Thanks GoodReaders telah membaca sampai bab ini... Jangan lupa beri komen dan bantu bintangnya ya. Terima kasih... ^,^
“Jadi Aliya sekarang sudah tenang?” Suara dalam milik Dean terdengar dari arah ruang makan. Tak lama ia muncul ke ruang tamu dengan membawa dua gelas berisi kopi yang ia buat. Ia letakkan satu di depan Elang dan satu untuk dirinya sendiri. “Hm. Ya,” respon Elang singkat. Ia membuka kedua kancing manset dan menggulung sedikit ujung lengan kemeja panjangnya. Dean mengambil tempat di sofa singel sisi kanan Elang. Lalu duduk santai. Kepala Elang terangkat sedikit lalu menatap lurus pada Dean. “Jangan tanya pada saya, mengapa istrimu bermimpi tentang saya,” Dean berkata sebelum Elang sempat membuka mulutnya. “Menurutmu itu mimpi?” Dean mengangkat kedua bahunya. “Saya tidak tahu pasti.” “Yang jelas itu bukan dunia sukma, Einhard,” tambah Dean. “Tapi saya masih belum terlalu jelas apa yang dimaksud dengan mimpi Aliya itu.” Elang menyandarkan punggungnya ke belakang. Dalam hati ia mengakui, ia tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang mimpi Aliya itu. Dirinya tidak bertanya lebih
Kembali ke kediaman Elang dan Aliya, di kamar tidur utama. Aliya terlihat membawakan set pakaian santai yang berupa kaos dan celana panjang untuk salin suaminya. Dengan cekatan ia membantu Elang membuka satu persatu kancing kemeja yang dikenakan Elang. Bergeming, Elang membiarkan jemari istrinya melakukan itu untuknya. Dengan tatapan penuh kasih ia arahkan pada wajah Aliya yang tampak menunduk. Ia berdehem kecil. Teringat percakapan penutupan dirinya dengan Dean saat di basecamp Lembang tadi, soal keberangkatan Elang dan Aliya ke Jerman besok malam. Dengan kenyataan bahwa Aliya mengalami ‘vision’ atas masa lalu, mereka mempertimbangkan ulang tentang kepergian ke Jerman itu. Mereka tidak terlalu yakin, apakah dengan aksi Aliya menembus masa lalu Dean, menimbulkan efek yang bisa terdeteksi lawan atau tidak. Sehingga baik Elang maupun Dean akhirnya sampai pada kesepakatan, untuk menunda kepergian ke Jerman setelah Aliya setuju dengan hal tersebut. “Liebling,” Elang membuka suara.
Entah sudah berapa belas jam Aliya berada dalam pesawat yang membawa mereka ke Dusseldorf, Jerman. Mereka kini dalam posisi siap landing. Elang tidak melepaskan genggaman tangannya pada Aliya, karena merasakan sikap Aliya yang cukup aneh dan banyak diam. Beberapa kali ia melirik istrinya itu, namun Aliya terus menatap ke luar jendela. “Liebling,” Elang setengah berbisik memanggil Aliya di dekat telinganya. “Kau lelah, Sunshine?” “He-em.” “Sebentar lagi kita sampai. Kita bisa istirahat segera.” “He-em,” jawab singkat lagi Aliya. Elang meraih tangan Aliya lalu memegang jam tangan yang dikenakan Aliya. “Aku akan mundurkan jam menjadi jam setengah dua belas malam. Disini lima jam lebih lambat dari Indonesia.” Aliya menoleh ke arah tangan kanannya dan memperhatikan Elang yang sedang merubah penunjuk jam. “Katakan padaku jika ada yang kau rasa sakit di tubuhmu,” ujar Elang lalu ia membimbing tangan kanan Aliya di atas pangkuannya setelah selesai mengatur ulang jam di tangan Aliya.
