"Kau!" Lea meradang. Secepat kilat mengangkat tangan kanan ke udara hendak menampar Katherine.Namun, pergelangan tangannya ditangkap Frederick seketika. Lea terkesiap. Pandangannya langsung terhubung dengan Frederick. Frederick menatapnya sangat tajam sampai-sampai Lea diserang kepanikan mendadak. Telapak tangannya mulai berkeringat dingin sekarang. "Pang—er—an," ucap Lea terbata-bata."Apa kau ingin dihukum mati juga hah?!" geram Frederick, mencekal pergelangan tangan Lea dengan sangat kuat dan erat. Hingga terdengarlah rintihan pelan keluar dari bibir Lea. Lea menelan ludah berkali-kali saat atmosfer di sekitar terasa sangat dingin dan mencekam sekarang. "Maaf Pangeran aku, ahk!" Lea tersentak. Frederick menghempas kuat tangannya tiba-tiba hingga mengakibatkan dia terhuyung-huyung ke belakang sejenak. Secepat kilat Lea menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. "Shfft ...." desis Lea seraya mengusap pelan pergelangan tangan kanan. Napas Frederick semakin memburu. Sama seperti Kath
Dalam keadaan remang-remang. Lea tak dapat melihat wajah si pelaku. Namun, sosok tersebut memakai sweater hitam lengkap dengan tudung, masker dan kacamata hitam.Napas Lea mulai tersendat-sendat. Lehernya dicekik dengan sangat kuat sekarang. Sampai-sampai kedua kakinya pun bergerak ke sana kemari. Menahan sesak dan sakit di sekujur leher karena cekikkan begitu erat. Seolah-olah ada dendam kesumat yang dimiliki si pelaku padanya."Le—pas kan aku," kata Lea berusaha menarik tangan sosok itu namun tenaganya tak mampu. Pasokan udara di paru-parunya mendadak berkurang. Hingga terdengarlah suara batuk di sekitar. Di balik tudung hitam, sosok itu menyeringai tipis. Seakan-akan menikmati apa yang tengah dilakukannya saat ini. Dia mencekik brutal sang korban hingga wajah Lea tampak merah dan bibirnya mulai pucat pasi. "Le ..., pas ...." Lea masih berusaha memberontak. Dengan sekuat tenaga mengangkat tangan kanan hendak membuka tudung jaket. Akan tetapi, sosok itu tiba-tiba melompat turun dar
Lea tak sempat meneruskan ucapan kala tengkuknya dipukul. Dia pingsan di tempat. Secara bersamaan pula sang pelayan masuk bersama pengawal istana. Dalam keadaan temaram, mereka menyipitkan mata, menajamkan penglihatan. "Berhenti kau!" pekik sang pengawal lalu berlari mendekati si pelaku. Pelayan wanita pun mengekori dari belakang.Sosok itu hanya menoleh sekilas kemudian secepat kilat menerobos jendela kaca Lea hingga hancur berkeping-keping. Dia berlari lincah bak meteor yang jatuh ke bumi. "Hei kau!" Sang pengawal kesal setengah mati karena tidak berhasil menangkap si pelaku. Meskipun begitu dia tetap mengabari pengawal lainnya untuk menutup gerbang istana dan berjaga-jaga di sekitar. Dia pun berencana akan mencari si pelaku dan mengabari pihak kerajaan telah terjadi kejahatan di dalam istana. "Astaga kasihan Nona Lea," ujar pelayan wanita seketika. Berjongkok sambil menatap penuh iba keadaan luka Lea yang tampak menggenaskan. Lelaki itu mengalihkan pandangan ke bawah lalu berk
Lea sangat murka dan kesal. Setiap kali mendengar kata video, dia merasa jijik!"Lihatlah kau memperlihatkan sifatmu sebenarnya," balas Katherine kemudian.Bukannya marah dengan tanggapan Lea. Katherine malah mengulum senyum. Adik tirinya itu telah memperlihatkan sifat aslinya barusan. "Apa maksudmu?" Dengan napas memburu Lea pun bertanya. Dia masih berada di atas ranjang, berbaring dengan posisi setengah duduk. Untuk sesaat Katherine tertawa pelan kemudian secara perlahan melipat tangan di dada."Tadi kau mengatakan aku seperti ular dan memiliki hati yang busuk tapi nyatanya kaulah yang menunjukkan sifat-sifat itu, apa kau tidak sadar mengatai aku jalang dan mengatakan aku pantas mati. Hm aneh, atas dasar apa kau mengatakan aku pantas mati? Apa kau Tuhan sesuka hati mengambil nyawa manusia?" lontar Katherine, pelan dan lembut, dengan senyum manis mengembang di bibir. Lea sempat terdiam. Kendati demikian, sorot matanya yang merah menyala tak memudar. Perubahan suasana hatinya membu
