“Maaf, Sam. Aku sudah ada janji dinner sama keluarga aku malam ini. Mama nggak mau kalo sampai aku nggak ikut, Sam.”
“Dari kemarin kamu begitu terus, Jira. Kapan kamu punya waktu buat aku? Kamu rapat, aku ngalah. Pertemuan keluarga, aku ngalah, bahkan kamu lebih mementingkan buat revisi naskah-naskah sialan kamu itu dibanding spend time sama aku.” Sam membalasnya telak dan Jira tidak bisa menjawab apapun.
Memang salahnya, kali ini. Dia begitu banyak membuang waktu ke dunia luar dan lupa jika Sam pun membutuhkannya. Entahlah, tapi dia merasa mama selalu mempunya banyak cara agar Jira tidak punya waktu bertemu dengan Sam. Entah dinner tiba-tiba, atau bahkan malam ini Angelo pun diajak. “Aku baru pulang dari London dan satu minggu lagi aku kembali ke sana, Jira. Kamu egois.”
“Sam…” Jira mencoba meraih lengan pria itu meski ditepis. “Aku yang salah, aku minta maaf. Aku juga nggak tahu kalau mama punya rencana sebanyak itu, Sam.”
“Kita berdua udah dewasa, Jira. Harusnya kamu bisa bicara sama mama kamu.” Pria itu menghela napas, meraih gelas berisi vodka. Mengikis langkahnya menuju balkon kamar yang segera diikuti Jira. Sam tampak marah dan kesal, sesekali meneguk minuman beralkohol itu.
“Sam, jangan minum alkohol lagi. Kamu udah banyak minum kemarin.” Jira mencoba meraih gelas itu dari tangan Sam. Namun Sam mengelak terus, meski Jira sudah sampai berjinjit agar Sam menghentikan kegiatannya itu. Jira hanya tidak mau meninggalkan pria itu dalam keadaan mabuk. Sepertinya Sam memang keras kepala.
“Bukan urusanmu.” Sam menarik tangannya, namun malah menabrakan tangan mereka di pagar balkon dari besi. Gelas pecah dan airnya tumpah. Sam sempat terkejut melihat darah yang mengucur karena serpihan kaca.
Itu bukan darahnya.
Jira menggigit bibir dalamnya menahan ringisan menatap jemari telunjuknya yang berdarah. Darah menetes gelas bercampur perih karena sengatan alkohol di kulit yang terluka. Dia tidak menyangka jika Sam akan semarah ini.
“Sayang, Jira, aku—aku minta maaf, aku nggak sengaja. I really sorry,” mohon Sam seraya meraih kedua tangannya. Tatapannya berubah khawatir. “Kita ke klinik di bawah sekarang,ya? Aku nggak punya P3K.”
Jiraya menggeleng seraya meraih tangannya. “Nggak usah, Sam,” tolaknya. Jira tersenyum menenangkan seraya mendongak menatap pria itu. Membiarkan tangannya jatuh di samping tubuh. Darah menetes di lantai. “Maaf, ya. Aku sebentar lagi harus pergi.”
Sam menatapnya dengan campur aduk, kemudian pria itu menghela napas. “Okay, Jira. Tapi kita ke klinik dulu, ya? Aku nggak mau kami jadi infeksi.”
“Aku bisa ke sana sendiri. Lagipula sebentar agi aku harus … ketemu orangtua aku.”
Sam menghela napas berat. “Aku minta maaf sekali lagi.” Pria itu meraih tubuh Jira dan memeluknya. “Aku ngga bermaksud kasar sama sekali, Jira.”
“It’okay, sayang.” Jiraya mengurai pelukannya, kemudian berjinjit mengecup pipi Sam dengan senyuman manis. “See you.”
Sam memaksa mengantarnya sampai area parking, tapi Jira menolak dan mengatakan jika dia bisa sendiri. Pikiran Jira jauh terlempar seraya menatap sisa darah mengering di sekitar jemarinya. Sedikit perih dan memar karena efek dirinya yang menekan robekan luka untuk berhenti mengalir. Jiraya menggigit bibir dan memijat pangkal hidungnya.
Tidak, Sam wajar berlaku seperti ini atas kesalahannya sendiri. Pria itu hanya sedikit emosi dan melakukannya dengan tidak sengaja. Harusnya seperti itu. Perempuan itu butuh waktu sekitar dua menit untuk menenangkan diri sebelum kemudian ponselnya berbunyi.
+6281 18xxx
Dimana?
Gue jemput.
Tanpa melihat display name yang tertera pun, Jira sudah tahu siapa pengirimnya. Namun masalahnya, untuk apa pria ini tiba-tiba berinisiatif untuk menjemputnya? Jira tidak punya pemikiran apapun soal ini.
