“Tolong! Tolong!” Iyan berusaha mencari bantuan.
“Iyan, jangan bertindak gegabah! Kamu panggil semua orang ke sini, maka harga dirimu hancur.”
Suasana di luar sangat sepi, tidak ada yang datang ke rumah kami. Ibu sedang berkeliling menjual baju membawa Aira. Sedangkan bapak masih di kebun, seperti biasa.
”Mas, tolong lepaskan Rani. kami janji, tidak akan minta Mas buat cari uang lagi.” Iyan duduk bersimpuh sambil mengiba. Tangisnya mulai terdengar.
Entah kenapa, aku puas melihat mereka seperti ini. Rani meraung menahan sakit. Sepertinya, dia juga takut aku benar-benar melakukan perbuatan keji. Bila tidak ingat ada Iyan, mungkin aku benar-benar sudah melakukannya. Bukan atas dasar cinta, melainkan ingin membalas segala sakit hatiku terhadap wanita yang tidak lain adalah adik iparku.
“Mas, tolong lepaskan aku. Aku minta maaf.” Rani terus menohon.
Ibu—baru pulang—berteriak hister
“Anti, apa kamu masih mencintaiku?”“Menurutmu, Mas?” Perempuan yang perutnya sudah mulai berisi itu malah balik bertanya. “Aku tahu, Mas, kamu sudah tidak mencintaiku seperti dulu lagi.”“Jangan suka menebak, kamu bukan dukun.”“Sikapmu beda, Mas. Aku merasakannya. Begitupun aku, jujur saja, rasa ingin hidup bersamamu seperti yang kita impikan dulu, kini telah sirna. Namun, di saat hasrat melepaskanmu menggebu, justru kenyataan berkata lain. Ada bayi yang hidup di rahimku untuk mengikat kita kembali.” Anti menunduk. Setetes air jatuh mengenai telapak tangannya.“Ini adalah buah dari perbuatan kita, Anti. Anggap saja ini hukuman untuk sedikit mengurangi dosa, kita jalani saja. Semoga esok hari, keadaan menjadi lebih baik.”Anti mengangguk pasrah. Lalu, bertanya, “Mas, kamu masih mencintai Nia?”Aku ingin menjawab. Bukan masih mencintai, tapi baru
“Aku meminta uang pada Iyan, karena saat dia akan bekerja, aku menghabiskan uang agar dia bisa masuk. Wajar di saat ini aku meminta kembalian, dong?”Sorak sorai riuh terdengar dari mulut kaum hawa di hadapan kami. Rani tertunduk menahan malu. Juga kedua orang tuanya, yang tadi ikut berdiri di teras, kini masuk kembali ke dalam rumah.“Sekarang, lempar benda yang kalian bawa pada orang yang salah!”Seketika aku minggir saat Rani terkena amukan ibu-ibu. Barang-barang bekas tadi terlempar ke tubuhnya. Aku tersenyum puas.Setelah itu, aku masuk untuk mengambil linggis. Akan kurusak gerobak Rani supaya dia tidak bisa berjualan lagi.“Gam. hentikan!”Teriakan ibu tak kuhiraukan. Dengan emosi yang tinggi, gerobak Rani berhasil kuremukkan.“Bawa anak kalian pulang. Aku tidak sudi melihatnya di rumah ini lagi. Itu pun jika kalian tidak ingin nyawanya melayang di tanganku.” Ancaman serius k
Meredam rasa sakit, kuseret langkah ini dengan cepat, keluar dari tempat yang tidak memberiku kebahagiaan. Sialnya, saat sudah berada di atas motor dan merogoh saku celana, gawaiku tidak ada. Sepertinya, tertinggal di kasur. Dengan malas, aku turun dan masuk rumah lagi.Kulihat, mereka bertiga duduk di kursi ruang tengah. Sekilas yang aku dengar Iyan mengatakan kalau Aira harus segera menjalani transpalasi ginjal.“Pak, carikan uang untuk biaya operasi Aira. Kasihan dia, Pak.” Rani berkata sambil menangis.Aku tersenyum bangga, akhirnya, bapak menggantikan posisiku untuk ditangisi Rani. Segala sesuatu memang selalu ada hikmahnya.Kuraih benda pipihku dengan kasar, rasanya sudah tidak ingin berlama-lama di tempat ini.“Bagaimana ini, Pak? Kami harus mengeluarkan uang banyak.” Iyan ikut menyahut.“Kan, kalian punya uang. Kamu ada uang, kan, Rani?” Bapak bertanya pada menantu kesayangan di rumah ini.&
Dengan bergetar kunaiki tangga untuk melewati batas suci. Berwudu untuk pertama kali setelah beberapa bulan, rasanya sangat segar dan menenangkan.Sangat lama aku berada di mesjid besar ini. Terpekur, merenung dan mengurai benang kusut hidup yang telah kulalui. Tentang segala hal, kucurahkan pada Sang Pemilik Hidup. Juga segala dosa dan permasalahan hidup yang kualami saat ini. Dan yang terakhir adalah mengenai Anti, yang sangat ingin bertemu anaknya.“Mas, mesjid mau ditutup.”Sebuah tepukan di pundak menyadarkan diriku. Kutengok, sudah tidak ada siapa pun di tempat ini. Hanya takmir yang tadi mengingatkanku. Kini, beliau tengah menggulung karpet.Aku hanya diam memandangnya. Lalu tangan ini ikut membantu bapak—usianya mungkin sama dengan bapakku—menggulung karpet.“Pulangnya ke mana?” Setelah selesai, beliau bertanya.Aku masih duduk di teras mesjid, tak menjawab. Bingung mau menjawab apa.&
