Apa sebenarnya yang dibutuhkan dalam hubungan selain komitmen, perasaan, dan hal-hal mendasar? Jira rasa, kejujuran. Kejujuran dan kepercayaan jaraknya dekat tapi yang paling sulit dilakukan.
Mata cantik Jira menatap pintu apartemen mewah dalam diam. Butuh sekitar tiga menit baginya untuk menata isi kepala dan perasaan untuk menghadapi Sam malam ini. Karena menghadapi kekasihnya malam ini, terasa berbeda sepeti malam sebelumnya. Malam ini, dia akan datang—ralat, mendatangi kekasihnya sebagai calon istri orang lain. Demi apapun, meski kontrak sialan yang sudah dia buat di atas materai itu melibatkan tentang larangan perasaan, tapi Jira tetap mrasa bahwa di sini dia pengkhianatnya.
Pintu diketuk pelan dan hati-hati. Dia tidak mengabari jika akan ke sini. Kemudian menekan tombol akses masuk ke dalam apart Sam. Hawa dingin disertai sabun mandi menyergap indera penciumannya. Perempuan itu melepas heels, menaruh di rak, lalu berpendar mencari Sam. “Sam,” panggilnya. Jira sengaja mendekati balkon luar yang pintunya dibuka. Ada bekas rokok dan wine di atas meja balkon. Lagi-lagi pria itu merokok—hal yang sebenarnya tidak pernah Jira sukai. Udara dingin menyergap dirinya, menusuk kulit yang dibalut dress tanpa lengan. Hanya ditutupi oleh cardigan krimnya.
Jira agak tersentak ketika sebuah tangan melingkari tubuh depannya dengan lengan besar. Ia tersenyum tipis menatap tangan itu.
“Kamu udah lama di sini?” Sam bertanya dengan anda beratnya. Bibir tebal itu menyapu samar cuping telinga dengan pelan, seraya tangannya mengelus pinggang Jira.
“Baru aja.” Jira mendongak. “Kamu merokok lagi, Sam.”
“Cuma dua batang. Aku lagi stres. Bener-bener stres berat.” Nada Sam semakin memberat. Kini sapuan bibirnya turun mengelus leher Jira untuk menghirup aroma kesukaannya. “Tapi aku udah ketemu obatnya.”
Tubuh Jira meremang saat bibir tebal Sam menyapu kulit lehernya dengan halus, nyaris membuatnya terbuai kalau saja Jira tidak segera mendorong dadanya pelan. “Sam, aku harus ngomong sesuatu.”
“I know, tapi aku kangen berat sama kamu.” Tangan besar Sam beralih meraih pinggang ramping Jira untuk menariknya lebih merapat, sementara tangan bebas yang lain mengusap sisi wajah Jira. Hawa hangat menerpa kulit wajah Jira, menatapnya dengan penuh pujaan. “I need you, Jiraya.”
Bibir Jira serasa hangat saat kecupan datang di bawah bibir, menghantar rasa hangat sekaligus basah. Beraroma rokok dan wine—jelas dia tidak menyukai ini, tapi dia terbuai oleh perlakukan lembut Sam. Mencumbunya dengan lembut tapi juga ingin, mengisi rongga mulutnya yang kecil dengan usapan lidah yang berusaha masuk. Tanpa sadar ia menaruh tangannya di sisi leher Sam, mendorong gairah rindu menjadi candu dan membentuk gairah lebih. Tapi sebelum hal itu terjadi, Jira buru-buru menarik diri dengan helaan napasnya yang menggila. Panas di sekujur tubuh dan hangat di wajah.
“Sam…” bisik Jira. Tangannya naik mengusap sisi wajah Sam yang keras dan masih menginginkan dirinya. “Aku…”
“Kenapa, babe?” Sam maju lagi mengecup bibirnya, hidung, dan seluruh sisi wajahnya. “Please, berhenti bicara dulu, Jira.”
Jiraya menggeleng, lagi-lagi menahan Sam yang terus memajukan diri. “Dengar, Sam. Aku akan pergi nanti untuk waktu yang lama—tapi kita masih tetap bisa bertemu.”
Sam tahu kini kekasihnya mulai mengeluarkan pembicaraan serius. Dia mengerutkan kening ketika menatap kecoklatan jernih di kedua mata indah Jira. “Pergi? Kamu pergi ke mana?”