Terima kasih
Tapi aku lagi di luar, langsung ke tempat tujuan saja
Kebetulan Jira sedang menaruh mobilnya di bengkel untuk maintenance. Tunggu, apakah ini suruhan mama yang menyuruh Angelo? Shit, tidak mungkin jika Angelo tiba-tiba berinisiatif seperti ini, bukan? Wanita itu berdecak pelan menatap jalanan sekitar. Mama selalu saja membuat strategi untuk mengumpulkan mereka—meski sisi baiknya adalah ini akan membuahkan kemistri antara Angelo dan Jiraya, tapi juga merenggangkan hubungannya dengan Sam.
Mama seolah menutup kuping jika Jira sudah membicarakan tentang Sam, entah mengalihkan topik atau membandingkan pria itu dengan Angelo. Selalu saja begitu. Padahal mama tidak mengenal Sam dengan baik, yang ia tahu hanyalah sam lebih muda. Itu saja. Jira bingung harus memutar otak bagaimana lagi agar mama bisa memberinya waktu untuk menjelaskan.
Jemari Jira nyaris menekan tombol ‘pemesanan’ pada fitur taksi online ketika satu pop up muncul di notifikasinya.
Gue jemput
Shareloc
Kata-kata itu terbaca seperti pemaksaan saja. Kemudian muncul pop up lagi.
Ini perintah.
Jira mendengus kesal. Hal seperti ini sama saja melanggar kontrak, tau. Jira sudah mengetik penolakan ketika satu chat masuk lagi.
Dari mama lo.
Tuh kan. Benar dugaan Jira, ini pasti suruhan mama. Kalau saja mama tahu di mana posisinya sekarang, sudah pasti beliau akan mencerca. Mau tidak mau, Jira mengirim share location pada Angelo. Jira tidak menyukai ini. Tidak lama sebuah mobil melaju dan berhenti di hadapannya. Kaca mobil terbuka dan tampaklah Angeo yang menawan dengan setelan jas mahalnya mengedik untuk menyuruhnya masuk. Jira membuka pintu dan masuk.
Hawa dingin menerpa karena tidak ada yang berbicara setelah itu. Semerbak parfum Angelo menerpa indera penciumannya, begitu bercamur dengan shampo gentleman dari rambut halus Angelo. Sepertinya memang tidak ada yang berminat membuka suara, bahkan sampai berhenti di lampu merah pun.
“Sejak kapan mama suruh kamu?” Jira membuka suara.
Angelo menoleh sekilas. “Sebelum dinner. Beliau yang kasih nomor handphone lo.”
Jira mengangguk samar. Wanita itu menoleh menatap Angelo, sebentar. “Kita masih punya waktu berapa menit ke sana?”
“Limabelas menit, mungkin?”
“Orangtua kita udah ada di sana?”
“Mereka di sana setengah jam yang lalu.” Angelo meliriknya sekilas. “Karena abis nunggu orang.”
Jira mendengus dalam hati, tentu saja yang dimaksud adalah dirinya. Mama sudah menelpon semenjak dirinya tadi bertengkar dengan Sam tapi tidak dia angkat. Meski dia tidak menyukai perjodohan ini, tetap saja dia tidak enak dengan orangtua Angelo yang begitu baik padanya. “Boleh kita mampir ke klinik sebentar? Atau kalau apotek juga boleh.”
Angelo menoleh kali ini menatapnya, lalu menurunkan pandangan pada jemari Jira secara reflek untuk menemukan jemari Jinan yang saling menahan satu sama lain. “Oke.”
Tanpa banyak bertanya, mereka menuju klinik terdekat karena apotek masih berjarak sekitar 100 meter lagi. Jira turun dari sana dan menyebutkan kebutuhan yang diperlukan. Ketika berbalik badan, tidak menyangka jika Angelo juga ikut turun. “Kok ikut?”
“Terserah gue.”
Lagi-lagi songongnya keluar. Jira memilih melipir ke bangku besi panjang untuk mengobati dua jemarinya yang terluka. Sedikit kesulitan karena dia harus mengobati dengan tangan kiri. Angelo berdecak melihat itu.
“Mbak,” panggilnya pada salah satu tenaga kesehatan yang sedang berdiri menatapnya di balik etalase obat-obatan. Tidak sadar jika sedari tadi dia terpesona dengan penampilan Angelo malam ini.
“Eh, iya mas? Kenapa? Ada yang bisa saya bantu?” tanya wanita yang sepertinya perawat itu dengan begitu semangat.
“Bantu obatin dia.” Angelo mengeluarkan sejumlah uang. “Sekalian bayar obatnya tadi.”
Perawat itu menjadi bingung. “Eh? Tapi obatnya sudah dbayar sama mbaknya, mas.”
“Oh. Untuk biaya ngobatin kalo gitu.”
“Tapi gra—
“Ambil aja. Tolong obatin.”
Kata itu seperti perintah dan sang perawat mau tidak mau menuruti ucapan Angelo. Perawat itu mendekat pada Jira yan sedang berusaha membuka tutup obat merah dan duduk di sampingnya. “Mbak, saya bantu aja, ya.”
Jira mengangkat wajah. “Ah, saya bisa sendiri, Mba. Terima kasih.”
