Mendengar satu pertanyaan yang di lontarkan di bibir Arumi, perlahan Dewa memutar kursi kebesarannya dan menatap ke arah sumber suara yang berada tepat di belakangnya lalu menyahut. "Iya, benar aku..." Belum sempat Dewa menuntaskan perkataannya lelaki berparas tampan itu terkejut. Begitu juga dengan Arumi yang tak kalah kaget, saat melihat jelas sosok bos barunya itu. "Ka-kamu!" pekik Arumi yang spontan berjalan mundur dengan bibir yang tertutup kedua tangannya. Pandangan mereka berdua bertemu, Dewangga benar-benar tidak menyangka bagaimana bisa Arumi di terima kerja di perusahaan tanpa persetujuannya. Membuat dia kembali berpikir negatif. "Ck, kamu sungguh hebat nona Arumi, setelah berhasil membuat nenek ku kasihan padamu, sekarang kamu sengaja menguntit ku sampai ke perusahaan, trik yang sangat luar bisa liciknya," Sindir Dewa dengan nada meledek sembari mengeleng-gelengkan kepala. Mendengar perkataan Dewangga yang membuat hati Arumi tersinggung dan sangat kesal, sampai sponta
Arumi segera menepis tangan Dewa yang melingkar erat di pinggang rampingnya, bahkan dia segera menjaga jarak. Karena tidak mau di tuduh yang tidak-tidak lagi. "Maaf aku tidak sengaja," jelas Arumi yang segera merapihkan diri, lalu bertanya apakah dia sudah boleh kembali ke ruang kerjanya. Tentu saja Dewangga tidak membiarkan pergi begitu saja. Selain dia masih kesal dengan sikap Arumi yang seolah tidak berterima kasih karena sudah di tolong, dia juga ingin menilai bagaimana rasanya kopi yang sudah di buatkan untuknya. Dengan pelan, Dewa mulai meniup lalu meminum kopi buatan Arumi. Kedua bola matanya membulat seketika jantungnya seperti berhenti berdetak baru kali ini pria tampan itu merasakan kopi panas yang membuatnya sangat terkejut, karena tidak menyangka jika Arumi bisa membuatkan kopi yang sangat enak. "Tuan Dewa, bagaimana apakah tuan suka dengan kopinya?" tanya Arumi yang masih setia berdiri setia di samping Dewa. Dewa tersentak kaget saat satu pertanyaan Arumi yang
Siang berganti malam, Dewangga dan Arumi yang baru pulang ke rumah mereka di sambut hangat oleh nyonya Rima yang berharap banyak jika hari ini adalah awal yang baik untuk mereka lebih dekat lagi setelah semuanya yang telah dia rencanakan. "Dewa! Arumi. Akhirnya kalian pulang juga pasti pada cape ya. Kebetulan nenek sudah memasak untuk kalian, setelah kalian mandi cepatlah kemari kita makan bersama." Nyonya Rima menyambut hangat cucu dan menantunya. Melihat wajah Arumi yang terlihat pucat, membuat nyonya Rima mengerutkan kening dan merasa sangat cemas. "Arumi, kamu apa sakit nak? ko wajahnya pucat sekali?" cecar Nyonya Rima seraya membelai wajah Arumi dengan penuh kelembutan. Arumi tersentak, lalu menjawab jika ia baik-baik saja hanya saja tubuhnya sedikit lemas karena menurutnya hari ini pertama kali ia kembali bekerja. Mendengar hal itu nyonya Rima bernafas lega, dan terus menyemangati Arumi. "Syukurlah, kalau kamu baik-baik saja nak. Nenek sangat cemas jika kamu sampai sa
