Audi A8 milik Angelo berhenti di parking area hotel ternama di Jakarta. Dengan santai ia berjalan melewati ballroom dan resepsionis. “Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” Senyuman ramah salah satu resepsionis. Sesekali matanya meniti penampilan Angelo yang kelewat menawan malam ini. Siapa pun akan terpesona, bahkan jika hanyamenghirup wangi parfum pria itu.
“Meeting Redaksi MagodaMedia di lantai berapa?”
Resepsionis itu mengerjap. “Ah, baik. Apakah dengan Tuan Angelo?”
Angelo mengangguk singkat. “Ya.”
Resepsionis itu mengetikan sesuatu di layar i-Pad. “Baik, Tuan Angelo. Meeting redaksi MagodaMedia ada di meeting room lantai 4, Tuan. Perlu kami antar?”
“Thanks. Nggak perlu.” Dengan anggukan terakhir, Angelo pergi dari sana mematri langkah menuju meeting room. Seperti biasa, Angelo memang terbiasa menghadiri suatu acar atau rapat tanpa asisten atau manajer. Biasanya mereka akan melakukan tugasnya jika dia yang meminta, itu pun ketika sedang dalam pekerjaan. Tidak untuk menghadiri acara bersama. Dengan gerakan luwes, ia memencet lift dan memeriksa arloji.
Suara ketukan dari pantofel menghiasi lantai marmer itu ketika dia menuju meeting room. Sudah ada beberapa tim redaksi beserta tim produser dari Vague Entertaint. Angelo kagum dengan manajemen waktu mereka karena salah satu hal yang paling tidak disukai oleh Angelo adalah kata telat! Sontak semua mata tertuju pada Angelo, lantas saja mereka berdiri dan menyapa satu-persatu. Angelo memberikan senyuman formal dan menyuruh mereka duduk kembali.
“Pak Gerald?” tanya Angelo ketika menyadari Pak Gerald belum ada.
“Beliau masih meeting zoom di ruang sebelah, Pak. Lima menit lagi akan selesai.”
Angelo mengangguk. Toh juga perjanjian mereka masih sekitar sepuluh menit lagi. Beberapa tim di sana juga masih mengajaknya berbincang santai mengenai garapan film mereka yang melibatkan aktris ternama dari Korea Selatan. Tentu saja menghabiskan jutaan dollar dalam garapannya. Angelo selalu memuja totalitas dan kesempurnaan dalam pekerjaannya. Meski terlihat santai dan tenang, Angelo selalu memperhitungkan semuanya.
“Malam, Pak Angelo.”
Angelo mendongak dari layar ponselnya ketika seseorang menyapanya dengan hati-hati dan penuh keseganan. “Oh, malam. Kenapa, Dinka?”
Dinka tersenyum sopan—meski dia menahan senyum gembiranya ketika berhadapan dengan Angelo. Sungguh, bagaimana pun dia sulit menolak pesona Angelo. “Nggak apa-apa, Pak. Saya mau mengucapkan terima kasih karena bapak udah kasih novel saya kesempatan buat digarap. Saya bener-bener nggak nyangka.”
Angelo awalnya heran. Dinka malah terlihat begitu berterima kasih seolah kesempatan ini sangat berharga—meskipun memang iya. Angelo hanya mengangguk samar dengan senyuman tipis formal. “Kerja bagus, Dinka. Totalitas ya buat garapan naskahnya. Saya nggak pernah menghancurkan ekspetasi penonton, sama sekali. Maksimalkan naskahnya, kalau ada perlu apa-apa, kamu bisa konsultasi sama produser kita.”
“Baik, bapak. Saya akan maksimalkan! Ada Mbak Jira juga yang bakal bantu saya!” Dinka membungkuk senang. Perempuan lucu itu begitu gembira saat Angelo memberikannya wejangan kecil.
Dinka malam ini begitu tampil dengan lucu sekali. Wajahnya yang kelewat baby face seperti anak SMA itu begitu cocok dengan terusan bercorak bunga Daisy-nya. Apalagi rambut di atas bahu yang menambah kesan kekanakan. Ada satu hal khusus mengapa Dinka jadi percaya diri menggunakan dress adalah ketika dia mengidolakan Jiraya Pramesti di hidupnya. Perempuan yang tidak luput dari kecantikan bak dewi—kalau Dinka bilang ; Jiraya adalah ratunya dress. Entahlah, karena di matanya Jiraya terlalu cantik ketika mengenakan terusan.