Akan sulit jika mengatakan yang sejujurnya pada Sam, tapi sumpah demi apapun dia tidak sesanggup itu untuk menutupi perjodohan sialan ini dari Sam. Lalu apa? Hubungan mereka akan luntang-lantung tidak berujung. “Aku akan jelaskan nanti ketika semuanya selesai, Sam.”
“Aku belum mengerti maksud kamu.” Sam menggeleng pelan. Mata tajamnya menghunus pada dua netra cantik di sana. “Apa tentang orangtua kamu?”
“Bukan Sam. Tapi mungkin iya.” Jira menghela napas. Tarikan napasnya serasa berat sekali. “Sam, kamu ada keinginan lagi buat datang ke orangtua aku?”
Kali ini sorot mata Sam berubah meski separuhnya berusaha ia tahan. “kamu tau sendiri aku belum siap.”
“Kapan siapnya, Sam?” Mungkin Jira tidak akan selalu menuntut hal itu, tapi Sam merasa dia ditekan.
“Orangtua kamu nggak suka sama aku. Itu kan?” Sam menggeleng, beranhjak dari depan Jira. Diikuti oleh Jira yang mendekat. “Aku belum siap karena hal itu, Jira.”
“Kalau gitu kamu datang lagi, Sam. Yakinin hati mereka kalau kamu serius.” Jira menjaga nada bicaranya untuk tetap tenang karena Sam begitu sensitif jika sudah membahas tentang orangtuanya. “Oke, aku nggak mengarah ke jenjang serius, Sam. Maksud aku, mungkin kamu bisa pelan-pelan memulai pendekatan. Mereka cuma butuh itu.”
Ada hal yang paling sulit ketika dia memutuskan membangun hubungannya dengan Jiraya Pramesti. Mereka sama-sama dirundung kesibukan akan karir masing-masing, tapi saling mendukung. Bahkan mereka tidak pernah mempermasalahkan waktu yang singkat untuk bertemu. Hanya satu yang menjadi permasalahan Sam adalah orangtua Jira. Dia mengerti jika orangtua Jira tidak menyukainya karena umur mereka yang berbeda dan kebetulan Sam-lah yang lebih muda. “Nggak semudah itu, Ra. Aku butuh waktu buat mempersiapkan tu semua.”
“kapan kamu siapnya, Sam? Kamu bahkan belum coba.”
“Kenapa pembahasan kita tiba-tiba jadi orangtua kamu, Jira?” Sam memotong dengan terlalu tajam. “Aku merasa tertekan kalau kamu bahas itu lagi dan lagi.”
Jira ingin membantah tapi dia menahan. Akan genting jika dia terus menekan egonya agar Sam mau mengalah. Andai saja akan mudah mengatakan jika dampak dari sikap Sam yang seperti ini adlaah orangtuanya telah mempersiapkan jodoh. Perjodohan sialan itu datang karena keinginan orangtuanya yang berambisi dirinya mempunyai pasangan dewasa, mapan, matang, dan lain sebagainya.
“Aku minta maaf.”Jira mendekat, memeluk punggung Sam dari belakang meski bobot tubuhnya begitu jauh dari Sam. “Aku akan kasih kamu waktu, Sam. Aku akan tunggu.”
Lagi-lagi …
Sam melunak ketika tangannya mengelus tangan mungil Jira di perutnya. Kemudian berbalik badan untuk mengungkung tubuh ramping Jira dalam pelukannya. “Thanks, Jira. I love you. Aku pasti akan mempersiapkan diri aku.”
Terus-menerus entah sampai kapan, Jira akan menjadi tameng mempertahankan hubungan ini.
..
“Wes, gila banget bebannya udah nambah aja. Bulking lagi lo?”
Tadeus melempar handuk bersih yang segera ditangkap Angelo yang duduk di atas Leg Press, mengusap sisi wajah berkeringatnya. Pria itu beranjak dari sana dan meraih sebotol air mineral dari dalam tas. “Nggak dulu.”
“Kapan nih hiking lagi? Lo dicariin anak-anak tuh udah setahun nggak pernah muncul. Tau-tau udah di LN aja, bajingan emang. Diajak selalu bilang sibuk tapi lo baru aja balik dari Jepang. Tai!” omel Tadues. Begitulah perangainya jika bertemu Angelo yang hanya menanggapinya angin lalu.
