“Mbak Nia, apa kabar?” sapa Anti sopan. Sejenak Nia bergeming. Kaget dengan sikap sopan Anti. Mereka berjabat tangan, tapi Nia tetap saja acuh.
“Lhah, kamu kenal, An sama bu Nia?” tanya Yani kaget, membuat Nia tidak punya kesempatan menjawab pertanyaan dari wanita yang telah menghancurkan rumah tangganya dulu.
“Iya, kenal.” Anti menjawab ssingkat.
“Silakan, duduk, An. Di sini, di kasur bareng sama bu Nia, gak papa, ya? Belum sempat beres-beres,” ujar Yani yang masih menyusui anaknya.
“Ah, iya, aku duduk di sini saja. Panas, sambil ngadem,” sahut Anti sembari mendaratkan tubuh di atas lantai dan bersandar pada tembok dngan menghadap kasur busa tinggi di hadapannya.
“Eh, jangan! Kok di bawah gitu. Sini, ah,” ajak Yani tidak enak. Karena Yani dan Nia duduk di atas sementara Anti di bawah.
“Gak papa, Yan. Udah santai saja. Kayak sama siapa,” sahut Anti berusaha t
Nia berpamitan setelah lama mengobrol dengan Yani. Topik mereka kali itu adalah Anti. Entah mengapa meskipun sudah diberitahu kalau Anti sudah berubah, dirinya tetap saja belum bisa move on dari kejadian tempo dulu. Ditambah lagi, saat melihat Bilal yang terlantar di pelataran rumah sakit."Itu bukan urusan aku," gumamnya lirih sembari menyetir mobil.Sebelum pulang, Nia mampir ke sebuah toko sembako untuk membeli segala kebutuhan dapurnya yang habis.Entah kebetulan macam apa, di sana, Anti juga sedang berbelanja. Ada begitu banyak toko, tapi keduanya harus berada dalam satu tempat yang sama. Beriringan memilih sendiri benda yang akan dibeli, membuat Nia merasa canggung. Namun, tidak dengan Anti. Ibu Nadia itu sudah bisa menetralisir perasaan yang ada dalam hati.Semua hal telah berlalu. Apabila Nia masih membenci, itu hal yang wajar dan dirinya menerima. Itu yang ada dalam pikiran Anti. Wanita itu tetap asyik memilih semua barang kebutuhan yang ia beli.
"Apa salah bila aku masih membencinya, Mas, bila melihat Anti?" tanya Nia pada suaminya setelah menjelaskan apa yang ia temui di rumah Yani."Tidak salah, itu hak kamu. Tapi, Anti juga berhak berubah. Setiap orang pasti punya kesalahan. Setiap orang diciptakan unik dengan karakter masing-masing. Itu sebabnya, sebagai orang dekat, siapapun yang berbuat salah, wajib menasehati." Irsyad menjawab sembari merangkul pundak Nia. Mereka duduk di kursi ruang tamu."Hatiku masih ada rasa yang entahlah, Mas." Nia berkeluh kesah."Kenapa kamu memikirkan dia kalau kamu masih tidak suka sama Anti? Jangan bahas apapun kalau memang kamu masih ada rasa benci terhadap dia," jawab Irsya enteng."Tapi kenapa aku kepikiran perilaku dia tadi, Mas?" Irsya tertawa mendengar kalimat aneh yang diucapkan istrinya."Kamu memang aneh. Kenapa harus memusingkan hal-hal yang tidak penting? Memang bagaimana sikap Anti tadi? Adakah yang membuat kamu tersinggung sehingga berpikir sa
"Semoga Mas Agam hatinya luluh dan mengijinkan Mbak Anti bertemu Bilal," ujar Nia menguatkan hati wanita di sampingnya. Karena Anti bersikap sopan, maka dirinya pun segan. Bila dulu memanggil Anti dengan namanya terasa biasa. Namun, tidak dengan sekarang."Kok tahu apa yang aku rasa?" Anti menyelidik."Dari tatapan Mbak Anti, aku bisa melihatnya. Dari cara memandang sama mereka. Aku tahu apa yang dirasa dalam hati Mbak Anti." Agak canggung menyebut Anti dengan Mbak. Namun, demi menghormati dia yang sudah lebih dulu menghormati, Nia harus membiasakan diri."Setiap orang memiliki hati yang berbeda, Mbak Nia. Meskipun aku sangat menginginkan itu, tapi aku sadar. Itu hal yang sangat sulit. Mas Agam mungkin tidak akan pernah memberikan maafnya untukku," sahut Anti lirih. Tatapannya berpindah tempat. Tidak kuat melihat hal indah yang ada di sana."Jangan seperti itu. Hati seseorang bisa saja berubah. Aku contohnya. Dulu sangat membenci Mas Agam. Namun, seiring