Tak lama rapat dimulai di sana. Dinka dan Pak Gerald agak gelisah ketika Jira belum juga mengisi kursi di hadapan Angelo itu. Seharusnya dia ada di sini untuk ikut mendiskusikan garapan mereka. Namun, tiga puluh menit terlewati, batang hidung perempuan itu belum juga muncul. Padahal Jira tidak pernah telat seperti ini sebelumnya. Dengan keprofesionalan Pak Gerald, dia tetap memimpin rapat dari tim penerbit. Bersama Ergal yang memimpin rapat dari tim Production House.
Pintu ruang terketuk, lalu terbuka. Menampakkan Jiraya yang sudah rapi terbalut terusan hitam dan blazer senada. Semua mata tertuju dan obrolan terhenti sejenak ketika Jiraya membuka suara. “Selamat malam semua. Mohon maaf atas keterlambatan saya.”
“Nggak apa-apa, Mbak Jira. Justru saya khawatir kalau Mbak belum datang.” Egar menyahut dengan senyuman sopan, sementara Jinan mengangguk pelan. Rapat kembali berjalan, sementara Jira mengambil tempat di kursi yang satu-satunya kosong itu. Tepat di depan Angelo.
Jira menenangkan diri dalam diam meski napasnya masih ngos-ngosan dikejar oleh waktu. Tentu saja ini adalah momen memalukan di mana seoang dirinya bahkan tidak pernah terlambat. Sikap tenangnya segera mengambil alih dan profesional. Wajahnya diangkat, di sana dia bisa bertemu tatap dengan Angelo yang juga menatapnya dalam diam.
Seperti es yang membeku, itulah yang terpancar dari mata keduanya. Siapa pun pasti tidak akan ada yang menyangka jika mereka berdua adalah calon suami-istri. Cih, jika mengingat itu, keduanya akan berdecih dalam hati.
“Bagaimana, Mbak Jira?” Elgar membuka suara dan Jira langsung menelengkan perhatiannya pada pemuda manis itu. Senyumannya selalu ramah cocok dipadukan dengan kulit kecoklatan yang Elgar miliki. “Tadi kita sepakat kalau ada beberapa yang harus kita rombak. Ini saran dari tim produser juga. Ini terkait masalah latar dan anti-klimaks film. Di novel ending dibuat happy ending, gimana kalau kita buat dengan open ending saja? Apalagi ini kan novel pertama Dinka yang dibuat film. Open ending rencana bakal kita buat sebagai jalan terbuka pemikiran penonton juga pembaca. Dari sana kita bisa liat peluang.”
Jira berusaha mencerna karena pastinya dia sudah ketinggalan banyak nformasi di sini. Oke, fokus, Jira. Lupakan dulu tentang Sam atau siapa pun di kepalamu.
Perempuan itu menjawab dengan perspektifnya sebagai editor novel dan ditanggapi dengan baik oleh produser yang ikut hadir. Dia menjelaskan secara lugas dan tenang, meski pemikiran carut marut.
“Saya rasa, anti-klimaks sampai ending dirombak sedemikian rupa dari alur asli.” Angelo membuka suara. Beberapa menatapnya heran, apalagi Jira. Pria itu mengedik bahu santai. “Plot di novel dari anti-klimaks Dinka belum memberi interpretasi yang luas di imajinasi pembaca, apalagi penonton yang akan meihat secara visual. Kalau dieksekusi, plotnya akan datar dan tidak berkembang.”
“Pengembangan penokohan dan alur sudah sejalan dengan rumusan cerita itu, tepat di bagian klimaks. Kalau kita rombak, tentu aja bakal lebih merubah ekspetasi pembaca lama.” Jira menyanggah dengan sopan.
Angelo menatapnya kali ini. “Novel ini fantasi di dunia game. Kalau dieksekusi secara imajinasi pembaca, nggak bakal ada feel sama sekali. Saya yakin nggak bakal sampai.”