“Son. Einhard. Kau datang.” Diedrich bangkit dari kursi kebesarannya ketika Elang memasuki ruang luas tempat Diedrich berada. Ruang itulah ruang terakhir ia bertemu sang ayah dan mereka bersitegang di sana. Hingga akhirnya Elang mengucapkan perpisahan itu dengan ayahnya. “Dad.” Elang sedikit mengernyit tatkala mendengar Diedrich memanggilnya ‘son’. Bahkan kini ia melihat ayahnya sampai turun untuk menyambutnya. “Dimana wanita mu itu?” tanya Diedrich ketika ia tiba di dekat Elang. “Istri saya, Dad. Dan namanya Aliya. Ia sedang istirahat,” jawab Elang tanpa ekspresi. Diedrich menepuk cukup kencang lengan atas Elang, lalu memutar tubuhnya menuju sofa besar di kanan ruang. “Duduk, Einhard.” Kalimat tawaran, namun terdengar lebih seperti kalimat perintah. Elang mengikuti ayahnya menuju sofa dan duduk dengan tenang setelah ayahnya terlebih dahulu duduk. “Suasana hatiku sedang bagus. Jadi aku akan mengabaikannya untuk saat ini,” Diedrich melambaikan tangan kiri memberi kode pada seor
“I-iya Pa. Saya Aliya.” Meski tak paham dengan arti tatapan Diedrich, Aliya tetap menjawab dengan sopan. “Darek. Ferd,” Diedrich memanggil pelan kedua bodyguard elemennya itu. Baik Darek maupun Ferd maju satu langkah ke depan, menjadi lebih dekat pada Diedrich. “Ya Tuan?” “Antar… antar saya kembali ke ruangan saya,” perintah Diedrich tanpa mata teralihkan dari menatap Aliya. Aliya menoleh cepat pada Elang yang masih terdiam di tempat dan menatap lurus pada ayahnya. Diedrich bahkan tidak berkata apapun lagi dan hanya memutar kembali tubuhnya dengan diikuti oleh Darek dan Ferd. “Elang… apa aku… melakukan kesalahan?” Aliya bertanya dengan nada penuh kecemasan. Elang menggeleng. “Tidak Liebling. Kau tidak melakukan kesalahan apapun.” “Lalu mengapa Papa…” Aliya melempar kembali pandangan ke arah Diedrich pergi. “Ia bahkan belum sempat duduk.” “Ayo.” Elang menarik tangan Aliya lalu membawanya pergi dari ruang makan. Ia hanya berhenti dan berbalik sebentar kepada salah satu pelayan ya
“Elang… tempat ini cantik!” Aliya berseru tertahan. Matanya mengerjap takjub pada hamparan jalan perbelanjaan yang paling elegan di Dusseldorf. Elang membawanya ke Königsallee, suatu area real estate terkenal yang menjadi paduan eklektik dari butik eksklusif, pusat perbelanjaan mewah dan galeri seni serta berbagai restoran dan cafe. Lokasinya yang strategis karena berada di antara Alstadt dan area pejalan kaki di sekitar Berliner Strasse, membuat area ini cukup ramai meski bukan di hari libur seperti ini. “Apa kau membawaku ke sini untuk berbelanja? Aku tidak memerlukan barang apa-apa, Elang. Semua sudah lengkap di rumah,” tutur Aliya dengan mata menatap kagum satu demi satu bangunan yang berjajar di seberang kedua sisi parit kota tua itu. “Bukan, Liebling. Kita hanya berjalan-jalan saja. Kecuali kau memang ingin melihat sesuatu dan tertarik membelinya,” kata Elang. “Belanja we atuh teh. Mumpung disini. Sekalian cari oleh-oleh buat Mama Papa dan adik-adik teteh,” Ridwan menimpali
“Liebling, tetap tenang,” Elang berkata tanpa menolehkan kepalanya. Pandangan juga sikap tubuhnya dalam siaga penuh. Aliya menatap nanar sang suami yang berdiri tak jauh di depannya lalu kepala yang bergerak pelan, dengan mata memindai ke dua puluh orang yang mengepung mereka. Bagaimana ia dan Elang akan bisa lolos dari mereka semua? HIAAAHH!!! Sepuluh orang dari dua puluh pengepung berteriak dan maju bersamaan. Membuat jantung Aliya berhenti berdegup. Namun ia kemudian terbelalak ketika melihat ternyata sepuluh orang itu menyerbu ke arah pria berpakaian hitam. Sementara Elang hanya berdiri tegap tanpa perubahan gerak, seakan sudah tahu sejak awal bahwa ke dua puluh pengepung itu, bukanlah musuhnya. DHUAAGG! DHAAGG!! BUUUUGGHH!! Lima dari sepuluh penyerang, terpental ketika baru merangsek beberapa langkah. Lima yang lain berhasil lebih mendekat, namun tetap bernasib sama. Terpental ke belakang dan jatuh berguling. Namun ke sepuluh orang itu langsung bangun dengan gerakan cep
