Elang menatap ayahnya dengan raut wajah berubah dingin. Namun Diedrich mengangkat sebelah tangan dan dengan cepat ia meneruskan kalimatnya ketika Elang tampak akan membuka suara. “Ayah bukan mengusirmu karena takut. Ayah akan membantu kalian berdua. Kalian kembali dan biarkan mereka mencari istrimu di negara ini untuk sekian waktu.” Tatapan Elang kini berbalik menyiratkan ketertegunan. Ia diam menunggu kalimat selanjutnya dari Diedrich. “Pulang ke Indonesia. Seharusnya istrimu lebih aman di sana, karena di negara kelahiran istrimu, ada empat benteng dari tiap Realm Elemen. Mereka adalah keluarga berdarah elemen sejati. Turun temurun memiliki kemampuan elemennya. Namun keberadaan mereka tersembunyi dan hanya akan menampakkan diri jika mereka merasa itu sudah waktunya. Mereka adalah pilar luar untuk melindungi Ratu Bumi. Selain Para Penjaga Inti.” Kembali Elang tertegun mendengar penuturan Diedrich. “Realm?” Suara gumaman Elang terdengar lirih. “Kau… bagaimana Dad tahu tentang se
“Mereka telah berangkat dengan aman dan dikawal tiga jet tempur, Tuan Besar.” Suara Jeff membuyarkan lamunan Diedrich yang melipat tangannya di atas meja. “Bagus,” tukas Diedrich singkat. “Utusan Kepala Negara mengabarkan besok pagi akan tiba memenuhi undangan Tuan,” lanjut Jeff melihat Diedrich yang kembali diam. “Bagus.” Diedrich mengulang tanggapan. Ia lalu beralih pada Darek dan Ferd. “Bagaimana jasad Ridwan?” “Telah diamankan dan sesuai standar prosedur, telah dipersiapkan untuk segera di makamkan. Sesuai perintah Tuan Besar, ia akan dimakamkan di tanah keluarga.” “Ya. Einhard akan tenang dengan begitu.” Diedrich mengangguk. Ia lalu terdiam lagi. Beberapa hal yang ia syukuri telah ia lakukan atau ia miliki dalam penguasaannya. Jalur rahasia bawah tanah yang dibangun bertahun-tahun silam yang menghubungkan kediamannya hingga ke bandara di tempat jejeran pesawat jet pribadi miliknya terparkir, ternyata memiliki manfaat saat ini. Tak pernah ia duga akhirnya ia akan menggunaka
Jet pribadi Gauthier telah mendarat beberapa saat lalu.Elang berjalan bersisian dengan Aliya dengan bergandengan tangan erat.Di belakang mereka terlihat tidak ada siapapun. Namun pada kenyataannya dua puluh lebih pengawal yang menyamar dengan Glock ataupun MG-42 tersembunyi di balik pakaiannya, berjalan teratur dengan pandangan waspada dan berbaur, seolah menjadi penumpang umum.Aliya mengangkat wajah dan mendapati, di depan sana --sekitar lima belas meter darinya-- berdiri Dean, Agni dan Agung menunggu mereka.Setelah melihat dirinya, Agni berlari mendekat dan langsung menubruk Elang dan Aliya dengan tangan terentang memeluk keduanya.“Bang…” Agni tercekat. “Bang Ridwan…”Elang terdiam, namun tangannya menepuk punggung Agni. Wajah tampan pucat Elang memaksakan senyuman. “Agni. Kami sudah kembali.”Dean berjalan dengan langkah tak tergesa, ikut mendekati mereka bertiga.Begitu ia tiba di hadapan Elang, pandangan mata mereka bertemu. Tak ada kata terucapkan, hanya ungkapan keprihatin
“Maafin Aliya Ma,” Aliya menunduk dengan penuh penyesalan.“Tidak apa-apa, Al. Itu hanya kalung. Benda. Bisa diganti,” hibur Laila sambil memegang tangan Aliya. “Jangan sedih, Al. Kau kan tidak sengaja menjatuhkannya.”Aliya diam tak menjawab. Meskipun sang mama berkata demikian, dalam hatinya tetap merasa bersalah karena telah menghilangkan kalung pemberian dari mamanya itu.“Bagaimana bulan madu kalian? Ayahmu bagaimana, Elang?” Demi melihat putrinya masih tenggelam dalam perasaan bersalah, Laila mengubah topik pembicaraan mereka malam itu.Putri dan menantunya datang berkunjung belum lama tadi. Mengantarkan buah tangan dan menjenguk Laila serta Adnan. Namun Adnan masih belum kembali dari mengikuti tahlilan salah satu tetangga mereka di RT sebelah.Tentu saja Laila tidak ingin Aliya berlarut dalam kemurungan itu ketika nanti suaminya datang dan melihat putri sulung beserta menantunya di rumah mereka.“Baik Ma,” jawab Aliya mendahului Elang yang hendak membuka mulutnya. “Papa Diedric