“Imajinasi pembaca tidak bisa kita ukur dalam segi tersebut, Pak. Semuanya tergantung bagaimana imajinasi pemeran nanti.”
Dinka boak-balik menatap mereka berdua, Pak Gerald mendengarkan dengan serius, dan produser berusaha mencerna. Seakan rapat ini sedang diambil alih oleh kedua manusia ajaib yang masih bantah-membantah mengenai alur. Intonasi mereka bahkan setenang lautan, tapi jika dirasakan sedingin gunung es.
“Kita akan mengambil jalan tengahnya, Pak Angelo dan Bu Jiraya.” Produser langsung menyanggah begitu ada celah lagi dari pembicaraan mereka.
“Benar kata Mbak Tania.” Pak Gerald kali ini membuka suara. “karna bagaimana pun, kepuasan penonton dan pembaca tetap menjadi hal utama. Dan semua itu dimiliki oleh kualitas yang dioptimalkan.”
Semua mengangguk setuju. Jiraya menghela napas pelan dan Angelo mengangguk singkat. Tidak ada yang menyadari ada ketajaman dari dinginnya pancaran mereka. Entah karena sentimental atau memang mengkritisi novel ini sampai-sampai tim pun harus ikut turun tangan melerai.
Setelah satu jam, rapat selesai dan semua berpamitan. Rencana garap script naskah akan dimulai dua hari lagi. Jiraya berbincang sebentar bersama Pak Gerald dan Dinka, lalu berpamit pergi. Jira mengecek arloji dan menghela napas. Berdebat bersama Sam memang begitu menguras tenaga dan waktu. Jira bahkan sampai lupa jika ada jadwal rapat hari ini yang harus dia hadiri ketika fokus pada permasalahannya dengan Sam.
Jiraya melepas blazer ketika mendekati mobilnya di parking area. Nyaris saja tangannya membuka pintu, ketika menyadari siapa sosok yang baru saja mendatangi sebuah mobil di sampingnya. Jiraya membalikan tubuh demi mendapati Angelo yang membuka pintu mobil santai, dan tangan lainnya yang dtenggelamkan dalam saku.
Sungguh dia malas menghadapi pria satu ini lagi, tapi sayangnya harus. “Angelo.”
Sang pemilik nama menoleh, tidak terkejut sedikit pun saat mobil mereka ternyata bersisian. “kenapa?”
Jira memajukan diri selangkah, seakan ingin meredam pembicaraan mereka malam ini. “Kamu ada waktu luang besok?”
“Nope.”
“Besok malam papa aku meminta kamu datang untuk makan malam.” Jira menjeda sebentar ucapannya. “Sekaligus membahas acara pernikahan kita.”
Angelo jadi membalikan tubuh sepenuhnya untuk menghadap Jiraya. Sebelum membuka suara, ia sedikit menelengkan kepala. “Oke.”
“Aku mau kita… bersikap cukup casual.”
“Bukannya kita udah cukup ‘casual’ untuk sandiwara beginian?” Angelo membalasnya. “Gue udah siapin vendor buat pernikahan nanti.”
Mata Jira membulat. “Kenapa kamu nggak kabarin aku?”
“Untuk?” Angelo mengedik bahu santai. “I mean, kita cuma sandiwara di sini. Gue rasa hal-hal kayak gini nggak perlu buat dibicarain terlalu serius. Karena gue mau semuanya selesai, sesingkat mungkin.”
Helaan napas lolos dari Jira. Benar apa yang dikatakan Angelo bahwa dia tidak usah mengambil langkah serius, toh juga mereka tidak melibatkan apapun selain harapan keluarga dalam pernikahan ini.
“Baik kalau begitu.” Jira mengangguk sopan. “Sampai ketemu besok malam.”
Angelo mengangguk asal. “Oke.” Pria itu kemudian mengedik, memberi kode untuk Jiraya masuk ke dalam mobilnya. Jiraya mengangguk halus. Kemudian mereka pergi meninggalkan parking area hotel untuk kembali pada rumah masing-masing.