Hingga beberapa saat kemudian, mereka bertiga berjalan ke tempat dimana Nia duduk."Sudah?" tanya Nia pada anak-anaknya."Ayah mau pulang katanya, Bu. Adek Bilal sakit," jawab Dinta sedih."Kita jenguk ya, Bu?" pinta Danis."Gak bisa sekarang, ya?" tolak Nia halus. Kedua anaknya bergumam kecewa."Mau beli kembang gula, Bu," ujar Dinta saat melihat pedagang lewat di pinggir jalan."Ini, beli sana!" sahut Agam sembari mengulurkan uang. Kedua anaknya girang dan saling lomba lari menuju pria yang menjajakan makanan dengan bahan dasar gula pasir."Tadi siapa?" tanya Agam pada Anti. Dirinya mencari tempat duduk yang jauh dari Nia."Mas Agam melihat aku duduk dengan seseorang?" tanya Nia memastikan."Iya, aku melihatnya. Kayak pernah lihat.""Mas Agam benar-benar tidak tahu, dia siapa?" Agam menggeleng.Nia menyadari akan hal yang sama, yang terjadi kemarin saat di rumah Yani. Kalau perempuan yang habis melahirkan
Hari berganti bulan, Anti tidak pernah lagi berjumpa dengan Agung. Entah ke mana perginya lelaki satu-satunya yang pernah dekat dengannya setelah kecelakaan.Suatu ketika, Umi menceritakan padanya tentang berita terakhir yang didengar dari ustadz. “Dia dipindah tugaskan karena kesalahan yang dia lakukan. Dan Mas Agung membawa wanita itu pindah. Terakhir mau pergi, Mas Agung pamit pada Ustadz. Semoga dia istiqomah dengan taubatnya.”Entah mengapa, mendengar kabar itu, Anti begitu sedih. Seburuk-buruknya Agung padanya dulu, pria itu pernah berjasa mengembalikan Nadia padanya.“Dia tidak bilang, ke mana piundah?” tanya Anti kemudian. Umi menggeleng.“Mungkin ingin benar-benar hidup di daerah yang baru. Tanpa ada yang mengenal latar belakang dia.” Anti mengangguk paham.Ada sebuah hampa yang ia rasa. Entah apa itu. Seseorang yang dulu selalu hadir setiap waktu, menawarkan tawa pada Nadia, kini menghilang bak di telan
Sesampainya Anti di tempat yang dimaksud, dirinya mengirim pesan pada Agam yang belum ia ketahui dialah orangnya.[Dimana?][Dekat pohon besar] balas Agam.Dengan cepat Anti melajukan kendaraan kea rah pohon yang terletak di halaman samping gedung yang terlihat sepi. Ada rasa was-was. Namun, Anti bertekad, melihat siapa yang datang. Bila memang seseorang yang tidak ia kenal maka, ia akan segera membelokkan kendaraan dan pergi. Untung di sana, ada tukang kebun yang tengah enyapu. Sehingga dirinya tidak terlalu takut.Dan betapa terkejutnya, saat melihat pria yang terlihat semakin dewasa itu duduk dengan santai di lantai dengan kaki menjuntai ke halaman serta menatap ke arahnya. Agam mengamati penampilan Anti yang jauh berbeda. Pun dengan tubuhnya yang terlihat lebih kurus.“Maaf, apa nomer yang menghubungi aku, Mas Agam?” tanya Anti sopan. Namun, tidak bisa dipungkiri kalau dirinya begitu gugup. Bertemu tiba-tiba dengan seseorang yang pe
Agam terus menerus memikirkan sikap Anti saat terakhir bertemu. Membuatnya memiliki sedikit rasa belas kasihan pada wanita yang dulu sangat ia benci. Laila tidak pernah menanyakan apapun tentang pertemuan suaminya dengan ibu kandung Bilal. Seolah takut dengan apa yang akan ia dengar.Sebagai seorang yang pernah menderita tekanan batin, Laila tentu memiliki fisik yang juga lemah. Akhir-akhir ini kondisinya sangat tidak stabil. Sering demam bila di malam hari. Menjadikan Bilal terpaksa mereka titipkan pada ibunya.“Mas,” panggil Laila suatu malam.“Ya,” jawab Agam sembari mendekatkan tubuh pada Laila yang menggigil.“Apa Mbak Anti akan mengambil Bilal dari kita?” tanyanya cemas.“Aku belum cerita, ya?” Laila menjawab pertanyaan suaminya dengan gelengan. “Anti minta maaf sama kita karena telah berusaha menemui Bilal. Dia juga minta maaf atas nama Nadia yang pernah datang ke sini. Dia berjanji
Sesampainya di rumah sakit, ibu Laila hanya diperbolehkan menunggu di luar karena membawa anak kecil. Jadilah Agam menemani istrinya seorang diri. “Pasien harus masuk ICU,” ujar dokter membuat persendian Agam terasa lemas. Dia meras tidak dapat menunggu Laila seorang diri. Sembari menunggu dokter dan petugas medis menyiapkan Laila untuk dipindahkan ke ruang ICU, Agam melangkah gontai ke luar. Menemui mertuanya yang tengah mengajak Bilal bermain. Memberitahukan kabar yang sangat tidak menyenangkan itu. “Terus bagaimana?” Wanita yang berpakaian sederhana itu bertanya dengan diiringi isakan. “Aku akan menghubungi seseorang untuk menjaga Bilal,” ujar Agam mantap. Dirogohnya ponsel yang ada dalam saku dan menekan nomer seseorang. Terdengar salam dari ujung telepon. “Waalaikumsalam,” jawab Agam. “Tolong, datanglah ke rumah sakit, sekarang. Aku butuh bantuan kamu,” ujarnya lagi. “Ini Mas Agam?” Wanita di seberang telepon bertanya.