“Lo pikir gue jalan-jalan di sana?” balas Angelo setelah meneguk air mineral. Kali ini pria itu beralih pada alat treadmills.
Dari tempat Squat hack, mendengus seraya mengambil napas. “Buset, kali-kali liburan kek. Selow bro, enjoy sama hidup lo di umur segini. Gue bisa cariin lo cewek paling seksi di Vadeus, lo tinggal pilih. Hidup lo terlalu serius, kebanyakan kerja.”
“Nggak tertarik.”
Tadeus menghela napas lelah. Sudah berapa kali dia mencibir sahabat dari semasa SMA-nya itu untuk tidak terlalu serius dengan hidupnya. Bagaimana tidak, keseharian yang dilakukan pria setengah Jepang itu hanya bekerja, bertemu klien, gym, jogging, lalu balik lagi ke fase pertama. Kadang-kadang Tadeus kasihan melihat pria itu tidak ada yang mendampingi, bahkan untuk teman saja. Tidak seperti teman mereka yang lain yang bahkan sudah gonta-ganti pasangan.
"Hadeh, susah dah ngomong sama lo." Tadeus menggeleng lelah. "Vadeus malem ini, nggak?"
"Gue ada rapat. Next time aja," tolak Angelo. "Inget liver. Lupa abis operasi?"
Tadeus terkekeh. "Ya kali owner nggak minum. Seperti yang gue bilang tadi. Enjoy ajalah, jangan dibawa serius."
Sebagai pemilik Vadeus—kelab malam terbesar di Jakarta dan Bali yang sudah banyak menelurkan cabang di kota besar lainnya, Tadeus sudah sering menawarinya banyak perempuan dari kalangan atas. Tidak juga berpengaruh. Angelo hanya datang untuk minum sedikit, tidak menanggapi sedikit pun perkenalan dari semua perempuan itu. Bagaimana Tadeus tidak kesal, bukan?!
Angelo menyelesaikan kegiatannya seraya mengecek arloji. Dia harus menyelesaikan rapatnya malam ini bersama para redaksi yang lain. Pria itu melepas airpods di telinga dan bersiap pulang. “Gue balik.”
“Anjir gue baru dateng!”
“Siapa suruh telat?” Angelo menanggapi cuek. Ketika lelaki itu bersiap pergi, dia menghentikan langkah dan menatap tadeus lagi. “Bilangin sama cewek terakhir yang lo kenalin kemarin—
“Danisha?”
“Whatever. Jangan ganggu gue lagi. Kerjaan gue keganggu gara-gara dia doang.”
Tadeus berdecak. “Nanti gue bilangin.”
“Good.” Angelo kemudian pergi dari sana dan segera menuju apartemen-nya. Sore ini setelah gym, dia harus segera membersihkan diri sebelum rapat di restoran besar yang dikhususkan untuk pertemuan dengan klien-nya malam ini.
Mungkin orang lain yang mengenalnya, bahkan orangtuanya sendiri mengenalnya sebagai pria yang serius sekali. Tidak mengenal hiburan luar, perempuan, dan sibuk bekerja. Padahal Angelo sangat menikmati hidupnya seperti ini. Pekerjaan yang mapan, dia bisa ke mana pun yang dia inginkan. Kebanyakan mereka menyayangkan karena fisiknya yang nyaris sempurna tidak berdampingan dengan perempuan mana pun. What the hell. Sudah tidak terhitung berapa banyak perempuan yang dikenalkan padanya dan Angelo bosan. Dia maas memulai suatu hubungan dengan orang lain—apalagi menjalankan hidup penuh cinta membualkan. Damn it.
Tepat pukul enam sore Angelo sampai di apartemen. Sebagai pria mapan yang hidup sendiri, Angelo cukup bisa mengurus semuanya sendirian terkecuali memasak. Dia tidak punya banyak waktu untuk memasak apapun di sini. Sebagian besar isi kulkas hanya terisi buah dan susu low fat. Membosankan sekali bukan? Terkadang ia menyewa orang untuk membersihkan apartemennya jika diperlukan. Juga sebagai Chief Executive Officer dari production house ternama satu Asia, Angelo menyadari jika hidupnya tidak punya banyak waktu untuk istirahat dan berdiam diri di sini. Hanya pada saat hari Minggu dia bisa menikmati kegiatan olahraga dalam satu hari bersama Tadeus—terkadang sendirian. Makanya, dia tidak punya banyak waktu luang untuk mengurus tempat tinggal.
