Angin malam itu menusuk-nusuk lapisan kulitnya. Mengirimkan rasa dingin sampai di bawah sinar rembulan. Namun, dia tetap memilih berdiri di sana meski dinginnya malam membekukan tubuh. Sesekali ia mengusap lengan yang masih tertutupi blazer hitam seraya menatap kerlap-kerlip cahaya lampu ibukota dari perpaduan gedung-gedung pencakar langit dan bangunan-bangunan masyarakat dari atas balkon kamar.
“Jira.”
Wanita yang dipanggil Jira itu membalikan tubuh demi mendapati seorang pria yang berjalan cepat untuk menggapai tempatnya. Dalam satu tarikan memeluknya begitu erat hingga Jira harus menahan napas. Aroma cologne dari parfum mahal menghias indera penciuman Jira. Aroma yang ia rindukan belakangan ini.
“Maaf sudah membuat menunggu lama, sayang,” bisik laki-laki itu tepat di telinga Jira. Rasanya tidak cukup sekali melampiaskan rasa rindu yang mengoyak lewat pelukan pada tubuh ramping wanita kesayangannya.
Jira mengulas senyuman tipis, memberikan sentuhan hangat pada tengkuk di bawah rambut. “No problem,” sahutnya.
Sang pria mengangkat wajah demi menatap teduh Jiraya, perempuan yang sudah nyaris empat minggu tidak ditemuinya setelah menghabiskan waktu di London. Dengan tangan yang masih setia merangkul pinggang ramping Jira, ia berbisik. “I miss you so bad. Kamu merindukanku?”
“Ya, tentu saja.” Jira tertawa kecil. Sesaat matanya terpejam ketika sesuatu yang lembut mengecup bibirnya singkat. Seakan ingin menegaskan jika ia benar-benar merindukan Jira. Dahi Jira mengerut ketika kecupan itu selesai. “Sam, kamu harus kurangi alkohol, okey?”
Samuel lantas memberikan senyuman dengan raut penyesalan. “Maaf, sayang. Kemarin aku stres. Kamu tau? Mr. Gibson nyaris marah sama aku karena asisten aku kurang teliti waktu analisis data. Alhasil aku yang harus terima ganjarannya,” keluh Sam. Bibirnya tersenyum manis seraya mengelus sisi wajah Jira. Senyuman menawan yang selalu membuat wanita mana pun terpikat, tidak terkecuali Jira. “Dinner? Aku lagi rindu sama masakan kamu.”
Saat itulah Jira langsung menghela napas dan memberinya tatapan menyesal. “Maaf, Sam. Ada sesuatu yang harus aku kerjakan malam ini.” Perempuan itu mengucapkan dengan nada hati-hati seolah takut akan menyakiti Sam. Padahal tentu saja dengan dia menolak ajakan Sam, pria itu sudah pasti sudah sakit hati.
Mendengar itu, Samuel berdecak kecil. “Ji, aku baru saja datang dari London setelah perpisahan kita beberapa minggu. Terus kamu mau pergi meninggalkan aku begitu saja?” Tatapan tajam pria itu menikam Jira yang menyesal menatapnya.
Bagaimana pun, Jira tetap tidak bisa luluh. “Sorry, Sam, tapi waktu aku hanya sedikit.” Ya, mungkin mengatakan ‘waktu dua jamku terbuang sia-sia hanya menunggu kamu yang mungkin sedang meredakan mabuk dan seharusnya kamu menyadari hal itu’ adalah kalimat terkejam yang akan Jira katakan pada Sam jika boleh jujur. Namun ia memilih untuk mendekat dan berusaha mengambil pandangan Sam dengan mengelus lengan bisepnya. “Sam? Can i, please?”
Namun Sam tetap tidak bisa menerima alasan Jira begitu saja. Masih dengan memalingkan wajah ke arah lain, ia beranjak dari hadapan Jira. “Kamu harusnya mengerti kalau aku sedang butuh kamu di sini.”
Jira menatap punggung Sam penuh arti seraya mendekat ke hadapan pria itu, menahan langkah Sam yang terus mencoba menghindar darinya. Sesaat ia memandang wajah tampan bergaris keturunan Eropa tersebut, mata hijau beryl, dan garis wajah yang lembut. Pesona Sam memang tidak diragukan. “Sam,” panggil Jira lembut dengan mengalungkan lengannya ke leher Sam. “Kita bisa melakukan itu besok, boleh? Hanya malam ini saja. Aku janji.”
Jika saja Jira bisa menolak janjinya malam ini, dia juga pasti ingin menetap di sini untuk melepas kerinduan mereka.
