Ridwan bergerak cepat menarik tangan Aliya lalu menyeretnya pergi.
Elang menghembus napas lega. Ia kini bisa bersungguh-sungguh dan mengeluarkan segenap energinya untuk menaklukkan kedua musuhnya.
Meskipun keduanya berada di tingkat bawah Elang, namun mereka sama-sama berada di Level Dua. Elang yang berada pada Tingkat Menengah, menghadapi dua orang yang berada satu tingkat di bawahnya, setidaknya membutuhkan kesungguhan untuk bisa menjatuhkan mereka berdua.
Ia cukup kaget. Terdapat tiga orang pada Level Dua yang menghadang mereka. Bukankah Level Dua adalah termasuk level luar biasa? Tidak sembarang orang sampai pada level ini.
Namun lihatlah, hanya dalam satu hari, ia harus berhadapan dengan tiga orang ber-Level Dua. Jika ia tidak di back-up oleh tim bodyguard Gauthier, ia pasti akan kesulitan menghadapi ketiganya sekaligus.
Sementara itu di dalam mobil. Ridwan berhasil membawa Aliya masuk ke dalam mobil dan melesat cepat meninggalkan Königsa
Masih segar dalam ingatannya, pesan Dean dan Elang padanya. Jika Aliya dalam kondisi terjepit, Aliya harus tetap tenang agar energi miliknya yang terkunci tidak tanpa sengaja terpancar dan memancing musuh lebih banyak lagi. Otaknya pun berpikir cepat dan merasakan ada yang aneh dengan musuh-musuh itu. Apakah Aliya memang telah memancarkan energinya? Mengapa musuh seakan selalu tahu keberadaan Aliya?Jika pengejaran saat ini dikarenakan Aliya tengah panik dan tanpa sengaja mengeluarkan getaran energi miliknya, tapi bagaimana dengan saat Aliya masih bersama Elang di Königsallee, bukankah Aliya dalam keadaan tenang? Bahkan cenderung sedang bahagia dan senang?Lalu bagaimana musuh itu bisa sampai di sana dan mengetahui keberadaan Aliya di Königsallee?Musuh bahkan mengirim elemen-elemen dalam level yang tinggi hingga bisa mengimbangi Agan-nya, yang ia dengar dari Dean, Agni dan lainnya, adalah sebagai elemen tinggi yan
“Wan…” Bibir Aliya bergetar dan bergerak-gerak. Tenggorokan serta kedua matanya begitu perih. Telinganya berdenging, sekitarnya seolah berhenti bergerak dan ia tak mampu menangkap suara apapun. ‘Ridwan…’ Mobil sejenis Jeep diiringi lima SUV Dartz lainnya tiba di tempat Aliya berdiri. Namun Aliya tidak menyadarinya. Ia tetap berdiri di tempatnya seolah telah membatu. Pintu mobil jeep terbuka, dua pria dan satu wanita bergegas turun. Ia menghampiri Aliya. “Nyonya Muda.” Darek, memanggil Aliya. Namun tak peduli berapa kali Darek dan Ferd memanggil Aliya, Aliya membisu dan membatu di sana. Dengan mata terpaku ke arah Range Rover yang telah ringsek. “Nyonya. Maaf,” usai mengucapkan dua kata itu, Darek menotok satu titik di area leher Aliya hingga Aliya langsung tidak sadarkan diri. Wanita yang tadi turun bersama Darek dan Ferd, bergerak maju dengan cepat menangkap tubuh Aliya yang pingsan. Lalu dengan gerakan cepat, ia mengangkat tubuh Aliya dibantu Darek. Wanita bertubuh tinggi da
Elang menatap ayahnya dengan raut wajah berubah dingin. Namun Diedrich mengangkat sebelah tangan dan dengan cepat ia meneruskan kalimatnya ketika Elang tampak akan membuka suara. “Ayah bukan mengusirmu karena takut. Ayah akan membantu kalian berdua. Kalian kembali dan biarkan mereka mencari istrimu di negara ini untuk sekian waktu.” Tatapan Elang kini berbalik menyiratkan ketertegunan. Ia diam menunggu kalimat selanjutnya dari Diedrich. “Pulang ke Indonesia. Seharusnya istrimu lebih aman di sana, karena di negara kelahiran istrimu, ada empat benteng dari tiap Realm Elemen. Mereka adalah keluarga berdarah elemen sejati. Turun temurun memiliki kemampuan elemennya. Namun keberadaan mereka tersembunyi dan hanya akan menampakkan diri jika mereka merasa itu sudah waktunya. Mereka adalah pilar luar untuk melindungi Ratu Bumi. Selain Para Penjaga Inti.” Kembali Elang tertegun mendengar penuturan Diedrich. “Realm?” Suara gumaman Elang terdengar lirih. “Kau… bagaimana Dad tahu tentang se
“Mereka telah berangkat dengan aman dan dikawal tiga jet tempur, Tuan Besar.” Suara Jeff membuyarkan lamunan Diedrich yang melipat tangannya di atas meja. “Bagus,” tukas Diedrich singkat. “Utusan Kepala Negara mengabarkan besok pagi akan tiba memenuhi undangan Tuan,” lanjut Jeff melihat Diedrich yang kembali diam. “Bagus.” Diedrich mengulang tanggapan. Ia lalu beralih pada Darek dan Ferd. “Bagaimana jasad Ridwan?” “Telah diamankan dan sesuai standar prosedur, telah dipersiapkan untuk segera di makamkan. Sesuai perintah Tuan Besar, ia akan dimakamkan di tanah keluarga.” “Ya. Einhard akan tenang dengan begitu.” Diedrich mengangguk. Ia lalu terdiam lagi. Beberapa hal yang ia syukuri telah ia lakukan atau ia miliki dalam penguasaannya. Jalur rahasia bawah tanah yang dibangun bertahun-tahun silam yang menghubungkan kediamannya hingga ke bandara di tempat jejeran pesawat jet pribadi miliknya terparkir, ternyata memiliki manfaat saat ini. Tak pernah ia duga akhirnya ia akan menggunaka
