“Son. Einhard. Kau datang.” Diedrich bangkit dari kursi kebesarannya ketika Elang memasuki ruang luas tempat Diedrich berada. Ruang itulah ruang terakhir ia bertemu sang ayah dan mereka bersitegang di sana. Hingga akhirnya Elang mengucapkan perpisahan itu dengan ayahnya. “Dad.” Elang sedikit mengernyit tatkala mendengar Diedrich memanggilnya ‘son’. Bahkan kini ia melihat ayahnya sampai turun untuk menyambutnya. “Dimana wanita mu itu?” tanya Diedrich ketika ia tiba di dekat Elang. “Istri saya, Dad. Dan namanya Aliya. Ia sedang istirahat,” jawab Elang tanpa ekspresi. Diedrich menepuk cukup kencang lengan atas Elang, lalu memutar tubuhnya menuju sofa besar di kanan ruang. “Duduk, Einhard.” Kalimat tawaran, namun terdengar lebih seperti kalimat perintah. Elang mengikuti ayahnya menuju sofa dan duduk dengan tenang setelah ayahnya terlebih dahulu duduk. “Suasana hatiku sedang bagus. Jadi aku akan mengabaikannya untuk saat ini,” Diedrich melambaikan tangan kiri memberi kode pada seor
“I-iya Pa. Saya Aliya.” Meski tak paham dengan arti tatapan Diedrich, Aliya tetap menjawab dengan sopan. “Darek. Ferd,” Diedrich memanggil pelan kedua bodyguard elemennya itu. Baik Darek maupun Ferd maju satu langkah ke depan, menjadi lebih dekat pada Diedrich. “Ya Tuan?” “Antar… antar saya kembali ke ruangan saya,” perintah Diedrich tanpa mata teralihkan dari menatap Aliya. Aliya menoleh cepat pada Elang yang masih terdiam di tempat dan menatap lurus pada ayahnya. Diedrich bahkan tidak berkata apapun lagi dan hanya memutar kembali tubuhnya dengan diikuti oleh Darek dan Ferd. “Elang… apa aku… melakukan kesalahan?” Aliya bertanya dengan nada penuh kecemasan. Elang menggeleng. “Tidak Liebling. Kau tidak melakukan kesalahan apapun.” “Lalu mengapa Papa…” Aliya melempar kembali pandangan ke arah Diedrich pergi. “Ia bahkan belum sempat duduk.” “Ayo.” Elang menarik tangan Aliya lalu membawanya pergi dari ruang makan. Ia hanya berhenti dan berbalik sebentar kepada salah satu pelayan ya
“Elang… tempat ini cantik!” Aliya berseru tertahan. Matanya mengerjap takjub pada hamparan jalan perbelanjaan yang paling elegan di Dusseldorf. Elang membawanya ke Königsallee, suatu area real estate terkenal yang menjadi paduan eklektik dari butik eksklusif, pusat perbelanjaan mewah dan galeri seni serta berbagai restoran dan cafe. Lokasinya yang strategis karena berada di antara Alstadt dan area pejalan kaki di sekitar Berliner Strasse, membuat area ini cukup ramai meski bukan di hari libur seperti ini. “Apa kau membawaku ke sini untuk berbelanja? Aku tidak memerlukan barang apa-apa, Elang. Semua sudah lengkap di rumah,” tutur Aliya dengan mata menatap kagum satu demi satu bangunan yang berjajar di seberang kedua sisi parit kota tua itu. “Bukan, Liebling. Kita hanya berjalan-jalan saja. Kecuali kau memang ingin melihat sesuatu dan tertarik membelinya,” kata Elang. “Belanja we atuh teh. Mumpung disini. Sekalian cari oleh-oleh buat Mama Papa dan adik-adik teteh,” Ridwan menimpali
“Liebling, tetap tenang,” Elang berkata tanpa menolehkan kepalanya. Pandangan juga sikap tubuhnya dalam siaga penuh. Aliya menatap nanar sang suami yang berdiri tak jauh di depannya lalu kepala yang bergerak pelan, dengan mata memindai ke dua puluh orang yang mengepung mereka. Bagaimana ia dan Elang akan bisa lolos dari mereka semua? HIAAAHH!!! Sepuluh orang dari dua puluh pengepung berteriak dan maju bersamaan. Membuat jantung Aliya berhenti berdegup. Namun ia kemudian terbelalak ketika melihat ternyata sepuluh orang itu menyerbu ke arah pria berpakaian hitam. Sementara Elang hanya berdiri tegap tanpa perubahan gerak, seakan sudah tahu sejak awal bahwa ke dua puluh pengepung itu, bukanlah musuhnya. DHUAAGG! DHAAGG!! BUUUUGGHH!! Lima dari sepuluh penyerang, terpental ketika baru merangsek beberapa langkah. Lima yang lain berhasil lebih mendekat, namun tetap bernasib sama. Terpental ke belakang dan jatuh berguling. Namun ke sepuluh orang itu langsung bangun dengan gerakan cep