Sam menghela napas. Matanya terpejam sesaat untuk menetralisir emosi yang sudah menguap di dadanya. Bagaimana pun juga, perempuan di depannya ini memang selalu memiliki caranya sendiri untuk membuat Sam luluh dan tunduk. Selain karena suara Jira yang begitu lembuh mendayu, ia tak tahan untuk marah terlalu lama dengannya.
“Besok aku akan menjemputmu.” Sam memajukan diri untuk mengecup pipi Jira. : Malam ini kamu pasti harus menggarap naskah-naskah sialan itu, ya,” gerutu Sam.
Jira hanya melemparkannya senyuman kecil.
“Kamu bisa mengerjakannya di sini kalau kamu mau,” tawar Sam.
Jawaban Jira akan selalu sama setelah berkali-kali Sam memberikan penawaran tersebut. “Aku butuh menyendiri saat menghadapi mereka, Sam.”
“Dan jawaban kamu selalu saja itu.” Sam lantas mencebik kesal. Tidak terhitung sudah berapa kali Sam selalu memintanya—lebih tepatnya memaksa agar Jira mengerjakan naskah-naskah para penulis di apartemennya saja. Mereka pasti memiliki banyak waktu untuk dihabiskan. Namun justru karena hal itu, Jira menolaknya. Memangnya siapa yang dapat menjamin jika Jira akan fokus mengerjakan naskah-naskah sementara Sam itu begitu manja! Tentu Jira tahu bagaimana kelakuan Sam kalau sudah berdua.
Jira menghela napas. Kadang-kadang menghadapi Sam yang sudah seperti ini akan sulit dan malah menahannya pergi. “Lain kali aku akan meminta kamu menemani aku, oke? Boleh aku pergi sekarang, Sam?” Jemari Jira merayap pada sisi wajah Sam dengan lembut, berusaha untuk merayu pria itu.
Sam berdecak. “Kadang-kadang kalau bisa, aku ingin membakar semua naskahmu itu. Mereka begitu menyita waktu kita.” Di saat yang sama, ia menarik Jira dalam pelukannya untuk menyalurkan rasa rindu seraya memberikan kecupan di pelipis Jira. “Take your time. Setelah itu, kita harus menghabiskan banyak waktu bersama.”
“Sure,” sahut Jira pelan.
Tidak butuh lama, Jiraya sudah berada di balik kemudinya setelah berhasil membujuk Sam. Menghiraukan ponsel yang terus berdering dengan display ‘Mama’ di sana. Ya, dia tahu bahwa seharusnya seorang Jira sudah berada di rumah sejak satu jam yang lalu. Bukannya berada di sini dua jam bersama pacarnya.
..
“Kamu dari mana saja, sih? Kenapa mama telepon nggak diangkat?” Mama mengomel sewaktu Jiraya sampai. Meja makan sudah ada papa dan mama. Hidangan makan malam sudah siap dan tentu Jira tahu apa yang akan mereka bahas setelah ini.
“Habis meeting sama produser.”
“Meeting?” sindir Adeline—sang Mama. “Meeting atau bertemu sama pacarmu yang masih bocah itu?”
Jiraya langsung menghela napas ketika mengambil tempat duduk di hadapan Mama. “Ma, come on. Umur dia udah 25 tahun dan dia bukan bocah.”
“Ya,ya, I know. Tapi kamu pasti habis bertemu dia. Iya, kan?” desak Mama dengan tatapan menyebalkannya itu.
“Salahnya apa? He’s my boyfriend.”
Harusnya, suasana makan malam menjadi hangat jika saja Mama tidak membahas hal ini terus menerus dan semakin merusak mood Jiraya. Lihat saja tampang serius Mama yang mulai menikam dan menurunkan sendok garpu itu. Let see, apa lagi kali ini.
“Kita udah bahas ini berkali-kali, Jira.” Nada Mama semakin tegas. “Bocah itu—
“Namanya Samuel. Dia punya nama.”
Bahu Mama mengedik tidak peduli. “Whatever. Dia lebih muda dua tahun dari kamu. Pemikiran dia masih belum mengimbangi kamu, Jira. Umur segitu mereka lebih memikirkan untuk bersenang-senang ketimbang serius. Mama tidak yakin dengan bocah itu. Iya, kan, Pa?”
Papa agak tersentak ketika Mama menoleh setengah melotot dan ada bumbu desakan di sana. Pria gagah itu berdehem. “Jiraya, sebaiknya kamu dengarkan saja dulu apa yang akan kita bicarakan.”