“Tap dari tadi Mbaknya kesusahan terus,” balas sang perawat dengan senyuman geli.
Otomatis Jira meringis tanpa suara dan membiarkan sang perawat membersihkan kedua jarinya. Matanya menangkap Angelo yang berdiri bersandar menatap lurus ke depan dengan melipat kedua tangan di dada membuat cetakan dada dan bisepnya semakin terlihat. Raut wajahnya seperti bosan dan selalu ingin sengit kepada semua orang. Lihat saja rahangnya yang tegas dan garis wajahnya yang keras itu. Jira jadi tambah tidak enak karena membuang waktu.
Sementara itu, sang perawat masih fokus memberi perban di jemarinya yang sudah dibersihkan. “Terima kasih banyak, Mbak,” ucap Jira.
“Sama-sama, Mbak.”
Jiraya mendekat pada Angelo yang masih menatap sekitar dengan bosan. “Mau pergi sekarang? Aku udah selesai.”
Angelo menoleh pada Jiraya yang berdiri di sampingnya, lalu melirik pada dua jari perempuan itu yang sudah dibalut perban. “Oke.” Pria itu sengaja mendahului Jira menuju mobil.
Sepanjang perjalanan menuju restoran tujuan mereka pun, tidak ada yang bersuara—lagi-lagi. Jiraya melirik Angelo yang tampak mengemudikan mobil dengan tenang.
“Maaf ya buat kamu nunggu.” Jira membuka suara. “Thanks.”
Angelo hanya menjawabanya dengan deheman. “Hm.”
Tidak lama mobil Angelo terparkir sempurna di area parkir. Mereka keluar dari sana dan berjalan bersisian menuju meja reservasi. Di sana sudah ada keempat orangtua mereka yang sedang berbincang hangat, sesekali diselingi tawa. Jiraya mencoba mengambil napas pelan-pelan dan mencoba tenang. Bagaimana pun dia adalah orang yang tidak suka berpura-pura, tapi malam ini dia harus memasang senyuman palsunya.
“Selamat malam, tante dan om.” Jiraya menyapa dan Tante Vanya langsung berdiri memeluknya hangat, tidak lupa memberikan sun di pipi kanan dan kiri. Begitu pun Angelo yang memberikan saliman pada orangtua Jira.
“Ah, tante kangen banget sama kamu padahal baru aja kita ketemu seminggu yang lalu.” Tante Vanya tersenyum gemas dan mengajaknya duduk. “Kamu malam inni cantik banget. Angelo udah bilang belum?”
Semua mata sontak menuju pada Angelo yang jadi bingung. Kemudian matanya menatap Tane Vanya yang memberikan kode, membuat Angelo mencibir pelan dalam hati. Dengan senyuman formal, dia menatap Jiraya. “Iya, Ma. Dia cantik.”
Andai saja tidak ada siapa pun di sini, Jira ingin mengatakn pada pria itu jika kita tidak harus berpura-pura. Tapi sayangnya itu tidak bisa terjadi. Apalagi Adeline yang makin menyukai Angelo—menatap pria itu dengan pemujaan seakan berkata jika pria itu adalah ayah dari cucu-cucunya kelak.
Namun, Tante vanya tidak berbohong.
Jiraya memang sangat cantik malam ini dengan terusan hitam yang pas di tubuhnya. Serasa serasi dengan setelan Angelo. Siapa pun yang melihat mereka malam ini berjalan beriringan, pasti akan setuju pula.
“Jadi, Tante udah bertemu sama vendor yang Angelo ajukan. Tante sangat setuju karena itu juga kenalan tante. Mama Adeline dan papa kamu juga setuju.” Tante Vanya memberikan iMac-nya yang menampakan katalog desain pernikahan mereka nanti. Tentu dengan harga yang sangat fantastis dan mewah. “Angelo sudah kasih tau ke kamu, Jira?”
Jira mengangkat wajah menatap Tante vanya. Dengan seulas senyuman sopan. “Sudah, Tante. Jira setuju dengan pilihan tante.”
“Jangan tergantung orangtua, sayang. Semua keputusan harus kamu juga ikut menentukan sesuai selera kaian berdua.” Adeline menyahut. “Kita dukung pilihan kalian berdua.”
Tante Vanya dan para bapak-bapak keren—terkecuali Angelo menyahut setuju. Jira sebenarnya tidak butuh memilih apapun—karena dia juga tidak mau. Tapi demi keformalan, Jira memilih satu yang menurutnya simpel tapi elegan. Tidak muluk-muluk. Untung Angelo juga segera menyetujui.
“Kalian sudah menentukan mau di tanggal berapa?” Tante Vanya bertanya.
Jiraya menatap orangtuanya lalu pada Tante vanya. “Sebelum Angelo berangkat bussines trip ke Jepang, Tante. Dua bulan lagi.”
Tante Vanya dan Adeline saling bertatapan sebentar, lalu menatap Angelo. “Apa nggak terlalu singkat waktunya? Kami pikir, kalian mau melangsungkan sekitar enam bulan lagi.”