Rania memancarkan ekspresi tidak senang, saat mendengar permintaan sang ayah. Membuatnya begitu kesal dan marah. Tapi dia berusaha menahan diri dan sengaja mencari alasan untuk menolak. "Ayah, aku ini tidak tahu kemana Arumi pergi, lagi pula nomer ponselnya juga tidak aktif sulit mencarinya," Rania beralasan. Pak Harun terdiam, sekilas dia mengingat pertengkarannya dengan Arumi. Yang membuatnya merasa sedikit menyesal. Karena bagaimana bisa putrinya bisa hidup sendiri di luaran sana. Padahal dari kecil Arumi selalu bersamanya. "Kamu benar Rania maafkan ayah, tidak seharusnya merepotkan mu untuk membujuk Arumi pulang," Pak Harun menghela nafas berat. Rania tersenyum lalu mencoba untuk menenangkan sang ayah dengan sikap manipulatifnya. "Ayah, jangan sedih. Sebenarnya Rania mau mencari Arumi tapi sayangnya ponselnya sudah tidak aktif lagi, jadi ayah yang sabar ya. Rania janji ketemu pasti Arumi aku ajak pulang," Rania yang berusaha meyakinkan seraya memutar kedua mata malas. M
Beberapa jam kemudian, Dewa yang baru saja sampai di sebuah rumah sakit pusat kota dia memangil semua para tenaga medis. Hingga terlihat ke tiga wanita berseragam serba putih yang datang menghampiri sembari membawa brankar ke arahnya. "Tuan apa yang terjadi pada nyonya? apa ada yang bisa kami bantu?" tanya para tenaga medis yang terlihat panik. "Cepat periksa dan beri tindakan medis yang terbaik!" Perintah Dewa yang perlahan membaringkan Arumi di atas brankar, lalu membantu para suster itu mendorong menyusuri lobi panjang rumah sakit terbesar itu hingga akhirnya sampai di sebuah ruangan UGD. Dengan berat hati, Para suster itu meminta Dewa cukup mengantar sampai pintu saja, dan hanya perlu menunggu di luar saja. Dewa yang tidak bisa melanggar prosedur pun hanya bisa mematuhi peraturan yang ada berharap tidak terjadi apa-apa pada Arumi, karena dia tidak ingin jika sampai neneknya marah dan menyalahkan dirinya. "Dia kenapa lagi, dulu hampir mau bvnuh diri, sekarang membuat ku r
"Nona Arumi, bayi itu adalah milikku jadi aku ingin kau menjaga dan melahirkannya baik-baik dan aku berjanji akan memberikan kompensasi yang sesuai untuk mu nanti," tegas Dewa dengan nada tinggi dan penuh penekanan. Buliran air mata Arumi kembali berjatuhan membasahi wajah cantiknya, saat mendengar perintah Dewangga yang terdengar jelas begitu enteng di gendang telinganya. Ingin sekali Gadis cantik itu berteriak dan memprotes kenyataan pahit yang harus dia terima dan dia jalani. "Beristirahatlah dulu, setelah kondisi mu membaik kita pulang," Dewangga mengingatkan dengan nada datar dan sikap dinginnya. Lalu dia keluar karena sengaja memberikan ruang sendiri untuk Arumi menenangkan diri. Arumi terlihat bingung, bagaimana bisa dia menjalani hari-harinya menjadi seorang calon ibu sementara pernikahannya dengan Dewa hanyalah sebuah status belaka. Namun mengingat janin yang hadir di dalam perut, membuat Arumi tidak bisa menolak atau menyalahkannya. Dan dia hanya bisa berusaha untu
Baru saja Dewa masuk ke dalam ruang rawat, Rudi sang asisten yang baru datang tak sengaja berpapasan dengan nyonya Rima. Wanita tua itu menatap nyalang paper bag yang di bawa oleh bawahan cucunya. "Tunggu! Rudi, apa yang kamu bawa?" tanya nyonya Rima menatap penuh selidik. "Maaf nyonya, jika saya lancang. Ada kiriman paket untuk tuan dari Paris." Jelas Rudi sembari membungkukkan badan dengan penuh hormat.. Kening Nyonya Rima berkerut, tentu saja dia tidak mengijinkan Rudi untuk memberikan paper bag hitam mewah dengan cepatnya wanita tua itu meraih dan membawanya. "Tidak usah di berikan pada Dewa, dan satu hal yang harus kamu lakukan anggap saja tidak ada apa-apa hari ini apa kau mengerti?" tegas Nyonya Rima memberi perintah. Rudi mengangguk patuh, tanpa berani membangkang perintah nyonya besar yang selalu dia hormati. "Baik nyonya besar, saya mengerti, hanya saja ada lagi yang harus saya sampaikan pada tuan, jika hari ini ada undangan pesta dari koleganya." Mengingat Dewa