Jiraya memijat pelipisnya. Rasanya, Salmon Steaks kesukaannya tidak lagi berselera di mata. Selalu saja begini jika Mama sudah membahas Samuel, padahal bertemu saja baru sekali. Apa yang salah dengan pria itu? Mama tidak mau mendengarkan.
“Ma, umur bukan soal angka. Sam memperlakukan aku dengan baik selama ini. Dia bahkan tidak pernah protes dengan kesibukan aku, artinya kita ssama-sama dewasa. Kita berdua udah toleransi dengan waktu yang kami punya, Ma.”
“Mama tau, jira. Tapi dewasa bukan hanya tentang angka dan semacamnya, I know.” Ucapan tegas Mama seakan menyiratkan kalau dia memiliki opini yang lebih. “Pertama kali liat Sam, Mama udah tahu kalian tidak bisa selama itu untuk bersama. Gaya hidupnya masih bebas, bersenang-senang, dan manja. Dia memang well manner, tapi itu saja tidak cukup. Sedangkan kamu? Kamu wanita dewasa, berkarir, independent woman. Fokus kamu untuk masa depan, sedangkan Mama nggak liat itu ada di Samuel.”
“Sekarang Mama udah seperti kenal Samuel cukup lama.”
Sarkasnya Jira tidak membuat Mama gentar. “Karena Mama bisa baca itu dari awal ketemu. Jangan denial, Jira. Mama tahu kamu juga berpikiran yang sama.”
Papa melirik Jiraya dan Mama silih berganti, seolah hendak melerai perdebatan ini tapi tentu saja dia lebih takut dengan tatapan tajam sang istri tercinta. Jiraya menghela napas. “Ke intinya aja. Apa mau Mama?”
Senyuman elegan tergurat di wajah Adeline, tentu saja dia menunggu momen ini. “Kamu sudah tahu,’kan kalau Mama mau mengenalkan kamu sama anak sahabat—
“Aku dijodohin?”
Bahu Mama merosot. “Mama belum selesai berbicara.”
“Seperti yang Mama bilang, aku udah dewasa, Ma. Perjodohan ini udah ketinggalan zaman!”
“Dengarkan Mama dulu, okay?” Adeline tahu Jiraya pasti malas jika sudah membahas ini. “Besok malam kita akan mengadakan dinner di sini. Kamu masih ingat kan sama teman lama Mama yang namanya Tante Vanya? Kita pernah ketemu di acara lelang amal.”
Jiraya hanya mengangguk—lebih tepatnya mengalah saja dengan tenang tanpa menginterupsi perkataan sang Mama. Sambil pelan-pelan menggigit Salmon Steak di bawah lelehan keju. Tentu saja ia mengingat Tante Vanya yang begitu ramah dan murah senyum. Kepribadiannya polos, lucu, dan bersahabat. Barangkali namanya selalu terpampang di tabloid majalah bisnis sebagai Vanya Hartiningrat, salah satu donatur besar di beberapa yayasan sekolah swasta sampai panti asuhan. Kebetulan lainnya, istri dari pebisnis besar yang namanya sudah di kancah go international.
Cukup mengetikan namanya di mesin pencarian, maka biodata mereka akan muncul di website Wikipedia.
“Kami berbincang-bincang sedikit dan dia ternyata juga punya anak tunggal. Laki-laki.” Jiraya bisa mendengar senyuman senang di kalimat itu. “Dia tampan sekali, sampai mama kira model. Anaknya masih muda, mungkin … di atas kamu satu tahun? Seingat Mama dia 28 tahun. Selain tampan, dia jua anak yang sopan dan baik. Idaman sekali.”
Okey… and then?
Alis Jiraya naik sebelah. “Artinya?”
Mama menepuk kedua tanganny dengan antusias. “Artinya … kami mau mengenalkan kalian. Tante Vanya bilang anaknya over hard working. Gila kerja.”
“Te…rus?”
“Kami penginnya kamu bisa berkenalan sama dia, berteman baik saja dulu. Namanua Angelo. Bukan, ini sama sekali tidak menyangkut bisnis apapun tapi … Mama dan Tante Vanya pengin kalian berteman pelan-pelan. Tenang, Jira, dia bukan pria hidung belang. Dia baik, well-manner, dan gentle. Pemikirannya dewasa jadi kami rasa kalian bakal bisa mencocokan diri.”
“Oke, intinya adalah?”
Adeline menghembuskan napas. “Kami ingin kalian saling mengenal dan dekat satu ama lain. Jika cocok, akan menjadi berkat sekali kalau kalian bisa sampai di jenjang pernikahan dan berjodoh.
What the fucking this?!
Oke, Jira mencoba tenang. “Tapi aku masih punya kekasih, Samuel. Itu namanya aku berkhianat.”
Adeline mencoba ikut tenang, seraya menepuk tangan Jira pelan. “Iya, mama tau. Tapi apa salahnya mencoba? Jira, kalian berdua sama-sama punya pikiran dewasa. Fokus kalian itu sama : masa depan. Samuel itu … masih terlalu ‘muda’ buat kamu, Jira.
“Dewasa bukan cuma tentang umur.”
“I know, tapi Mama mau kamum mencoba, boleh?” Mama kai ini memberikan tatapan memohon. “Kami tidak akan memaksa, Jira. Kalian boleh berkenalan, berteman, seperti biasa.”
Jiraya melupakan sebuah hal bahwa sedari awal—tepatnya 6 bulan lalu dimana dia memperkenalkan Sam di hadapan Papa dan Mama, keduanya memang tidak sreg akan hubungan mereka meski tentu saja mereka menerima dengan baik kedatangan Samuel.
“Kalau suatu saat aku gagal sama anaknya, gimana?”
“Mama Mama dan Papa tidak akan memaksa,” tukasnya. Namun, Jira tahu ada harapan besar di mata mereka untuk menjalin hubungan ini.
“Oke. Akan aku coba,” jawabnya.
Bibir Adeline memasang sumringah lebar. “Baik, akan Mama atur dinner kita besok malam. Kosongkan jadwal kamu, oke?”
Jira tersenyum kecil ketika Mama mengelus kepalanya dengan bahagia. Baiklah, berarti tidak ada jalan mundur kal ini dan mau tidak mau Jira harus menghadapi ini. Satu-satunya harapannya adalah pria bernama Angelo akan sama seperti ibunya—polos. Artinya, semua akan mudah jika Angelo akan terperdaya olehnya.
Dentingan garpu dan sendok saling beradu di atas meja mengiringi perbincangan hangat di antara dua keluarga di sana. Di atas meja makan berkayu mahoni mewah yang luas diisi oleh enam orang. Hanya dua orang saja yang sedari tadi saling diam.“Adeline ini memang jago memasak. Nggak ragu sama kemampuan masak kamu waktu zaman kuliah sering banget jadi ambassador jurusan Gizi di kampus kita dulu,” puji Tante Vanya dengan tulus seteah menyantap hidangan.Adeline tertawa kecil. “Glad to hear that. Nah, kalo yang itu, Jira yang masak. Favorit Jira,” tunjuknya pada Salmon Steak.Tante Vanya menatap kagum pada Jira, melemparkan pujian dan dibalas ucapan terima kasih secara sopan oleh Jira.“Kalo Angelo, dia sama seperti ayahnya. Nggak terlalu suka olahan seafood. Lebih suka olahan vegetarian atau beef,” jelas Tante Vanya seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Heran. Padahal orang Jepang kebanyakan suka seafood, Cuma mereka berdua yang aneh.”“Ssst! Jangan buka aib dong, Ma,” bisik suami Tante Van
"Astaga, sumpah! Thank you banget, mbak Jiraaa. Aku nggak nyangka banget novel aku yang menurutku peluangnya sedikiiiit banget bakal diangkat jadi film, ternyata paling banyak yang nungguin. Kalo aja editor novelku yang Paradoks bukan mbak yang revisi waktu itu, mungkin nggak jadi best seller kayak sekarang!"Jira tersenyum tipis ketika salah satu penulisnya terlonjak girang saat tahu ia mendapat kontrak kerjasama dengan sebuah perusahaan perfilman yang memiliki nama besar se-Asia. Vague Entertaint, tentunya.Jangankan, Dinka—penulis mereka, para redaksi MagodaMedia saja terkejut dan bahagianya bukan main. Selama ini, memang production house yang mengajukan kontrak kerjasama dengan mereka memang cukup besar se-Indonesia. Tapi ini Vague Entertaint! Bukan se-Indonesia, namun production house ini sudah sekelas se-Asia. Mereka tidak sering mengeluarkan film baru, namun produksi mereka adalah yang selalu ditunggu-tunggu para penonton se-Asia. Well, kualitas dan kuantitas mereka tidak dirag
Apa sebenarnya yang dibutuhkan dalam hubungan selain komitmen, perasaan, dan hal-hal mendasar? Jira rasa, kejujuran. Kejujuran dan kepercayaan jaraknya dekat tapi yang paling sulit dilakukan.Mata cantik Jira menatap pintu apartemen mewah dalam diam. Butuh sekitar tiga menit baginya untuk menata isi kepala dan perasaan untuk menghadapi Sam malam ini. Karena menghadapi kekasihnya malam ini, terasa berbeda sepeti malam sebelumnya. Malam ini, dia akan datang—ralat, mendatangi kekasihnya sebagai calon istri orang lain. Demi apapun, meski kontrak sialan yang sudah dia buat di atas materai itu melibatkan tentang larangan perasaan, tapi Jira tetap mrasa bahwa di sini dia pengkhianatnya.Pintu diketuk pelan dan hati-hati. Dia tidak mengabari jika akan ke sini. Kemudian menekan tombol akses masuk ke dalam apart Sam. Hawa dingin disertai sabun mandi menyergap indera penciumannya. Perempuan itu melepas heels, menaruh di rak, lalu berpendar mencari Sam. “Sam,” panggilnya. Jira sengaja mendekati b
Audi A8 milik Angelo berhenti di parking area hotel ternama di Jakarta. Dengan santai ia berjalan melewati ballroom dan resepsionis. “Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” Senyuman ramah salah satu resepsionis. Sesekali matanya meniti penampilan Angelo yang kelewat menawan malam ini. Siapa pun akan terpesona, bahkan jika hanyamenghirup wangi parfum pria itu.“Meeting Redaksi MagodaMedia di lantai berapa?”Resepsionis itu mengerjap. “Ah, baik. Apakah dengan Tuan Angelo?”Angelo mengangguk singkat. “Ya.”Resepsionis itu mengetikan sesuatu di layar i-Pad. “Baik, Tuan Angelo. Meeting redaksi MagodaMedia ada di meeting room lantai 4, Tuan. Perlu kami antar?”“Thanks. Nggak perlu.” Dengan anggukan terakhir, Angelo pergi dari sana mematri langkah menuju meeting room. Seperti biasa, Angelo memang terbiasa menghadiri suatu acar atau rapat tanpa asisten atau manajer. Biasanya mereka akan melakukan tugasnya jika dia yang meminta, itu pun ketika sedang dalam pekerjaan. Tidak untuk mengh
“Maaf, Sam. Aku sudah ada janji dinner sama keluarga aku malam ini. Mama nggak mau kalo sampai aku nggak ikut, Sam.”“Dari kemarin kamu begitu terus, Jira. Kapan kamu punya waktu buat aku? Kamu rapat, aku ngalah. Pertemuan keluarga, aku ngalah, bahkan kamu lebih mementingkan buat revisi naskah-naskah sialan kamu itu dibanding spend time sama aku.” Sam membalasnya telak dan Jira tidak bisa menjawab apapun.Memang salahnya, kali ini. Dia begitu banyak membuang waktu ke dunia luar dan lupa jika Sam pun membutuhkannya. Entahlah, tapi dia merasa mama selalu mempunya banyak cara agar Jira tidak punya waktu bertemu dengan Sam. Entah dinner tiba-tiba, atau bahkan malam ini Angelo pun diajak. “Aku baru pulang dari London dan satu minggu lagi aku kembali ke sana, Jira. Kamu egois.”“Sam…” Jira mencoba meraih lengan pria itu meski ditepis. “Aku yang salah, aku minta maaf. Aku juga nggak tahu kalau mama punya rencana sebanyak itu, Sam.”“Kita berdua udah dewasa, Jira. Harusnya kamu bisa bicara sa
Mobil Angelo berhenti tepat di area parkir apartemen mewah Sam. Jiraya melepas seatbelt, menatap pria yang dibalik stir itu. “Terima kasih tumpangannya, sekali lagi.”Angelo mengangguk samar. “Oke.”Jira tersenyum tipis dan membuka pintu mobil. Namun sebelum itu, dia berbalik badan kembali menatap Angelo. “Oh iya. Rencana mau ketemu vendor, kamu bakal ajak aku?”Angelo mengedik. “Terserah lo.”Jira mengangguk. “Aku mau. Kabarin kalau kamu perlu bantuan.” Dengan anggukan terakhir, Jira pamit dari sana. Menunggu Angelo benar-benar pergi dari area itu, lalu naik ke apartemen Sam. Keputusannya mungkin akan menjadi hal yang salah malam ini. Kalau mama tau, pasti dia akan mengamuk. Toh siapa juga yang peduli. Tidak ada yang bisa merubah fata bahwa yang menjadi kekasihnya adalah Sam, bukan siapa pun. Bahkan jika itu pilihan mama.Dirinya dan Sam hanya perlu bersabar sedikit lagi setelah sandiwara pernikahan selesai. Bagaimana pun nanti caranya, dia yang akan mengusahakan agar Sam bisa bertem