“Benar itu.” Adeline menyahut. “Sebenarnya semakin cepat, semakin lebih baik. Tapi apa kalian yakin?”
“Yakin, tante.” Angelo menyahut tenang dengan senyuman tipisnya. “Kita berdua udah sepakat. Lebih cepat, akan lebih bagus.”
Jira juga ikut menatapnya dari seberang meja, seolah mereka berdua saling memberikan tatapan berarti. “Iya, ma, tante. Biar … pekerjaan kami saling lancar.”
Para orangtua di sana bingung. Padahal rasanya baru saja kemarin mereka menolak perjodohan ini dengan alasan masing-masing. Toh juga, mereka memberi Jira dan Angelo banyak waktu untuk saling mengenal ke jenjang serius. Kesepakatan mereka yang di laur dugaan seperti ini malah membuat para orangtua cukup kaget, tapi juga bahagia.
“Baik, tante setuju. Iya, kan Adeline?” tanya Tante Vanya pada Adeline.
Adeline mengangguk cepat. “Benar, sayang. Kami terima saja apapun keputusan kalian. Kami hanya nggak menyangka kalau kalian sudah sangat jauh membahas pernikahan ini.”
Tidak sama sekali, cibir Jira dalam hati. Kedekatan dari mananya, what the hell? Mereka bahkan baru membicarakan pernikahan ini di perbincangan pertama mereka dan langsung mengajukan kontrak pernikahan tertulis. Kalau sampai para orangtua tahu, mereka pasti sudah kebakaran jenggot.
Rasanya Jira tidak dapat menikmati makan malam itu dengan begitu nikmat. Satu, tangannya yang terluka menyulitkannya. Kedua, karena dia kepikirantentang Sam. Setiap kai kata pernikahan muncul di kepalanya, Jira tidak bisa tidak terpikirkan oleh pria itu. Malam ini, Jira akan kembali ke sana dan memastikan Sam dalam keadaan baik-baik saja.
..
“Terima kasih makan malamnya hari ini. Aku seneng banget.” Tante Vanya memeluk Adeline. Wanita itu berbisik pelan. “Mereka mulai akrab, ya, Line. Bentar lagi kita nimang cucu.”
Adeline terkekeh kecil dan segera menyetujui. Ya, meskipun mereka juga tidak tahu apakah Jira dan Angelo berencana memiliki anak atau tidak. Apapun itu, mereka harus menghargai keputusan keduanya.
Tapi yang tidak mereka ketahui sebenarnya hanyalah umur pernikahan yang pendek nanti.
Tante Vanya juga menyuruh Angelo untuk mengantar Jira sampai benar-benar di rumah. Setelah mereka berpisah masing-masing, Jira menghentikan langkah di dekat parkiran. “Aku pulang sendiri aja. Makasih buat tumpangannya.”
Angelo memutar tubuh seraya memainkan kunci di telunjuk. “Lo nggak denger tadi? Gue harus anter lo sampai di rumah.”
“Ya nggak apa-apa. Aku balik sendiri aja. Lagipula aku harus ke suatu tempat.” Jira menjelaskan.
“Tetep nggak boleh. Gue nggak mau dicap pembohong sama orangtua lo.”
Jira menatapnya aneh. Seakan-akan pria ini ingin mempertahankan sifatnya yang sangat well-manner itu. “Jangan mikir yang aneh. Gue nggak biasa ingkar janji sama orang lain,” Angelo segera meralat ucapannya. Meski dia begitu bodo amat, namun Angelo tidak pernah mau dicap pembohong. Dia mempertahankan martabatnya yang satu itu.
“Aku yang akan bilang sama mama. Biar kamu nggak terseret.”
Seolah keras kepala, Angelo membuka pintu mobil dan menatapnya lagi. “Masuk.”
Jira menghela napas lelah. Dia kira lelaki ini akan fleksibel saja. “Tapi—
“Gue anter ke tempat tujuan lo.” Angelo menyela omongannya. “Cepetan naik.”
Jira padahal ingin sekali membantah, tapi Angelo keburu menunggunya. Mau tidak mau, Jira masuk ke dalam mobil pria itu untuk menuju apartemen Sam. Sebenarnya Jira merasa tidak enak saja harus membebani pria ini.
