Mobil Angelo berhenti tepat di area parkir apartemen mewah Sam. Jiraya melepas seatbelt, menatap pria yang dibalik stir itu. “Terima kasih tumpangannya, sekali lagi.”
Angelo mengangguk samar. “Oke.”
Jira tersenyum tipis dan membuka pintu mobil. Namun sebelum itu, dia berbalik badan kembali menatap Angelo. “Oh iya. Rencana mau ketemu vendor, kamu bakal ajak aku?”
Angelo mengedik. “Terserah lo.”
Jira mengangguk. “Aku mau. Kabarin kalau kamu perlu bantuan.” Dengan anggukan terakhir, Jira pamit dari sana. Menunggu Angelo benar-benar pergi dari area itu, lalu naik ke apartemen Sam. Keputusannya mungkin akan menjadi hal yang salah malam ini. Kalau mama tau, pasti dia akan mengamuk. Toh siapa juga yang peduli. Tidak ada yang bisa merubah fata bahwa yang menjadi kekasihnya adalah Sam, bukan siapa pun. Bahkan jika itu pilihan mama.
Dirinya dan Sam hanya perlu bersabar sedikit lagi setelah sandiwara pernikahan selesai. Bagaimana pun nanti caranya, dia yang akan mengusahakan agar Sam bisa bertemu kedua orangtuanya.
..
Jiraya menghela napas seraya memijat pangkal hidung. Menyesap kopi yang mulai mendingin lalu melanjutkan membaca script kiriman Dinka semalam. Tentu saja sebagai penulis yang baru saja pertama kali mendapatkan pengalaman bisa mengadaptasi ke dalam bentuk visual adalah hal yang paling pertama kali Dinka lakukan. Ratusan naskah hasil garapan Jira ke dalam bentuk film, tentu saja membuatnya tahu jika naskah Dinka masih jauh dari kata sempurna. Masih berpaku pada dialog novel, teks narasi yang belum ‘hidup’, dan pengembangan tokoh yang tidak sempurna.
Mungkin kontrak naskah Dinka seharusnya dipegang penuh oleh tim produser VE yang telah memegang hak cipta di sana. Tapi setelah hasil rapat kemarin, tim produser juga ingin Jira ikut merevisi dalam proses pengerjaannya meski mereka pun memiliki tim editor sendiri.
“Karin, outline penulis siapa ya yang kemarin baru email saya?” tanya Jira pada Karin—karyawan yang memegang jabatan sebagai co-editor di meja sebelah. Rambutnya begitu nyentrik dengan warna cokat dan bentuk keriting gantung.
“Oh! Ghea Andara bukan, sih, Mbak?” Karin mencoba mengira-ngira.
Anggukan datang dari Jira “Tolong suruh email saya lagi ya, Rin, buat kirimin data naskahnya. Email saya gangguan jadi nggak bisa kirim pesan apapun.”
“Ashiaaap, Mbak Jira.”
Pusing melanda kepala Jiraya rasanya. Pekerjaan yang menumpuk ditambah hari ini adalah hari pertamanya menstruasi justru membuat Jira lemas. Maka dari itu ketika jam istirahat, Jira mengemudikan kendaraannya mencari makanan yang sedang diinginkannya.
..
Benar kata ibu, Angelo adalah orang Jepang yang aneh. Biasanya, kebanyakan orang Jepang atau masakan mereka selalu identik dengan seafood atau ikan-ikanan dalam setiap menu di atas meja makan. Namun tidak dengan Angelo, dia tidak menyukai ikan sama sekali. Entahlah, dia bukan menyukainya karena bau amis karena masakan Vanya selalu yang terbaik. Lidah Angelo terlalu western atau bisa jadi terlalu tradisional. Dibanding Broiled salmon with unagi sebagai makanan paling best seller di restorang Jepang ini, Angelo lebih memilih tonkotsu ramen dengan Gyoza sebagai makanan penutupnya.
Maka dari itu, Vanya selalu memberikan menu terkhusus untuk suami dan anak tunggalnya itu. Angelo menyesap ochi seraya menatap sekitar yang sangat ramai. Tidak biasanya dia tidak makan siang bersama Tadeus yang suka sekali mengintili dirinya ketika jam makan siang—meskipun jarak kerja mereka berdua terbilang cukup jauh. Sebagai orang Jepang yang aneh—begitu kata Vanya—Akabana Restaurant adalah restoran Jepang yang paling masuk di lidahnya. Authentic. Setiap makan siang, pilihannya hanya Akabana Restaurant atau Nasi Bebek di simpangan.
“Irasshaimase! Ada yang bisa kami bantu?” sapa pramusaji dengan senyuman semringah ketika satu perempuan datang.
Jira tersenyum tipis menatap menu yang berderet. “Teriyaki salmon dan air mineral.”
“Baik! Silakan ditunggu pesanannya.”
Ada counter table yang berderet di sana, Jira memutuskan menunggu di situ. Mengamati interior restoran yang begitu kental dengan budaya Jepang, bahkan beberapa koki yang dia lihat memang asli dari Jepang. Ini pertama kalinya Jira ke sini dan dia cukup kagum. Meski terlihat tradisional dan tidak besar, tapi hawa di sini cukup membuatnya nyaman. Aroma melati yang bercampur kayu mahoni disertai lampu-lampu menggantung, ditambah aroma masakan dari dapur koki yang menyengat. Sebenarnya secara random aja Jira memilih ke sini—sebelumnya dia kepikiran untuk ke toko pastry.
“Satu teriyaki salmon dan air mineral sudah siap!”
Jira menoleh, mengucapkan terima kasih dan mengambil nampan itu. Well, dia tidak pernah menyukai duduk di meja sejenis itu, jadi dia berkeliling mencari meja yang kosong. Namun naas, tidak satu pun ada yang kosong di sana.
Mungkin satu, di pojok yang bersebelahan dengan jendela. Tepat ada seseorang di sana yang dia kenali. Jira menghela napas, akan sangat sulit menentukan apakah dia perlu duduk di sana atau tidak. Mau tidak mau, Jira melangkahkan kakinya mendekat pada seorang pria yang menikmati makanannya dengan tenang itu. Tidak ada siapa pun di sana selain seseorang itu.
“Hai, Angelo.”
Dan ini pertama kalinya Jiraya memanggil nama pria itu selama seumur hidup mengenalinya. Ya, begitu terpaksa dia harus menurunkan egonya untuk duduk dan meminta tolong.
Sang pemilik nama menagngkat wajah menatapnya, tidak ada kilas terkejut di sana. “Oh, hai?”
Jira mencoba untuk profesional. “Boleh ikut makan di sini? Kebetulan di meja lain udah penuh semua.”
Angelo menatapnya sebentar lalu mengangguk singkat. “Silakan.”
Setelah itu, Jira mengambil tempat di hadapan Angelo yang kembali memakan dengan tenang. Perempuan itu menyempatkan menatap pria itu sebentar sebelum mengucap. “Terima kasih.”
Lagi-lagi Angelo meliriknya sebentar dan mengangguk. Sementara itu, Jira mulai bersiap makan. Namun dia terdiam sejenak. “Maaf, kamu nggak bisa makan salmon ya?”
Angelo tentu agak heran dengan pertanyaan random itu. “Kenapa?”
“Aku pesan salmon. Kamu nggak masalah?” tanyanya hati-hati. Jaga-jaga jika Angelo memiliki alergi atau akan mual jika melihat orang lain memakan salmon di depannya. Dia hanya mencoba menghargai itu.
“No problem. Gue cuma nggak suka.”
Jiraya mengangguk mengerti. “Oke.”
Jika ada yang melihat mereka, mungkin menganggap sebagai pasangan yang sedang bertengkar karena hawanya yang terlalu dingin dan terlihat canggung. Namun justru, mereka saling menikmati berdiam diri seperti ini. Seperti orang asing yang terpaksa harus duduk di meja yang sama.