Pernikahan dan menjalin hubungan tidak ada di dalam agenda hidupnya. Sebagai pria matang dengan kehidupan mapan, dewasa, dihadiahi skill dan otak jenius, tentu akan sangat mudah menjentikkan jari dan memilih wanita seperti apa yang dia mau. Tadeus pun siap memberikan banyak pilihan. Tak jarang, koleganya dari berbagai negara berusaha mendekati Angelo. Namun bukannya menolak mentah-mentah, dia justru menjadikan hal itu peluang dalam bisnis. Tidak ada yang dirugikan, bukan? Maka dari itu, ketika orangtuanya memilih menjodohkannya—tradisi kolot, demi Tuhan—Angelo merasa kepalanya berat luar biasa. Dia bisa saja menolak mentah-mentah, tapi membantah mama bukanlah pilihan. Dia terlihat garang, judes, sarkastik kadang-kadang, tapi jika mama sudah berbicara, Angelo tidak kuasa ingin langsung menolak. Akan sangat memalukan jika di usia matangnya dan kehidupan yang begitu modern ini dipatahkan dengan perjodohan kolot, bukan? Angelo bukannya bodoamat meski selalu terlihat seperti itu. Dia pik
Rutinitas Jira setiap hari Minggu biasanya mengerjakan setumpuk pekerjaan yang belum selesai di hari sebelumnya, atau seperti sekarang ini. Balutan kaus putih dan celana training, serta jaket abu-abu sudah terpasang di depan cermin. Jira siap berangkat untuk memulai lari paginya tepat di jam 05.00 pagi. Jika sehabis lari pagi begini, barulah dia mengambil waktu untuk sarapan di café terdekat yang sudah buka atau di rumah saja. Setelah memanaskan mobil, Jira menuju daerah taman kota. Limabelas menit dia habiskan untuk pemanasan dan mulai berlari sesuai rute yang dia punya. Sebelumnya Jira sering mengikuti Indonesia Half Marathon jika punya banyak waktu senggang. Namun karena cerita yang diampunya belakangan akan naik produksi sebagai film, kesibukan selalu mengambil alih waktu dan pikirannya sehingga akan sulit membagi waktu di hari-hari biasa. Jira menghitung jarak larinya lewat applewatch yang menunjukan sejauh mana dirinya berlari. Menghabiskan lebih dari satu jam untuk lari pagi,
Rutinitas Jira setiap hari Minggu biasanya mengerjakan setumpuk pekerjaan yang belum selesai di hari sebelumnya, atau seperti sekarang ini. Balutan kaus putih dan celana training, serta jaket abu-abu sudah terpasang di depan cermin. Jira siap berangkat untuk memulai lari paginya tepat di jam 05.00 pagi. Jika sehabis lari pagi begini, barulah dia mengambil waktu untuk sarapan di café terdekat yang sudah buka atau di rumah saja. Setelah memanaskan mobil, Jira menuju daerah taman kota. Limabelas menit dia habiskan untuk pemanasan dan mulai berlari sesuai rute yang dia punya. Sebelumnya Jira sering mengikuti Indonesia Half Marathon jika punya banyak waktu senggang. Namun karena cerita yang diampunya belakangan akan naik produksi sebagai film, kesibukan selalu mengambil alih waktu dan pikirannya sehingga akan sulit membagi waktu di hari-hari biasa. Jira menghitung jarak larinya lewat applewatch yang menunjukan sejauh mana dirinya berlari. Menghabiskan lebih dari satu jam untuk lari pagi,
Pernikahan dan menjalin hubungan tidak ada di dalam agenda hidupnya. Sebagai pria matang dengan kehidupan mapan, dewasa, dihadiahi skill dan otak jenius, tentu akan sangat mudah menjentikkan jari dan memilih wanita seperti apa yang dia mau. Tadeus pun siap memberikan banyak pilihan. Tak jarang, koleganya dari berbagai negara berusaha mendekati Angelo. Namun bukannya menolak mentah-mentah, dia justru menjadikan hal itu peluang dalam bisnis. Tidak ada yang dirugikan, bukan? Maka dari itu, ketika orangtuanya memilih menjodohkannya—tradisi kolot, demi Tuhan—Angelo merasa kepalanya berat luar biasa. Dia bisa saja menolak mentah-mentah, tapi membantah mama bukanlah pilihan. Dia terlihat garang, judes, sarkastik kadang-kadang, tapi jika mama sudah berbicara, Angelo tidak kuasa ingin langsung menolak. Akan sangat memalukan jika di usia matangnya dan kehidupan yang begitu modern ini dipatahkan dengan perjodohan kolot, bukan? Angelo bukannya bodoamat meski selalu terlihat seperti itu. Dia pik
