Perubahan sikap Agung kian terasa oleh orang-orang di sekitarnya.
Perlahan, sikap Anti terhadap lelaki itu semakin melunak. Karena melihat kegigihan Agung untuk berubah menjadi lebih baik.
Bukan hal yang mudah untuk memaafkan seorang pembulli. Namun, suatu ketika, kalimat yang disampaikan Agung terasa menohok di hati Anti.
Kala itu, mereka berdua kembali tak sengaja bertemu. Tidak sengaja bagi Anti, tapi sengaja bagi Agung. Karena pria itu memang sudah tahu, jadwal Anti keluar dari masjid dan melalui pintu sebelah mana.
"Anti, apakah kamu membenciku?" Spontan Agung bertanya saat pandangan dan senyumannya selalu tidak dibalas.
Anti yang saat itu sedang memakai sandal berhenti sejenak dan menatap pria tegap yang berjarak tiga meter dari tubuhnya.
"Bullying adalah perilaku yang bisa membuat seseorang merasa kehilangan jati dirinya."
"Aku tahu, aku sudah merasa bersalah dan aku minta maaf sama kamu, Anti. Apakah hatimu begitu keras untuk
Tidak berapa lama, Tohir datang dengan mengendarai mobilnya. Nadia langsung berlari memeluk ibunya saat mobil berhenti. "Ayo, istirahat ke kamar," ajak Anti dan membimbing anaknya masuk kamar. "Ibu, bolehkah aku tinggal di sini?" "Ini rumah kamu, Nad. Kapanpun kamu boleh datang. Nanti Ibu bersihkan kamar sebelah, ya? Itu ada ranjang kamu yang Ibu bawa dari rumah lama. Ibu mau menemui Ayah dulu." Nadia mengangguk. Anti segera melangkah ke ruang tamu. "Maafkan aku, Anti. Kamu tahu 'kan, sifat Ibu bagaimana?" ujar Tohir saat mereka bersama. "Iya, Mas, tidak apa. Ini juga rumah Nadia. Aku akan menerima kapanpun dia datang," jawab Anti. "Aku sudah mencari tahu perihal rumah kita dulu sama pihak bank. Ternyata belum ada ya membeli. Aku akan membelinya untuk kalian," "Aku tidak mau, Mas. Itu akan menimbulkan masalah buat aku," "Aku sudah bilang sama Erina. Dan kami sepakat untuk merahasiakan dari Ibu." Lagi, Anti meras
Kedatangan Agung yang sering ke rumah Anti membuat hubungan mereka semakin dekat. Nadia juga semakin akrab dengan Agung, membuat pria itu lebih semangat lagi mendekati ibunya. Namun, hati Anti tetap saja masih ia lindungi untuk tidak pernah tertarik dengan yang namanya lelaki."Anti, apa. kamu memang benar-benar tidak ingin menikah?" tanya Agung suatu sore saat berkunjung ke rumahnya lagi untuk ke sekian kalinya. Anti menjawab dengan gelengan."Aku hanya ingin memperbaiki diri. Tidak berpikir apapun tentang itu,""Memperbaiki diri bukankah bisa dengan menikah? Kamu akan bersama-sama suami kemu beribadah dan saling mengingatkan dalam hal kebaikan.""Kenapa kata-kata kamu sok bijak?" tanya Anti dengan mengerutkan dahi."Itu harapan, bukan kata-kata.""Ya sudah, wujudkan harapan kamu itu agar menjadi kenyataan.""Belum menemukan orangnya,""Cari, dong!""Udah. Tapi dia sepertinya tidak mau," jawab Agung putus asa."I
"Aku harus bagaimana, Umi? Aku takut, bila aku menolaknya dia akan kembali ke lembah hitam yang dulu. Tapi menerimanya juga bukan keinginan hatiku. Sungguh, bukan karena apapun. Aku hanya ingin terus nyaman seperti ini," keluh Anti saat dirinya memutuskan untuk mendiskusikan perihal permintaan Agung dengan Umi."Sholat Istikharah saat malam. Mintalah petunjuk sama Allah, yang terbaik untuk kamu. Mintalah petunjuk untuk memberi jawaban pada Agung. Bila sudah mendapatkan petunjuk dan jawabannya tetap tidak, maka, kamu harus berani bilang dan jangan takut dia berubah. Bila setelah ini Agung berubah dan kembali lagi pada dunia hitamnya, itu pertanda bahwa taubat yang dia lakukan bukan lillah karena Allah. Bukan Hablumminallah, tapi Hablumminannas. Dan itu bukanlah kesalahan kamu," jelas Umi membuat hati Anti lega.Ibu Nadia memeluk wanita yang sudah ia anggap sebagai ibu kedua sambil terisak. Sungguh dalam hati menyesali pertemuannya dengan Agung. Karena membuat gundah hat