Jelas saja, Jiraya merasa terlalu banyak waktu yang dihabiskan hanya untuk dinner mereka bersama orangtua. Itu jelas akan membuatnya semakin malas, dan dia yakin Angelo pun akan merasa begitu. Buang-buang waktu karena mereka juga tidak mengharapkan pertemuan lagi selain pernikahan, toh? Namun ide sang papa itu ada-ada saja. Mau tidak mau Jiraya harus menurut, apalagi Angelo menjadi menantu favorit papa sekarang.
“Maaf, Sam. Aku sudah ada janji dinner sama keluarga aku malam ini. Mama nggak mau kalo sampai aku nggak ikut, Sam.”“Dari kemarin kamu begitu terus, Jira. Kapan kamu punya waktu buat aku? Kamu rapat, aku ngalah. Pertemuan keluarga, aku ngalah, bahkan kamu lebih mementingkan buat revisi naskah-naskah sialan kamu itu dibanding spend time sama aku.” Sam membalasnya telak dan Jira tidak bisa menjawab apapun.Memang salahnya, kali ini. Dia begitu banyak membuang waktu ke dunia luar dan lupa jika Sam pun membutuhkannya. Entahlah, tapi dia merasa mama selalu mempunya banyak cara agar Jira tidak punya waktu bertemu dengan Sam. Entah dinner tiba-tiba, atau bahkan malam ini Angelo pun diajak. “Aku baru pulang dari London dan satu minggu lagi aku kembali ke sana, Jira. Kamu egois.”“Sam…” Jira mencoba meraih lengan pria itu meski ditepis. “Aku yang salah, aku minta maaf. Aku juga nggak tahu kalau mama punya rencana sebanyak itu, Sam.”“Kita berdua udah dewasa, Jira. Harusnya kamu bisa bicara sa
Mobil Angelo berhenti tepat di area parkir apartemen mewah Sam. Jiraya melepas seatbelt, menatap pria yang dibalik stir itu. “Terima kasih tumpangannya, sekali lagi.”Angelo mengangguk samar. “Oke.”Jira tersenyum tipis dan membuka pintu mobil. Namun sebelum itu, dia berbalik badan kembali menatap Angelo. “Oh iya. Rencana mau ketemu vendor, kamu bakal ajak aku?”Angelo mengedik. “Terserah lo.”Jira mengangguk. “Aku mau. Kabarin kalau kamu perlu bantuan.” Dengan anggukan terakhir, Jira pamit dari sana. Menunggu Angelo benar-benar pergi dari area itu, lalu naik ke apartemen Sam. Keputusannya mungkin akan menjadi hal yang salah malam ini. Kalau mama tau, pasti dia akan mengamuk. Toh siapa juga yang peduli. Tidak ada yang bisa merubah fata bahwa yang menjadi kekasihnya adalah Sam, bukan siapa pun. Bahkan jika itu pilihan mama.Dirinya dan Sam hanya perlu bersabar sedikit lagi setelah sandiwara pernikahan selesai. Bagaimana pun nanti caranya, dia yang akan mengusahakan agar Sam bisa bertem
Pernikahan dan menjalin hubungan tidak ada di dalam agenda hidupnya. Sebagai pria matang dengan kehidupan mapan, dewasa, dihadiahi skill dan otak jenius, tentu akan sangat mudah menjentikkan jari dan memilih wanita seperti apa yang dia mau. Tadeus pun siap memberikan banyak pilihan. Tak jarang, koleganya dari berbagai negara berusaha mendekati Angelo. Namun bukannya menolak mentah-mentah, dia justru menjadikan hal itu peluang dalam bisnis. Tidak ada yang dirugikan, bukan? Maka dari itu, ketika orangtuanya memilih menjodohkannya—tradisi kolot, demi Tuhan—Angelo merasa kepalanya berat luar biasa. Dia bisa saja menolak mentah-mentah, tapi membantah mama bukanlah pilihan. Dia terlihat garang, judes, sarkastik kadang-kadang, tapi jika mama sudah berbicara, Angelo tidak kuasa ingin langsung menolak. Akan sangat memalukan jika di usia matangnya dan kehidupan yang begitu modern ini dipatahkan dengan perjodohan kolot, bukan? Angelo bukannya bodoamat meski selalu terlihat seperti itu. Dia pik