Setelah Rania keluar dari kamar Arumi, Marisa yang dari tadi menunggu putrinya dengan cepat dia menghampiri dan melontarkan pertanyaan untuk memastikan. "Rania, bagaimana apakah ayah sudah setuju untuk memberi kompensasi itu pada Daniel?" Marisa sangat penasaran. Karena kado pernikahan yang di janjikan cukup lumayan. "Ibu tidak usah khawatir, nanti setelah mas Daniel dan aku menikah kata ayah, dia akan memberikannya," Jawab Rania dengan penuh semangat. Marisa begitu semangat, meskipun perusahaan suaminya tidak terlalu besar tapi setidaknya dia dan putrinya akan mendapat bagian saham terbesar. "Bagus, kamu harus pintar mengambil hati ayah mu. jangan membiarkan Arumi dekat kembali dengan ayahnya. Yang ada nanti kita malah tidak mendapat bagian daftar warisan," Hera mengingatkan. "Ibu tenang saja, sepertinya ayah sudah sangat kecewa dengan Arumi. Rasanya gak mungkin kalau dia di manja seperti dulu," ujar Rania enteng dan begitu yakin. "Kamu benar, Ayah selalu sakit-sakitan kala
Perintah sang ayah yang penuh penekanan membuat Arumi terdiam, ia berjanji jika nanti setelah dia pulang ke rumah keluarga barunya apa yang di inginkan tadi akan dia penuhi. "Ingat Arumi, kamu sudah membuat ayah malu dan kecewa di depan Daniel. Jangan pernah kamu permalukan keluarga kita lagi dengan kamu menikahi seorang pria yang tidak jelas asal usulnya!' Pak Harun kembali menegaskan dengan emosi yang semakin membuncah. Ingin Arumi menjelaskan jika pria yang telah menikah dengannya bukankah pria sembarangan yang ayahnya pikirkan, tapi seandainya jelaskan Arumi tidak yakin ayahnya akan percaya. "Baiklah ayah, aku akan mengatakan semuanya pada mas Dewa," lirih Arumi menghela nafas panjang. Lalu dia keluar dari ruangan perpustakaan ayahnya. Pak Harun sebenarnya ingin segera tahu siapa pria yang begitu berani menikahi putrinya tanpa seijin dirinya. "Bagus memang itu yang harus di lakukan seorang pria!" Marisa dan Rania mengerutkan kedua alisnya, mereka terkejut saat meng
Marisa dan Rania tertawa meledek saat mendengar perkataan Arumi, mereka benar-benar tidak percaya sama sekali malah kedua wanita itu mengatakan jika Arumi terlalu banyak berkhayal. "Arumi, kami tahu kamu itu belum terima di putuskan oleh Daniel tapi plis jangan bicara omong kosong. Lama-lama ayah mu malah akan semakin sakit karena tingkah laku mu lebih baik kamu tidak usah menghadiri acara lamaran Rania saja akan membuat malu saja," Cibir Marisa seraya memutar kedua bola matanya. "Bukan hanya membuat malu mah, tapi yang ada nanti mas Daniel malah akan emosi jika melihat wajah Arumi." Sambung Rania dengan nada sombong. Arumi menatap nanar ibu dan saudari tirinya, dia sangat terkejut dengan perkataan mereka yang begitu menusuk hati padahal selama ini mereka selalu bersikap baik. Tapi hari ini Arumi seperti baru tahu bagaimana sikap asli keduanya. "Ibu, Rania. Kenapa kalian berpikir seperti itu aku datang ke sini ingin memastikan kondisi dan ada beberapa hal penting yang ingi