Nadia sangat paham, bila sesungguhnya, jauh dalam lubuk hati ibunya yang terdalam, ada sebuah kesedihan yang sengaja ia tutup rapat-rapat.Gadis remaja itu pun tahu, jika seringkali, wanita yang telah mengandungnya selama sembilan bulan itu selalu menangis is sebuah foto yang telah usang.'Sekuat apapun kau menyembunyikannya, aku sangat paham, Ibu. Bila dalam hatimu menginginkan untuk bisa bertemu dengan Bilal,' Lirih Nadia suatu malam saat dirinya terbangun."Zul, anterin aku ke suatu tempat, yuk!" ajak Nadia suatu hari pada temannya."Kemana?""Ke gunung," jawab Nadia enteng. Membuat Zulfa membelalakan matanya. Dirinya tahu, tempat apa yang dimaksudkan oleh sahabatnya.Gunung, istilah yang orang sekitarnya gunakan untuk menyebutkan daerah yang kini menjadi tempat tinggal Agam."Ogah ah! Aku tidak berani. Apalagi kamu 'kan habis kecelakaan," tolak Ada halus."Tapi aku butuh ke sana, Zul.""Mau nemuin siapa?" tanya Zulfa
Dua kali harus terpukul dengan situasi yang sebenarnya sudah biasa di sekitarnya, tapi Agung abai. Yang pertama, lebih banyak polisi di lingkungan kerjanya yang memiliki etika yang baik, berbudi pekerti luhur dan taat beragama. Sedikit yang memiliki sifat sama seperti dirinya saat belum bertaubat, ia anggap sebagai acuan bahwa kehidupan semua rekan kerjanya seperti itu. Kedua, gadis SMA yang genit ia jadikan tolok ukur untuk memukul rata sifat mereka. Nyatanya, masih banyak dari mereka yang bersikap sopan dan manis layaknya wanita yang belum dewasa."Om!" Panggilan keras dari Nadia membuatnya tersadar dari lamunan."Eh, iya. Apa, Nad? Eh, kita mau kemana?" jawabnya gugup."Om mikirin apa sih? Lha kok nanya kita mau ke mana? Aku mau diajak kemana?""Oh, iya, maaf. Ayo," ajaknya sedaya menghidupkan mesin motor.Nadia membonceng miring karena memakai rok panjang."Kamu mau makan apa, Nad?""Apa aja, tapi yang seger aja, Om. Aku udah maka
“Bagaimana, Nad?” tanya Zulfa saat pagi duduk di kelas menunggu guru datang.“Tidak boleh sama Ibu. Katanya, bagaimanapun Om Agung itu lelaki dewasa dan aku juga bukan anak kecil,” jawab Nadia lesu.“Terus? Bagaimana?”“Apa aku minta tolong Ayah aja ya, buat ngantar?”“Coba aja, itu lebih baik. Dan juga, jaraknya jauh. Kalau kamu ajak ayah kamu ‘kan, bisa pakai mobil. Ibu kamu juga akan lebih tenang.”“Apa Ayah mau, Zul?”“Atau, mama tiri kamu?”“Ah, iya. Kenapa aku tidak kepikiran, ya?”Bel tanda masuk berbunyi. Guru yang terkenal rajin dan galak sudah berada di depan kelas. Seketika, Nadia dan Zulfa terdiam.“Nanti anterin aku ketemu Mama Erina ya, Zul?” bisik Nadia. Sementara Zulfa yang takut dengan sosok pengajar di depan mereka, diam tidak menanggapi.“Nadia! Belum puas ngobrol
“Pamit ya, Mbak?” ucap Anti saat menjemput putri tirinya.“Hati-hati, Rin!” pesan Anti. Meskipun dalam hati penasaran, wanita itu memilih untuk tidak mendesak Erina agar jujur. Berpikir kalau Nadia pasti punya sebuah alasan, meskipun hatinya penuh rasa cemas.Wanita itu bergegas masuk, bersiap-siap menghadiri kajian rutin yang selalu ia ikuti setiap akhir pekan.“Jalannya gak sulit ‘kan, Mah?” Nadia bertanya saat mereka mulai memasuki hutan perbatasan. Hawa dingin mulai terasa, untung jaket tebal sudah ia kenakan.“Kata temenku gak ada yang sulit, hanya saja banyak tanjakan. Kita santai saja jalannya. Yang penting sampai,” jawab Erina masih dengan fokus menyetir. Terkadang dirinya masih canggung bila harus menyebutkan diri dengan sebutan mama di hadapan Nadia.Berkali-kali, Erina terpaksa menepikan kendaraan karena Nadia meminta untuk berfoto di air terjun yang mengalir di tebing pinggir jalan.