Mobil Angelo berhenti tepat di area parkir apartemen mewah Sam. Jiraya melepas seatbelt, menatap pria yang dibalik stir itu. “Terima kasih tumpangannya, sekali lagi.”Angelo mengangguk samar. “Oke.”Jira tersenyum tipis dan membuka pintu mobil. Namun sebelum itu, dia berbalik badan kembali menatap Angelo. “Oh iya. Rencana mau ketemu vendor, kamu bakal ajak aku?”Angelo mengedik. “Terserah lo.”Jira mengangguk. “Aku mau. Kabarin kalau kamu perlu bantuan.” Dengan anggukan terakhir, Jira pamit dari sana. Menunggu Angelo benar-benar pergi dari area itu, lalu naik ke apartemen Sam. Keputusannya mungkin akan menjadi hal yang salah malam ini. Kalau mama tau, pasti dia akan mengamuk. Toh siapa juga yang peduli. Tidak ada yang bisa merubah fata bahwa yang menjadi kekasihnya adalah Sam, bukan siapa pun. Bahkan jika itu pilihan mama.Dirinya dan Sam hanya perlu bersabar sedikit lagi setelah sandiwara pernikahan selesai. Bagaimana pun nanti caranya, dia yang akan mengusahakan agar Sam bisa bertem
Pernikahan dan menjalin hubungan tidak ada di dalam agenda hidupnya. Sebagai pria matang dengan kehidupan mapan, dewasa, dihadiahi skill dan otak jenius, tentu akan sangat mudah menjentikkan jari dan memilih wanita seperti apa yang dia mau. Tadeus pun siap memberikan banyak pilihan. Tak jarang, koleganya dari berbagai negara berusaha mendekati Angelo. Namun bukannya menolak mentah-mentah, dia justru menjadikan hal itu peluang dalam bisnis. Tidak ada yang dirugikan, bukan? Maka dari itu, ketika orangtuanya memilih menjodohkannya—tradisi kolot, demi Tuhan—Angelo merasa kepalanya berat luar biasa. Dia bisa saja menolak mentah-mentah, tapi membantah mama bukanlah pilihan. Dia terlihat garang, judes, sarkastik kadang-kadang, tapi jika mama sudah berbicara, Angelo tidak kuasa ingin langsung menolak. Akan sangat memalukan jika di usia matangnya dan kehidupan yang begitu modern ini dipatahkan dengan perjodohan kolot, bukan? Angelo bukannya bodoamat meski selalu terlihat seperti itu. Dia pik
Rutinitas Jira setiap hari Minggu biasanya mengerjakan setumpuk pekerjaan yang belum selesai di hari sebelumnya, atau seperti sekarang ini. Balutan kaus putih dan celana training, serta jaket abu-abu sudah terpasang di depan cermin. Jira siap berangkat untuk memulai lari paginya tepat di jam 05.00 pagi. Jika sehabis lari pagi begini, barulah dia mengambil waktu untuk sarapan di café terdekat yang sudah buka atau di rumah saja. Setelah memanaskan mobil, Jira menuju daerah taman kota. Limabelas menit dia habiskan untuk pemanasan dan mulai berlari sesuai rute yang dia punya. Sebelumnya Jira sering mengikuti Indonesia Half Marathon jika punya banyak waktu senggang. Namun karena cerita yang diampunya belakangan akan naik produksi sebagai film, kesibukan selalu mengambil alih waktu dan pikirannya sehingga akan sulit membagi waktu di hari-hari biasa. Jira menghitung jarak larinya lewat applewatch yang menunjukan sejauh mana dirinya berlari. Menghabiskan lebih dari satu jam untuk lari pagi,
Angin malam itu menusuk-nusuk lapisan kulitnya. Mengirimkan rasa dingin sampai di bawah sinar rembulan. Namun, dia tetap memilih berdiri di sana meski dinginnya malam membekukan tubuh. Sesekali ia mengusap lengan yang masih tertutupi blazer hitam seraya menatap kerlap-kerlip cahaya lampu ibukota dari perpaduan gedung-gedung pencakar langit dan bangunan-bangunan masyarakat dari atas balkon kamar.“Jira.”Wanita yang dipanggil Jira itu membalikan tubuh demi mendapati seorang pria yang berjalan cepat untuk menggapai tempatnya. Dalam satu tarikan memeluknya begitu erat hingga Jira harus menahan napas. Aroma cologne dari parfum mahal menghias indera penciuman Jira. Aroma yang ia rindukan belakangan ini.“Maaf sudah membuat menunggu lama, sayang,” bisik laki-laki itu tepat di telinga Jira. Rasanya tidak cukup sekali melampiaskan rasa rindu yang mengoyak lewat pelukan pada tubuh ramping wanita kesayangannya.Jira mengulas senyuman tipis, memberikan sentuhan hangat pada tengkuk di bawah rambu