Keesokan harinya, cahaya matahari bersinar memasuki celah-celah jendela. Arumi yang baru saja bangun perlahan ia turun dari atas ranjang seraya menggeliatkan kedua tangan perlahan menarik nafas dalam-dalam merasakan udara sejuk yang menyempurnakan suasana pagi itu. Arumi mengedarkan pandangan ke seluruh ruang kamar, terlihat sepi mengingat semalam Dewa yang tidak tidur di kamar membuatnya bertanya-tanya apa yang sebenarnya Dewa dan nyonya Rima bicarakan sampai larut malam. "Tumben sekali dia tidak ada? mungkin sudah pergi ke kantor," Arumi yang kemarin sudah meminta ijin untuk pulang ke rumah sang ayah. Membuat ia segera bersiap-siap mandi dan segera pergi ke rumah lama Rasa takut dan malu masih berkecamuk dalam hati, tapi rasa rindu dan cemas pada sang ayah mampu mengalahkan semua rasa bimbang dalam hati Arumi. Hingga membuatnya tetap pada pendiriannya. Satu jam kemudian, setelah Arumi berpenampilan rapih dan cantik. Perlahan menuruni tangga terlihat nyonya Rima tengah memb
Nyonya Rima sengaja meninggalkan Dewa dan Arumi, agar mereka berdua bisa dinner bersama berharap rencananya saat ini akan membuahkan hasil membuat mereka lebih dekat lagi. Dia juga tak lupa mengingatkan sang cucu agar membantunya untuk memperhatikan makanan Arumi sebelum berjalan menaiki tangga. Lelaki tampan itu pun hanya bisa patuh. Suasana di meja makan terasa hening dan canggung, Saat hanya ada mereka berdua yang di temani para pelayan yang berdiri sigap untuk melayani. Arumi terkejut saat melihat kue ulang tahun dan beberapa makanan tersaji di atas meja makan. Meskipun ragu gadis cantik itu mengungkap beberapa hal pada Dewa. "Aku tidak tahu kalau ternyata tuan Dewa hari ini ulang tahun, maaf kalau aku belum bisa memberikan sebuah kado," ucap Arumi memulai topik pembicaraan. Dewa menghela nafas panjang, rasanya dia sangat kecewa karena hari ulang tahunnya kali ini sangatlah berbeda dengan beberapa tahun ke belakang. "Tidak usah banyak berfikir sekarang cepat makan a
Daniel terdiam, wajahnya memucat saat mendengar satu pertanyaan yang terlontar dari pak Harun. Dan yang membuatnya terkejut lagi saat melihat wajah Rania terlihat kesal padanya. "A-aku lupa pagi dengan cake kesukaan om, jadi ini beli yang ada saja tidak papa kan?" jelas Daniel yang berusaha menyanggah. Marisa yang baru saja datang membawa nampan yang berisi dua gelas kopi hitam, kini wanita paruh baya itu pun mempersilahkan Daniel untuk duduk. Daniel bernafas lega, dia merasa sangat di baju oleh calon ibu mertuanya. Tak ingin sampai perhatian suaminya teralihkan pada Arumi. Marisa tanpa sungkan mengingatkan tentang persiapan pernikahan putri kesayangannya Rania. "Ayah, Nak Daniel sengaja datang ke sini untuk membahas tentang tanggal pernikahan mereka. Arumi sudah mengkhianatinya jadi ayah lebih baik tidak usah membahas ke sana-ke sini dulu," tegur Marisa terlihat kesal. Pak Harun menghela nafas jengah, sebenarnya dia sangat tahu betul jika Arumi begitu mencintai Daniel da
Sesampainya di dalam mobil, Dewa menatap heran Arumi yang terlihat sangat kesal dan marah membuat lelaki tampan itu bertanya-tanya apa hubungan mereka sebenarnya. Yang jelas Dewa yakin jika mereka bukan hanya sekedar teman. Rasa marah dan kesal dalam hati Arumi berkecamuk menjadi satu, jelas-jelas Daniel membawa cake kesukaannya dan mungkin sengaja di bawakan untuk Rania. Membuat Arumi sedih dan sangat kecewa karena bagaimana bisa baru saja mereka putus belum lama tapi begitu mudahnya Daniel melupakan dirinya. "Apa yang sedang kamu pikirkan nona Arumi? Jangan sampai menggangu kehami-lan mu!" Peringat Dewangga dengan nada ketus. Arumi tersadar dari lamunannya lalu menjawab pertanyaan Dewa. "Aku tidak papa, tuan Dewa tidak perlu cemas. Tidak akan mengganggu kehamilan ku," balas Arumi. "Tentu saja karena itu harus!" tidak ingin banyak berdebat lagi, karena dia tahu bagaimana sikap pria yang ada di sampingnya sangat arogan dan keras kepala hingga lebih memilih untuk diam. Beberapa
