Masih segar dalam ingatannya, pesan Dean dan Elang padanya. Jika Aliya dalam kondisi terjepit, Aliya harus tetap tenang agar energi miliknya yang terkunci tidak tanpa sengaja terpancar dan memancing musuh lebih banyak lagi.
Otaknya pun berpikir cepat dan merasakan ada yang aneh dengan musuh-musuh itu. Apakah Aliya memang telah memancarkan energinya? Mengapa musuh seakan selalu tahu keberadaan Aliya?
Jika pengejaran saat ini dikarenakan Aliya tengah panik dan tanpa sengaja mengeluarkan getaran energi miliknya, tapi bagaimana dengan saat Aliya masih bersama Elang di Königsallee, bukankah Aliya dalam keadaan tenang? Bahkan cenderung sedang bahagia dan senang?
Lalu bagaimana musuh itu bisa sampai di sana dan mengetahui keberadaan Aliya di Königsallee?
Musuh bahkan mengirim elemen-elemen dalam level yang tinggi hingga bisa mengimbangi Agan-nya, yang ia dengar dari Dean, Agni dan lainnya, adalah sebagai elemen tinggi yan
“Wan…” Bibir Aliya bergetar dan bergerak-gerak. Tenggorokan serta kedua matanya begitu perih. Telinganya berdenging, sekitarnya seolah berhenti bergerak dan ia tak mampu menangkap suara apapun. ‘Ridwan…’ Mobil sejenis Jeep diiringi lima SUV Dartz lainnya tiba di tempat Aliya berdiri. Namun Aliya tidak menyadarinya. Ia tetap berdiri di tempatnya seolah telah membatu. Pintu mobil jeep terbuka, dua pria dan satu wanita bergegas turun. Ia menghampiri Aliya. “Nyonya Muda.” Darek, memanggil Aliya. Namun tak peduli berapa kali Darek dan Ferd memanggil Aliya, Aliya membisu dan membatu di sana. Dengan mata terpaku ke arah Range Rover yang telah ringsek. “Nyonya. Maaf,” usai mengucapkan dua kata itu, Darek menotok satu titik di area leher Aliya hingga Aliya langsung tidak sadarkan diri. Wanita yang tadi turun bersama Darek dan Ferd, bergerak maju dengan cepat menangkap tubuh Aliya yang pingsan. Lalu dengan gerakan cepat, ia mengangkat tubuh Aliya dibantu Darek. Wanita bertubuh tinggi da
Elang menatap ayahnya dengan raut wajah berubah dingin. Namun Diedrich mengangkat sebelah tangan dan dengan cepat ia meneruskan kalimatnya ketika Elang tampak akan membuka suara. “Ayah bukan mengusirmu karena takut. Ayah akan membantu kalian berdua. Kalian kembali dan biarkan mereka mencari istrimu di negara ini untuk sekian waktu.” Tatapan Elang kini berbalik menyiratkan ketertegunan. Ia diam menunggu kalimat selanjutnya dari Diedrich. “Pulang ke Indonesia. Seharusnya istrimu lebih aman di sana, karena di negara kelahiran istrimu, ada empat benteng dari tiap Realm Elemen. Mereka adalah keluarga berdarah elemen sejati. Turun temurun memiliki kemampuan elemennya. Namun keberadaan mereka tersembunyi dan hanya akan menampakkan diri jika mereka merasa itu sudah waktunya. Mereka adalah pilar luar untuk melindungi Ratu Bumi. Selain Para Penjaga Inti.” Kembali Elang tertegun mendengar penuturan Diedrich. “Realm?” Suara gumaman Elang terdengar lirih. “Kau… bagaimana Dad tahu tentang se
“Mereka telah berangkat dengan aman dan dikawal tiga jet tempur, Tuan Besar.” Suara Jeff membuyarkan lamunan Diedrich yang melipat tangannya di atas meja. “Bagus,” tukas Diedrich singkat. “Utusan Kepala Negara mengabarkan besok pagi akan tiba memenuhi undangan Tuan,” lanjut Jeff melihat Diedrich yang kembali diam. “Bagus.” Diedrich mengulang tanggapan. Ia lalu beralih pada Darek dan Ferd. “Bagaimana jasad Ridwan?” “Telah diamankan dan sesuai standar prosedur, telah dipersiapkan untuk segera di makamkan. Sesuai perintah Tuan Besar, ia akan dimakamkan di tanah keluarga.” “Ya. Einhard akan tenang dengan begitu.” Diedrich mengangguk. Ia lalu terdiam lagi. Beberapa hal yang ia syukuri telah ia lakukan atau ia miliki dalam penguasaannya. Jalur rahasia bawah tanah yang dibangun bertahun-tahun silam yang menghubungkan kediamannya hingga ke bandara di tempat jejeran pesawat jet pribadi miliknya terparkir, ternyata memiliki manfaat saat ini. Tak pernah ia duga akhirnya ia akan menggunaka
Jet pribadi Gauthier telah mendarat beberapa saat lalu.Elang berjalan bersisian dengan Aliya dengan bergandengan tangan erat.Di belakang mereka terlihat tidak ada siapapun. Namun pada kenyataannya dua puluh lebih pengawal yang menyamar dengan Glock ataupun MG-42 tersembunyi di balik pakaiannya, berjalan teratur dengan pandangan waspada dan berbaur, seolah menjadi penumpang umum.Aliya mengangkat wajah dan mendapati, di depan sana --sekitar lima belas meter darinya-- berdiri Dean, Agni dan Agung menunggu mereka.Setelah melihat dirinya, Agni berlari mendekat dan langsung menubruk Elang dan Aliya dengan tangan terentang memeluk keduanya.“Bang…” Agni tercekat. “Bang Ridwan…”Elang terdiam, namun tangannya menepuk punggung Agni. Wajah tampan pucat Elang memaksakan senyuman. “Agni. Kami sudah kembali.”Dean berjalan dengan langkah tak tergesa, ikut mendekati mereka bertiga.Begitu ia tiba di hadapan Elang, pandangan mata mereka bertemu. Tak ada kata terucapkan, hanya ungkapan keprihatin
