Baru saja Dewa masuk ke dalam ruang rawat, Rudi sang asisten yang baru datang tak sengaja berpapasan dengan nyonya Rima. Wanita tua itu menatap nyalang paper bag yang di bawa oleh bawahan cucunya. "Tunggu! Rudi, apa yang kamu bawa?" tanya nyonya Rima menatap penuh selidik. "Maaf nyonya, jika saya lancang. Ada kiriman paket untuk tuan dari Paris." Jelas Rudi sembari membungkukkan badan dengan penuh hormat.. Kening Nyonya Rima berkerut, tentu saja dia tidak mengijinkan Rudi untuk memberikan paper bag hitam mewah dengan cepatnya wanita tua itu meraih dan membawanya. "Tidak usah di berikan pada Dewa, dan satu hal yang harus kamu lakukan anggap saja tidak ada apa-apa hari ini apa kau mengerti?" tegas Nyonya Rima memberi perintah. Rudi mengangguk patuh, tanpa berani membangkang perintah nyonya besar yang selalu dia hormati. "Baik nyonya besar, saya mengerti, hanya saja ada lagi yang harus saya sampaikan pada tuan, jika hari ini ada undangan pesta dari koleganya." Mengingat Dewa
Setelah Rania keluar dari kamar Arumi, Marisa yang dari tadi menunggu putrinya dengan cepat dia menghampiri dan melontarkan pertanyaan untuk memastikan. "Rania, bagaimana apakah ayah sudah setuju untuk memberi kompensasi itu pada Daniel?" Marisa sangat penasaran. Karena kado pernikahan yang di janjikan cukup lumayan. "Ibu tidak usah khawatir, nanti setelah mas Daniel dan aku menikah kata ayah, dia akan memberikannya," Jawab Rania dengan penuh semangat. Marisa begitu semangat, meskipun perusahaan suaminya tidak terlalu besar tapi setidaknya dia dan putrinya akan mendapat bagian saham terbesar. "Bagus, kamu harus pintar mengambil hati ayah mu. jangan membiarkan Arumi dekat kembali dengan ayahnya. Yang ada nanti kita malah tidak mendapat bagian daftar warisan," Hera mengingatkan. "Ibu tenang saja, sepertinya ayah sudah sangat kecewa dengan Arumi. Rasanya gak mungkin kalau dia di manja seperti dulu," ujar Rania enteng dan begitu yakin. "Kamu benar, Ayah selalu sakit-sakitan kala
Ekspresi wajah Dewa terlihat sangat muram, saat mendengar jawaban dari asisten kepercayaannya. Padahal jelas-jelas kemarin adalah tanggal penting. Rudi menelan saliva beberapa kali, sebenarnya dia merasa sangat bersalah karena telah berbohong tapi sebagai seorang pegawai dia tidak bisa berbuat lebih apa lagi itu semua perintah Nyonya Rima. "Ya sudah, kau boleh pergi," usir Dewa berdecak kesal dengan perasaan kecewa. Karena tidak seperti biasanya di malam hari ulang tahunnya selalu ada kado kejutan yang tidak pernah terlewatkan. Tanpa banyak bicara lagi, Rudi segera undur diri dari ruangan sang bos. Namun dia tak lupa menyampaikan pesan jika malam ini harus pulang lebih awal. Dewa hanya berdehem, dan kembali fokus mengerjakan beberapa berkas project kerja samanya dengan perusahaan lain meskipun hatinya terlihat kesal dan marah. Tapi lelaki tampan itu berusaha untuk bekerja profesional. Apa lagi sore ini dia harus segera pulang sesuai perintah neneknya, yang tidak mungkin
Arumi terdiam, dia mencerna semua perkataan nyonya Rima yang membuat hatinya sangat dilema karena bagaimana pun juga ia tidak ingin sang ayah dan orang lain memojokkannya lagi. Melihat Arumi yang masih terlihat bingung nyonya Rima terus meyakinkan. Jika apa yang dia usulkan adalah hal yang sudah sangat tepat. "Kenapa malah bengong, nenek tidak mau hanya karena permasalahan keluarga Kehamilan mu terganggu Arumi, jadi alangkah baiknya kita temui keluarga mu," tegas Nyonya Rima yang sudah berpikir dengan matang. Baru saja nyonya Rima ingin memberikan perintah pada para pengawalnya, agar mempersiapkan beberapa barang dan uang yang akan dia bawa ke rumah orang tua Arumi sebagai mahar pernikahan yang akan mereka berikan. Dengan cepatnya Arumi mencoba untuk membujuk nyonya Rima untuk memberikan dia waktu berbicara semua tentang pernikahannya pada sang Ayah. Karena ia tidak mau mengambil resiko ayahnya kaget dan kena serangan jantung lagi. "Nenek, terima kasih karena nenek sudah peduli. T