“Tahu dari mana gue nggak suka salmon?”
Jira mengangkat wajah saat Angelo bertanya. Pria itu sudah selesai dengan makanan beratnya dan kini tersisa Gyoza. “Ah, aku cuma ingat kata mama kamu waktu dinner pertama kali. Kamu nggak suka makan seafood.”
Angelo tidak ingat akan hal itu. Yang dia ingat hanya Jira yang memasak makanan mereka malam itu. Pria itu memandang Jira yang menikmati salmonnya dengan tenang. Tampaknya dia menyukai tempat ini. Wanita itu tidak banyak bertingkah atau bersuara, cenderung dingin dan agak kaku. Tapi diam-diam sudah menyiapkan kontrak pernikahan yang berderet di atas materai. Itu salah satu hal yang toba-tiba. Tiba-tiba lainnya adalah yang merancang sandiwara pernikahan.
“Mama aku ada telepon kamu lagi setelah tadi malam?” Jira mengangkat wajah. Menatap Angelo yang sama menatapnya.
“Ada.”
Mata Jira membulat. “Padahal aku udah bilang kalau aku ke rumah temanku.”
Angelo mengedik bahu. “Sama gue.”
Kening Jira mengerut. “Maksudnya?”
“Gue bilang, lo ke rumah temen lo sama gue. Itu yang gue bilang ke Tante Adeline,” jelas Angelo.
Astaga. Jira tidak tahu jika Angelo malah terjun bersamanya dalam kebohongan Jira. Dia pikir, mama sudah tidak mengubungi pria ini lagi. Pantas saja, mama tidak bertanya lebih dan bahkan tidak bertanya dia pulang dengan siapa. Bahu Jira agak melemas. “Maaf udah bebanin hal itu ke kamu. Lain kali aku nggak menyeret kamu lagi.”
“Santai. Itu tanggungjawab gue yang udah bawa lo pergi.”
Tetap saja Jira merasa tidak enak. Seolah dia adalah anak nakal dan manja yang diam-diam pergi tanpa sepengatahuan orangtua. Sebenarnya Jira tahu jika mama bukan melarangnya pergi malam, mereka hanya mewanti jika dirinya masih bertemu Sam. Meskipun mereka tidak pernah berbicara hal ini secara terang-terangan, tapi Jira paham.
Jira masih memperhatikan Angelo yang memasang dasinya kembali dengan rapi setelah mengancing dua kancing teratasnya hingga menampakan tulang selangka yang tegas. Angelo tampak santai dan bahkan tidak membicarakan hal itu lagi. Padahal bisa saja dia marah karena mama meneleponnya.
Tepat saat itu, makanan keduanya juga sudah habis. Sementara itu Jira menyesap air mineralnya. “Kamu langsung balik?” tanya Jira.
Angelo mengangguk sekali. “Ya.”
Hanya di sana percakapan mereka selesai. Pamit dengan anggukan singkat.