Rutinitas Jira setiap hari Minggu biasanya mengerjakan setumpuk pekerjaan yang belum selesai di hari sebelumnya, atau seperti sekarang ini. Balutan kaus putih dan celana training, serta jaket abu-abu sudah terpasang di depan cermin. Jira siap berangkat untuk memulai lari paginya tepat di jam 05.00 pagi. Jika sehabis lari pagi begini, barulah dia mengambil waktu untuk sarapan di café terdekat yang sudah buka atau di rumah saja. Setelah memanaskan mobil, Jira menuju daerah taman kota. Limabelas menit dia habiskan untuk pemanasan dan mulai berlari sesuai rute yang dia punya. Sebelumnya Jira sering mengikuti Indonesia Half Marathon jika punya banyak waktu senggang. Namun karena cerita yang diampunya belakangan akan naik produksi sebagai film, kesibukan selalu mengambil alih waktu dan pikirannya sehingga akan sulit membagi waktu di hari-hari biasa. Jira menghitung jarak larinya lewat applewatch yang menunjukan sejauh mana dirinya berlari. Menghabiskan lebih dari satu jam untuk lari pagi,
Angin malam itu menusuk-nusuk lapisan kulitnya. Mengirimkan rasa dingin sampai di bawah sinar rembulan. Namun, dia tetap memilih berdiri di sana meski dinginnya malam membekukan tubuh. Sesekali ia mengusap lengan yang masih tertutupi blazer hitam seraya menatap kerlap-kerlip cahaya lampu ibukota dari perpaduan gedung-gedung pencakar langit dan bangunan-bangunan masyarakat dari atas balkon kamar.“Jira.”Wanita yang dipanggil Jira itu membalikan tubuh demi mendapati seorang pria yang berjalan cepat untuk menggapai tempatnya. Dalam satu tarikan memeluknya begitu erat hingga Jira harus menahan napas. Aroma cologne dari parfum mahal menghias indera penciuman Jira. Aroma yang ia rindukan belakangan ini.“Maaf sudah membuat menunggu lama, sayang,” bisik laki-laki itu tepat di telinga Jira. Rasanya tidak cukup sekali melampiaskan rasa rindu yang mengoyak lewat pelukan pada tubuh ramping wanita kesayangannya.Jira mengulas senyuman tipis, memberikan sentuhan hangat pada tengkuk di bawah rambu
Dentingan garpu dan sendok saling beradu di atas meja mengiringi perbincangan hangat di antara dua keluarga di sana. Di atas meja makan berkayu mahoni mewah yang luas diisi oleh enam orang. Hanya dua orang saja yang sedari tadi saling diam.“Adeline ini memang jago memasak. Nggak ragu sama kemampuan masak kamu waktu zaman kuliah sering banget jadi ambassador jurusan Gizi di kampus kita dulu,” puji Tante Vanya dengan tulus seteah menyantap hidangan.Adeline tertawa kecil. “Glad to hear that. Nah, kalo yang itu, Jira yang masak. Favorit Jira,” tunjuknya pada Salmon Steak.Tante Vanya menatap kagum pada Jira, melemparkan pujian dan dibalas ucapan terima kasih secara sopan oleh Jira.“Kalo Angelo, dia sama seperti ayahnya. Nggak terlalu suka olahan seafood. Lebih suka olahan vegetarian atau beef,” jelas Tante Vanya seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Heran. Padahal orang Jepang kebanyakan suka seafood, Cuma mereka berdua yang aneh.”“Ssst! Jangan buka aib dong, Ma,” bisik suami Tante Van
"Astaga, sumpah! Thank you banget, mbak Jiraaa. Aku nggak nyangka banget novel aku yang menurutku peluangnya sedikiiiit banget bakal diangkat jadi film, ternyata paling banyak yang nungguin. Kalo aja editor novelku yang Paradoks bukan mbak yang revisi waktu itu, mungkin nggak jadi best seller kayak sekarang!"Jira tersenyum tipis ketika salah satu penulisnya terlonjak girang saat tahu ia mendapat kontrak kerjasama dengan sebuah perusahaan perfilman yang memiliki nama besar se-Asia. Vague Entertaint, tentunya.Jangankan, Dinka—penulis mereka, para redaksi MagodaMedia saja terkejut dan bahagianya bukan main. Selama ini, memang production house yang mengajukan kontrak kerjasama dengan mereka memang cukup besar se-Indonesia. Tapi ini Vague Entertaint! Bukan se-Indonesia, namun production house ini sudah sekelas se-Asia. Mereka tidak sering mengeluarkan film baru, namun produksi mereka adalah yang selalu ditunggu-tunggu para penonton se-Asia. Well, kualitas dan kuantitas mereka tidak dirag