Sesampainya di parkiran Rania segera di sambut oleh Daniel, setelah mereka saling mencium bibir satu sama lain keduanya masuk mobil. Melihat wajah Rania yang terlihat cemberut membuat satu alis Daniel terangkat lalu dia melontarkan satu pertanyaan pada kekasihnya. "Rania, kamu kenapa terlihat bete seperti itu katakan padaku ada apa?" Rania menghela nafas berat, lalu menceritakan pada Daniel jika ada seseorang yang sengaja meminta cctv di club itu membuatnya sangat penasaran. "Mas, Beni bilang tadi ada ketiga pria yang meminta cctv club di saat Arumi masuk ke kamar hotel itu, kira-kira siapa ya mas yang mencari tahu?" Rania terheran. "Benarkah ada yang mencari? Aku juga tidak tahu Rania. Mungkin pria yang tidur dengan Arumi saja siapa lagi?' jawab Daniel dengan nada enteng sembari fokus menyetir. Rania terdiam dan berpikir sejenak, dia benar-benar penasaran siapa pria yang sudah bersama dengan Arumi. Karena jelas-jelas malam itu pria bayarannya bilang jika Arumi salah masuk
Jam mewah bernilai jutaan dolar itu melingkar sempurna di tangan besarnya, Dewa menatap datar dengan sikap dingin saat Arumi memasangkannya. "Sangat cocok, Arumi kamu sangat pintar dalam memilih. Dewa kamu sangat beruntung," imbuh Nyonya Rima, yang berusaha mendekatkan mereka berdua. Karena dia tahu diantara Dewa dan Arumi masih terlihat sama-sama asing. "Nenek, terlalu berlebihan. Aku hanya menyesuaikan sesuai profesi mas Dewa saja," cicit Arumi seketika wajahnya memerah padam. Dewa hanya tersenyum tipis, Nyonya Rima juga tak sungkan meminta cucunya agar membelikan beberapa stel dress yang cocok untuk wanita hamil mengingat di rumah belum menyediakan. Dewa yang sebenarnya sangat malas untuk menemani wanita berbelanja, demi membuat neneknya senang akhirnya ia terpaksa setuju. Setelah memilih satu jam tangan dan melakukan transaksi, nyonya Rima tidak lupa juga menegur kedua pelayan tadi melalui manager toko jam branded itu dan meminta mereka meminta maaf pada Arumi, ata
Apa! Maksud mu? Siapa yang merepotkan?" Dewa menatap tajam pada Arumi, seketika Arumi terlihat salah tingkah karena takut bicara dan membuat pria di depannya marah. Sehingga membuat ia segera menyanggah dan mencoba untuk mengalihkan topik pembicaraan di antara mereka berdua. "Tidak, aku tidak bicara itu. Tuan mungkin salah dengar. Bisakah kita segera menyelesaikan perintah nenek," ungkap Arumi yang tak berani menatap wajah Dewa. Dewa berdecak kesal, saat melihat Arumi yang berusaha mengelak padahal jelas-jelas dia mendengar jika berjalan dengan hanya membuat repot. Tak ingin terlalu lama berada di luar lelaki tampan itu berusaha untuk tidak memperdebatkan lagi. Hingga akhirnya mereka berdua masuk ke dalam sebuah butik , yang di hiasi ragam pakaian wanita yang sangat bagus dan kualitas termahal. Kedatangan mereka di sambut hangat oleh para pelayan bahkan sampai manager butik itu sendiri. "Selamat datang Tuan dan nyonya apa ada yang bisa kami bantu?" Ujar sang manager dengan
Di kediaman rumah pak Hasan, Marisa terlihat sangat sibuk mempersiapkan pesta lamaran untuk Rania. Bahkan semua menu makanan sengaja dia pilihkan dengan menu khusus untuk calon besannya. Rania terlihat begitu bersemangat saat kedua orang tua Daniel akan datang untuk melamarnya. Rasanya dia sudah tidak sabar lagi. "Bu, semua makanan keluarga mas Daniel harus di siap dengan baik-baik karena aku tidak mau jika mereka berkunjung ke sini merasa tidak buas dengan jamuan kita," Rania mewanti-wanti ibunya. "Rania, tentu saja ibu akan menjamu dengan baik. Secara ini kan pesta lamaran putri kesayangannya ibu jadi jangan khawatir kamu fokus ambil hati ayah dan mertua mu. Agar mereka menyukai dan memberikan banyak saham sebagai kado pernikahan kalian," imbuh Marisa yang begitu bangga. Ketika kedua wanita itu tengah asik membahas persiapan sambutan buat besok, pak Hasan yang baru pulang kerja pria paruh baya itu pun sedikit terkejut saat melihat beberapa hadiah yang sedang di siapkan oleh is