Jas silver sudah tebalut sempurna di tubuh Angelo sebagai penutup dari kemeja putihnya. Terakhir, menyemprot Givenchi Gentleman di beberapa titik tubuh. Angelo selalu tampil sempurna. Itu adalah sebuah keharusan.
Audi A8 milik Angelo berhenti di parking area hotel ternama di Jakarta. Dengan santai ia berjalan melewati ballroom dan resepsionis. “Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” Senyuman ramah salah satu resepsionis. Sesekali matanya meniti penampilan Angelo yang kelewat menawan malam ini. Siapa pun akan terpesona, bahkan jika hanyamenghirup wangi parfum pria itu.“Meeting Redaksi MagodaMedia di lantai berapa?”Resepsionis itu mengerjap. “Ah, baik. Apakah dengan Tuan Angelo?”Angelo mengangguk singkat. “Ya.”Resepsionis itu mengetikan sesuatu di layar i-Pad. “Baik, Tuan Angelo. Meeting redaksi MagodaMedia ada di meeting room lantai 4, Tuan. Perlu kami antar?”“Thanks. Nggak perlu.” Dengan anggukan terakhir, Angelo pergi dari sana mematri langkah menuju meeting room. Seperti biasa, Angelo memang terbiasa menghadiri suatu acar atau rapat tanpa asisten atau manajer. Biasanya mereka akan melakukan tugasnya jika dia yang meminta, itu pun ketika sedang dalam pekerjaan. Tidak untuk mengh
“Maaf, Sam. Aku sudah ada janji dinner sama keluarga aku malam ini. Mama nggak mau kalo sampai aku nggak ikut, Sam.”“Dari kemarin kamu begitu terus, Jira. Kapan kamu punya waktu buat aku? Kamu rapat, aku ngalah. Pertemuan keluarga, aku ngalah, bahkan kamu lebih mementingkan buat revisi naskah-naskah sialan kamu itu dibanding spend time sama aku.” Sam membalasnya telak dan Jira tidak bisa menjawab apapun.Memang salahnya, kali ini. Dia begitu banyak membuang waktu ke dunia luar dan lupa jika Sam pun membutuhkannya. Entahlah, tapi dia merasa mama selalu mempunya banyak cara agar Jira tidak punya waktu bertemu dengan Sam. Entah dinner tiba-tiba, atau bahkan malam ini Angelo pun diajak. “Aku baru pulang dari London dan satu minggu lagi aku kembali ke sana, Jira. Kamu egois.”“Sam…” Jira mencoba meraih lengan pria itu meski ditepis. “Aku yang salah, aku minta maaf. Aku juga nggak tahu kalau mama punya rencana sebanyak itu, Sam.”“Kita berdua udah dewasa, Jira. Harusnya kamu bisa bicara sa
Mobil Angelo berhenti tepat di area parkir apartemen mewah Sam. Jiraya melepas seatbelt, menatap pria yang dibalik stir itu. “Terima kasih tumpangannya, sekali lagi.”Angelo mengangguk samar. “Oke.”Jira tersenyum tipis dan membuka pintu mobil. Namun sebelum itu, dia berbalik badan kembali menatap Angelo. “Oh iya. Rencana mau ketemu vendor, kamu bakal ajak aku?”Angelo mengedik. “Terserah lo.”Jira mengangguk. “Aku mau. Kabarin kalau kamu perlu bantuan.” Dengan anggukan terakhir, Jira pamit dari sana. Menunggu Angelo benar-benar pergi dari area itu, lalu naik ke apartemen Sam. Keputusannya mungkin akan menjadi hal yang salah malam ini. Kalau mama tau, pasti dia akan mengamuk. Toh siapa juga yang peduli. Tidak ada yang bisa merubah fata bahwa yang menjadi kekasihnya adalah Sam, bukan siapa pun. Bahkan jika itu pilihan mama.Dirinya dan Sam hanya perlu bersabar sedikit lagi setelah sandiwara pernikahan selesai. Bagaimana pun nanti caranya, dia yang akan mengusahakan agar Sam bisa bertem