Apa sebenarnya yang dibutuhkan dalam hubungan selain komitmen, perasaan, dan hal-hal mendasar? Jira rasa, kejujuran. Kejujuran dan kepercayaan jaraknya dekat tapi yang paling sulit dilakukan.Mata cantik Jira menatap pintu apartemen mewah dalam diam. Butuh sekitar tiga menit baginya untuk menata isi kepala dan perasaan untuk menghadapi Sam malam ini. Karena menghadapi kekasihnya malam ini, terasa berbeda sepeti malam sebelumnya. Malam ini, dia akan datang—ralat, mendatangi kekasihnya sebagai calon istri orang lain. Demi apapun, meski kontrak sialan yang sudah dia buat di atas materai itu melibatkan tentang larangan perasaan, tapi Jira tetap mrasa bahwa di sini dia pengkhianatnya.Pintu diketuk pelan dan hati-hati. Dia tidak mengabari jika akan ke sini. Kemudian menekan tombol akses masuk ke dalam apart Sam. Hawa dingin disertai sabun mandi menyergap indera penciumannya. Perempuan itu melepas heels, menaruh di rak, lalu berpendar mencari Sam. “Sam,” panggilnya. Jira sengaja mendekati b
Rutinitas Jira setiap hari Minggu biasanya mengerjakan setumpuk pekerjaan yang belum selesai di hari sebelumnya, atau seperti sekarang ini. Balutan kaus putih dan celana training, serta jaket abu-abu sudah terpasang di depan cermin. Jira siap berangkat untuk memulai lari paginya tepat di jam 05.00 pagi. Jika sehabis lari pagi begini, barulah dia mengambil waktu untuk sarapan di café terdekat yang sudah buka atau di rumah saja. Setelah memanaskan mobil, Jira menuju daerah taman kota. Limabelas menit dia habiskan untuk pemanasan dan mulai berlari sesuai rute yang dia punya. Sebelumnya Jira sering mengikuti Indonesia Half Marathon jika punya banyak waktu senggang. Namun karena cerita yang diampunya belakangan akan naik produksi sebagai film, kesibukan selalu mengambil alih waktu dan pikirannya sehingga akan sulit membagi waktu di hari-hari biasa. Jira menghitung jarak larinya lewat applewatch yang menunjukan sejauh mana dirinya berlari. Menghabiskan lebih dari satu jam untuk lari pagi,
Pernikahan dan menjalin hubungan tidak ada di dalam agenda hidupnya. Sebagai pria matang dengan kehidupan mapan, dewasa, dihadiahi skill dan otak jenius, tentu akan sangat mudah menjentikkan jari dan memilih wanita seperti apa yang dia mau. Tadeus pun siap memberikan banyak pilihan. Tak jarang, koleganya dari berbagai negara berusaha mendekati Angelo. Namun bukannya menolak mentah-mentah, dia justru menjadikan hal itu peluang dalam bisnis. Tidak ada yang dirugikan, bukan? Maka dari itu, ketika orangtuanya memilih menjodohkannya—tradisi kolot, demi Tuhan—Angelo merasa kepalanya berat luar biasa. Dia bisa saja menolak mentah-mentah, tapi membantah mama bukanlah pilihan. Dia terlihat garang, judes, sarkastik kadang-kadang, tapi jika mama sudah berbicara, Angelo tidak kuasa ingin langsung menolak. Akan sangat memalukan jika di usia matangnya dan kehidupan yang begitu modern ini dipatahkan dengan perjodohan kolot, bukan? Angelo bukannya bodoamat meski selalu terlihat seperti itu. Dia pik
