Bola mata itu…
Warna hazel yang khas dengan bulu mata lentiknya.
‘Apa anak itu adalah… Dean?’
Aliya hendak merangsek maju, namun ia terlupa bahwa seluruh tubuhnya terkunci. Ia tidak bisa menggerakkan tubuhnya untuk bergerak ke depan. Menyelamatkan anak itu.
Anak itu terjatuh dengan wajahnya yang pucat sudah. Tangan kecilnya menapak di tanah yang rata. Ya tanah. Lorong kecil ini belum di aspal ataupun terpasang paving block.
Tubuh sang anak tampak gemetar, meski demikian anak itu tidak menangis. Manik mata berwarna hazel itu memerah dan bergerak-gerak. Anak itu jelas ketakutan.
Ketiga pemuda di hadapannya berjalan mendekati si anak dengan seringai puas. Dua di antaranya tertawa dan berbicara, namun entah apa. Tidak terdengar suara apapun.
Dada Aliya kian berdebar tidak karuan, seluruh rongga dadanya dipenuhi rasa cemas dan rasa takut. Apa yang akan dialami anak itu nanti? Jika anak itu benar Dea
Seluruh tubuh Elang pun ikut membeku. Rasa kaget seketika berganti rasa dingin yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Gemuruh itu terasa kuat dalam rongga dadanya, membuatnya sesak. Matanya lekat dengan tatapan entah bagaimana pada dua orang di depannya. Wanita terkasihnya, yang menangis dengan memeluk Dean begitu erat. Apakah demikian terlukanya Aliya atas perbuatan dirinya, hingga Aliya memilih menangis dalam pelukan pria lain dan bukan padanya? Dan bagaimana ketatnya Aliya melakukan closure, hingga Elang tak bisa menembus pikiran Aliya. Apakah Aliya memikirkan sesuatu yang tak boleh ia dengar? Apakah tentang pria di depannya itu? Rahang Elang mengetat lalu menahan napas yang mulai terasa berat namun memburu. Baru saja ia hendak membuka mulutnya, ketika ia mendengar kalimat Aliya. “Syu..kurlah kau selamat… Ma…afkan aku…” ujar Aliya lemah dan terbata. Kening Dean kian melesak ke dalam. Entah bagaimana perasaannya sekarang, selain rasa bingung yang melandanya. Namun ia mengingatkan d
‘What?? Ke Jerman??’ Suara pekikan Hana di seberang telepon membuat Aliya harus menjauhkan ponsel dari telinganya. “Iya Han. Aku mau ke Jerman, menemui papa mertua,” jawab Aliya pelan. Tangannya mengambil satu set piyama lalu membawanya ke ruang tidur dan meletakkannya ke atas kasur. Hening beberapa saat di ujung sana, hingga Aliya memanggil nama temannya itu. “Hana?” ‘Kamu gak lupa kan Sis, kata-kataku terakhir kali?’ Aliya menghentikan kegiatannya. “Soal jangan kemana-mana itu?” ‘Iya. Syukur kau ingat.’ “But, Hana. Kita tidak bisa terkungkung dengan mengikuti perasaan cemas lalu ketakutan di sepanjang sisa hidup kita, lalu tak bisa melakukan apa-apa, kan?” Aliya menarik napas untuk meyakinkan Hana. “Aku pergi bersama suamiku. Dan kepergianku pun untuk alasan yang sangat kuat. Untuk mendapatkan doa dan restu dari ayah mertuaku.” Tidak ada sanggahan dari Hana. Ia pun menyadari, sahabatnya itu tidak mungkin hanya mengurung diri di dalam rumah, lalu meninggalkan dan mengabaikan s
“Jadi Aliya sekarang sudah tenang?” Suara dalam milik Dean terdengar dari arah ruang makan. Tak lama ia muncul ke ruang tamu dengan membawa dua gelas berisi kopi yang ia buat. Ia letakkan satu di depan Elang dan satu untuk dirinya sendiri. “Hm. Ya,” respon Elang singkat. Ia membuka kedua kancing manset dan menggulung sedikit ujung lengan kemeja panjangnya. Dean mengambil tempat di sofa singel sisi kanan Elang. Lalu duduk santai. Kepala Elang terangkat sedikit lalu menatap lurus pada Dean. “Jangan tanya pada saya, mengapa istrimu bermimpi tentang saya,” Dean berkata sebelum Elang sempat membuka mulutnya. “Menurutmu itu mimpi?” Dean mengangkat kedua bahunya. “Saya tidak tahu pasti.” “Yang jelas itu bukan dunia sukma, Einhard,” tambah Dean. “Tapi saya masih belum terlalu jelas apa yang dimaksud dengan mimpi Aliya itu.” Elang menyandarkan punggungnya ke belakang. Dalam hati ia mengakui, ia tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang mimpi Aliya itu. Dirinya tidak bertanya lebih
Kembali ke kediaman Elang dan Aliya, di kamar tidur utama. Aliya terlihat membawakan set pakaian santai yang berupa kaos dan celana panjang untuk salin suaminya. Dengan cekatan ia membantu Elang membuka satu persatu kancing kemeja yang dikenakan Elang. Bergeming, Elang membiarkan jemari istrinya melakukan itu untuknya. Dengan tatapan penuh kasih ia arahkan pada wajah Aliya yang tampak menunduk. Ia berdehem kecil. Teringat percakapan penutupan dirinya dengan Dean saat di basecamp Lembang tadi, soal keberangkatan Elang dan Aliya ke Jerman besok malam. Dengan kenyataan bahwa Aliya mengalami ‘vision’ atas masa lalu, mereka mempertimbangkan ulang tentang kepergian ke Jerman itu. Mereka tidak terlalu yakin, apakah dengan aksi Aliya menembus masa lalu Dean, menimbulkan efek yang bisa terdeteksi lawan atau tidak. Sehingga baik Elang maupun Dean akhirnya sampai pada kesepakatan, untuk menunda kepergian ke Jerman setelah Aliya setuju dengan hal tersebut. “Liebling,” Elang membuka suara.
