Tidak berapa lama, Tohir datang dengan mengendarai mobilnya. Nadia langsung berlari memeluk ibunya saat mobil berhenti.
"Ayo, istirahat ke kamar," ajak Anti dan membimbing anaknya masuk kamar.
"Ibu, bolehkah aku tinggal di sini?"
"Ini rumah kamu, Nad. Kapanpun kamu boleh datang. Nanti Ibu bersihkan kamar sebelah, ya? Itu ada ranjang kamu yang Ibu bawa dari rumah lama. Ibu mau menemui Ayah dulu." Nadia mengangguk. Anti segera melangkah ke ruang tamu.
"Maafkan aku, Anti. Kamu tahu 'kan, sifat Ibu bagaimana?" ujar Tohir saat mereka bersama.
"Iya, Mas, tidak apa. Ini juga rumah Nadia. Aku akan menerima kapanpun dia datang," jawab Anti.
"Aku sudah mencari tahu perihal rumah kita dulu sama pihak bank. Ternyata belum ada ya membeli. Aku akan membelinya untuk kalian,"
"Aku tidak mau, Mas. Itu akan menimbulkan masalah buat aku,"
"Aku sudah bilang sama Erina. Dan kami sepakat untuk merahasiakan dari Ibu."
Lagi, Anti meras
Tidak jadi uploud nanti malam, hehe .... Sekalian saja, ya? Soalnya nanti malam takutnya lupa.
Kedatangan Agung yang sering ke rumah Anti membuat hubungan mereka semakin dekat. Nadia juga semakin akrab dengan Agung, membuat pria itu lebih semangat lagi mendekati ibunya. Namun, hati Anti tetap saja masih ia lindungi untuk tidak pernah tertarik dengan yang namanya lelaki."Anti, apa. kamu memang benar-benar tidak ingin menikah?" tanya Agung suatu sore saat berkunjung ke rumahnya lagi untuk ke sekian kalinya. Anti menjawab dengan gelengan."Aku hanya ingin memperbaiki diri. Tidak berpikir apapun tentang itu,""Memperbaiki diri bukankah bisa dengan menikah? Kamu akan bersama-sama suami kemu beribadah dan saling mengingatkan dalam hal kebaikan.""Kenapa kata-kata kamu sok bijak?" tanya Anti dengan mengerutkan dahi."Itu harapan, bukan kata-kata.""Ya sudah, wujudkan harapan kamu itu agar menjadi kenyataan.""Belum menemukan orangnya,""Cari, dong!""Udah. Tapi dia sepertinya tidak mau," jawab Agung putus asa."I
"Aku harus bagaimana, Umi? Aku takut, bila aku menolaknya dia akan kembali ke lembah hitam yang dulu. Tapi menerimanya juga bukan keinginan hatiku. Sungguh, bukan karena apapun. Aku hanya ingin terus nyaman seperti ini," keluh Anti saat dirinya memutuskan untuk mendiskusikan perihal permintaan Agung dengan Umi."Sholat Istikharah saat malam. Mintalah petunjuk sama Allah, yang terbaik untuk kamu. Mintalah petunjuk untuk memberi jawaban pada Agung. Bila sudah mendapatkan petunjuk dan jawabannya tetap tidak, maka, kamu harus berani bilang dan jangan takut dia berubah. Bila setelah ini Agung berubah dan kembali lagi pada dunia hitamnya, itu pertanda bahwa taubat yang dia lakukan bukan lillah karena Allah. Bukan Hablumminallah, tapi Hablumminannas. Dan itu bukanlah kesalahan kamu," jelas Umi membuat hati Anti lega.Ibu Nadia memeluk wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu kedua sambil terisak. Sungguh dalam hati menyesali pertemuannya dengan Agung. Karena membuat gundah hat
Nadia sangat paham, bila sesungguhnya, jauh dalam lubuk hati ibunya yang terdalam, ada sebuah kesedihan yang sengaja ia tutup rapat-rapat.Gadis remaja itu pun tahu, jika seringkali, wanita yang telah mengandungnya selama sembilan bulan itu selalu menangis is sebuah foto yang telah usang.'Sekuat apapun kau menyembunyikannya, aku sangat paham, Ibu. Bila dalam hatimu menginginkan untuk bisa bertemu dengan Bilal,' Lirih Nadia suatu malam saat dirinya terbangun."Zul, anterin aku ke suatu tempat, yuk!" ajak Nadia suatu hari pada temannya."Kemana?""Ke gunung," jawab Nadia enteng. Membuat Zulfa membelalakan matanya. Dirinya tahu, tempat apa yang dimaksudkan oleh sahabatnya.Gunung, istilah yang orang sekitarnya gunakan untuk menyebutkan daerah yang kini menjadi tempat tinggal Agam."Ogah ah! Aku tidak berani. Apalagi kamu 'kan habis kecelakaan," tolak Ada halus."Tapi aku butuh ke sana, Zul.""Mau nemuin siapa?" tanya Zulfa