Mobil Angelo berhenti tepat di area parkir apartemen mewah Sam. Jiraya melepas seatbelt, menatap pria yang dibalik stir itu. “Terima kasih tumpangannya, sekali lagi.”Angelo mengangguk samar. “Oke.”Jira tersenyum tipis dan membuka pintu mobil. Namun sebelum itu, dia berbalik badan kembali menatap Angelo. “Oh iya. Rencana mau ketemu vendor, kamu bakal ajak aku?”Angelo mengedik. “Terserah lo.”Jira mengangguk. “Aku mau. Kabarin kalau kamu perlu bantuan.” Dengan anggukan terakhir, Jira pamit dari sana. Menunggu Angelo benar-benar pergi dari area itu, lalu naik ke apartemen Sam. Keputusannya mungkin akan menjadi hal yang salah malam ini. Kalau mama tau, pasti dia akan mengamuk. Toh siapa juga yang peduli. Tidak ada yang bisa merubah fata bahwa yang menjadi kekasihnya adalah Sam, bukan siapa pun. Bahkan jika itu pilihan mama.Dirinya dan Sam hanya perlu bersabar sedikit lagi setelah sandiwara pernikahan selesai. Bagaimana pun nanti caranya, dia yang akan mengusahakan agar Sam bisa bertem
“Maaf, Sam. Aku sudah ada janji dinner sama keluarga aku malam ini. Mama nggak mau kalo sampai aku nggak ikut, Sam.”“Dari kemarin kamu begitu terus, Jira. Kapan kamu punya waktu buat aku? Kamu rapat, aku ngalah. Pertemuan keluarga, aku ngalah, bahkan kamu lebih mementingkan buat revisi naskah-naskah sialan kamu itu dibanding spend time sama aku.” Sam membalasnya telak dan Jira tidak bisa menjawab apapun.Memang salahnya, kali ini. Dia begitu banyak membuang waktu ke dunia luar dan lupa jika Sam pun membutuhkannya. Entahlah, tapi dia merasa mama selalu mempunya banyak cara agar Jira tidak punya waktu bertemu dengan Sam. Entah dinner tiba-tiba, atau bahkan malam ini Angelo pun diajak. “Aku baru pulang dari London dan satu minggu lagi aku kembali ke sana, Jira. Kamu egois.”“Sam…” Jira mencoba meraih lengan pria itu meski ditepis. “Aku yang salah, aku minta maaf. Aku juga nggak tahu kalau mama punya rencana sebanyak itu, Sam.”“Kita berdua udah dewasa, Jira. Harusnya kamu bisa bicara sa
Audi A8 milik Angelo berhenti di parking area hotel ternama di Jakarta. Dengan santai ia berjalan melewati ballroom dan resepsionis. “Selamat malam, Tuan. Ada yang bisa kami bantu?” Senyuman ramah salah satu resepsionis. Sesekali matanya meniti penampilan Angelo yang kelewat menawan malam ini. Siapa pun akan terpesona, bahkan jika hanyamenghirup wangi parfum pria itu.“Meeting Redaksi MagodaMedia di lantai berapa?”Resepsionis itu mengerjap. “Ah, baik. Apakah dengan Tuan Angelo?”Angelo mengangguk singkat. “Ya.”Resepsionis itu mengetikan sesuatu di layar i-Pad. “Baik, Tuan Angelo. Meeting redaksi MagodaMedia ada di meeting room lantai 4, Tuan. Perlu kami antar?”“Thanks. Nggak perlu.” Dengan anggukan terakhir, Angelo pergi dari sana mematri langkah menuju meeting room. Seperti biasa, Angelo memang terbiasa menghadiri suatu acar atau rapat tanpa asisten atau manajer. Biasanya mereka akan melakukan tugasnya jika dia yang meminta, itu pun ketika sedang dalam pekerjaan. Tidak untuk mengh
Apa sebenarnya yang dibutuhkan dalam hubungan selain komitmen, perasaan, dan hal-hal mendasar? Jira rasa, kejujuran. Kejujuran dan kepercayaan jaraknya dekat tapi yang paling sulit dilakukan.Mata cantik Jira menatap pintu apartemen mewah dalam diam. Butuh sekitar tiga menit baginya untuk menata isi kepala dan perasaan untuk menghadapi Sam malam ini. Karena menghadapi kekasihnya malam ini, terasa berbeda sepeti malam sebelumnya. Malam ini, dia akan datang—ralat, mendatangi kekasihnya sebagai calon istri orang lain. Demi apapun, meski kontrak sialan yang sudah dia buat di atas materai itu melibatkan tentang larangan perasaan, tapi Jira tetap mrasa bahwa di sini dia pengkhianatnya.Pintu diketuk pelan dan hati-hati. Dia tidak mengabari jika akan ke sini. Kemudian menekan tombol akses masuk ke dalam apart Sam. Hawa dingin disertai sabun mandi menyergap indera penciumannya. Perempuan itu melepas heels, menaruh di rak, lalu berpendar mencari Sam. “Sam,” panggilnya. Jira sengaja mendekati b