Kedua saudara beda ayah itu masih berpelukan. Laika dengan lembut membimbing Nadia duduk kembali di kursi dengan masih tetap menggendong Bilal."Bak anis, Buk. Yah, Ayah, Bak anis ...," seru Bilal kencang. Terlihat girang melihat Nadia masih tergugu. Tubuhnya berguncang karena tangisan."Iya, Mbak nangis. Suruh diam mbaknya, dong!" jawab Agam."Bak, iyem yak? Janan anis. Udah besal," ujar Bilal lagi sambil mengelus kepala Nadia. Gadis remaja itu semakin mengeratkan pelukan. Erina mengusap punggung anak tirinya untuk menguatkan.Sejenak Nadia lupa, akan niat awal datang untuk memohon kepada Agam agar ibunya diberikan ijin bertemu Bilal. Kini, rasa itu sirna. Berganti dengan bahagia, memeluk sosok kecil yang pernah tinggal dalam rahim yang sama dengannya."Buk, Bak gak mau iyem,""Iya, biarin Mbak gak mau diam lagi seneng, ketemu Bilal," jawab Laila terdengar lembut."Bak seneng kok anis?" tanyanya lagi. Sejenak Nadia merenggangka
Part 11 POV Dania (Ending) Lelah hati tatkala harus menghadapi banyak hal. Akhirnya aku menyerah pada keadaan. Aku tidak akan memaksakan takdir apapun sekarang. Selalu bertemu dengan orang-orang yang membuat hati ini sakit hati, membuatku semakin sadar kalau hanya keluarga Laura saja yang baik padaku. Melihat penghianatan Nindi dan juga sikap Cika yang masih dingin dan membenciku, membuat hati ini sudah memutuskan. Aku akan menghilang dari hidup orang-orang yang mengenalku. Untuk apa mempedulikan Cika yang sangat membenciku? Baginya, Ines adalah ibunya. Setelah Nindi keluar dari rumah, Laura menelpon malam-malam dan menangis. Ia mengatakan kalau pacarnya ternyata selingkuh dan dia seorang diri. Laura menanyakan perkembangan hubunganku dengan Cika, dan aku menjawab apa adanya. “Cika tidak akan pernah bisa menerimaku. Itu kenyataannya,” jawabku sudah pasrah dengan keadaan. “Dania, aku minta maaf, bisakah kamu kembali kesini? Hidup bersamaku dan aku menarik semua ucapanku kemarin,” p
Part 10Tiga hari tinggal bersama, dia tetap masih diam. Makananku tetap disiapkan, tetapi menunggu aku keluar untuk makan sendiri. Dia sama sekali tidak seperti dulu yang memanggilku, menyiapkan baju ganti dan segala keperluanku. Akhirnya, pagi ini kuberanikan diri untuk mengajaknya berbicara.“Apa aku akan diusir seperti Nindi?” tanyaku pelan. Dia yang lagi-lagi berkutat dengan laptop--mengangkat wajah.“Pilihlah mana dari milikku yang akan kamu ambil, Cika! Sisanya, bila kamu tidak mau, maka akan kujual. Kamu bisa gunakan untuk keperluan hidupmu. Itu jika kamu mau,” jawabnya tanpa ekspresi ramah.Aku memainkan jari jemariku. Bingung hendak menjawab apa. Ponselnya berdering dan dia langsung mengangkatnya. Aku masih berdiri mendengarkan dia berbicara dengan orang yang kukira ada di luar negeri.Meski sudah lama tidak pernah belajar bahasa asing lagi, tetapi aku tahu apa arti dari ucapan yang disampaikan seseorang dari seberang telepon sana. Speaker ponsel yang dihidupkan membuatku bi