Sekitar seperempat jam aku menunggu. Aku memilih duduk di tepi teras,karena kaki terasa pegal. Biarlah nanti kalau diminta mengepel lantai, akan kulakukan.Lima belas menit sejak aku duduk sudah berlalu. Itu artinya, sudah setengah jam aku berada di sini tanpa kepastian. Aku sudah putus asa, dan memilih bangkit, hendak pergi. Kuembuskan napas kasar dan turun dari teras untuk memakai sandalku.Derit pintu terbuka membuat diriku menoleh. Sesosok pria tegap berkulit berdiri di sana.Dengan langkah ragu, aku berbalik menuju pintu. “Maaf, mengganggu waktunya, Mas Tohir.”“Mau apa ke sini? Belum puas sudah menghancurkan keluargaku? Mau apa lagi sekarang?”“Maaf, Mas, bisakah kita bicara sebentar?”Pandangan tidak suka, terpancar jelas dari sorot matanya. Pria itu melangkah keluar dari pintu, melewati tubuhku yang membatu. Duduk di kursi teras tanpa sepatah katapun. Ini lebih baik, karena artinya, dirinya mau ber
Kuberanikan diri untuk mendongakkan kepala. Terlihat seorang gadis kecil berdiri di ambang pintu sambil menangis sesenggukan. Nadia sudah SMP, dia sudah cukup umur untuk memahami apa yang terjadi pada kedua orang tuanya. Ada sorot kerinduan di sana. Aku tidak kuat melihat wajah yang begitu sedih itu. Betapa perbuatanku memang telah melukai banyak orang.“Baiklah, Bu, saya permisi dulu. Mas Tohir, saya permisi. Nadia.” Aku memanggil gadis yang menginjak remaja. “Ibu sangat merindukan Nadia. Nadia mau bertemu ibu, kan?” Tak peduli akan diumpat lebih kasar lagi, aku bertanya pada anak Anti.“Cepat pergi dari sini. Tidak usah menambah kekacauan pada kehidupan anakku. Dia sudah baik-baik saja saat ini!” Tohir menghardikku, hingga tubuhku sedikit bergetar.Aku beringsut mundur dan memakai sandal untuk kemudian melangkah menuju kendaraan.“Agam!” Sebuah suara bariton memanggil saat diriku sudah berada di atas
“Kok, kewajibanku, Pak? Kan, Iyan yang buat anak.”“Bapak sama Ibu udah biayai kamu jadi pegawai, lho, Gam.” Bapak tidak sungkan untuk membahas kebaikannya untuk anak sendiri. “Sudahlah, kamu jangan bahas uang Rani lagi. Ya, wajar saja kalau dia ingin menggunakan uangnya untuk kesenangan pribadi.”Aku mengangguk, pura-pura paham. Rasa sakit hati ini sudah berada di titik tertinggi, tetapi aku tidak akan melawan mereka dengan otot. Aku harus menyusun strategi untuk mendapatkan kembali uang yang harusnya menjadi milikku.Rani, Iyan, tunggu pembalasan dariku, yang selalu kalian zalimi.“Jadi, bagaimana? Apa Ibu benar-benar tidak akan membawa seserahan makanan untuk pihak keluarga Anti?”“Ibu mau bawa, Gam. Tapi, mana uangnya?” jawab ibu pasrah.“Minta sama Iyan, Bu, bagianku dari penjualan kayu. Dua juta cukup buat beli beberapa kaleng biskuit.”“Gak bisa gitu,
Hari pernikahanku dengan Anti tiba. Meskipun tanpa rasa cinta seperti dulu, tetapi aku sudah bertekad untuk bertanggung jawab atas apa yang telah kuperbuat. Aku tidak mengurus berkas ke KUA. Karena untuk sementara, kami sepakat menikah secara siri. Setelah diriku bisa tinggal di rumahnya, baru akan kuurus secara negara. Tidak punya rumah membuatku bingung.Sebelum berangkat, aku menghubungi Mbak Eka, berharap dirinya bisa mendampingiku mengucapkan ijab kabul pada wanita yang tengah mengandung anakku. Jawabannya sungguh mengejutkan. Dirinya, yang selama ini mengatakan sangat menyayangiku, hari ini menolak permintaanku.“Makanya, Gam. sama saudara itu yang akur. Kamu butuh juga, kan? Kemarin, kenapa kamu seperti itu sama Rani? Buat perkara saja. Rani itu istrinya Iyan. Kamu menyakitinya, sama juga kamu menyakiti perasaan Iyan, juga aku. Maaf, Gam, aku lebih menghormati perasaan Iyan. Jadi, aku tidak bisa datang.”Sungguh miris. Diriku datang sendiri da