Pernikahan dan menjalin hubungan tidak ada di dalam agenda hidupnya. Sebagai pria matang dengan kehidupan mapan, dewasa, dihadiahi skill dan otak jenius, tentu akan sangat mudah menjentikkan jari dan memilih wanita seperti apa yang dia mau. Tadeus pun siap memberikan banyak pilihan. Tak jarang, koleganya dari berbagai negara berusaha mendekati Angelo. Namun bukannya menolak mentah-mentah, dia justru menjadikan hal itu peluang dalam bisnis. Tidak ada yang dirugikan, bukan? Maka dari itu, ketika orangtuanya memilih menjodohkannya—tradisi kolot, demi Tuhan—Angelo merasa kepalanya berat luar biasa. Dia bisa saja menolak mentah-mentah, tapi membantah mama bukanlah pilihan. Dia terlihat garang, judes, sarkastik kadang-kadang, tapi jika mama sudah berbicara, Angelo tidak kuasa ingin langsung menolak. Akan sangat memalukan jika di usia matangnya dan kehidupan yang begitu modern ini dipatahkan dengan perjodohan kolot, bukan? Angelo bukannya bodoamat meski selalu terlihat seperti itu. Dia pik
Rutinitas Jira setiap hari Minggu biasanya mengerjakan setumpuk pekerjaan yang belum selesai di hari sebelumnya, atau seperti sekarang ini. Balutan kaus putih dan celana training, serta jaket abu-abu sudah terpasang di depan cermin. Jira siap berangkat untuk memulai lari paginya tepat di jam 05.00 pagi. Jika sehabis lari pagi begini, barulah dia mengambil waktu untuk sarapan di café terdekat yang sudah buka atau di rumah saja. Setelah memanaskan mobil, Jira menuju daerah taman kota. Limabelas menit dia habiskan untuk pemanasan dan mulai berlari sesuai rute yang dia punya. Sebelumnya Jira sering mengikuti Indonesia Half Marathon jika punya banyak waktu senggang. Namun karena cerita yang diampunya belakangan akan naik produksi sebagai film, kesibukan selalu mengambil alih waktu dan pikirannya sehingga akan sulit membagi waktu di hari-hari biasa. Jira menghitung jarak larinya lewat applewatch yang menunjukan sejauh mana dirinya berlari. Menghabiskan lebih dari satu jam untuk lari pagi,
Angin malam itu menusuk-nusuk lapisan kulitnya. Mengirimkan rasa dingin sampai di bawah sinar rembulan. Namun, dia tetap memilih berdiri di sana meski dinginnya malam membekukan tubuh. Sesekali ia mengusap lengan yang masih tertutupi blazer hitam seraya menatap kerlap-kerlip cahaya lampu ibukota dari perpaduan gedung-gedung pencakar langit dan bangunan-bangunan masyarakat dari atas balkon kamar.“Jira.”Wanita yang dipanggil Jira itu membalikan tubuh demi mendapati seorang pria yang berjalan cepat untuk menggapai tempatnya. Dalam satu tarikan memeluknya begitu erat hingga Jira harus menahan napas. Aroma cologne dari parfum mahal menghias indera penciuman Jira. Aroma yang ia rindukan belakangan ini.“Maaf sudah membuat menunggu lama, sayang,” bisik laki-laki itu tepat di telinga Jira. Rasanya tidak cukup sekali melampiaskan rasa rindu yang mengoyak lewat pelukan pada tubuh ramping wanita kesayangannya.Jira mengulas senyuman tipis, memberikan sentuhan hangat pada tengkuk di bawah rambu
Dentingan garpu dan sendok saling beradu di atas meja mengiringi perbincangan hangat di antara dua keluarga di sana. Di atas meja makan berkayu mahoni mewah yang luas diisi oleh enam orang. Hanya dua orang saja yang sedari tadi saling diam.“Adeline ini memang jago memasak. Nggak ragu sama kemampuan masak kamu waktu zaman kuliah sering banget jadi ambassador jurusan Gizi di kampus kita dulu,” puji Tante Vanya dengan tulus seteah menyantap hidangan.Adeline tertawa kecil. “Glad to hear that. Nah, kalo yang itu, Jira yang masak. Favorit Jira,” tunjuknya pada Salmon Steak.Tante Vanya menatap kagum pada Jira, melemparkan pujian dan dibalas ucapan terima kasih secara sopan oleh Jira.“Kalo Angelo, dia sama seperti ayahnya. Nggak terlalu suka olahan seafood. Lebih suka olahan vegetarian atau beef,” jelas Tante Vanya seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Heran. Padahal orang Jepang kebanyakan suka seafood, Cuma mereka berdua yang aneh.”“Ssst! Jangan buka aib dong, Ma,” bisik suami Tante Van