Ridwan bergerak cepat menarik tangan Aliya lalu menyeretnya pergi.Elang menghembus napas lega. Ia kini bisa bersungguh-sungguh dan mengeluarkan segenap energinya untuk menaklukkan kedua musuhnya.Meskipun keduanya berada di tingkat bawah Elang, namun mereka sama-sama berada di Level Dua. Elang yang berada pada Tingkat Menengah, menghadapi dua orang yang berada satu tingkat di bawahnya, setidaknya membutuhkan kesungguhan untuk bisa menjatuhkan mereka berdua.Ia cukup kaget. Terdapat tiga orang pada Level Dua yang menghadang mereka. Bukankah Level Dua adalah termasuk level luar biasa? Tidak sembarang orang sampai pada level ini.Namun lihatlah, hanya dalam satu hari, ia harus berhadapan dengan tiga orang ber-Level Dua. Jika ia tidak di back-up oleh tim bodyguard Gauthier, ia pasti akan kesulitan menghadapi ketiganya sekaligus.Sementara itu di dalam mobil. Ridwan berhasil membawa Aliya masuk ke dalam mobil dan melesat cepat meninggalkan Königsa
Hai GoodReaders!! Akhirnya “Istri Ku Sang Ratu Bumi” telah sampai di penghujung cerita. Terima kasih banyak untuk seluruh GoodReaders yang dengan setia mengikuti kisah ini hingga akhir. Author mohon maaf jika pada tulisan yang GoodReaders baca dalam cerita ini, masih ditemukan banyak typo atau kata-kata rancu dan hal lain yang tanpa sadar Author lakukan. Author berharap GoodReaders dapat menikmati juga menyukai karya ini. Adakah kesan dan pesan kalian untuk Author? Would love to know it! Adakah tokoh favorit kalian? Aliya? Elang? Dean? Agni? Atau lainnya? Author dengan senang hati membaca kesan kalian dan pesan kalian untuk mereka :D Jangan lupakan untuk memberi review di luar buku ya… Bintang lima dari kalian akan menambah semangat author melanjutkan Session 2 buku ini. Sambil menunggu, kalian bisa buka karya on going Author dengan judul “Dibuang Mantan, Dikejar CEO Sultan”. Love-love yang banyak untuk kalian semua! Sampai Jumpa di karya-karya Author lainnya…. Luv U!!
Mereka semua telah menjadi bagian dari keluarga bagi Aliya. Keluarga kedua yang berbeda dunia. Dunia aneh penuh kejutan yang hidup berdampingan dengan manusia umumnya. Siapa yang pernah menyangka, ternyata sejak lama ada kehidupan seperti ini di tengah-tengah kehidupan normalnya dahulu? Kini tatapan Aliya membidik pada sang suami, Einhard Sovann Gauthier. Pria tampan yang tampak asyik mengajak putri mereka berbicara. Meski demikian, tak dapat dipungkiri, Aliya bisa merasakan sesuatu yang menekan kuat yang terpancar dari Elang. Meski pria tampan itu tengah bermain dengan bayi mungil, namun aura kekuasaan nan tenang dan terkendali, menyelimuti suaminya. Membuat siapapun tak kuasa menentang dan menghindari membuat masalah dengannya. Senyum di bibir Aliya kian merekah. Matanya berbinar menangkap pemandangan yang begitu menyejukkan hatinya itu. Fayza tampak tergelak ketika hidung Elang menyerbu perut mungil sang putri. Hatinya begitu damai melihat semua pemandangan yang ada di sekit
“Sekali lagi aku minta maaf, Dean. Sungguh…”Dean menghela napas pelan. “Apa yang kau bicarakan, Al?”Ia terhenti karena teko yang dipanaskan Aliya telah berbunyi.“Biar aku saja,” katanya sembari berjalan mendekat untuk mematikan kompor lalu mengangkat teko dan menuangkannya ke dua cangkir dan empat gelas belimbing yang telah diisikan kopi dan gula oleh Aliya sebelumnya.Tangannya mengaduk telaten setiap gelasnya. “Jika kau berpikir kepergianku karena berada di dekatmu itu menyakitkan untukku dan untuk menjauh darimu, kau keliru Aliya.”“Aku pergi karena memang ada sesuatu yang harus kulakukan. Dan itu baru bisa kulakukan saat ini, ketika situasi di sini telah kondusif. Einhard seorang elemen yang kini berada di ambang Level Satu. Einhard seorang diri, sudah bisa menakuti semua elemen yang ada di sini saat ini, Al.”Dean selesai mengaduk dan meletakkan sendok ke bak cuci piring dan melanjutkan. “Sekalipun aku pergi, kita sekarang punya Nawidi yang seorang Level Dua Tingkat Tertinggi.
