedua ibu anak berjalan beriringan menuju rumah yang hanya berjarak sepuluh menit dengan berjalan kaki dari rumah orang tua Anti.Terlihat lapuk karena tidak terurus. Seketik
“Mbak Nia, apa kabar?” sapa Anti sopan. Sejenak Nia bergeming. Kaget dengan sikap sopan Anti. Mereka berjabat tangan, tapi Nia tetap saja acuh.“Lhah, kamu kenal, An sama bu Nia?” tanya Yani kaget, membuat Nia tidak punya kesempatan menjawab pertanyaan dari wanita yang telah menghancurkan rumah tangganya dulu.“Iya, kenal.” Anti menjawab ssingkat.“Silakan, duduk, An. Di sini, di kasur bareng sama bu Nia, gak papa, ya? Belum sempat beres-beres,” ujar Yani yang masih menyusui anaknya.“Ah, iya, aku duduk di sini saja. Panas, sambil ngadem,” sahut Anti sembari mendaratkan tubuh di atas lantai dan bersandar pada tembok dngan menghadap kasur busa tinggi di hadapannya.“Eh, jangan! Kok di bawah gitu. Sini, ah,” ajak Yani tidak enak. Karena Yani dan Nia duduk di atas sementara Anti di bawah.“Gak papa, Yan. Udah santai saja. Kayak sama siapa,” sahut Anti berusaha t
Nia berpamitan setelah lama mengobrol dengan Yani. Topik mereka kali itu adalah Anti. Entah mengapa meskipun sudah diberitahu kalau Anti sudah berubah, dirinya tetap saja belum bisa move on dari kejadian tempo dulu. Ditambah lagi, saat melihat Bilal yang terlantar di pelataran rumah sakit."Itu bukan urusan aku," gumamnya lirih sembari menyetir mobil.Sebelum pulang, Nia mampir ke sebuah toko sembako untuk membeli segala kebutuhan dapurnya yang habis.Entah kebetulan macam apa, di sana, Anti juga sedang berbelanja. Ada begitu banyak toko, tapi keduanya harus berada dalam satu tempat yang sama. Beriringan memilih sendiri benda yang akan dibeli, membuat Nia merasa canggung. Namun, tidak dengan Anti. Ibu Nadia itu sudah bisa menetralisir perasaan yang ada dalam hati.Semua hal telah berlalu. Apabila Nia masih membenci, itu hal yang wajar dan dirinya menerima. Itu yang ada dalam pikiran Anti. Wanita itu tetap asyik memilih semua barang kebutuhan yang ia beli.
"Apa salah bila aku masih membencinya, Mas, bila melihat Anti?" tanya Nia pada suaminya setelah menjelaskan apa yang ia temui di rumah Yani."Tidak salah, itu hak kamu. Tapi, Anti juga berhak berubah. Setiap orang pasti punya kesalahan. Setiap orang diciptakan unik dengan karakter masing-masing. Itu sebabnya, sebagai orang dekat, siapapun yang berbuat salah, wajib menasehati." Irsyad menjawab sembari merangkul pundak Nia. Mereka duduk di kursi ruang tamu."Hatiku masih ada rasa yang entahlah, Mas." Nia berkeluh kesah."Kenapa kamu memikirkan dia kalau kamu masih tidak suka sama Anti? Jangan bahas apapun kalau memang kamu masih ada rasa benci terhadap dia," jawab Irsya enteng."Tapi kenapa aku kepikiran perilaku dia tadi, Mas?" Irsya tertawa mendengar kalimat aneh yang diucapkan istrinya."Kamu memang aneh. Kenapa harus memusingkan hal-hal yang tidak penting? Memang bagaimana sikap Anti tadi? Adakah yang membuat kamu tersinggung sehingga berpikir sa
"Semoga Mas Agam hatinya luluh dan mengijinkan Mbak Anti bertemu Bilal," ujar Nia menguatkan hati wanita di sampingnya. Karena Anti bersikap sopan, maka dirinya pun segan. Bila dulu memanggil Anti dengan namanya terasa biasa. Namun, tidak dengan sekarang."Kok tahu apa yang aku rasa?" Anti menyelidik."Dari tatapan Mbak Anti, aku bisa melihatnya. Dari cara memandang sama mereka. Aku tahu apa yang dirasa dalam hati Mbak Anti." Agak canggung menyebut Anti dengan Mbak. Namun, demi menghormati dia yang sudah lebih dulu menghormati, Nia harus membiasakan diri."Setiap orang memiliki hati yang berbeda, Mbak Nia. Meskipun aku sangat menginginkan itu, tapi aku sadar. Itu hal yang sangat sulit. Mas Agam mungkin tidak akan pernah memberikan maafnya untukku," sahut Anti lirih. Tatapannya berpindah tempat. Tidak kuat melihat hal indah yang ada di sana."Jangan seperti itu. Hati seseorang bisa saja berubah. Aku contohnya. Dulu sangat membenci Mas Agam. Namun, seiring
Hingga beberapa saat kemudian, mereka bertiga berjalan ke tempat dimana Nia duduk."Sudah?" tanya Nia pada anak-anaknya."Ayah mau pulang katanya, Bu. Adek Bilal sakit," jawab Dinta sedih."Kita jenguk ya, Bu?" pinta Danis."Gak bisa sekarang, ya?" tolak Nia halus. Kedua anaknya bergumam kecewa."Mau beli kembang gula, Bu," ujar Dinta saat melihat pedagang lewat di pinggir jalan."Ini, beli sana!" sahut Agam sembari mengulurkan uang. Kedua anaknya girang dan saling lomba lari menuju pria yang menjajakan makanan dengan bahan dasar gula pasir."Tadi siapa?" tanya Agam pada Anti. Dirinya mencari tempat duduk yang jauh dari Nia."Mas Agam melihat aku duduk dengan seseorang?" tanya Nia memastikan."Iya, aku melihatnya. Kayak pernah lihat.""Mas Agam benar-benar tidak tahu, dia siapa?" Agam menggeleng.Nia menyadari akan hal yang sama, yang terjadi kemarin saat di rumah Yani. Kalau perempuan yang habis melahirkan
Hari berganti bulan, Anti tidak pernah lagi berjumpa dengan Agung. Entah ke mana perginya lelaki satu-satunya yang pernah dekat dengannya setelah kecelakaan.Suatu ketika, Umi menceritakan padanya tentang berita terakhir yang didengar dari ustadz. “Dia dipindah tugaskan karena kesalahan yang dia lakukan. Dan Mas Agung membawa wanita itu pindah. Terakhir mau pergi, Mas Agung pamit pada Ustadz. Semoga dia istiqomah dengan taubatnya.”Entah mengapa, mendengar kabar itu, Anti begitu sedih. Seburuk-buruknya Agung padanya dulu, pria itu pernah berjasa mengembalikan Nadia padanya.“Dia tidak bilang, ke mana piundah?” tanya Anti kemudian. Umi menggeleng.“Mungkin ingin benar-benar hidup di daerah yang baru. Tanpa ada yang mengenal latar belakang dia.” Anti mengangguk paham.Ada sebuah hampa yang ia rasa. Entah apa itu. Seseorang yang dulu selalu hadir setiap waktu, menawarkan tawa pada Nadia, kini menghilang bak di telan