Pernikahan dan menjalin hubungan tidak ada di dalam agenda hidupnya. Sebagai pria matang dengan kehidupan mapan, dewasa, dihadiahi skill dan otak jenius, tentu akan sangat mudah menjentikkan jari dan memilih wanita seperti apa yang dia mau. Tadeus pun siap memberikan banyak pilihan. Tak jarang, koleganya dari berbagai negara berusaha mendekati Angelo. Namun bukannya menolak mentah-mentah, dia justru menjadikan hal itu peluang dalam bisnis. Tidak ada yang dirugikan, bukan? Maka dari itu, ketika orangtuanya memilih menjodohkannya—tradisi kolot, demi Tuhan—Angelo merasa kepalanya berat luar biasa. Dia bisa saja menolak mentah-mentah, tapi membantah mama bukanlah pilihan. Dia terlihat garang, judes, sarkastik kadang-kadang, tapi jika mama sudah berbicara, Angelo tidak kuasa ingin langsung menolak. Akan sangat memalukan jika di usia matangnya dan kehidupan yang begitu modern ini dipatahkan dengan perjodohan kolot, bukan? Angelo bukannya bodoamat meski selalu terlihat seperti itu. Dia pik
Rutinitas Jira setiap hari Minggu biasanya mengerjakan setumpuk pekerjaan yang belum selesai di hari sebelumnya, atau seperti sekarang ini. Balutan kaus putih dan celana training, serta jaket abu-abu sudah terpasang di depan cermin. Jira siap berangkat untuk memulai lari paginya tepat di jam 05.00 pagi. Jika sehabis lari pagi begini, barulah dia mengambil waktu untuk sarapan di café terdekat yang sudah buka atau di rumah saja. Setelah memanaskan mobil, Jira menuju daerah taman kota. Limabelas menit dia habiskan untuk pemanasan dan mulai berlari sesuai rute yang dia punya. Sebelumnya Jira sering mengikuti Indonesia Half Marathon jika punya banyak waktu senggang. Namun karena cerita yang diampunya belakangan akan naik produksi sebagai film, kesibukan selalu mengambil alih waktu dan pikirannya sehingga akan sulit membagi waktu di hari-hari biasa. Jira menghitung jarak larinya lewat applewatch yang menunjukan sejauh mana dirinya berlari. Menghabiskan lebih dari satu jam untuk lari pagi,
Angin malam itu menusuk-nusuk lapisan kulitnya. Mengirimkan rasa dingin sampai di bawah sinar rembulan. Namun, dia tetap memilih berdiri di sana meski dinginnya malam membekukan tubuh. Sesekali ia mengusap lengan yang masih tertutupi blazer hitam seraya menatap kerlap-kerlip cahaya lampu ibukota dari perpaduan gedung-gedung pencakar langit dan bangunan-bangunan masyarakat dari atas balkon kamar.“Jira.”Wanita yang dipanggil Jira itu membalikan tubuh demi mendapati seorang pria yang berjalan cepat untuk menggapai tempatnya. Dalam satu tarikan memeluknya begitu erat hingga Jira harus menahan napas. Aroma cologne dari parfum mahal menghias indera penciuman Jira. Aroma yang ia rindukan belakangan ini.“Maaf sudah membuat menunggu lama, sayang,” bisik laki-laki itu tepat di telinga Jira. Rasanya tidak cukup sekali melampiaskan rasa rindu yang mengoyak lewat pelukan pada tubuh ramping wanita kesayangannya.Jira mengulas senyuman tipis, memberikan sentuhan hangat pada tengkuk di bawah rambu
