Hari semakin berganti. Tanpa Anti pernah tahu lagi, bagaimana kabar lelaki itu. Perihal rumah yang diberikan Tohir, dirinya sama sekali tidak berniat menempati. Namun, wanita itu tetap mengatakan pada anaknya tentang apa yang ayahnya berikan.
“Suatu saat kamu menikah, kamu boleh tinggal di sana, Nad,” ucap Anti sesaat setelah Nadia tahu, kalau rumah masa kecilnya telah menjadi miliknya kembali.
“Kenapa harus suatu saat, Bu. Kalau aku ingin tidur di sana, apa tidak boleh? Aku merindukan kamarku yang dulu, Bu,” ungkap Nadia jujur. Di wajahnya terlihat sebuah kesedihan.
“Tapi Ibu rasanya tidak nyaman, Nad.”
“Aku ingin ke rumah itu, sebentar saja, Bu. Boleh, ya?” Permintaan Nadia tidak bisa ia tolak.
Hingga akhirnya, sore itu, kedua ibu anak berjalan beriringan menuju rumah yang hanya berjarak sepuluh menit dengan berjalan kaki dari rumah orang tua Anti.
Terlihat lapuk karena tidak terurus. Seketik
“Mbak Nia, apa kabar?” sapa Anti sopan. Sejenak Nia bergeming. Kaget dengan sikap sopan Anti. Mereka berjabat tangan, tapi Nia tetap saja acuh.“Lhah, kamu kenal, An sama bu Nia?” tanya Yani kaget, membuat Nia tidak punya kesempatan menjawab pertanyaan dari wanita yang telah menghancurkan rumah tangganya dulu.“Iya, kenal.” Anti menjawab ssingkat.“Silakan, duduk, An. Di sini, di kasur bareng sama bu Nia, gak papa, ya? Belum sempat beres-beres,” ujar Yani yang masih menyusui anaknya.“Ah, iya, aku duduk di sini saja. Panas, sambil ngadem,” sahut Anti sembari mendaratkan tubuh di atas lantai dan bersandar pada tembok dngan menghadap kasur busa tinggi di hadapannya.“Eh, jangan! Kok di bawah gitu. Sini, ah,” ajak Yani tidak enak. Karena Yani dan Nia duduk di atas sementara Anti di bawah.“Gak papa, Yan. Udah santai saja. Kayak sama siapa,” sahut Anti berusaha t
Nia berpamitan setelah lama mengobrol dengan Yani. Topik mereka kali itu adalah Anti. Entah mengapa meskipun sudah diberitahu kalau Anti sudah berubah, dirinya tetap saja belum bisa move on dari kejadian tempo dulu. Ditambah lagi, saat melihat Bilal yang terlantar di pelataran rumah sakit."Itu bukan urusan aku," gumamnya lirih sembari menyetir mobil.Sebelum pulang, Nia mampir ke sebuah toko sembako untuk membeli segala kebutuhan dapurnya yang habis.Entah kebetulan macam apa, di sana, Anti juga sedang berbelanja. Ada begitu banyak toko, tapi keduanya harus berada dalam satu tempat yang sama. Beriringan memilih sendiri benda yang akan dibeli, membuat Nia merasa canggung. Namun, tidak dengan Anti. Ibu Nadia itu sudah bisa menetralisir perasaan yang ada dalam hati.Semua hal telah berlalu. Apabila Nia masih membenci, itu hal yang wajar dan dirinya menerima. Itu yang ada dalam pikiran Anti. Wanita itu tetap asyik memilih semua barang kebutuhan yang ia beli.
"Apa salah bila aku masih membencinya, Mas, bila melihat Anti?" tanya Nia pada suaminya setelah menjelaskan apa yang ia temui di rumah Yani."Tidak salah, itu hak kamu. Tapi, Anti juga berhak berubah. Setiap orang pasti punya kesalahan. Setiap orang diciptakan unik dengan karakter masing-masing. Itu sebabnya, sebagai orang dekat, siapapun yang berbuat salah, wajib menasehati." Irsyad menjawab sembari merangkul pundak Nia. Mereka duduk di kursi ruang tamu."Hatiku masih ada rasa yang entahlah, Mas." Nia berkeluh kesah."Kenapa kamu memikirkan dia kalau kamu masih tidak suka sama Anti? Jangan bahas apapun kalau memang kamu masih ada rasa benci terhadap dia," jawab Irsya enteng."Tapi kenapa aku kepikiran perilaku dia tadi, Mas?" Irsya tertawa mendengar kalimat aneh yang diucapkan istrinya."Kamu memang aneh. Kenapa harus memusingkan hal-hal yang tidak penting? Memang bagaimana sikap Anti tadi? Adakah yang membuat kamu tersinggung sehingga berpikir sa
"Semoga Mas Agam hatinya luluh dan mengijinkan Mbak Anti bertemu Bilal," ujar Nia menguatkan hati wanita di sampingnya. Karena Anti bersikap sopan, maka dirinya pun segan. Bila dulu memanggil Anti dengan namanya terasa biasa. Namun, tidak dengan sekarang."Kok tahu apa yang aku rasa?" Anti menyelidik."Dari tatapan Mbak Anti, aku bisa melihatnya. Dari cara memandang sama mereka. Aku tahu apa yang dirasa dalam hati Mbak Anti." Agak canggung menyebut Anti dengan Mbak. Namun, demi menghormati dia yang sudah lebih dulu menghormati, Nia harus membiasakan diri."Setiap orang memiliki hati yang berbeda, Mbak Nia. Meskipun aku sangat menginginkan itu, tapi aku sadar. Itu hal yang sangat sulit. Mas Agam mungkin tidak akan pernah memberikan maafnya untukku," sahut Anti lirih. Tatapannya berpindah tempat. Tidak kuat melihat hal indah yang ada di sana."Jangan seperti itu. Hati seseorang bisa saja berubah. Aku contohnya. Dulu sangat membenci Mas Agam. Namun, seiring