“Einhard, duduk di sini,” Dean beralih pada Elang yang berdiri di sebelah Aliya. Elang lalu menggamit pergelangan tangan Aliya dan menariknya untuk duduk di antara Dean dan Nawidi. Dengan patuh Aliya mengikuti suaminya dan membalas semua sapaan dari Agni dan teman-teman elemen lainnya dengan hangat. “Fayza di mana?” tanya Dean lagi setelah Elang dan Aliya duduk. “Kami tinggalkan di rumah dulu dengan bi Sumi dan Asih,” jawab Elang. Tangannya menerima sodoran jagung bakar dari Dean. “Thanks.” “Liebling, kau mau?” Elang mengoper jagung bakar itu ke Aliya. “Ngga, Liebe. Kau aja,” tolak Aliya. Ia melemparkan pandangan ke sekeliling, lalu beralih pada Dean. “Kau mau kemana? Pertanyaanku tadi belum di jawab.” Dean tersenyum. “Aku ada kerjaan di Botswana, Al.” “Apa?? Botswana? Afrika??” Mata Aliya membulat. “Jauh banget. Ada apa di sana?” “Emm… Kerjaan lama ku.” “Liebling, bisa tolong buatkan kopi untukku?” Elang menyentuh lengan istrinya itu. “Aku--” Tatapan Aliya beralih pada Elang
“Gung, dulu gimana si cewek itu. Lu buang kemana?” “Ya kali, dia barang. Main buang-buang aja.” Agung meringis. Bukan karena luka di tangan kiri yang ia derita setelah latihan tadi. Namun karena mendengar pertanyaan Agni. “Kok baru nanya sekarang?” tanyanya dengan tangan yang sibuk mengulur kain kasa panjang untuk membalut luka-luka di sela tangannya. “Gue baru kepo, Gung. Asli, waktu itu gue eneg banget denger nama tu cewek. Baru kali ini gue agak legaan,” tukas Agni sambil membantu Agung menggunting kasa tersebut, merobek ujungnya lalu mengikatnya kuat. “Ish! Pelan-pelan, Ni.” “Jangan cengeng lu.” Agni mengoles antiseptik pada bekas luka lain di tangan kanan Agung. Meski tidak sedalam luka di tangan kiri, namun tetap saja menggambarkan betapa keras latihan yang baru saja ditempuh Agung. “Lain kali lu perhitungkan ritme serangan si bang Nawi, Gung. Dia punya pola sendiri dengan alter variasinya. Pas bagian lu, itu pola yang dia gunain waktu nyerang gue latihan kemaren,” tutur
Angin semilir menghantarkan suasana yang begitu tenang dan damai. Beberapa dedaunan kering berjatuhan perlahan menyentuh tanah di tepian kolam renang dengan pantulan kilau terik mentari di atas air. Gerakan tangan Elang membelah air dan mendorong kuat tubuhnya meluncur. Sudah lima balik ia menggunakan gaya kupu-kupu, setelah enam balik sebelumnya menggunakan gaya bebas untuk membawa dirinya menyentuh tepian kolam renang sekian kali. Elang berhenti di pinggir dan memutuskan menyudahi kegiatan berenangnya siang itu. Kedua lengannya bertumpu pada tepian dan setengah melompat, membawa tubuhnya keluar dari dalam kolam. Ia duduk di tepian sambil mengusap wajah untuk menyingkirkan bulir air yang membasahi wajah tampannya. Mata coklat tua itu menerawang, membawa ingatannya kembali pada percakapannya dengan Dean semalam. “Saat itu ayahmu melalui Hecate mencari juga wanita elemen bumi dan sempat menyangka ibuku adalah salah satunya. Dia sebenarnya bukanlah seorang elemen bumi, Hecate salah