"Arumi! Sedang apa kamu di sini?" Satu pertanyaan Daniel membuat Arumi membatu saat mereka tak sengaja berpapasan di toko kue yang sering mereka kunjungi saat dulu masih berpacaran. Melihat sosok Dewa yang ada di samping Arumi, membuat Daniel terkejut karena bagaimana bisa mantan kekasihnya itu bisa bersama dengan seorang pria yang terkenal sebagai pebisnis properti terbesar di seluruh kota. Arumi menatap nanar paper bag cake kesukaannya yang di pegang oleh Daniel bahkan beberapa pertanyaan pun mencuat dalam benaknya. "Untuk siapa cake itu? Aapa dia membelinya buat Karin?" Batin Arumi. "Kenapa tidak jawab, tidak di sangka putus dengan ku. Langsung cari target baru," Sindir Daniel menyeringai sinis. Darah Arumi mendidih saat mendengar kata-kata sinis Daniel yang membuatnya tidak nyaman. Lalu membalas. "Oh, mas Daniel pingin tahu aja ya kenapa aku bisa ada di sini, tapi sayang sekali ini bukan urusan mu, jadi lebih baik menyingkir dan beri aku jalan," balas Arumi kesal. Melihat A
Di kediaman rumah pak Hasan, Marisa terlihat sangat sibuk mempersiapkan pesta lamaran untuk Rania. Bahkan semua menu makanan sengaja dia pilihkan dengan menu khusus untuk calon besannya. Rania terlihat begitu bersemangat saat kedua orang tua Daniel akan datang untuk melamarnya. Rasanya dia sudah tidak sabar lagi. "Bu, semua makanan keluarga mas Daniel harus di siap dengan baik-baik karena aku tidak mau jika mereka berkunjung ke sini merasa tidak buas dengan jamuan kita," Rania mewanti-wanti ibunya. "Rania, tentu saja ibu akan menjamu dengan baik. Secara ini kan pesta lamaran putri kesayangannya ibu jadi jangan khawatir kamu fokus ambil hati ayah dan mertua mu. Agar mereka menyukai dan memberikan banyak saham sebagai kado pernikahan kalian," imbuh Marisa yang begitu bangga. Ketika kedua wanita itu tengah asik membahas persiapan sambutan buat besok, pak Hasan yang baru pulang kerja pria paruh baya itu pun sedikit terkejut saat melihat beberapa hadiah yang sedang di siapkan oleh is
Apa! Maksud mu? Siapa yang merepotkan?" Dewa menatap tajam pada Arumi, seketika Arumi terlihat salah tingkah karena takut bicara dan membuat pria di depannya marah. Sehingga membuat ia segera menyanggah dan mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan di antara mereka berdua. "Tidak, aku tidak bicara itu. Tuan mungkin salah dengar. Bisakah kita segera menyelesaikan perintah nenek," ungkap Arumi yang tak berani menatap wajah Dewa. Dewa berdecak kesal, saat melihat Arumi yang berusaha mengelak padahal jelas-jelas dia mendengar jika berjalan dengan hanya membuat repot. Tak ingin terlalu lama berada di luar lelaki tampan itu berusaha untuk tidak memperdebatkan lagi. Hingga akhirnya mereka berdua masuk ke dalam sebuah butik , yang di hiasi ragam pakaian wanita yang sangat bagus dan kualitas termahal. Kedatangan mereka di sambut hangat oleh para pelayan bahkan sampai manager butik itu sendiri. "Selamat datang Tuan dan nyonya apa ada yang bisa kami bantu?" Ujar sang manager dengan