Dentingan garpu dan sendok saling beradu di atas meja mengiringi perbincangan hangat di antara dua keluarga di sana. Di atas meja makan berkayu mahoni mewah yang luas diisi oleh enam orang. Hanya dua orang saja yang sedari tadi saling diam.“Adeline ini memang jago memasak. Nggak ragu sama kemampuan masak kamu waktu zaman kuliah sering banget jadi ambassador jurusan Gizi di kampus kita dulu,” puji Tante Vanya dengan tulus seteah menyantap hidangan.Adeline tertawa kecil. “Glad to hear that. Nah, kalo yang itu, Jira yang masak. Favorit Jira,” tunjuknya pada Salmon Steak.Tante Vanya menatap kagum pada Jira, melemparkan pujian dan dibalas ucapan terima kasih secara sopan oleh Jira.“Kalo Angelo, dia sama seperti ayahnya. Nggak terlalu suka olahan seafood. Lebih suka olahan vegetarian atau beef,” jelas Tante Vanya seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Heran. Padahal orang Jepang kebanyakan suka seafood, Cuma mereka berdua yang aneh.”“Ssst! Jangan buka aib dong, Ma,” bisik suami Tante Van
"Astaga, sumpah! Thank you banget, mbak Jiraaa. Aku nggak nyangka banget novel aku yang menurutku peluangnya sedikiiiit banget bakal diangkat jadi film, ternyata paling banyak yang nungguin. Kalo aja editor novelku yang Paradoks bukan mbak yang revisi waktu itu, mungkin nggak jadi best seller kayak sekarang!"Jira tersenyum tipis ketika salah satu penulisnya terlonjak girang saat tahu ia mendapat kontrak kerjasama dengan sebuah perusahaan perfilman yang memiliki nama besar se-Asia. Vague Entertaint, tentunya.Jangankan, Dinka—penulis mereka, para redaksi MagodaMedia saja terkejut dan bahagianya bukan main. Selama ini, memang production house yang mengajukan kontrak kerjasama dengan mereka memang cukup besar se-Indonesia. Tapi ini Vague Entertaint! Bukan se-Indonesia, namun production house ini sudah sekelas se-Asia. Mereka tidak sering mengeluarkan film baru, namun produksi mereka adalah yang selalu ditunggu-tunggu para penonton se-Asia. Well, kualitas dan kuantitas mereka tidak dirag
Apa sebenarnya yang dibutuhkan dalam hubungan selain komitmen, perasaan, dan hal-hal mendasar? Jira rasa, kejujuran. Kejujuran dan kepercayaan jaraknya dekat tapi yang paling sulit dilakukan.Mata cantik Jira menatap pintu apartemen mewah dalam diam. Butuh sekitar tiga menit baginya untuk menata isi kepala dan perasaan untuk menghadapi Sam malam ini. Karena menghadapi kekasihnya malam ini, terasa berbeda sepeti malam sebelumnya. Malam ini, dia akan datang—ralat, mendatangi kekasihnya sebagai calon istri orang lain. Demi apapun, meski kontrak sialan yang sudah dia buat di atas materai itu melibatkan tentang larangan perasaan, tapi Jira tetap mrasa bahwa di sini dia pengkhianatnya.Pintu diketuk pelan dan hati-hati. Dia tidak mengabari jika akan ke sini. Kemudian menekan tombol akses masuk ke dalam apart Sam. Hawa dingin disertai sabun mandi menyergap indera penciumannya. Perempuan itu melepas heels, menaruh di rak, lalu berpendar mencari Sam. “Sam,” panggilnya. Jira sengaja mendekati b
Audi A8 milik Angelo berhenti di parking area hotel ternama di Jakarta. Dengan santai ia berjalan melewati ballroom dan resepsionis. “Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” Senyuman ramah salah satu resepsionis. Sesekali matanya meniti penampilan Angelo yang kelewat menawan malam ini. Siapa pun akan terpesona, bahkan jika hanyamenghirup wangi parfum pria itu.“Meeting Redaksi MagodaMedia di lantai berapa?”Resepsionis itu mengerjap. “Ah, baik. Apakah dengan Tuan Angelo?”Angelo mengangguk singkat. “Ya.”Resepsionis itu mengetikan sesuatu di layar i-Pad. “Baik, Tuan Angelo. Meeting redaksi MagodaMedia ada di meeting room lantai 4, Tuan. Perlu kami antar?”“Thanks. Nggak perlu.” Dengan anggukan terakhir, Angelo pergi dari sana mematri langkah menuju meeting room. Seperti biasa, Angelo memang terbiasa menghadiri suatu acar atau rapat tanpa asisten atau manajer. Biasanya mereka akan melakukan tugasnya jika dia yang meminta, itu pun ketika sedang dalam pekerjaan. Tidak untuk mengh