Mobil Angelo berhenti tepat di area parkir apartemen mewah Sam. Jiraya melepas seatbelt, menatap pria yang dibalik stir itu. “Terima kasih tumpangannya, sekali lagi.”Angelo mengangguk samar. “Oke.”Jira tersenyum tipis dan membuka pintu mobil. Namun sebelum itu, dia berbalik badan kembali menatap Angelo. “Oh iya. Rencana mau ketemu vendor, kamu bakal ajak aku?”Angelo mengedik. “Terserah lo.”Jira mengangguk. “Aku mau. Kabarin kalau kamu perlu bantuan.” Dengan anggukan terakhir, Jira pamit dari sana. Menunggu Angelo benar-benar pergi dari area itu, lalu naik ke apartemen Sam. Keputusannya mungkin akan menjadi hal yang salah malam ini. Kalau mama tau, pasti dia akan mengamuk. Toh siapa juga yang peduli. Tidak ada yang bisa merubah fata bahwa yang menjadi kekasihnya adalah Sam, bukan siapa pun. Bahkan jika itu pilihan mama.Dirinya dan Sam hanya perlu bersabar sedikit lagi setelah sandiwara pernikahan selesai. Bagaimana pun nanti caranya, dia yang akan mengusahakan agar Sam bisa bertem
“Maaf, Sam. Aku sudah ada janji dinner sama keluarga aku malam ini. Mama nggak mau kalo sampai aku nggak ikut, Sam.”“Dari kemarin kamu begitu terus, Jira. Kapan kamu punya waktu buat aku? Kamu rapat, aku ngalah. Pertemuan keluarga, aku ngalah, bahkan kamu lebih mementingkan buat revisi naskah-naskah sialan kamu itu dibanding spend time sama aku.” Sam membalasnya telak dan Jira tidak bisa menjawab apapun.Memang salahnya, kali ini. Dia begitu banyak membuang waktu ke dunia luar dan lupa jika Sam pun membutuhkannya. Entahlah, tapi dia merasa mama selalu mempunya banyak cara agar Jira tidak punya waktu bertemu dengan Sam. Entah dinner tiba-tiba, atau bahkan malam ini Angelo pun diajak. “Aku baru pulang dari London dan satu minggu lagi aku kembali ke sana, Jira. Kamu egois.”“Sam…” Jira mencoba meraih lengan pria itu meski ditepis. “Aku yang salah, aku minta maaf. Aku juga nggak tahu kalau mama punya rencana sebanyak itu, Sam.”“Kita berdua udah dewasa, Jira. Harusnya kamu bisa bicara sa
Audi A8 milik Angelo berhenti di parking area hotel ternama di Jakarta. Dengan santai ia berjalan melewati ballroom dan resepsionis. “Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” Senyuman ramah salah satu resepsionis. Sesekali matanya meniti penampilan Angelo yang kelewat menawan malam ini. Siapa pun akan terpesona, bahkan jika hanyamenghirup wangi parfum pria itu.“Meeting Redaksi MagodaMedia di lantai berapa?”Resepsionis itu mengerjap. “Ah, baik. Apakah dengan Tuan Angelo?”Angelo mengangguk singkat. “Ya.”Resepsionis itu mengetikan sesuatu di layar i-Pad. “Baik, Tuan Angelo. Meeting redaksi MagodaMedia ada di meeting room lantai 4, Tuan. Perlu kami antar?”“Thanks. Nggak perlu.” Dengan anggukan terakhir, Angelo pergi dari sana mematri langkah menuju meeting room. Seperti biasa, Angelo memang terbiasa menghadiri suatu acar atau rapat tanpa asisten atau manajer. Biasanya mereka akan melakukan tugasnya jika dia yang meminta, itu pun ketika sedang dalam pekerjaan. Tidak untuk mengh