Entah sudah berapa belas jam Aliya berada dalam pesawat yang membawa mereka ke Dusseldorf, Jerman. Mereka kini dalam posisi siap landing. Elang tidak melepaskan genggaman tangannya pada Aliya, karena merasakan sikap Aliya yang cukup aneh dan banyak diam. Beberapa kali ia melirik istrinya itu, namun Aliya terus menatap ke luar jendela. “Liebling,” Elang setengah berbisik memanggil Aliya di dekat telinganya. “Kau lelah, Sunshine?” “He-em.” “Sebentar lagi kita sampai. Kita bisa istirahat segera.” “He-em,” jawab singkat lagi Aliya. Elang meraih tangan Aliya lalu memegang jam tangan yang dikenakan Aliya. “Aku akan mundurkan jam menjadi jam setengah dua belas malam. Disini lima jam lebih lambat dari Indonesia.” Aliya menoleh ke arah tangan kanannya dan memperhatikan Elang yang sedang merubah penunjuk jam. “Katakan padaku jika ada yang kau rasa sakit di tubuhmu,” ujar Elang lalu ia membimbing tangan kanan Aliya di atas pangkuannya setelah selesai mengatur ulang jam di tangan Aliya.
“Son. Einhard. Kau datang.” Diedrich bangkit dari kursi kebesarannya ketika Elang memasuki ruang luas tempat Diedrich berada. Ruang itulah ruang terakhir ia bertemu sang ayah dan mereka bersitegang di sana. Hingga akhirnya Elang mengucapkan perpisahan itu dengan ayahnya. “Dad.” Elang sedikit mengernyit tatkala mendengar Diedrich memanggilnya ‘son’. Bahkan kini ia melihat ayahnya sampai turun untuk menyambutnya. “Dimana wanita mu itu?” tanya Diedrich ketika ia tiba di dekat Elang. “Istri saya, Dad. Dan namanya Aliya. Ia sedang istirahat,” jawab Elang tanpa ekspresi. Diedrich menepuk cukup kencang lengan atas Elang, lalu memutar tubuhnya menuju sofa besar di kanan ruang. “Duduk, Einhard.” Kalimat tawaran, namun terdengar lebih seperti kalimat perintah. Elang mengikuti ayahnya menuju sofa dan duduk dengan tenang setelah ayahnya terlebih dahulu duduk. “Suasana hatiku sedang bagus. Jadi aku akan mengabaikannya untuk saat ini,” Diedrich melambaikan tangan kiri memberi kode pada seor
“I-iya Pa. Saya Aliya.” Meski tak paham dengan arti tatapan Diedrich, Aliya tetap menjawab dengan sopan. “Darek. Ferd,” Diedrich memanggil pelan kedua bodyguard elemennya itu. Baik Darek maupun Ferd maju satu langkah ke depan, menjadi lebih dekat pada Diedrich. “Ya Tuan?” “Antar… antar saya kembali ke ruangan saya,” perintah Diedrich tanpa mata teralihkan dari menatap Aliya. Aliya menoleh cepat pada Elang yang masih terdiam di tempat dan menatap lurus pada ayahnya. Diedrich bahkan tidak berkata apapun lagi dan hanya memutar kembali tubuhnya dengan diikuti oleh Darek dan Ferd. “Elang… apa aku… melakukan kesalahan?” Aliya bertanya dengan nada penuh kecemasan. Elang menggeleng. “Tidak Liebling. Kau tidak melakukan kesalahan apapun.” “Lalu mengapa Papa…” Aliya melempar kembali pandangan ke arah Diedrich pergi. “Ia bahkan belum sempat duduk.” “Ayo.” Elang menarik tangan Aliya lalu membawanya pergi dari ruang makan. Ia hanya berhenti dan berbalik sebentar kepada salah satu pelayan ya
“Elang… tempat ini cantik!” Aliya berseru tertahan. Matanya mengerjap takjub pada hamparan jalan perbelanjaan yang paling elegan di Dusseldorf. Elang membawanya ke Königsallee, suatu area real estate terkenal yang menjadi paduan eklektik dari butik eksklusif, pusat perbelanjaan mewah dan galeri seni serta berbagai restoran dan cafe. Lokasinya yang strategis karena berada di antara Alstadt dan area pejalan kaki di sekitar Berliner Strasse, membuat area ini cukup ramai meski bukan di hari libur seperti ini. “Apa kau membawaku ke sini untuk berbelanja? Aku tidak memerlukan barang apa-apa, Elang. Semua sudah lengkap di rumah,” tutur Aliya dengan mata menatap kagum satu demi satu bangunan yang berjajar di seberang kedua sisi parit kota tua itu. “Bukan, Liebling. Kita hanya berjalan-jalan saja. Kecuali kau memang ingin melihat sesuatu dan tertarik membelinya,” kata Elang. “Belanja we atuh teh. Mumpung disini. Sekalian cari oleh-oleh buat Mama Papa dan adik-adik teteh,” Ridwan menimpali