“Maaf, Sam. Aku sudah ada janji dinner sama keluarga aku malam ini. Mama nggak mau kalo sampai aku nggak ikut, Sam.”“Dari kemarin kamu begitu terus, Jira. Kapan kamu punya waktu buat aku? Kamu rapat, aku ngalah. Pertemuan keluarga, aku ngalah, bahkan kamu lebih mementingkan buat revisi naskah-naskah sialan kamu itu dibanding spend time sama aku.” Sam membalasnya telak dan Jira tidak bisa menjawab apapun.Memang salahnya, kali ini. Dia begitu banyak membuang waktu ke dunia luar dan lupa jika Sam pun membutuhkannya. Entahlah, tapi dia merasa mama selalu mempunya banyak cara agar Jira tidak punya waktu bertemu dengan Sam. Entah dinner tiba-tiba, atau bahkan malam ini Angelo pun diajak. “Aku baru pulang dari London dan satu minggu lagi aku kembali ke sana, Jira. Kamu egois.”“Sam…” Jira mencoba meraih lengan pria itu meski ditepis. “Aku yang salah, aku minta maaf. Aku juga nggak tahu kalau mama punya rencana sebanyak itu, Sam.”“Kita berdua udah dewasa, Jira. Harusnya kamu bisa bicara sa
Rutinitas Jira setiap hari Minggu biasanya mengerjakan setumpuk pekerjaan yang belum selesai di hari sebelumnya, atau seperti sekarang ini. Balutan kaus putih dan celana training, serta jaket abu-abu sudah terpasang di depan cermin. Jira siap berangkat untuk memulai lari paginya tepat di jam 05.00 pagi. Jika sehabis lari pagi begini, barulah dia mengambil waktu untuk sarapan di café terdekat yang sudah buka atau di rumah saja. Setelah memanaskan mobil, Jira menuju daerah taman kota. Limabelas menit dia habiskan untuk pemanasan dan mulai berlari sesuai rute yang dia punya. Sebelumnya Jira sering mengikuti Indonesia Half Marathon jika punya banyak waktu senggang. Namun karena cerita yang diampunya belakangan akan naik produksi sebagai film, kesibukan selalu mengambil alih waktu dan pikirannya sehingga akan sulit membagi waktu di hari-hari biasa. Jira menghitung jarak larinya lewat applewatch yang menunjukan sejauh mana dirinya berlari. Menghabiskan lebih dari satu jam untuk lari pagi,
Pernikahan dan menjalin hubungan tidak ada di dalam agenda hidupnya. Sebagai pria matang dengan kehidupan mapan, dewasa, dihadiahi skill dan otak jenius, tentu akan sangat mudah menjentikkan jari dan memilih wanita seperti apa yang dia mau. Tadeus pun siap memberikan banyak pilihan. Tak jarang, koleganya dari berbagai negara berusaha mendekati Angelo. Namun bukannya menolak mentah-mentah, dia justru menjadikan hal itu peluang dalam bisnis. Tidak ada yang dirugikan, bukan? Maka dari itu, ketika orangtuanya memilih menjodohkannya—tradisi kolot, demi Tuhan—Angelo merasa kepalanya berat luar biasa. Dia bisa saja menolak mentah-mentah, tapi membantah mama bukanlah pilihan. Dia terlihat garang, judes, sarkastik kadang-kadang, tapi jika mama sudah berbicara, Angelo tidak kuasa ingin langsung menolak. Akan sangat memalukan jika di usia matangnya dan kehidupan yang begitu modern ini dipatahkan dengan perjodohan kolot, bukan? Angelo bukannya bodoamat meski selalu terlihat seperti itu. Dia pik