“Liebling, sarapannya sudah kau makan habis?” “Iya,” jawab Aliya lalu mendongakkan kepalanya ke arah Elang yang baru keluar dari kamar mandi. Ia menatap suaminya dengan alis berkerut. “Kenapa?” “Asi ku masih sedikit keluarnya,” keluh Aliya. “Tadi perawat datang kesini untuk mengambil asi ku. Tadi gak bisa dapat banyak.” “Hm.” Elang melangkahkan kakinya mendekati brankar Aliya. “Itu hal wajar, Liebling. Untuk kelahiran pertama, seorang ibu agak kesulitan mengeluarkan asi-nya. Putri kita juga belum membutuhkan makanan yang banyak, Liebling. Kau tahu, ukuran usus dan lambungnya pun masih sangat kecil,” sambungnya lagi sambil menggerakkan ibu jari dan telunjuknya untuk menunjukkan betapa kecilnya ukuran tersebut. “Tapi--” “Aku tahu kau khawatir. It’s ok. Bahkan bayi baru lahir masih bisa tanpa diberikan asi atau susu dalam waktu dua kali dua puluh empat jam.” “Kau tahu dari mana?” “I read it somewhere (aku baca entah di mana).” “Elang--” “Aku sudah bicara dengan dokter, Lieblin
Arah pandang Aliya terpaku pada pintu ruang untuk beberapa saat. Meski sedikit bertanya-tanya, namun ia segera menepis itu dalam hatinya dan langsung beralih pada monitor di dinding sebelah kiri. Bibirnya seketika tertarik ke atas disertai pandangan yang melembut dan penuh kasih. Monitor itu menampilkan bayinya yang berada dalam inkubator di ruang NICU. Tubuh mungil yang masih berwarna merah dengan jemari kecil yang mengepal. Kedua manik mata Aliya lalu berkaca-kaca. Betapa ia ingin memeluk makhluk mungil itu. Betapa ia merasa semua bagai mimpi. Dari dalam dirinya bisa keluar makhluk luar biasa seperti itu. Ia hanya harus bersabar lagi, untuk bisa mendekap bayi mungilnya itu. “Isn’t she beautiful?” Sebuah suara mengagetkan Aliya. Ia mengusap titik air di sudut matanya lalu tersenyum pada dua orang yang datang itu. “Dean, kang Awi. Masuklah.” Kedua pria bertubuh tegap dan atletis itu kemudian duduk di kursi meja makan yang memang bersebelahan dengan brankar Aliya. “Bagaimana
“Ah ya Tuhan!” Agni mengerjap-kerjapkan kedua kelopak matanya. Menatap penuh haru sekaligus takjub dengan tangan menempel pada dinding kaca. Begitu pula ketiga teman-teman lainnya. Agung, Iyad, Guntur sama -sama menatap dengan mata berbinar penuh ketakjuban ke arah satu box bayi dari balik kaca besar pembatas ruang NICU. “Lakukan covering kalian, setiap kalian keluar.” Suara datar Nawidi mengingatkan empat pria yang terus menerus menatap tanpa berkedip ke arah bayi merah di dalam inkubator itu. Ia baru saja datang bersama Dean setelah melakukan pengecekan ulang di sekitar Rumah Sakit Bersalin tersebut, sebagai bentuk tindakan antisipatif standar mereka. Agni dan lainnya menoleh dan baru menyadari pengunjung wanita di sekitar mereka, tak hentinya menatap mereka seolah melihat artis terkenal yang membuat mata mereka tak berkedip mengagumi. Penampilan Agni dan kawan-kawan memang tidak bisa dibilang biasa, terutama Agni. Wajah tampan pria muda itu begitu menarik perhatian para pengunj