Dua kali harus terpukul dengan situasi yang sebenarnya sudah biasa di sekitarnya, tapi Agung abai. Yang pertama, lebih banyak polisi di lingkungan kerjanya yang memiliki etika yang baik, berbudi pekerti luhur dan taat beragama. Sedikit yang memiliki sifat sama seperti dirinya saat belum bertaubat, ia anggap sebagai acuan bahwa kehidupan semua rekan kerjanya seperti itu. Kedua, gadis SMA yang genit ia jadikan tolok ukur untuk memukul rata sifat mereka. Nyatanya, masih banyak dari mereka yang bersikap sopan dan manis layaknya wanita yang belum dewasa."Om!" Panggilan keras dari Nadia membuatnya tersadar dari lamunan."Eh, iya. Apa, Nad? Eh, kita mau kemana?" jawabnya gugup."Om mikirin apa sih? Lha kok nanya kita mau ke mana? Aku mau diajak kemana?""Oh, iya, maaf. Ayo," ajaknya sedaya menghidupkan mesin motor.Nadia membonceng miring karena memakai rok panjang."Kamu mau makan apa, Nad?""Apa aja, tapi yang seger aja, Om. Aku udah maka
“Bagaimana, Nad?” tanya Zulfa saat pagi duduk di kelas menunggu guru datang.“Tidak boleh sama Ibu. Katanya, bagaimanapun Om Agung itu lelaki dewasa dan aku juga bukan anak kecil,” jawab Nadia lesu.“Terus? Bagaimana?”“Apa aku minta tolong Ayah aja ya, buat ngantar?”“Coba aja, itu lebih baik. Dan juga, jaraknya jauh. Kalau kamu ajak ayah kamu ‘kan, bisa pakai mobil. Ibu kamu juga akan lebih tenang.”“Apa Ayah mau, Zul?”“Atau, mama tiri kamu?”“Ah, iya. Kenapa aku tidak kepikiran, ya?”Bel tanda masuk berbunyi. Guru yang terkenal rajin dan galak sudah berada di depan kelas. Seketika, Nadia dan Zulfa terdiam.“Nanti anterin aku ketemu Mama Erina ya, Zul?” bisik Nadia. Sementara Zulfa yang takut dengan sosok pengajar di depan mereka, diam tidak menanggapi.“Nadia! Belum puas ngobrol
“Pamit ya, Mbak?” ucap Anti saat menjemput putri tirinya.“Hati-hati, Rin!” pesan Anti. Meskipun dalam hati penasaran, wanita itu memilih untuk tidak mendesak Erina agar jujur. Berpikir kalau Nadia pasti punya sebuah alasan, meskipun hatinya penuh rasa cemas.Wanita itu bergegas masuk, bersiap-siap menghadiri kajian rutin yang selalu ia ikuti setiap akhir pekan.“Jalannya gak sulit ‘kan, Mah?” Nadia bertanya saat mereka mulai memasuki hutan perbatasan. Hawa dingin mulai terasa, untung jaket tebal sudah ia kenakan.“Kata temenku gak ada yang sulit, hanya saja banyak tanjakan. Kita santai saja jalannya. Yang penting sampai,” jawab Erina masih dengan fokus menyetir. Terkadang dirinya masih canggung bila harus menyebutkan diri dengan sebutan mama di hadapan Nadia.Berkali-kali, Erina terpaksa menepikan kendaraan karena Nadia meminta untuk berfoto di air terjun yang mengalir di tebing pinggir jalan.
Kedua saudara beda ayah itu masih berpelukan. Laika dengan lembut membimbing Nadia duduk kembali di kursi dengan masih tetap menggendong Bilal."Bak anis, Buk. Yah, Ayah, Bak anis ...," seru Bilal kencang. Terlihat girang melihat Nadia masih tergugu. Tubuhnya berguncang karena tangisan."Iya, Mbak nangis. Suruh diam mbaknya, dong!" jawab Agam."Bak, iyem yak? Janan anis. Udah besal," ujar Bilal lagi sambil mengelus kepala Nadia. Gadis remaja itu semakin mengeratkan pelukan. Erina mengusap punggung anak tirinya untuk menguatkan.Sejenak Nadia lupa, akan niat awal datang untuk memohon kepada Agam agar ibunya diberikan ijin bertemu Bilal. Kini, rasa itu sirna. Berganti dengan bahagia, memeluk sosok kecil yang pernah tinggal dalam rahim yang sama dengannya."Buk, Bak gak mau iyem,""Iya, biarin Mbak gak mau diam lagi seneng, ketemu Bilal," jawab Laila terdengar lembut."Bak seneng kok anis?" tanyanya lagi. Sejenak Nadia merenggangka
"Mas, maaf, apa Mas sama sekali tidak pernah mendengar kabar Mbak Anti?" Raut muka Agam terlihat berubah. Namun, itu hanya sebentar."Gak pernah sama sekali. Kabar teman-teman aja aku tidak tahu. Apalagi kabar dia. Nadia sekarang tinggal sama kamu, 'kan?" Pertanyaan dari Agam serasa sebuah pancing yang dilempar ke sebuah kolam bagi Erina."Dulu iya. Sekarang sudah tidak. Dia sudah tinggal sama Mbak Anti.""Kenapa? Sudah mau, Nadia pulang?" tanya Agam lagi. Sepertinya waktu sedikit menyembuhkan luka hatinya, sehingga tidak terlalu benci saat nama Anti disebut."Ceritanya panjang, Mas. Ya, sudah saatnya mungkin, Nadia berbaikan dengan ibunya. Dulu sama sekali gak mau, Mas. Benci banget dia sama Mbak Anti. Namun, karena sikap sabar Mbak Anti, akhirnya meluluhkan hati anaknya. Dia benar-benar berubah setelah kecelakaan. Orang yang kenal dengan dia sekarang pasti tidak tahu, kalau Mbak Anti punya masa lalu yang buruk." Mendengar perkataan Erina, hati Agam seak