Part 9“Mbak Dania, aku minta maaf, Mbak, aku akui memang salah dan aku akan meminta dia untuk keluar dari rumah Mbak Dania asalkan Mbak Dania masih mengizinkan aku untuk tetap di sini. Aku akan menjaga Cika, Mbak, aku janji,” kata Nindi sambil bersimpuh dan memegang kaki dia.“Aku sudah tidak butuh siapapun lagi, Nindi. Aku akan membiarkan orang-orang yang hanya memanfaatkanku dan juga orang-orang yang tidak menyukaiku untuk pergi dari hidupku. Aku tidak akan memaksakan takdir bahagia bersamaku, jadi, kamu tidak perlu bersimpuh meminta, karena aku sudah akan menghapusmu dari daftar orang-orang yang kukenal,” jawab dia santai.Seketika aku memandang wajah cantik itu. Ada sebuah perasaan terluka di sana. Jika dia benar-benar tidak mau lagi mengurusku, maka, siapa yang akan mengurusku lagi? Tiba-tiba saja ketakutan besar menguasai hati.Wajah itu, dia tidak mau melihat padaku. Padahal, aku berharap itu.Nindi masih bersimpuh sambil menangis.“Dimana mobilku, Nindi?” tanya dia datar.“Ee
Part 8POV CikaAku memilih masuk dan duduk di atas hamparan pasir meski terik matahari terasa sangat menyengat di kulit. Benar-benar bingung hendak minta tolong dan mengadu pada siapa, maka kuputuskan untuk menangis seorang diri.“Ya Allah, kirimkan bantuan untukku. Ya Allah, ampuni aku jika aku selama ini nakal dan banyak dosa. Ya Allah, aku janji, jika aku mendapatkan pertolongan untuk masalahku ini, aku akan kembali sholat seperti saat di pondok dulu. Jika ada orang yang menolongku, maka aku akan menjadikannya sahabat,” ucapku sambil menangis.Lama aku berada dalam posisi ini, hingga leher terasa pegal, lalu aku mengangkat kepala. Saat menoleh, ternyata ada seseorang yang duduk di sebelahku dan dia melakukan hal yang sama.Menatapku.Deg.Jantungku berpacu lebih cepat tatkala mendengar orang itu memanggil namaku. Dia sosok yang kurindu, tetapi juga kubenci.“Kenapa kamu berpanas-panasan sendirian di sini?” ucapnya sambil berteriak.Aku diam, enggan menjawab. Teringat olehku Nindi
Part 7POV DaniaAku menatap tubuh Nyonya dan Tuan yang terbujur kaku di rumah sakit dengan darah bersimbah di sekujur tubuh mereka–dengan hati yang sangat hancur.Baru sebentar kembali bekerja bersama mereka yang sudah kuanggap seperti keluarga sendiri, tetapi harus merasakan sakitnya kehilangan. Nyonya dan Tuan tewas dalam kecelakaan tunggal. Mobil yang mereka tumpangi menabrak sebuah pohon dan nyawa mereka langsung hilang di tempat itu juga.Tak tahu lagi harus berusaha tegar seperti apa. Karena mereka berdua adalah keluarga yang kumiliki saat ini dan kenapa takdir selalu tidak berpihak padaku?Mayat Nyonya dan Tuan dimakamkan dua hari kemudian setelah berbagai prosesi keagamaan mereka berdua berlangsung. Kini, saat semua pelayat pergi, aku hanya berdua saja dengan anak semata wayang Nyonya yang berusia dua puluh tahun.“Aku akan melanjutkan kuliah di negara sebelah. Kamu jika masih mau di sini, maka harus mencari pekerjaan lain. Karena aku sudah tidak bisa membayarmu. Rumahku aka
Part 6POV CIKAAku menatap rumah besar itu, mungkin untuk yang terakhir kalinya. Meski keberadaanku tidak diakui di sini, tetapi nyatanya, belasan tahun diriku hidup di sana.Walaupun tanpa kenangan indah, tetapi aku bisa melakukan apapun di rumah itu. Kini, aku harus melangkah pergi untuk yang terakhir kalinya. Hati benar-benar sadar, jika memang diri ini tiada lagi diharapkan oleh mereka. Kehadiranku di rumah itu hanya untuk mengukir kisah sedih.Hari ini aku pergi dengan naik taksi. Pulangnya, memilih berjalan menyusuri jalanan komplek perumahan elit yang semuanya memiliki pagar yang tinggi. Sengaja memilih berjalan kaki, hanya sekadar ingin menikmati rasa yang sangat menyesakkan dalam dada ini. Rencananya, nanti akan pulang dengan naik bus. Di dekat gerbang perumahan ini ada sebuah halte.Langkah kaki ini berjalan lambat. Aku sadar kini aku sudah benar-benar sendiri, dan sebentar lagi, bisa saja harus tiba-tiba hidup dengan sosok yangtidak kukenal sama sekali. Aku Cika, harus ber