“Aku tidak menyangka bahwa sepertinya kakek mengetahui tentang diriku, jauh sebelumnya,” Aliya memecah keheningan di dalam mobil saat dirinya dan Elang selesai dari rumah Laila dan Adnan. Kini mereka dalam perjalanan pulang kembali ke rumah mereka. “Bagaimana hubungan dan interaksimu dengan kakek, Liebling?” Elang bertanya dengan mata memperhatikan jalan di depannya. “Tidak terlalu kuingat. Karena kakek meninggal saat aku berusia sekitar empat atau lima tahun. Lagipula Mama dan Papa jarang membawaku ke sana. Papa kan sering mutasi saat masih menjadi pegawai BUMN. Kami bahkan pernah tinggal di pulau Sumatera sekitar tiga tahunan,” Aliya menjawab sambil mengenang masa kecilnya dulu. “Tidak ada yang istimewa dalam ingatanku bersama kakek. Kalau kakek dari pihak mama, aku memang cukup dekat. Kakek dari pihak mama meninggal saat aku sudah SMA,” lanjut Aliya. “Hm.” “Apa kau berpikir bahwa kakek seorang elemen? Tapi elemen apa?” Aliya menoleh pada El
“Ka-kamu?!!” tanpa sadar Aliya berseru kencang. Seseorang yang langsung merangkul erat dirinya itu menambah keterkejutan dengan pecahnya suara tangisan haru. “Thanks God kamu baik-baik aja sis. Thanks God…” Wanita yang melingkarkan kedua lengannya pada leher Aliya itu terbata-bata mengucapkan rasa syukurnya bisa bertemu Aliya dan melihat Aliya dalam keadaan sehat. Belum Aliya merespon apa-apa, suara derap langkah kaki datang dengan cepat ke dalam ruang tamu dari arah belakang Aliya, disusul sentakan panik yang membuat kepala Aliya seketika terasa berdenyut. “Heh, apa-apaan lu? Lepasin tu tangan!” Agni, mendekat ke arah Aliya yang tengah didekap erat di area leher hingga membuat Aliya sedikit susah bernapas. Wanita yang dibentak Agni itu mengangkat kepala dari bahu Aliya dan dengan mata melotot menyentak balik. “Lu siapa? Kok ada di rumah Aliya saat lakinya ga ada?” tembaknya langsung. Wanita muda itu, Hana, sempat mengerjap beberapa kali dengan ekspresi terkesima saat melihat
Hana selesai menggulung rambut basahnya dengan handuk lalu berbalik menuju Aliya yang tengah duduk santai di ranjang kamar yang ia tempati. Hana juga terlihat lebih rileks dengan mengenakan kaos serta celana panjang yang juga berbahan kaos. “Ah sumpah ya… ganteng banget itu yang namanya Dean. Buat gue aja lah sis,” cetus Hana sambil menghempaskan bokongnya bersisian dengan Aliya yang mengulum senyum. Dean memang tadi masuk ke ruang makan sambil menenteng travel bag milik Hana yang sempat diletakkan Agni di gudang belakang. Sungguh Aliya bersyukur, kedatangan Dean mengurungkan terjadinya peperangan yang nyaris pecah hanya karena tas Hana yang iseng Agni simpan di tempat tak semestinya. Setelah Dean dengan hati-hati menyimpan travel bag itu ke kamar yang ditempati Hana, ia langsung kembali ke belakang setelah menyapa ringan Hana yang dikenalkan Aliya padanya. Dean pun mengamankan situasi dengan menggeret Agni keluar bersamanya. “Dih dia ngga jawab. Ngga rela ya?” ledek Hana pada Al
Mansion Gauthier, beberapa jam sebelumnya. “Tuan,” Darek menegur Diedrich yang telah beberapa lama terdiam di atas kursi kebesarannya. Ia beserta Ferd menunggu keputusan Diedrich terhadap sesuatu. Jeff pun tampak berdiri menunggu, tak jauh dari Darek dan Ferd. Sementara Loathe berdiri di samping Diedrich. “Seberapa besar kerusakannya?” Suara datar Diedrich menghempas kesunyian. “Lapisan luar tersisa tiga puluh persen, Tuan. Persenjataan berat hampir seluruhnya nyaris hancur dilalap api panas,” jawab Darek. “Bagaimana dengan jawaban pihak pemerintah?” Kali ini pertanyaan itu diarahkan pada Jeff. Jeff menunduk. “Mereka lepas tangan. Begitu mengetahui aliran misterius ini yang mengincar Gauthier, mereka mengatakan agar kita tidak berharap banyak pada mereka.” Diedrich tersenyum sinis. “Setelah apa yang kulakukan untuk membantu sialan itu naik tahta, rupanya ini balasannya? Mereka hanya ingin menyelamatkan pantat mereka sendiri.” “Saya pikir keluarga rival Anda telah mendekati d