Hingga beberapa saat kemudian, mereka bertiga berjalan ke tempat dimana Nia duduk."Sudah?" tanya Nia pada anak-anaknya."Ayah mau pulang katanya, Bu. Adek Bilal sakit," jawab Dinta sedih."Kita jenguk ya, Bu?" pinta Danis."Gak bisa sekarang, ya?" tolak Nia halus. Kedua anaknya bergumam kecewa."Mau beli kembang gula, Bu," ujar Dinta saat melihat pedagang lewat di pinggir jalan."Ini, beli sana!" sahut Agam sembari mengulurkan uang. Kedua anaknya girang dan saling lomba lari menuju pria yang menjajakan makanan dengan bahan dasar gula pasir."Tadi siapa?" tanya Agam pada Anti. Dirinya mencari tempat duduk yang jauh dari Nia."Mas Agam melihat aku duduk dengan seseorang?" tanya Nia memastikan."Iya, aku melihatnya. Kayak pernah lihat.""Mas Agam benar-benar tidak tahu, dia siapa?" Agam menggeleng.Nia menyadari akan hal yang sama, yang terjadi kemarin saat di rumah Yani. Kalau perempuan yang habis melahirkan
Hari berganti bulan, Anti tidak pernah lagi berjumpa dengan Agung. Entah ke mana perginya lelaki satu-satunya yang pernah dekat dengannya setelah kecelakaan.Suatu ketika, Umi menceritakan padanya tentang berita terakhir yang didengar dari ustadz. “Dia dipindah tugaskan karena kesalahan yang dia lakukan. Dan Mas Agung membawa wanita itu pindah. Terakhir mau pergi, Mas Agung pamit pada Ustadz. Semoga dia istiqomah dengan taubatnya.”Entah mengapa, mendengar kabar itu, Anti begitu sedih. Seburuk-buruknya Agung padanya dulu, pria itu pernah berjasa mengembalikan Nadia padanya.“Dia tidak bilang, ke mana piundah?” tanya Anti kemudian. Umi menggeleng.“Mungkin ingin benar-benar hidup di daerah yang baru. Tanpa ada yang mengenal latar belakang dia.” Anti mengangguk paham.Ada sebuah hampa yang ia rasa. Entah apa itu. Seseorang yang dulu selalu hadir setiap waktu, menawarkan tawa pada Nadia, kini menghilang bak di telan
Sesampainya Anti di tempat yang dimaksud, dirinya mengirim pesan pada Agam yang belum ia ketahui dialah orangnya.[Dimana?][Dekat pohon besar] balas Agam.Dengan cepat Anti melajukan kendaraan kea rah pohon yang terletak di halaman samping gedung yang terlihat sepi. Ada rasa was-was. Namun, Anti bertekad, melihat siapa yang datang. Bila memang seseorang yang tidak ia kenal maka, ia akan segera membelokkan kendaraan dan pergi. Untung di sana, ada tukang kebun yang tengah enyapu. Sehingga dirinya tidak terlalu takut.Dan betapa terkejutnya, saat melihat pria yang terlihat semakin dewasa itu duduk dengan santai di lantai dengan kaki menjuntai ke halaman serta menatap ke arahnya. Agam mengamati penampilan Anti yang jauh berbeda. Pun dengan tubuhnya yang terlihat lebih kurus.“Maaf, apa nomer yang menghubungi aku, Mas Agam?” tanya Anti sopan. Namun, tidak bisa dipungkiri kalau dirinya begitu gugup. Bertemu tiba-tiba dengan seseorang yang pe
Agam terus menerus memikirkan sikap Anti saat terakhir bertemu. Membuatnya memiliki sedikit rasa belas kasihan pada wanita yang dulu sangat ia benci. Laila tidak pernah menanyakan apapun tentang pertemuan suaminya dengan ibu kandung Bilal. Seolah takut dengan apa yang akan ia dengar.Sebagai seorang yang pernah menderita tekanan batin, Laila tentu memiliki fisik yang juga lemah. Akhir-akhir ini kondisinya sangat tidak stabil. Sering demam bila di malam hari. Menjadikan Bilal terpaksa mereka titipkan pada ibunya.“Mas,” panggil Laila suatu malam.“Ya,” jawab Agam sembari mendekatkan tubuh pada Laila yang menggigil.“Apa Mbak Anti akan mengambil Bilal dari kita?” tanyanya cemas.“Aku belum cerita, ya?” Laila menjawab pertanyaan suaminya dengan gelengan. “Anti minta maaf sama kita karena telah berusaha menemui Bilal. Dia juga minta maaf atas nama Nadia yang pernah datang ke sini. Dia berjanji
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”