Part 5Sebuah ketukan di luar pintu kamar membuat Cika beranjak dari tempat tidurnya. Ia yang sudah setengah mengantuk terpaksa bangun untuk menemui orang yang sudah pasti itu Nindi. Dengan memicingkan mata, Cika menatap perempuan yang masih lajang itu yang sudah siap dengan koper besar.“Mbak Nindi mau pergi?” Seketika mata Cika yang semula setengah mengantuk terbuka sempurna.“Iya,” jawab Nindi singkat dan ragu.Napas Cika mulai narik turun. Antara takut dan kaget.“Mbak Nindi, aku sama siapa di sini?” tanya Cika mulai menampakkan ketakutannya.“Sudah saatnya kamu belajar hidup mandiri , Cika. Tidak mungkin aku akan terus bersama dengan kamu. Ibu kamu saja sudah pergi. Dan keluarga kamu saja sudah tidak memperdulikan keberadaanmu lagi. Masa aku yang bukan siapa-siapa kamu harus bertahan di sini? Aku punya impian untuk menikah, aku punya keluarga yang harus aku rawat. Jadi, aku akan pergi sekarang dan mulai saat ini, kamu hidup di sini sendiri,” jelas Cika.“Mbak Nindi, tidak bisakah
Part 4 Cika merasa sangat kesepian dengan hidup yang dijalani saat ini. Bingung karena setiap hari yang dilakukan hanyalah makan dan tidur saja. Hendak keluar untuk sekadar mencari kesenangan bersama teman-temannya pun susah dilakukan karena rumah yang ditempatinya saat ini cukup jauh dengan rumah kawan semasa ia sekolah. Bermain ponsel juga membuat kepalanya pusing. Nindi juga lebih banyak menghabiskan waktu di kantor. Jika malam minggu tiba, gadis yang sudah dewasa itu akan keluar bersama dengan sang kekasih dan pulang jika sudah dini hari saat Cika sudah terlelap dalam mimpi. Dua bulan sudah dilalui Cika hidup seorang diri di rumah besar peninggalan Dania. Di suatu pagi, Cika yang baru saja bangun menemui Nindi yang tengah sarapan pagi. Dengan langkah berat dan kepala tertunduk berjalan pelan menghampiri Nindi yang sedang sarapan. “Kenapa?” tanya Nindi saat Cika sudah sampai di hadapannya. “Pembantu yang katanya mau datang itu, apa tidak ada kabarnya?” tanya Cika ragu. Sikap ke
Part 3Langit mulai gelap. Tidak ada bintang satupun di sana. Aku mulai menoleh ke kanan dan kiri mencari sebuah tumpangan yang bisa membawaku pulang. Entah pulang kemana. Dalam keadaan bimbang, aku membuka ponsel. Ternyata Rindi menelpon banyak ke nomorku. Ia juga berkirim pesan. Aku membukanya, tetapi hanya di bagian akhir yang kubaca.[Kamu kemana saja?][Kenapa belum pulang?][Cika, balas pesanku!][Cika, kamu kemana? Cepat pulang]Aku takut, tetapi tidak mungkin aku mengatakan kalau saat ini sedang di bandara. Akhirnya, aku memilih mencari taksi dengan berjalan keluar bandara. Tidak ada tempat lagi untuk pulang selain rumah Dania dan aku berharap Rindi sedang menungguku di sana. Aku sangat takut.Seketika bernapas lega saat kulihat Rindi tengah menungguku dengan cemas. “Dari mana saja kamu?” tanyanya cemas dengan wajah marah.Kali ini aku tidak akan melawannya. Dia satu-satunya orang yang masih peduli berada di sisiku. Aku diam sambil memainkan ujung kuku.“Cika, kamu dari mana?”