“Maafin Aliya Ma,” Aliya menunduk dengan penuh penyesalan.“Tidak apa-apa, Al. Itu hanya kalung. Benda. Bisa diganti,” hibur Laila sambil memegang tangan Aliya. “Jangan sedih, Al. Kau kan tidak sengaja menjatuhkannya.”Aliya diam tak menjawab. Meskipun sang mama berkata demikian, dalam hatinya tetap merasa bersalah karena telah menghilangkan kalung pemberian dari mamanya itu.“Bagaimana bulan madu kalian? Ayahmu bagaimana, Elang?” Demi melihat putrinya masih tenggelam dalam perasaan bersalah, Laila mengubah topik pembicaraan mereka malam itu.Putri dan menantunya datang berkunjung belum lama tadi. Mengantarkan buah tangan dan menjenguk Laila serta Adnan. Namun Adnan masih belum kembali dari mengikuti tahlilan salah satu tetangga mereka di RT sebelah.Tentu saja Laila tidak ingin Aliya berlarut dalam kemurungan itu ketika nanti suaminya datang dan melihat putri sulung beserta menantunya di rumah mereka.“Baik Ma,” jawab Aliya mendahului Elang yang hendak membuka mulutnya. “Papa Diedric
“Aku tidak menyangka bahwa sepertinya kakek mengetahui tentang diriku, jauh sebelumnya,” Aliya memecah keheningan di dalam mobil saat dirinya dan Elang selesai dari rumah Laila dan Adnan. Kini mereka dalam perjalanan pulang kembali ke rumah mereka. “Bagaimana hubungan dan interaksimu dengan kakek, Liebling?” Elang bertanya dengan mata memperhatikan jalan di depannya. “Tidak terlalu kuingat. Karena kakek meninggal saat aku berusia sekitar empat atau lima tahun. Lagipula Mama dan Papa jarang membawaku ke sana. Papa kan sering mutasi saat masih menjadi pegawai BUMN. Kami bahkan pernah tinggal di pulau Sumatera sekitar tiga tahunan,” Aliya menjawab sambil mengenang masa kecilnya dulu. “Tidak ada yang istimewa dalam ingatanku bersama kakek. Kalau kakek dari pihak mama, aku memang cukup dekat. Kakek dari pihak mama meninggal saat aku sudah SMA,” lanjut Aliya. “Hm.” “Apa kau berpikir bahwa kakek seorang elemen? Tapi elemen apa?” Aliya menoleh pada El
“Ka-kamu?!!” tanpa sadar Aliya berseru kencang. Seseorang yang langsung merangkul erat dirinya itu menambah keterkejutan dengan pecahnya suara tangisan haru. “Thanks God kamu baik-baik aja sis. Thanks God…” Wanita yang melingkarkan kedua lengannya pada leher Aliya itu terbata-bata mengucapkan rasa syukurnya bisa bertemu Aliya dan melihat Aliya dalam keadaan sehat. Belum Aliya merespon apa-apa, suara derap langkah kaki datang dengan cepat ke dalam ruang tamu dari arah belakang Aliya, disusul sentakan panik yang membuat kepala Aliya seketika terasa berdenyut. “Heh, apa-apaan lu? Lepasin tu tangan!” Agni, mendekat ke arah Aliya yang tengah didekap erat di area leher hingga membuat Aliya sedikit susah bernapas. Wanita yang dibentak Agni itu mengangkat kepala dari bahu Aliya dan dengan mata melotot menyentak balik. “Lu siapa? Kok ada di rumah Aliya saat lakinya ga ada?” tembaknya langsung. Wanita muda itu, Hana, sempat mengerjap beberapa kali dengan ekspresi terkesima saat melihat
Hana selesai menggulung rambut basahnya dengan handuk lalu berbalik menuju Aliya yang tengah duduk santai di ranjang kamar yang ia tempati. Hana juga terlihat lebih rileks dengan mengenakan kaos serta celana panjang yang juga berbahan kaos. “Ah sumpah ya… ganteng banget itu yang namanya Dean. Buat gue aja lah sis,” cetus Hana sambil menghempaskan bokongnya bersisian dengan Aliya yang mengulum senyum. Dean memang tadi masuk ke ruang makan sambil menenteng travel bag milik Hana yang sempat diletakkan Agni di gudang belakang. Sungguh Aliya bersyukur, kedatangan Dean mengurungkan terjadinya peperangan yang nyaris pecah hanya karena tas Hana yang iseng Agni simpan di tempat tak semestinya. Setelah Dean dengan hati-hati menyimpan travel bag itu ke kamar yang ditempati Hana, ia langsung kembali ke belakang setelah menyapa ringan Hana yang dikenalkan Aliya padanya. Dean pun mengamankan situasi dengan menggeret Agni keluar bersamanya. “Dih dia ngga jawab. Ngga rela ya?” ledek Hana pada Al
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj