Di luar rumah, para asisten dan para tetangga sibuk mencari akal agar api bisa dipadamkan. Ada yang mengambil air dari rumah mereka masing-masing, ada pula yang menggunakan selang untuk menyiram mansion William. Namun, semuanya sia-sia karena api terlalu besar dan semakin berkobar-kobar sekarang. Berbeda dengan Zara tersenyum penuh kemenangan. Melihat api menyambar mansion Brown. 'Kau pikir aku bodoh, Katherine.' Zara tak peduli barang-barang berharganya. Di dalam pikirannya sekarang, yang terpenting salah satu hama telah berhasil dia lenyapkan. Dialah otak dari tragedi kebakaran. Setelah kejadian aneh yang terjadi di kamarnya minggu lalu. Zara berspekulasi bila ada orang yang mematai-matainya. Sejak saat itu ia pun diam-diam menyelidiki siapa yang menjadi kaki tangan Katherine. Dan benar tebakannya, Grace. Malam ini, sesuai dugaannya Grace ternyata masuk lagi ke dalam kamarnya. Zara pergi ke pesta tapi hanya untuk menampakkan muka. Dia kembali lagi ke rumah, sementara Lea masi
"Apa?!"Matanya baru saja terbuka. Bisikan pelan di telinga kanan tadi membuat Katherine mendadak terbangun dalam tidurnya. Masih berbaring di peraduan, Katherine memandangi Frederick dengan tatapan terkejut. "Kau pasti berbohong 'kan? Tidak mungkin rumah Papaku terbakar." Embusan pelan keluar dari hidung mancung Frederick. "Aku tidak berbohong, ayo kita ke sana sekarang," ujar Frederick.Bibir Katherine terkunci. Dia mendadak ling-lung, berharap perkataan Frederick tadi hanyalah candaan saja. Kini pikirannya langsung tertuju pada seseorang yaitu Grace. Wanita yang tidak bisa hadir di pesta topeng. "Ayo, pakailah baju Katherine." Perlahan, Frederick menyentuh kedua pundak Katherine guna menenangkan sang istri. Lalu menuntunnya turun dari ranjang. Tak ada respons, Katherine masih tenggelam pada pikirannya. Tetapi, ia patuh juga pada sang suami. Dalam keadaan tubuh polos dan hanya ditutupi selimut. Ia beranjak dari kasur. Jejak percintaan terlihat amat kentara. Belum sampai sejam m
"Di mana dia sekarang? Aku akan menemuinya dulu." Frederick pun langsung bertanya. Ada kepuasan yang terpancar dari bola matanya."Dia ada di ruang interogasi Pangeran."Frederick mengangguk kemudian menoleh ke samping. Di mana Katherine terdiam membisu, mendengarkan obrolannya dengan pengawal tadi."Fred, aku ikut ya?" kata Katherine, penuh harap menatap Frederick. Namun, Frederick malah menggeleng cepat. "Tidak, kau harus beristirahat, aku tidak mau kau kecapean."Jawaban yang diberikan Frederick membuat Katherine kecewa berat. Dia ingin menemui Karl juga. Ingin melihat lelaki itu tidak berdaya dan tidak dapat berkutik. "Tapi Fred ...."Perkataannya menggantung di udara tatkala mendapatkan tatapan dingin dari Frederick sekarang. "Jangan membantah Katherine, ingat Mama menginginkan cucu, kau tidak boleh keletihan harus cukup tidur dan tidak boleh stress." Masuk akal, balasan Frederick. Katherine tidak menyahut apalagi menganggukkan kepala. Dia masih kecewa. Kini tatapannya berubah
Perkataan Frederick, menciptakan tiga garis lekukan di kening Karl. Lelaki itu memandang Frederick dengan tatapan bingung. "Apa maksudmu?" tanya Karl. Masih menggerakkan tangan ke segala arah, berharap ikatan di belakang dapat terlepas. Sayangnya ikatan tersebut terlalu kuat hingga membuat pergelangan tangannya mulai memerah sekarang. Frederick menyeringai. "Kau tidak perlu tahu," katanya, lalu melayangkan pukulan pada rahang Karl dengan sangat kuat."Argh, sial!" Karl memekik kesakitan. Rahangnya terasa sakit seperti dihantam balok yang sangat besar dan membuat darah mengalir lembut dari sudut bibirnya. Dia mendongak kembali, memandang tajam pria di hadapannya. "Sebenarnya apa maumu hah?!" Frederick berdecak sejenak. "Kau masih bertanya?" Tak ada tanggapan, Karl membuang ludah bercampur darah miliknya tepat di muka Frederick. Frederick kembali menyeringai sambil mengusap pelan air ludah di hidung mancungnya itu. "Aku akan membunuhmu sialan!" jerit Karl lagi. Lagi dan lagi, F
Lea bertanya seraya melempar senyum simpul. Sejak tadi sudah memperhatikan Frederick dari kejauhan ketika pasangan suami istri itu dihadang pengawal. Tentu saja dia tak mau melewatkan kesempatan untuk menggoda Frederick. Lea mengerutkan dahi saat Frederick tak merespons sama sekali. Lelaki itu pandangi dia sangat datar, tanpa menunjukkan ekspresi sama sekali. Lea merasa tertantang lalu berkata lagi,"Pangeran?"Frederick menaikan satu alis mata. Lalu memindai penampilan wanita di depannya dari atas hingga ke bawah. Hal itu membuat Lea tampak salah tingkah. Namun, belum sampai lima menit, Frederick seketika melengoskan muka lalu melangkah cepat, melewati Lea. Melihat reaksi Frederick, Lea tercengang, dengan pupil mata melebar sedikit. Cepat-cepat ia memutar badan lalu bergegas mengekori Frederick.Lea berhasil menyentuh lengan atas Frederick sehingga membuat langkah kaki pria itu terhenti. "Pangeran mau ke mana?" Frederick mendengus, menoleh ke belakang. Dengan raut wajah dingin di
Pagi-pagi sekali Katherine sudah bangun. Padahal waktu masih menunjukkan pukul lima pagi. Katherine menguap sejenak, menatap lurus ke depan. Wajahnya terlihat muram dan matanya tampak sembap karena terlalu lama menangis semalam. Dia melirik ke samping melihat Frederick tengah mengerutkan dahi saat mendengar bunyi grasak-grusuk akibat ulahnya barusan.Secara perlahan Frederick membuka mata, pandangan keduanya langsung bertemu."Katherine kenapa sudah bangun, matahari belum terlihat, ayo tidur lagi." Pelan dan agak serak suaranya, ciri khas seseorang yang baru saja bangun tidur. Katherine menggeleng cepat. "Aku ingin menemui Karl."Frederick menghela napas pendek kemudian duduk tegak. Menyentuh pelan punggung tangan kanan Katherine. "Katherine tidurlah dulu, kau kurang tidur. Ini masih pagi, nanti saja kita bertemu Karl.""Tapi Fred aku ingin sekali bertemu lelaki itu!" protes Katherine. Jika semalam dia mengalah. Tapi, hari ini dia tak mau menghilang kesempatan untuk bertemu Karl. F
"Kau!" Lea meradang. Secepat kilat mengangkat tangan kanan ke udara hendak menampar Katherine.Namun, pergelangan tangannya ditangkap Frederick seketika. Lea terkesiap. Pandangannya langsung terhubung dengan Frederick. Frederick menatapnya sangat tajam sampai-sampai Lea diserang kepanikan mendadak. Telapak tangannya mulai berkeringat dingin sekarang. "Pang—er—an," ucap Lea terbata-bata."Apa kau ingin dihukum mati juga hah?!" geram Frederick, mencekal pergelangan tangan Lea dengan sangat kuat dan erat. Hingga terdengarlah rintihan pelan keluar dari bibir Lea. Lea menelan ludah berkali-kali saat atmosfer di sekitar terasa sangat dingin dan mencekam sekarang. "Maaf Pangeran aku, ahk!" Lea tersentak. Frederick menghempas kuat tangannya tiba-tiba hingga mengakibatkan dia terhuyung-huyung ke belakang sejenak. Secepat kilat Lea menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. "Shfft ...." desis Lea seraya mengusap pelan pergelangan tangan kanan. Napas Frederick semakin memburu. Sama seperti Kath
Dalam keadaan remang-remang. Lea tak dapat melihat wajah si pelaku. Namun, sosok tersebut memakai sweater hitam lengkap dengan tudung, masker dan kacamata hitam.Napas Lea mulai tersendat-sendat. Lehernya dicekik dengan sangat kuat sekarang. Sampai-sampai kedua kakinya pun bergerak ke sana kemari. Menahan sesak dan sakit di sekujur leher karena cekikkan begitu erat. Seolah-olah ada dendam kesumat yang dimiliki si pelaku padanya."Le—pas kan aku," kata Lea berusaha menarik tangan sosok itu namun tenaganya tak mampu. Pasokan udara di paru-parunya mendadak berkurang. Hingga terdengarlah suara batuk di sekitar. Di balik tudung hitam, sosok itu menyeringai tipis. Seakan-akan menikmati apa yang tengah dilakukannya saat ini. Dia mencekik brutal sang korban hingga wajah Lea tampak merah dan bibirnya mulai pucat pasi. "Le ..., pas ...." Lea masih berusaha memberontak. Dengan sekuat tenaga mengangkat tangan kanan hendak membuka tudung jaket. Akan tetapi, sosok itu tiba-tiba melompat turun dar