Dentingan garpu dan sendok saling beradu di atas meja mengiringi perbincangan hangat di antara dua keluarga di sana. Di atas meja makan berkayu mahoni mewah yang luas diisi oleh enam orang. Hanya dua orang saja yang sedari tadi saling diam.“Adeline ini memang jago memasak. Nggak ragu sama kemampuan masak kamu waktu zaman kuliah sering banget jadi ambassador jurusan Gizi di kampus kita dulu,” puji Tante Vanya dengan tulus seteah menyantap hidangan.Adeline tertawa kecil. “Glad to hear that. Nah, kalo yang itu, Jira yang masak. Favorit Jira,” tunjuknya pada Salmon Steak.Tante Vanya menatap kagum pada Jira, melemparkan pujian dan dibalas ucapan terima kasih secara sopan oleh Jira.“Kalo Angelo, dia sama seperti ayahnya. Nggak terlalu suka olahan seafood. Lebih suka olahan vegetarian atau beef,” jelas Tante Vanya seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Heran. Padahal orang Jepang kebanyakan suka seafood, Cuma mereka berdua yang aneh.”“Ssst! Jangan buka aib dong, Ma,” bisik suami Tante Van
"Astaga, sumpah! Thank you banget, mbak Jiraaa. Aku nggak nyangka banget novel aku yang menurutku peluangnya sedikiiiit banget bakal diangkat jadi film, ternyata paling banyak yang nungguin. Kalo aja editor novelku yang Paradoks bukan mbak yang revisi waktu itu, mungkin nggak jadi best seller kayak sekarang!"Jira tersenyum tipis ketika salah satu penulisnya terlonjak girang saat tahu ia mendapat kontrak kerjasama dengan sebuah perusahaan perfilman yang memiliki nama besar se-Asia. Vague Entertaint, tentunya.Jangankan, Dinka—penulis mereka, para redaksi MagodaMedia saja terkejut dan bahagianya bukan main. Selama ini, memang production house yang mengajukan kontrak kerjasama dengan mereka memang cukup besar se-Indonesia. Tapi ini Vague Entertaint! Bukan se-Indonesia, namun production house ini sudah sekelas se-Asia. Mereka tidak sering mengeluarkan film baru, namun produksi mereka adalah yang selalu ditunggu-tunggu para penonton se-Asia. Well, kualitas dan kuantitas mereka tidak dirag
Apa sebenarnya yang dibutuhkan dalam hubungan selain komitmen, perasaan, dan hal-hal mendasar? Jira rasa, kejujuran. Kejujuran dan kepercayaan jaraknya dekat tapi yang paling sulit dilakukan.Mata cantik Jira menatap pintu apartemen mewah dalam diam. Butuh sekitar tiga menit baginya untuk menata isi kepala dan perasaan untuk menghadapi Sam malam ini. Karena menghadapi kekasihnya malam ini, terasa berbeda sepeti malam sebelumnya. Malam ini, dia akan datang—ralat, mendatangi kekasihnya sebagai calon istri orang lain. Demi apapun, meski kontrak sialan yang sudah dia buat di atas materai itu melibatkan tentang larangan perasaan, tapi Jira tetap mrasa bahwa di sini dia pengkhianatnya.Pintu diketuk pelan dan hati-hati. Dia tidak mengabari jika akan ke sini. Kemudian menekan tombol akses masuk ke dalam apart Sam. Hawa dingin disertai sabun mandi menyergap indera penciumannya. Perempuan itu melepas heels, menaruh di rak, lalu berpendar mencari Sam. “Sam,” panggilnya. Jira sengaja mendekati b
Audi A8 milik Angelo berhenti di parking area hotel ternama di Jakarta. Dengan santai ia berjalan melewati ballroom dan resepsionis. “Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” Senyuman ramah salah satu resepsionis. Sesekali matanya meniti penampilan Angelo yang kelewat menawan malam ini. Siapa pun akan terpesona, bahkan jika hanyamenghirup wangi parfum pria itu.“Meeting Redaksi MagodaMedia di lantai berapa?”Resepsionis itu mengerjap. “Ah, baik. Apakah dengan Tuan Angelo?”Angelo mengangguk singkat. “Ya.”Resepsionis itu mengetikan sesuatu di layar i-Pad. “Baik, Tuan Angelo. Meeting redaksi MagodaMedia ada di meeting room lantai 4, Tuan. Perlu kami antar?”“Thanks. Nggak perlu.” Dengan anggukan terakhir, Angelo pergi dari sana mematri langkah menuju meeting room. Seperti biasa, Angelo memang terbiasa menghadiri suatu acar atau rapat tanpa asisten atau manajer. Biasanya mereka akan melakukan tugasnya jika dia yang meminta, itu pun ketika sedang dalam pekerjaan. Tidak untuk mengh