"Astaga, sumpah! Thank you banget, mbak Jiraaa. Aku nggak nyangka banget novel aku yang menurutku peluangnya sedikiiiit banget bakal diangkat jadi film, ternyata paling banyak yang nungguin. Kalo aja editor novelku yang Paradoks bukan mbak yang revisi waktu itu, mungkin nggak jadi best seller kayak sekarang!"Jira tersenyum tipis ketika salah satu penulisnya terlonjak girang saat tahu ia mendapat kontrak kerjasama dengan sebuah perusahaan perfilman yang memiliki nama besar se-Asia. Vague Entertaint, tentunya.Jangankan, Dinka—penulis mereka, para redaksi MagodaMedia saja terkejut dan bahagianya bukan main. Selama ini, memang production house yang mengajukan kontrak kerjasama dengan mereka memang cukup besar se-Indonesia. Tapi ini Vague Entertaint! Bukan se-Indonesia, namun production house ini sudah sekelas se-Asia. Mereka tidak sering mengeluarkan film baru, namun produksi mereka adalah yang selalu ditunggu-tunggu para penonton se-Asia. Well, kualitas dan kuantitas mereka tidak dirag
Rutinitas Jira setiap hari Minggu biasanya mengerjakan setumpuk pekerjaan yang belum selesai di hari sebelumnya, atau seperti sekarang ini. Balutan kaus putih dan celana training, serta jaket abu-abu sudah terpasang di depan cermin. Jira siap berangkat untuk memulai lari paginya tepat di jam 05.00 pagi. Jika sehabis lari pagi begini, barulah dia mengambil waktu untuk sarapan di café terdekat yang sudah buka atau di rumah saja. Setelah memanaskan mobil, Jira menuju daerah taman kota. Limabelas menit dia habiskan untuk pemanasan dan mulai berlari sesuai rute yang dia punya. Sebelumnya Jira sering mengikuti Indonesia Half Marathon jika punya banyak waktu senggang. Namun karena cerita yang diampunya belakangan akan naik produksi sebagai film, kesibukan selalu mengambil alih waktu dan pikirannya sehingga akan sulit membagi waktu di hari-hari biasa. Jira menghitung jarak larinya lewat applewatch yang menunjukan sejauh mana dirinya berlari. Menghabiskan lebih dari satu jam untuk lari pagi,
Pernikahan dan menjalin hubungan tidak ada di dalam agenda hidupnya. Sebagai pria matang dengan kehidupan mapan, dewasa, dihadiahi skill dan otak jenius, tentu akan sangat mudah menjentikkan jari dan memilih wanita seperti apa yang dia mau. Tadeus pun siap memberikan banyak pilihan. Tak jarang, koleganya dari berbagai negara berusaha mendekati Angelo. Namun bukannya menolak mentah-mentah, dia justru menjadikan hal itu peluang dalam bisnis. Tidak ada yang dirugikan, bukan? Maka dari itu, ketika orangtuanya memilih menjodohkannya—tradisi kolot, demi Tuhan—Angelo merasa kepalanya berat luar biasa. Dia bisa saja menolak mentah-mentah, tapi membantah mama bukanlah pilihan. Dia terlihat garang, judes, sarkastik kadang-kadang, tapi jika mama sudah berbicara, Angelo tidak kuasa ingin langsung menolak. Akan sangat memalukan jika di usia matangnya dan kehidupan yang begitu modern ini dipatahkan dengan perjodohan kolot, bukan? Angelo bukannya bodoamat meski selalu terlihat seperti itu. Dia pik