Setelah para wanita tadi pergi Arumi sedikit lega, Dewa yang dari tadi sangat cemas dan khawatiir setelah melihat Arumi keluar membuat i segera menghampiri. "Ternyata kamu dari tadi di dalam? kenapa tidak menyahut ku?!" cecar Dewangga bertanya sembari menatap tajam dan memegang bahu Arumi dengan kedua tangannya, mereka saling menatap satu sama lain dengan tatapan dalam. "Sudah tahu kenapa masih tanya, lain kali jangan sampai tuan Dewa sebagai seorang pimpinan perusahaan nekad masuk ke dalam toilet seorang wanita itu tidak baik," jelas Arumi yang sekaligus menegur Dewa tapi dia tidak berani menatap wajah suaminya. Untuk pertama kali, Dewa melihat sikap Arumi yang sedikit berbeda terdengar sinis dan juga seolah sengaja menghindari dirinya. Tapi dia berusaha menjelaskan. "Arumi, aku tahu kamu marah dengan apa yang telah terjadi tadi. Tapi aku bisa menjelaskannya," kata Dewa yang berusaha membujuk. "Menjelaskan bagaimana tuan? bukankah semuanya sudah jelas. Ternyata anda masi
Clarisa sedikit cemas saat melihat ekspresi wajah Arumi, saat melihat Laura yang memeluk Dewa di depan banyak orang sebagai sesama wanita ia merasa tidak nyaman. Dewa yang tak sengaja melihat Arumi dia merasa sedikit khawatir, dengan apa yang di lakukan Laura di depan. "Laura! apa yang kamu lakukan? kita sedang berada di tempat umum tidak seharusnya kamu bersikap seperti ini," tegur Dewa yang perlahan melepaskan tangan kekasih lamanya itu. Mendengar perkataan Dewa, Laura sangat kecewa dan kesal. Karena baru kali ini lelaki yang selama ini selalu mencintai dan selalu memanjakannya seolah ingin menepis tentang kedekatan mereka. "Mas Dewa! kenapa kamu begitu dingin pada ku? kita sudah berpacaran sangat lama, kamu juga selalu senang jika aku selalu memberikan kejutan untuk mu," Protes Laura yang sangat kesal saat melihat Dewa yang malah pergi di depan semua orang. Dewa terpaksa meninggalkan pekerjaannya sejenak, dia tidak ingin jika sampai kondisi Arumi terganggu hanya karena ke
Clarisa terdiam, saat mendengar pertanyaan Arumi yang sungkan untuk dia jawab. Bagaimana mungkin dia menceritakan tentang Dewa dan beberapa mantan kekasihnya. "Kenapa diam, dari tadi nona Clarisa begitu bersemangat membahas tentang mas Dewa," Arumi masih menanti. Seketika Clarisa merasa tidak enak hati, saat melihat Arumi yang masih menunggu jawaban. Clarisa pun berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan. "Aku hanya bercanda Arumi, sebenarnya Dewa adalah tipikal pria yang sulit untuk jatuh cinta, hanya wanita yang beruntung saja bisa dia cinta, dan termasuk kamu jadi istrinya," kata Clarisa berusaha menghibur Arumi. "Benarkah, aku sangat penasaran kira-kira wanita seperti apa yang jadi cinta pertama mas Dewa, aku sangat penasaran sekali," lirih Arumi. seraya diam-diam menatap Dewa yang saat ini tengah sibuk membahas beberapa keunggulan project barunya. Clarisa menatap Arumi yang merasa jika wanita yang ada di sampingnya, terasa sangat begitu tulus pada Dewa. Sebagai sahaba