Mobil Angelo berhenti tepat di area parkir apartemen mewah Sam. Jiraya melepas seatbelt, menatap pria yang dibalik stir itu. “Terima kasih tumpangannya, sekali lagi.”Angelo mengangguk samar. “Oke.”Jira tersenyum tipis dan membuka pintu mobil. Namun sebelum itu, dia berbalik badan kembali menatap Angelo. “Oh iya. Rencana mau ketemu vendor, kamu bakal ajak aku?”Angelo mengedik. “Terserah lo.”Jira mengangguk. “Aku mau. Kabarin kalau kamu perlu bantuan.” Dengan anggukan terakhir, Jira pamit dari sana. Menunggu Angelo benar-benar pergi dari area itu, lalu naik ke apartemen Sam. Keputusannya mungkin akan menjadi hal yang salah malam ini. Kalau mama tau, pasti dia akan mengamuk. Toh siapa juga yang peduli. Tidak ada yang bisa merubah fata bahwa yang menjadi kekasihnya adalah Sam, bukan siapa pun. Bahkan jika itu pilihan mama.Dirinya dan Sam hanya perlu bersabar sedikit lagi setelah sandiwara pernikahan selesai. Bagaimana pun nanti caranya, dia yang akan mengusahakan agar Sam bisa bertem
“Maaf, Sam. Aku sudah ada janji dinner sama keluarga aku malam ini. Mama nggak mau kalo sampai aku nggak ikut, Sam.”“Dari kemarin kamu begitu terus, Jira. Kapan kamu punya waktu buat aku? Kamu rapat, aku ngalah. Pertemuan keluarga, aku ngalah, bahkan kamu lebih mementingkan buat revisi naskah-naskah sialan kamu itu dibanding spend time sama aku.” Sam membalasnya telak dan Jira tidak bisa menjawab apapun.Memang salahnya, kali ini. Dia begitu banyak membuang waktu ke dunia luar dan lupa jika Sam pun membutuhkannya. Entahlah, tapi dia merasa mama selalu mempunya banyak cara agar Jira tidak punya waktu bertemu dengan Sam. Entah dinner tiba-tiba, atau bahkan malam ini Angelo pun diajak. “Aku baru pulang dari London dan satu minggu lagi aku kembali ke sana, Jira. Kamu egois.”“Sam…” Jira mencoba meraih lengan pria itu meski ditepis. “Aku yang salah, aku minta maaf. Aku juga nggak tahu kalau mama punya rencana sebanyak itu, Sam.”“Kita berdua udah dewasa, Jira. Harusnya kamu bisa bicara sa
Audi A8 milik Angelo berhenti di parking area hotel ternama di Jakarta. Dengan santai ia berjalan melewati ballroom dan resepsionis. “Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” Senyuman ramah salah satu resepsionis. Sesekali matanya meniti penampilan Angelo yang kelewat menawan malam ini. Siapa pun akan terpesona, bahkan jika hanyamenghirup wangi parfum pria itu.“Meeting Redaksi MagodaMedia di lantai berapa?”Resepsionis itu mengerjap. “Ah, baik. Apakah dengan Tuan Angelo?”Angelo mengangguk singkat. “Ya.”Resepsionis itu mengetikan sesuatu di layar i-Pad. “Baik, Tuan Angelo. Meeting redaksi MagodaMedia ada di meeting room lantai 4, Tuan. Perlu kami antar?”“Thanks. Nggak perlu.” Dengan anggukan terakhir, Angelo pergi dari sana mematri langkah menuju meeting room. Seperti biasa, Angelo memang terbiasa menghadiri suatu acar atau rapat tanpa asisten atau manajer. Biasanya mereka akan melakukan tugasnya jika dia yang meminta, itu pun ketika sedang dalam pekerjaan. Tidak untuk mengh
Apa sebenarnya yang dibutuhkan dalam hubungan selain komitmen, perasaan, dan hal-hal mendasar? Jira rasa, kejujuran. Kejujuran dan kepercayaan jaraknya dekat tapi yang paling sulit dilakukan.Mata cantik Jira menatap pintu apartemen mewah dalam diam. Butuh sekitar tiga menit baginya untuk menata isi kepala dan perasaan untuk menghadapi Sam malam ini. Karena menghadapi kekasihnya malam ini, terasa berbeda sepeti malam sebelumnya. Malam ini, dia akan datang—ralat, mendatangi kekasihnya sebagai calon istri orang lain. Demi apapun, meski kontrak sialan yang sudah dia buat di atas materai itu melibatkan tentang larangan perasaan, tapi Jira tetap mrasa bahwa di sini dia pengkhianatnya.Pintu diketuk pelan dan hati-hati. Dia tidak mengabari jika akan ke sini. Kemudian menekan tombol akses masuk ke dalam apart Sam. Hawa dingin disertai sabun mandi menyergap indera penciumannya. Perempuan itu melepas heels, menaruh di rak, lalu berpendar mencari Sam. “Sam,” panggilnya. Jira sengaja mendekati b