Jet pribadi Gauthier telah mendarat beberapa saat lalu.Elang berjalan bersisian dengan Aliya dengan bergandengan tangan erat.Di belakang mereka terlihat tidak ada siapapun. Namun pada kenyataannya dua puluh lebih pengawal yang menyamar dengan Glock ataupun MG-42 tersembunyi di balik pakaiannya, berjalan teratur dengan pandangan waspada dan berbaur, seolah menjadi penumpang umum.Aliya mengangkat wajah dan mendapati, di depan sana --sekitar lima belas meter darinya-- berdiri Dean, Agni dan Agung menunggu mereka.Setelah melihat dirinya, Agni berlari mendekat dan langsung menubruk Elang dan Aliya dengan tangan terentang memeluk keduanya.“Bang…” Agni tercekat. “Bang Ridwan…”Elang terdiam, namun tangannya menepuk punggung Agni. Wajah tampan pucat Elang memaksakan senyuman. “Agni. Kami sudah kembali.”Dean berjalan dengan langkah tak tergesa, ikut mendekati mereka bertiga.Begitu ia tiba di hadapan Elang, pandangan mata mereka bertemu. Tak ada kata terucapkan, hanya ungkapan keprihatin
“Maafin Aliya Ma,” Aliya menunduk dengan penuh penyesalan.“Tidak apa-apa, Al. Itu hanya kalung. Benda. Bisa diganti,” hibur Laila sambil memegang tangan Aliya. “Jangan sedih, Al. Kau kan tidak sengaja menjatuhkannya.”Aliya diam tak menjawab. Meskipun sang mama berkata demikian, dalam hatinya tetap merasa bersalah karena telah menghilangkan kalung pemberian dari mamanya itu.“Bagaimana bulan madu kalian? Ayahmu bagaimana, Elang?” Demi melihat putrinya masih tenggelam dalam perasaan bersalah, Laila mengubah topik pembicaraan mereka malam itu.Putri dan menantunya datang berkunjung belum lama tadi. Mengantarkan buah tangan dan menjenguk Laila serta Adnan. Namun Adnan masih belum kembali dari mengikuti tahlilan salah satu tetangga mereka di RT sebelah.Tentu saja Laila tidak ingin Aliya berlarut dalam kemurungan itu ketika nanti suaminya datang dan melihat putri sulung beserta menantunya di rumah mereka.“Baik Ma,” jawab Aliya mendahului Elang yang hendak membuka mulutnya. “Papa Diedric
“Aku tidak menyangka bahwa sepertinya kakek mengetahui tentang diriku, jauh sebelumnya,” Aliya memecah keheningan di dalam mobil saat dirinya dan Elang selesai dari rumah Laila dan Adnan. Kini mereka dalam perjalanan pulang kembali ke rumah mereka. “Bagaimana hubungan dan interaksimu dengan kakek, Liebling?” Elang bertanya dengan mata memperhatikan jalan di depannya. “Tidak terlalu kuingat. Karena kakek meninggal saat aku berusia sekitar empat atau lima tahun. Lagipula Mama dan Papa jarang membawaku ke sana. Papa kan sering mutasi saat masih menjadi pegawai BUMN. Kami bahkan pernah tinggal di pulau Sumatera sekitar tiga tahunan,” Aliya menjawab sambil mengenang masa kecilnya dulu. “Tidak ada yang istimewa dalam ingatanku bersama kakek. Kalau kakek dari pihak mama, aku memang cukup dekat. Kakek dari pihak mama meninggal saat aku sudah SMA,” lanjut Aliya. “Hm.” “Apa kau berpikir bahwa kakek seorang elemen? Tapi elemen apa?” Aliya menoleh pada El
“Ka-kamu?!!” tanpa sadar Aliya berseru kencang. Seseorang yang langsung merangkul erat dirinya itu menambah keterkejutan dengan pecahnya suara tangisan haru. “Thanks God kamu baik-baik aja sis. Thanks God…” Wanita yang melingkarkan kedua lengannya pada leher Aliya itu terbata-bata mengucapkan rasa syukurnya bisa bertemu Aliya dan melihat Aliya dalam keadaan sehat. Belum Aliya merespon apa-apa, suara derap langkah kaki datang dengan cepat ke dalam ruang tamu dari arah belakang Aliya, disusul sentakan panik yang membuat kepala Aliya seketika terasa berdenyut. “Heh, apa-apaan lu? Lepasin tu tangan!” Agni, mendekat ke arah Aliya yang tengah didekap erat di area leher hingga membuat Aliya sedikit susah bernapas. Wanita yang dibentak Agni itu mengangkat kepala dari bahu Aliya dan dengan mata melotot menyentak balik. “Lu siapa? Kok ada di rumah Aliya saat lakinya ga ada?” tembaknya langsung. Wanita muda itu, Hana, sempat mengerjap beberapa kali dengan ekspresi terkesima saat melihat