Rutinitas Jira setiap hari Minggu biasanya mengerjakan setumpuk pekerjaan yang belum selesai di hari sebelumnya, atau seperti sekarang ini. Balutan kaus putih dan celana training, serta jaket abu-abu sudah terpasang di depan cermin. Jira siap berangkat untuk memulai lari paginya tepat di jam 05.00 pagi. Jika sehabis lari pagi begini, barulah dia mengambil waktu untuk sarapan di café terdekat yang sudah buka atau di rumah saja. Setelah memanaskan mobil, Jira menuju daerah taman kota. Limabelas menit dia habiskan untuk pemanasan dan mulai berlari sesuai rute yang dia punya. Sebelumnya Jira sering mengikuti Indonesia Half Marathon jika punya banyak waktu senggang. Namun karena cerita yang diampunya belakangan akan naik produksi sebagai film, kesibukan selalu mengambil alih waktu dan pikirannya sehingga akan sulit membagi waktu di hari-hari biasa. Jira menghitung jarak larinya lewat applewatch yang menunjukan sejauh mana dirinya berlari. Menghabiskan lebih dari satu jam untuk lari pagi,
Pernikahan dan menjalin hubungan tidak ada di dalam agenda hidupnya. Sebagai pria matang dengan kehidupan mapan, dewasa, dihadiahi skill dan otak jenius, tentu akan sangat mudah menjentikkan jari dan memilih wanita seperti apa yang dia mau. Tadeus pun siap memberikan banyak pilihan. Tak jarang, koleganya dari berbagai negara berusaha mendekati Angelo. Namun bukannya menolak mentah-mentah, dia justru menjadikan hal itu peluang dalam bisnis. Tidak ada yang dirugikan, bukan? Maka dari itu, ketika orangtuanya memilih menjodohkannya—tradisi kolot, demi Tuhan—Angelo merasa kepalanya berat luar biasa. Dia bisa saja menolak mentah-mentah, tapi membantah mama bukanlah pilihan. Dia terlihat garang, judes, sarkastik kadang-kadang, tapi jika mama sudah berbicara, Angelo tidak kuasa ingin langsung menolak. Akan sangat memalukan jika di usia matangnya dan kehidupan yang begitu modern ini dipatahkan dengan perjodohan kolot, bukan? Angelo bukannya bodoamat meski selalu terlihat seperti itu. Dia pik
Mobil Angelo berhenti tepat di area parkir apartemen mewah Sam. Jiraya melepas seatbelt, menatap pria yang dibalik stir itu. “Terima kasih tumpangannya, sekali lagi.”Angelo mengangguk samar. “Oke.”Jira tersenyum tipis dan membuka pintu mobil. Namun sebelum itu, dia berbalik badan kembali menatap Angelo. “Oh iya. Rencana mau ketemu vendor, kamu bakal ajak aku?”Angelo mengedik. “Terserah lo.”Jira mengangguk. “Aku mau. Kabarin kalau kamu perlu bantuan.” Dengan anggukan terakhir, Jira pamit dari sana. Menunggu Angelo benar-benar pergi dari area itu, lalu naik ke apartemen Sam. Keputusannya mungkin akan menjadi hal yang salah malam ini. Kalau mama tau, pasti dia akan mengamuk. Toh siapa juga yang peduli. Tidak ada yang bisa merubah fata bahwa yang menjadi kekasihnya adalah Sam, bukan siapa pun. Bahkan jika itu pilihan mama.Dirinya dan Sam hanya perlu bersabar sedikit lagi setelah sandiwara pernikahan selesai. Bagaimana pun nanti caranya, dia yang akan mengusahakan agar Sam bisa bertem
“Maaf, Sam. Aku sudah ada janji dinner sama keluarga aku malam ini. Mama nggak mau kalo sampai aku nggak ikut, Sam.”“Dari kemarin kamu begitu terus, Jira. Kapan kamu punya waktu buat aku? Kamu rapat, aku ngalah. Pertemuan keluarga, aku ngalah, bahkan kamu lebih mementingkan buat revisi naskah-naskah sialan kamu itu dibanding spend time sama aku.” Sam membalasnya telak dan Jira tidak bisa menjawab apapun.Memang salahnya, kali ini. Dia begitu banyak membuang waktu ke dunia luar dan lupa jika Sam pun membutuhkannya. Entahlah, tapi dia merasa mama selalu mempunya banyak cara agar Jira tidak punya waktu bertemu dengan Sam. Entah dinner tiba-tiba, atau bahkan malam ini Angelo pun diajak. “Aku baru pulang dari London dan satu minggu lagi aku kembali ke sana, Jira. Kamu egois.”“Sam…” Jira mencoba meraih lengan pria itu meski ditepis. “Aku yang salah, aku minta maaf. Aku juga nggak tahu kalau mama punya rencana sebanyak itu, Sam.”“Kita berdua udah dewasa, Jira. Harusnya kamu bisa bicara sa
Audi A8 milik Angelo berhenti di parking area hotel ternama di Jakarta. Dengan santai ia berjalan melewati ballroom dan resepsionis. “Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” Senyuman ramah salah satu resepsionis. Sesekali matanya meniti penampilan Angelo yang kelewat menawan malam ini. Siapa pun akan terpesona, bahkan jika hanyamenghirup wangi parfum pria itu.“Meeting Redaksi MagodaMedia di lantai berapa?”Resepsionis itu mengerjap. “Ah, baik. Apakah dengan Tuan Angelo?”Angelo mengangguk singkat. “Ya.”Resepsionis itu mengetikan sesuatu di layar i-Pad. “Baik, Tuan Angelo. Meeting redaksi MagodaMedia ada di meeting room lantai 4, Tuan. Perlu kami antar?”“Thanks. Nggak perlu.” Dengan anggukan terakhir, Angelo pergi dari sana mematri langkah menuju meeting room. Seperti biasa, Angelo memang terbiasa menghadiri suatu acar atau rapat tanpa asisten atau manajer. Biasanya mereka akan melakukan tugasnya jika dia yang meminta, itu pun ketika sedang dalam pekerjaan. Tidak untuk mengh