Mobil Angelo berhenti tepat di area parkir apartemen mewah Sam. Jiraya melepas seatbelt, menatap pria yang dibalik stir itu. “Terima kasih tumpangannya, sekali lagi.”Angelo mengangguk samar. “Oke.”Jira tersenyum tipis dan membuka pintu mobil. Namun sebelum itu, dia berbalik badan kembali menatap Angelo. “Oh iya. Rencana mau ketemu vendor, kamu bakal ajak aku?”Angelo mengedik. “Terserah lo.”Jira mengangguk. “Aku mau. Kabarin kalau kamu perlu bantuan.” Dengan anggukan terakhir, Jira pamit dari sana. Menunggu Angelo benar-benar pergi dari area itu, lalu naik ke apartemen Sam. Keputusannya mungkin akan menjadi hal yang salah malam ini. Kalau mama tau, pasti dia akan mengamuk. Toh siapa juga yang peduli. Tidak ada yang bisa merubah fata bahwa yang menjadi kekasihnya adalah Sam, bukan siapa pun. Bahkan jika itu pilihan mama.Dirinya dan Sam hanya perlu bersabar sedikit lagi setelah sandiwara pernikahan selesai. Bagaimana pun nanti caranya, dia yang akan mengusahakan agar Sam bisa bertem
“Maaf, Sam. Aku sudah ada janji dinner sama keluarga aku malam ini. Mama nggak mau kalo sampai aku nggak ikut, Sam.”“Dari kemarin kamu begitu terus, Jira. Kapan kamu punya waktu buat aku? Kamu rapat, aku ngalah. Pertemuan keluarga, aku ngalah, bahkan kamu lebih mementingkan buat revisi naskah-naskah sialan kamu itu dibanding spend time sama aku.” Sam membalasnya telak dan Jira tidak bisa menjawab apapun.Memang salahnya, kali ini. Dia begitu banyak membuang waktu ke dunia luar dan lupa jika Sam pun membutuhkannya. Entahlah, tapi dia merasa mama selalu mempunya banyak cara agar Jira tidak punya waktu bertemu dengan Sam. Entah dinner tiba-tiba, atau bahkan malam ini Angelo pun diajak. “Aku baru pulang dari London dan satu minggu lagi aku kembali ke sana, Jira. Kamu egois.”“Sam…” Jira mencoba meraih lengan pria itu meski ditepis. “Aku yang salah, aku minta maaf. Aku juga nggak tahu kalau mama punya rencana sebanyak itu, Sam.”“Kita berdua udah dewasa, Jira. Harusnya kamu bisa bicara sa
Audi A8 milik Angelo berhenti di parking area hotel ternama di Jakarta. Dengan santai ia berjalan melewati ballroom dan resepsionis. “Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” Senyuman ramah salah satu resepsionis. Sesekali matanya meniti penampilan Angelo yang kelewat menawan malam ini. Siapa pun akan terpesona, bahkan jika hanyamenghirup wangi parfum pria itu.“Meeting Redaksi MagodaMedia di lantai berapa?”Resepsionis itu mengerjap. “Ah, baik. Apakah dengan Tuan Angelo?”Angelo mengangguk singkat. “Ya.”Resepsionis itu mengetikan sesuatu di layar i-Pad. “Baik, Tuan Angelo. Meeting redaksi MagodaMedia ada di meeting room lantai 4, Tuan. Perlu kami antar?”“Thanks. Nggak perlu.” Dengan anggukan terakhir, Angelo pergi dari sana mematri langkah menuju meeting room. Seperti biasa, Angelo memang terbiasa menghadiri suatu acar atau rapat tanpa asisten atau manajer. Biasanya mereka akan melakukan tugasnya jika dia yang meminta, itu pun ketika sedang dalam pekerjaan. Tidak untuk mengh
Apa sebenarnya yang dibutuhkan dalam hubungan selain komitmen, perasaan, dan hal-hal mendasar? Jira rasa, kejujuran. Kejujuran dan kepercayaan jaraknya dekat tapi yang paling sulit dilakukan.Mata cantik Jira menatap pintu apartemen mewah dalam diam. Butuh sekitar tiga menit baginya untuk menata isi kepala dan perasaan untuk menghadapi Sam malam ini. Karena menghadapi kekasihnya malam ini, terasa berbeda sepeti malam sebelumnya. Malam ini, dia akan datang—ralat, mendatangi kekasihnya sebagai calon istri orang lain. Demi apapun, meski kontrak sialan yang sudah dia buat di atas materai itu melibatkan tentang larangan perasaan, tapi Jira tetap mrasa bahwa di sini dia pengkhianatnya.Pintu diketuk pelan dan hati-hati. Dia tidak mengabari jika akan ke sini. Kemudian menekan tombol akses masuk ke dalam apart Sam. Hawa dingin disertai sabun mandi menyergap indera penciumannya. Perempuan itu melepas heels, menaruh di rak, lalu berpendar mencari Sam. “Sam,” panggilnya. Jira sengaja mendekati b