"Astaga, sumpah! Thank you banget, mbak Jiraaa. Aku nggak nyangka banget novel aku yang menurutku peluangnya sedikiiiit banget bakal diangkat jadi film, ternyata paling banyak yang nungguin. Kalo aja editor novelku yang Paradoks bukan mbak yang revisi waktu itu, mungkin nggak jadi best seller kayak sekarang!"Jira tersenyum tipis ketika salah satu penulisnya terlonjak girang saat tahu ia mendapat kontrak kerjasama dengan sebuah perusahaan perfilman yang memiliki nama besar se-Asia. Vague Entertaint, tentunya.Jangankan, Dinka—penulis mereka, para redaksi MagodaMedia saja terkejut dan bahagianya bukan main. Selama ini, memang production house yang mengajukan kontrak kerjasama dengan mereka memang cukup besar se-Indonesia. Tapi ini Vague Entertaint! Bukan se-Indonesia, namun production house ini sudah sekelas se-Asia. Mereka tidak sering mengeluarkan film baru, namun produksi mereka adalah yang selalu ditunggu-tunggu para penonton se-Asia. Well, kualitas dan kuantitas mereka tidak dirag
Dentingan garpu dan sendok saling beradu di atas meja mengiringi perbincangan hangat di antara dua keluarga di sana. Di atas meja makan berkayu mahoni mewah yang luas diisi oleh enam orang. Hanya dua orang saja yang sedari tadi saling diam.“Adeline ini memang jago memasak. Nggak ragu sama kemampuan masak kamu waktu zaman kuliah sering banget jadi ambassador jurusan Gizi di kampus kita dulu,” puji Tante Vanya dengan tulus seteah menyantap hidangan.Adeline tertawa kecil. “Glad to hear that. Nah, kalo yang itu, Jira yang masak. Favorit Jira,” tunjuknya pada Salmon Steak.Tante Vanya menatap kagum pada Jira, melemparkan pujian dan dibalas ucapan terima kasih secara sopan oleh Jira.“Kalo Angelo, dia sama seperti ayahnya. Nggak terlalu suka olahan seafood. Lebih suka olahan vegetarian atau beef,” jelas Tante Vanya seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Heran. Padahal orang Jepang kebanyakan suka seafood, Cuma mereka berdua yang aneh.”“Ssst! Jangan buka aib dong, Ma,” bisik suami Tante Van
Angin malam itu menusuk-nusuk lapisan kulitnya. Mengirimkan rasa dingin sampai di bawah sinar rembulan. Namun, dia tetap memilih berdiri di sana meski dinginnya malam membekukan tubuh. Sesekali ia mengusap lengan yang masih tertutupi blazer hitam seraya menatap kerlap-kerlip cahaya lampu ibukota dari perpaduan gedung-gedung pencakar langit dan bangunan-bangunan masyarakat dari atas balkon kamar.“Jira.”Wanita yang dipanggil Jira itu membalikan tubuh demi mendapati seorang pria yang berjalan cepat untuk menggapai tempatnya. Dalam satu tarikan memeluknya begitu erat hingga Jira harus menahan napas. Aroma cologne dari parfum mahal menghias indera penciuman Jira. Aroma yang ia rindukan belakangan ini.“Maaf sudah membuat menunggu lama, sayang,” bisik laki-laki itu tepat di telinga Jira. Rasanya tidak cukup sekali melampiaskan rasa rindu yang mengoyak lewat pelukan pada tubuh ramping wanita kesayangannya.Jira mengulas senyuman tipis, memberikan sentuhan hangat pada tengkuk di bawah rambu