Apa sebenarnya yang dibutuhkan dalam hubungan selain komitmen, perasaan, dan hal-hal mendasar? Jira rasa, kejujuran. Kejujuran dan kepercayaan jaraknya dekat tapi yang paling sulit dilakukan.Mata cantik Jira menatap pintu apartemen mewah dalam diam. Butuh sekitar tiga menit baginya untuk menata isi kepala dan perasaan untuk menghadapi Sam malam ini. Karena menghadapi kekasihnya malam ini, terasa berbeda sepeti malam sebelumnya. Malam ini, dia akan datang—ralat, mendatangi kekasihnya sebagai calon istri orang lain. Demi apapun, meski kontrak sialan yang sudah dia buat di atas materai itu melibatkan tentang larangan perasaan, tapi Jira tetap mrasa bahwa di sini dia pengkhianatnya.Pintu diketuk pelan dan hati-hati. Dia tidak mengabari jika akan ke sini. Kemudian menekan tombol akses masuk ke dalam apart Sam. Hawa dingin disertai sabun mandi menyergap indera penciumannya. Perempuan itu melepas heels, menaruh di rak, lalu berpendar mencari Sam. “Sam,” panggilnya. Jira sengaja mendekati b
"Astaga, sumpah! Thank you banget, mbak Jiraaa. Aku nggak nyangka banget novel aku yang menurutku peluangnya sedikiiiit banget bakal diangkat jadi film, ternyata paling banyak yang nungguin. Kalo aja editor novelku yang Paradoks bukan mbak yang revisi waktu itu, mungkin nggak jadi best seller kayak sekarang!"Jira tersenyum tipis ketika salah satu penulisnya terlonjak girang saat tahu ia mendapat kontrak kerjasama dengan sebuah perusahaan perfilman yang memiliki nama besar se-Asia. Vague Entertaint, tentunya.Jangankan, Dinka—penulis mereka, para redaksi MagodaMedia saja terkejut dan bahagianya bukan main. Selama ini, memang production house yang mengajukan kontrak kerjasama dengan mereka memang cukup besar se-Indonesia. Tapi ini Vague Entertaint! Bukan se-Indonesia, namun production house ini sudah sekelas se-Asia. Mereka tidak sering mengeluarkan film baru, namun produksi mereka adalah yang selalu ditunggu-tunggu para penonton se-Asia. Well, kualitas dan kuantitas mereka tidak dirag
Dentingan garpu dan sendok saling beradu di atas meja mengiringi perbincangan hangat di antara dua keluarga di sana. Di atas meja makan berkayu mahoni mewah yang luas diisi oleh enam orang. Hanya dua orang saja yang sedari tadi saling diam.“Adeline ini memang jago memasak. Nggak ragu sama kemampuan masak kamu waktu zaman kuliah sering banget jadi ambassador jurusan Gizi di kampus kita dulu,” puji Tante Vanya dengan tulus seteah menyantap hidangan.Adeline tertawa kecil. “Glad to hear that. Nah, kalo yang itu, Jira yang masak. Favorit Jira,” tunjuknya pada Salmon Steak.Tante Vanya menatap kagum pada Jira, melemparkan pujian dan dibalas ucapan terima kasih secara sopan oleh Jira.“Kalo Angelo, dia sama seperti ayahnya. Nggak terlalu suka olahan seafood. Lebih suka olahan vegetarian atau beef,” jelas Tante Vanya seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Heran. Padahal orang Jepang kebanyakan suka seafood, Cuma mereka berdua yang aneh.”“Ssst! Jangan buka aib dong, Ma,” bisik suami Tante Van
Angin malam itu menusuk-nusuk lapisan kulitnya. Mengirimkan rasa dingin sampai di bawah sinar rembulan. Namun, dia tetap memilih berdiri di sana meski dinginnya malam membekukan tubuh. Sesekali ia mengusap lengan yang masih tertutupi blazer hitam seraya menatap kerlap-kerlip cahaya lampu ibukota dari perpaduan gedung-gedung pencakar langit dan bangunan-bangunan masyarakat dari atas balkon kamar.“Jira.”Wanita yang dipanggil Jira itu membalikan tubuh demi mendapati seorang pria yang berjalan cepat untuk menggapai tempatnya. Dalam satu tarikan memeluknya begitu erat hingga Jira harus menahan napas. Aroma cologne dari parfum mahal menghias indera penciuman Jira. Aroma yang ia rindukan belakangan ini.“Maaf sudah membuat menunggu lama, sayang,” bisik laki-laki itu tepat di telinga Jira. Rasanya tidak cukup sekali melampiaskan rasa rindu yang mengoyak lewat pelukan pada tubuh ramping wanita kesayangannya.Jira mengulas senyuman tipis, memberikan sentuhan hangat pada tengkuk di bawah rambu