"Astaga, sumpah! Thank you banget, mbak Jiraaa. Aku nggak nyangka banget novel aku yang menurutku peluangnya sedikiiiit banget bakal diangkat jadi film, ternyata paling banyak yang nungguin. Kalo aja editor novelku yang Paradoks bukan mbak yang revisi waktu itu, mungkin nggak jadi best seller kayak sekarang!"Jira tersenyum tipis ketika salah satu penulisnya terlonjak girang saat tahu ia mendapat kontrak kerjasama dengan sebuah perusahaan perfilman yang memiliki nama besar se-Asia. Vague Entertaint, tentunya.Jangankan, Dinka—penulis mereka, para redaksi MagodaMedia saja terkejut dan bahagianya bukan main. Selama ini, memang production house yang mengajukan kontrak kerjasama dengan mereka memang cukup besar se-Indonesia. Tapi ini Vague Entertaint! Bukan se-Indonesia, namun production house ini sudah sekelas se-Asia. Mereka tidak sering mengeluarkan film baru, namun produksi mereka adalah yang selalu ditunggu-tunggu para penonton se-Asia. Well, kualitas dan kuantitas mereka tidak dirag
Dentingan garpu dan sendok saling beradu di atas meja mengiringi perbincangan hangat di antara dua keluarga di sana. Di atas meja makan berkayu mahoni mewah yang luas diisi oleh enam orang. Hanya dua orang saja yang sedari tadi saling diam.“Adeline ini memang jago memasak. Nggak ragu sama kemampuan masak kamu waktu zaman kuliah sering banget jadi ambassador jurusan Gizi di kampus kita dulu,” puji Tante Vanya dengan tulus seteah menyantap hidangan.Adeline tertawa kecil. “Glad to hear that. Nah, kalo yang itu, Jira yang masak. Favorit Jira,” tunjuknya pada Salmon Steak.Tante Vanya menatap kagum pada Jira, melemparkan pujian dan dibalas ucapan terima kasih secara sopan oleh Jira.“Kalo Angelo, dia sama seperti ayahnya. Nggak terlalu suka olahan seafood. Lebih suka olahan vegetarian atau beef,” jelas Tante Vanya seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Heran. Padahal orang Jepang kebanyakan suka seafood, Cuma mereka berdua yang aneh.”“Ssst! Jangan buka aib dong, Ma,” bisik suami Tante Van
Angin malam itu menusuk-nusuk lapisan kulitnya. Mengirimkan rasa dingin sampai di bawah sinar rembulan. Namun, dia tetap memilih berdiri di sana meski dinginnya malam membekukan tubuh. Sesekali ia mengusap lengan yang masih tertutupi blazer hitam seraya menatap kerlap-kerlip cahaya lampu ibukota dari perpaduan gedung-gedung pencakar langit dan bangunan-bangunan masyarakat dari atas balkon kamar.“Jira.”Wanita yang dipanggil Jira itu membalikan tubuh demi mendapati seorang pria yang berjalan cepat untuk menggapai tempatnya. Dalam satu tarikan memeluknya begitu erat hingga Jira harus menahan napas. Aroma cologne dari parfum mahal menghias indera penciuman Jira. Aroma yang ia rindukan belakangan ini.“Maaf sudah membuat menunggu lama, sayang,” bisik laki-laki itu tepat di telinga Jira. Rasanya tidak cukup sekali melampiaskan rasa rindu yang mengoyak lewat pelukan pada tubuh ramping wanita kesayangannya.Jira mengulas senyuman tipis, memberikan sentuhan hangat pada tengkuk di bawah rambu