"Astaga, sumpah! Thank you banget, mbak Jiraaa. Aku nggak nyangka banget novel aku yang menurutku peluangnya sedikiiiit banget bakal diangkat jadi film, ternyata paling banyak yang nungguin. Kalo aja editor novelku yang Paradoks bukan mbak yang revisi waktu itu, mungkin nggak jadi best seller kayak sekarang!"Jira tersenyum tipis ketika salah satu penulisnya terlonjak girang saat tahu ia mendapat kontrak kerjasama dengan sebuah perusahaan perfilman yang memiliki nama besar se-Asia. Vague Entertaint, tentunya.Jangankan, Dinka—penulis mereka, para redaksi MagodaMedia saja terkejut dan bahagianya bukan main. Selama ini, memang production house yang mengajukan kontrak kerjasama dengan mereka memang cukup besar se-Indonesia. Tapi ini Vague Entertaint! Bukan se-Indonesia, namun production house ini sudah sekelas se-Asia. Mereka tidak sering mengeluarkan film baru, namun produksi mereka adalah yang selalu ditunggu-tunggu para penonton se-Asia. Well, kualitas dan kuantitas mereka tidak dirag
Dentingan garpu dan sendok saling beradu di atas meja mengiringi perbincangan hangat di antara dua keluarga di sana. Di atas meja makan berkayu mahoni mewah yang luas diisi oleh enam orang. Hanya dua orang saja yang sedari tadi saling diam.“Adeline ini memang jago memasak. Nggak ragu sama kemampuan masak kamu waktu zaman kuliah sering banget jadi ambassador jurusan Gizi di kampus kita dulu,” puji Tante Vanya dengan tulus seteah menyantap hidangan.Adeline tertawa kecil. “Glad to hear that. Nah, kalo yang itu, Jira yang masak. Favorit Jira,” tunjuknya pada Salmon Steak.Tante Vanya menatap kagum pada Jira, melemparkan pujian dan dibalas ucapan terima kasih secara sopan oleh Jira.“Kalo Angelo, dia sama seperti ayahnya. Nggak terlalu suka olahan seafood. Lebih suka olahan vegetarian atau beef,” jelas Tante Vanya seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Heran. Padahal orang Jepang kebanyakan suka seafood, Cuma mereka berdua yang aneh.”“Ssst! Jangan buka aib dong, Ma,” bisik suami Tante Van
Angin malam itu menusuk-nusuk lapisan kulitnya. Mengirimkan rasa dingin sampai di bawah sinar rembulan. Namun, dia tetap memilih berdiri di sana meski dinginnya malam membekukan tubuh. Sesekali ia mengusap lengan yang masih tertutupi blazer hitam seraya menatap kerlap-kerlip cahaya lampu ibukota dari perpaduan gedung-gedung pencakar langit dan bangunan-bangunan masyarakat dari atas balkon kamar.“Jira.”Wanita yang dipanggil Jira itu membalikan tubuh demi mendapati seorang pria yang berjalan cepat untuk menggapai tempatnya. Dalam satu tarikan memeluknya begitu erat hingga Jira harus menahan napas. Aroma cologne dari parfum mahal menghias indera penciuman Jira. Aroma yang ia rindukan belakangan ini.“Maaf sudah membuat menunggu lama, sayang,” bisik laki-laki itu tepat di telinga Jira. Rasanya tidak cukup sekali melampiaskan rasa rindu yang mengoyak lewat pelukan pada tubuh ramping wanita kesayangannya.Jira mengulas senyuman tipis, memberikan sentuhan hangat pada tengkuk di bawah rambu