Ridwan bergerak cepat menarik tangan Aliya lalu menyeretnya pergi.Elang menghembus napas lega. Ia kini bisa bersungguh-sungguh dan mengeluarkan segenap energinya untuk menaklukkan kedua musuhnya.Meskipun keduanya berada di tingkat bawah Elang, namun mereka sama-sama berada di Level Dua. Elang yang berada pada Tingkat Menengah, menghadapi dua orang yang berada satu tingkat di bawahnya, setidaknya membutuhkan kesungguhan untuk bisa menjatuhkan mereka berdua.Ia cukup kaget. Terdapat tiga orang pada Level Dua yang menghadang mereka. Bukankah Level Dua adalah termasuk level luar biasa? Tidak sembarang orang sampai pada level ini.Namun lihatlah, hanya dalam satu hari, ia harus berhadapan dengan tiga orang ber-Level Dua. Jika ia tidak di back-up oleh tim bodyguard Gauthier, ia pasti akan kesulitan menghadapi ketiganya sekaligus.Sementara itu di dalam mobil. Ridwan berhasil membawa Aliya masuk ke dalam mobil dan melesat cepat meninggalkan Königsa
Masih segar dalam ingatannya, pesan Dean dan Elang padanya. Jika Aliya dalam kondisi terjepit, Aliya harus tetap tenang agar energi miliknya yang terkunci tidak tanpa sengaja terpancar dan memancing musuh lebih banyak lagi. Otaknya pun berpikir cepat dan merasakan ada yang aneh dengan musuh-musuh itu. Apakah Aliya memang telah memancarkan energinya? Mengapa musuh seakan selalu tahu keberadaan Aliya?Jika pengejaran saat ini dikarenakan Aliya tengah panik dan tanpa sengaja mengeluarkan getaran energi miliknya, tapi bagaimana dengan saat Aliya masih bersama Elang di Königsallee, bukankah Aliya dalam keadaan tenang? Bahkan cenderung sedang bahagia dan senang?Lalu bagaimana musuh itu bisa sampai di sana dan mengetahui keberadaan Aliya di Königsallee?Musuh bahkan mengirim elemen-elemen dalam level yang tinggi hingga bisa mengimbangi Agan-nya, yang ia dengar dari Dean, Agni dan lainnya, adalah sebagai elemen tinggi yan
“Wan…” Bibir Aliya bergetar dan bergerak-gerak. Tenggorokan serta kedua matanya begitu perih. Telinganya berdenging, sekitarnya seolah berhenti bergerak dan ia tak mampu menangkap suara apapun. ‘Ridwan…’ Mobil sejenis Jeep diiringi lima SUV Dartz lainnya tiba di tempat Aliya berdiri. Namun Aliya tidak menyadarinya. Ia tetap berdiri di tempatnya seolah telah membatu. Pintu mobil jeep terbuka, dua pria dan satu wanita bergegas turun. Ia menghampiri Aliya. “Nyonya Muda.” Darek, memanggil Aliya. Namun tak peduli berapa kali Darek dan Ferd memanggil Aliya, Aliya membisu dan membatu di sana. Dengan mata terpaku ke arah Range Rover yang telah ringsek. “Nyonya. Maaf,” usai mengucapkan dua kata itu, Darek menotok satu titik di area leher Aliya hingga Aliya langsung tidak sadarkan diri. Wanita yang tadi turun bersama Darek dan Ferd, bergerak maju dengan cepat menangkap tubuh Aliya yang pingsan. Lalu dengan gerakan cepat, ia mengangkat tubuh Aliya dibantu Darek. Wanita bertubuh tinggi da
Elang menatap ayahnya dengan raut wajah berubah dingin. Namun Diedrich mengangkat sebelah tangan dan dengan cepat ia meneruskan kalimatnya ketika Elang tampak akan membuka suara. “Ayah bukan mengusirmu karena takut. Ayah akan membantu kalian berdua. Kalian kembali dan biarkan mereka mencari istrimu di negara ini untuk sekian waktu.” Tatapan Elang kini berbalik menyiratkan ketertegunan. Ia diam menunggu kalimat selanjutnya dari Diedrich. “Pulang ke Indonesia. Seharusnya istrimu lebih aman di sana, karena di negara kelahiran istrimu, ada empat benteng dari tiap Realm Elemen. Mereka adalah keluarga berdarah elemen sejati. Turun temurun memiliki kemampuan elemennya. Namun keberadaan mereka tersembunyi dan hanya akan menampakkan diri jika mereka merasa itu sudah waktunya. Mereka adalah pilar luar untuk melindungi Ratu Bumi. Selain Para Penjaga Inti.” Kembali Elang tertegun mendengar penuturan Diedrich. “Realm?” Suara gumaman Elang terdengar lirih. “Kau… bagaimana Dad tahu tentang se