Kopenhagen, Denmark.Zaman modern ***"Sabarlah Karl." "Tapi, aku sudah tidak tahan lagi," kata Karl sembari menarik pinggang Lea seketika. "Astaga, lihatlah istrimu masih ada di sini."Karl malah tertawa rendah, tak mempedulikan sosok wanita yang tengah berusaha mendekati mereka sekarang. "Biadap kalian!" Dengan sekuat tenaga Katherine Brown merangkak di atas pasir, mencoba mengapai bayinya yang terbujur kaku, berjarak tiga meter darinya. Malam ini debur ombak di bibir lautan mengalun-alun lembut di telinga Katherine. Udara pun begitu dingin hingga menusuk-nusuk kulit pori-porinya.Katherine sedikit mengigil, menyeret kedua kakinya yang dipenuhi darah. Dia baru saja melahirkan tanpa bantuan siapa pun mengakibatkan perdarahan hebat. "Abaikan saja dia." Karl meraih tengkuk Lea dengan cepat kemudian melumat liar bibir kekasih gelapnya itu. "Mengapa kalian melakukan ini padaku?" tanya Katherine, mendekap tubuh anaknya yang masih merah sambil melabuhkan kecupan demi kecupan di pipi
Pangeran Frederick Abraham Edmund — pemilik mata biru itu memandang Katherine dengan tatapan datar. Tetesan air dari rambutnya membuat kelopak mata Katherine enggan untuk berkedip. Bias cahaya mentari yang jatuh ke bawah rambut Pangeran semakin membuat silau pandangan Katherine.Hening melanda. Hanya terdengar deburan ombak di tepi laut, menyapa kembali telinga Katherine. 'Pasti aku sedang di surga?' Katherine masih berpikir dirinya berada di surga. Mendadak kilasan balik masa lalu Katherine berputar-putar seperti sebuah kaset. Ia ingat pria malang di depannya ini memiliki kisah cinta yang amat tragis, Victoria, sang tunangan terjun ke lautan tepat di hari pernikahannya berlangsung. Dari kabar burung yang berhembus, sang ratu tidak menyukai Victoria karena status kedudukannya lebih rendah. Hanya itu saja yang Katherine tahu. "Nona Brown, berdirilah. Papamu mengkhawatirkanmu." Frederick membuka suara kala Katherine hanya diam saja memandanginya dengan mata tak berkedip-kedip se
Sebuah tamparan kuat mendarat tepat di pipi Zara. Kedua mata wanita bertubuh langsing tersebut lantas membola, amat terkejut. "Apa yang Kakak lakukan?!" Tak hanya Zara, Lea pun terkesiap. William gegas mendekati Zara. Gurat kepanikan dan kecemasan tergambar sangat jelas di wajahnya sekarang. Grace, sebagai seseorang yang ditugaskan menemani Katherine, sama terkejutnya. Buru-buru ia berdiri di samping Katherine."Katherine, mengapa kau menampar Mamamu?" tanya William sembari menyentuh pipi Zara, hendak memeriksa keadaan istrinya.Katherine tak langsung menjawab, malah memandangi tangan kanannya yang baru saja digunakan untuk menampar Zara. Ada rasa senang merasuk jiwanya kala dapat melampiaskan kemarahannya barusan. Namun, sekarang dia sedikit heran. Apakah sudah mati atau belum? Katherine merasa aneh. Jika ini mimpi, berarti tubuhnya terdampar di suatu tempat. Andaikan ini surga, mengapa dia terlempar ke kejadian setahun lalu. Sungguh aneh, pikir Katherine. 'Tempat ini keren seka
Pertanyaan yang diajukan Katherine malah membuat William mengeluarkan tawa cukup keras. Melihat hal itu Katherine langsung manyun. "Kenapa Papa tertawa?" Katherine bertanya tanpa mengubah ekspresi wajah. Saat ini ada kerutan sedikit di keningnya. Tatapannya nampak sangat serius membuat tawa William pun terhenti. "Ya bagaimana papa tidak tertawa, kau bertanya sesuatu yang tidak masuk diakal." William menangkup kedua pipi Katherine seketika. "Dear, papa tidak akan pernah menamparmu, meskipun kau membuat papa kesal tadi," ujarnya lalu memeluk Katherine. Katherine terdiam. Untuk kesekian kalinya, merasakan kehangatan pelukan William. Sebuah pelukan yang begitu hangat, mengalahkan sinar mentari di luar jendela sana. 'Jadi aku belum mati?' Katherine pun bertanya-tanya dalam benaknya tentang keadaannya saat ini. Detik selanjutnya, William mengurai pelukan. "Sebaiknya kau beristirahat, papa sudah menghubungi dokter untuk datang kemari, besok atau lusa kita kembali ke rumah." Ka