Perkara Telur

Keesokan harinya. Anna keluar dari kamar karena merasa lapar. Dia berjalan menuju dapur, ingin mencari sesuatu yang setidaknya bisa sedikit mengganjal perutnya.

Namun, saat baru saja akan menginjakkan kaki di pintu dapur, Anna mendengar dua pelayan di dapur sedang membicarakan tentang dirinya.

“Tidak tahu itu, Tuan. Kenapa membawa wanita seperti itu ke rumah? Ya, meski tidak jelek-jelek amat, tapi aku yakin dia itu wanita miskin.”

“Betul, mana kayak sok polos begitu. Atau jangan-jangan dia merayu Tuan, makanya Tuan membawanya pulang. Kita tahulah, kalau Tuan itu sangat dingin ke semua orang, apalagi wanita. Ngapain juga tiba-tiba bawa wanita itu.”

“Dih, amit-amit. Aku malas sekali jika diminta melayaninya.”

Anna masih bergeming mendengarkan semua gunjingan itu. Anna menghela napas pelan, dia hanya ingin hidup tenang dan tidak mau membuat keributan di rumah itu sampai kontrak pernikahannya berakhir.

Anna masuk dapur, saat itu dia melihat dua pelayan yang baru saja menggunjingnya langsung diam.

“Apa ada sesuatu yang bisa dimasak? Aku mau membuat sarapan,” ucap Anna sopan.

Dua pelayan itu menatap sinis.

“Tuh, di lemari banyak. Tapi jangan ambil bahan sembarangan, semuanya berkualitas tinggi. Tidak boleh dimasak sembarangan tanpa izin,” ketus salah satu pelayan.

Anna hanya mengangguk dengan senyum kecil di wajah.

Dua pelayan itu pergi, meninggalkan Anna sendirian di dapur.

Anna bingung, dia harus membuat apa karena takut mengambil bahan makanan. Dia membuka lemari pendingin, di sana Anna menemukan telur.

“Sepertinya ini tak masalah,” gumam Anna.

Anna akhirnya membuat telur goreng, setelah selesai dia menyantapnya di ruang makan.

Saat Anna sedang makan, ternyata Kai pulang dan melihat Anna di ruang makan. Dia mengamati apa yang dimakan Anna, sehingga Kai menghampiri wanita itu.

“Makan apa kamu?”

Suara Kai membuat Anna terkejut. Bahkan dia sampai langsung berdiri dan kakinya menabrak kaki meja.

“Akh.” Anna memekik, tetapi langsung berdiri tegap.

Kai memasang wajah datar. Dia memperhatikan piring Anna yang hanya berisi nasi dan telur goreng.

“Siapa yang menyiapkan menu itu?” tanya Kai dengan suara dingin.

“I-ini … itu, maaf, aku yang memasaknya sendiri karena sangat lapar,” jawab Anna terbata karena panik dan gugup, takut jika dianggap lancang karena mengambil persediaan bahan makanan tanpa izin.

Tanpa kata, Kai berjalan ke dapur.

Anna bingung dan panik. Apa Kai marah? Apa pria itu mau mengecek sisa telur setelah Anna ambil? Anna memutuskan untuk mengikuti langkah Kai.

Sesampainya di dapur, Kai tidak melihat siapa pun di sana. Bahkan tidak ada aktivitas memasak, mungkin karena semua pelayan mengira dia tidak akan pulang.

“Tuan, maaf kalau aku mengambil telur dari kulkas. Aku benar-benar lapar,” ucap Anna memohon.

Kai melirik pada Anna, lalu kembali mengedarkan pandangan di dapur, sampai akhirnya ada pelayan yang masuk dapur.

“Anda membutuhkan sesuatu, Tuan?” tanya pelayan itu.

Kai menatap dingin.

“Apa kalian kekurangan bahan sampai tidak membuat sarapan? Atau kalian membuat sarapan hanya untuk mengisi perut kalian saja?”

Anna terkejut mendengar ucapan Kai.

Pelayan yang menghadap Kai juga menundukkan kepala, takut saat melihat tatapan dingin dan suara lugas pria itu.

“Tidak, Tuan.” 

“Buat sarapan, aku mau lima belas menit lagi sarapan siap!” Setelah memberi perintah. Kai pergi meninggalkan dapur.

Sedangkan Anna, dia bingung dan takut. Apa perkara telur yang dibuatnya akan menjadi masalah?

Anna pergi ke lantai atas. Dia berdiri di depan kamar Kai, menunggu sampai pria itu keluar lagi untuk sarapan. Setelah hampir sepuluh menit, Anna melihat pintu kamar Kai terbuka. Dia langsung menegakkan badan dan mencoba bersikap tenang.

Kai menatap datar saat melihat Anna di depan kamar. Dia tak bertanya, hanya berdiri dan menunggu Anna bicara.

“Soal telur tadi, aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu apa telur itu boleh dimasak atau tidak. Semua benar-benar salahku,” ucap Anna.

Kai tidak membalas. Dia masih diam menatap Anna.

Saat melihat Anna tak bicara lagi, Kai hendak melangkah ke tangga, tapi Anna kembali bicara.

“Hari ini aku harus kerja. Aku boleh pergi, kan?” tanya Anna meminta izin.

Langkah Kai terhenti, dia menoleh pada Anna.

“Kerja?” Satu sudut alis Kai tertarik ke atas.