Apa sebenarnya yang dibutuhkan dalam hubungan selain komitmen, perasaan, dan hal-hal mendasar? Jira rasa, kejujuran. Kejujuran dan kepercayaan jaraknya dekat tapi yang paling sulit dilakukan.Mata cantik Jira menatap pintu apartemen mewah dalam diam. Butuh sekitar tiga menit baginya untuk menata isi kepala dan perasaan untuk menghadapi Sam malam ini. Karena menghadapi kekasihnya malam ini, terasa berbeda sepeti malam sebelumnya. Malam ini, dia akan datang—ralat, mendatangi kekasihnya sebagai calon istri orang lain. Demi apapun, meski kontrak sialan yang sudah dia buat di atas materai itu melibatkan tentang larangan perasaan, tapi Jira tetap mrasa bahwa di sini dia pengkhianatnya.Pintu diketuk pelan dan hati-hati. Dia tidak mengabari jika akan ke sini. Kemudian menekan tombol akses masuk ke dalam apart Sam. Hawa dingin disertai sabun mandi menyergap indera penciumannya. Perempuan itu melepas heels, menaruh di rak, lalu berpendar mencari Sam. “Sam,” panggilnya. Jira sengaja mendekati b
"Astaga, sumpah! Thank you banget, mbak Jiraaa. Aku nggak nyangka banget novel aku yang menurutku peluangnya sedikiiiit banget bakal diangkat jadi film, ternyata paling banyak yang nungguin. Kalo aja editor novelku yang Paradoks bukan mbak yang revisi waktu itu, mungkin nggak jadi best seller kayak sekarang!"Jira tersenyum tipis ketika salah satu penulisnya terlonjak girang saat tahu ia mendapat kontrak kerjasama dengan sebuah perusahaan perfilman yang memiliki nama besar se-Asia. Vague Entertaint, tentunya.Jangankan, Dinka—penulis mereka, para redaksi MagodaMedia saja terkejut dan bahagianya bukan main. Selama ini, memang production house yang mengajukan kontrak kerjasama dengan mereka memang cukup besar se-Indonesia. Tapi ini Vague Entertaint! Bukan se-Indonesia, namun production house ini sudah sekelas se-Asia. Mereka tidak sering mengeluarkan film baru, namun produksi mereka adalah yang selalu ditunggu-tunggu para penonton se-Asia. Well, kualitas dan kuantitas mereka tidak dirag
Dentingan garpu dan sendok saling beradu di atas meja mengiringi perbincangan hangat di antara dua keluarga di sana. Di atas meja makan berkayu mahoni mewah yang luas diisi oleh enam orang. Hanya dua orang saja yang sedari tadi saling diam.“Adeline ini memang jago memasak. Nggak ragu sama kemampuan masak kamu waktu zaman kuliah sering banget jadi ambassador jurusan Gizi di kampus kita dulu,” puji Tante Vanya dengan tulus seteah menyantap hidangan.Adeline tertawa kecil. “Glad to hear that. Nah, kalo yang itu, Jira yang masak. Favorit Jira,” tunjuknya pada Salmon Steak.Tante Vanya menatap kagum pada Jira, melemparkan pujian dan dibalas ucapan terima kasih secara sopan oleh Jira.“Kalo Angelo, dia sama seperti ayahnya. Nggak terlalu suka olahan seafood. Lebih suka olahan vegetarian atau beef,” jelas Tante Vanya seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Heran. Padahal orang Jepang kebanyakan suka seafood, Cuma mereka berdua yang aneh.”“Ssst! Jangan buka aib dong, Ma,” bisik suami Tante Van
Angin malam itu menusuk-nusuk lapisan kulitnya. Mengirimkan rasa dingin sampai di bawah sinar rembulan. Namun, dia tetap memilih berdiri di sana meski dinginnya malam membekukan tubuh. Sesekali ia mengusap lengan yang masih tertutupi blazer hitam seraya menatap kerlap-kerlip cahaya lampu ibukota dari perpaduan gedung-gedung pencakar langit dan bangunan-bangunan masyarakat dari atas balkon kamar.“Jira.”Wanita yang dipanggil Jira itu membalikan tubuh demi mendapati seorang pria yang berjalan cepat untuk menggapai tempatnya. Dalam satu tarikan memeluknya begitu erat hingga Jira harus menahan napas. Aroma cologne dari parfum mahal menghias indera penciuman Jira. Aroma yang ia rindukan belakangan ini.“Maaf sudah membuat menunggu lama, sayang,” bisik laki-laki itu tepat di telinga Jira. Rasanya tidak cukup sekali melampiaskan rasa rindu yang mengoyak lewat pelukan pada tubuh ramping wanita kesayangannya.Jira mengulas senyuman tipis, memberikan sentuhan hangat pada tengkuk di bawah rambu