"Apa dia istri mu? ko wanitanya beda lagi Dewa? Pertanyaan wanita yang ada di depannya dengan Dewa, membuat kening Arumi berkerut penuh keheranan. Karena dia tidak mengerti maksudnya. Wajah Dewa memerah seperti udang rebus, saat Clarisa meledek dirinya tepat di depan Arumi. "Diam, kamu ini sudah datang terlambat bicara ngawur lagi," bentak Dewa menatap tajam, sepi memberi kode pada sahabat wanitanya itu agar tidak membahas tentang kisah asmaranya. Tapi bukan Clarisa jika tidak julid dengan sahabat kecilnya, bahkan dengan sengaja wanita bertubuh sek-si itu, sengaja melontarkan pertanyaan pada Arumi. "Hay! aku Clarisa, kamu pasti Arumi kan? bagaimana rasanya jadi istri Dewa? jengkel tidak dia banyak ngatur dan banyak bicara bukan?" tanya Clarisa meledek sembari menyeringai. "Clarisa! kamu bicara apa? jangan bicara sembarangan lihat tempat!" tegur Dewa dengan nada membentak. Arumi sama sekali tidak mengerti apa hubungan Dewa dan wanita itu, membuatnya malah ikut pusing d
"Aku sudah membelikan mu buah-buahan, ayo sekarang di makan dulu," Ajak Dewa yang sengaja merangkul bahu Arumi tepat di depan Adrian dengan sangat mesra. Namun sebelum Dewa pergi, dia juga tak lupa mengingatkan Adrian, Agar menunggunya bersama rekannya yang lain dengan tatapan dan nada sinis. Arumi merasa tidak enak hati dengan sikap Dewa yang terlihat jelas tidak suka pada Kaka seniornya dulu. Andrian hanya memancarkan senyum getir seraya menggelegkan kepala, saat melihat sikap Dewa yang seolah sedang mengajak perang dingin dengannya. Setelah sampai di tempat duduk yang ada di area pembangunan hotel itu, Dewa menyuruh Arumi untuk duduk dan makan buah-buahan yang dia beli. "Silahkan Nona Arumi, bukankah tadi kamu ingin makan ini? sekarang ayo makanlah yang banyak," Sindir Dewa kesal menatap tajam istri kontraknya itu. Sebagai seorang pria, entah kenapa setelah cape-cape mencari apa yang di inginkan oleh Arumi, ternyata setelah kembali malah tengah asik mengobrol dengan reka
"Kenapa hanya diam? apa yang aku katakan benarkan?" Dewa menghela nafas kasar, saat mendengar pertanyaan yang terus dilontarkan oleh Laura dengan nada penuh penekanan. Tak ingin berdebat di dalam telepon Dewa sengaja mencari waktu yang tepat untuk berbicara empat mata dengan pikiran yang jernih dan tenang. "Laura, aku masih ada pekerjaan penting setelah pekerjaan ini selesai lebih baik kita bertemu secara langsung," tegas Dewa mematikan sambungan telepon. Lalu kembali mengemudikan mobilnya ke arah Mini market. Laura semakin marah, saat Dewa semakin jauh darinya sampai mematikan panggilan telepon sebelum dia puas bertanya. "Aakkkh, mas Dewa keterlaluan, aku tidak terima jika dia benar punya akan dari ja-lang itu," Teriak Laura yang sedikit frustasi. Sebagai seorang wanita yang lebih dulu mengisi hari Dewa, Laura tidak ingin membiarkan Arumi menjadi seorang ibu dari anak lelaki yang sangat dia cintai. Seketika wanita itu mempunyai sebuah ide. Dengan penuh amarah, Laira pe
Dewa benar-benar tak habis pikir dengan keinginan seorang wanita hamil, membuat ia tidak bisa di tolak apa lagi di depan pria yang pernah menjadi senior Arumi. Kalau Dewa menolak di kiranya bukan suami siaga, terlebih lagi di sana juga banyak para tetua yang spontan memberikan pendapat juga padanya agar keinginan istri sedang hamil tidak boleh di abaikan. "Tuan, istri kalau sedang hamil di turuti keinginannya. Takutnya nanti Bayi-nya ileran kalau kemauan ibunya tidak terpenuhi." "Iya benar tuan, ayo semangat beli buah-buahan untuk istrinya." Ujar beberapa rekan Dewa dengan selorohnya. Arumi yang awalnya hanya ingin mengalihkan perhatian sang suami, agar tidak berdebat dengan Adrian, tapi tanpa ia pikirkan akan menjadi pusat perhatian semua orang di sana. "Aduh! gawat, kenapa aku asal bicara ya? jadinya malah begitu," batin Arumi merutuki diri sendiri karena merasa sang bersalah. Dewa tidak ingin di bilang menjadi pria yang tidak perhatian pada sang istri, kini ia pun me
Suara dering ponsel Dewa membuat Arumi yang sedang membereskan beberapa dokumen project baru merasa terganggu, karena dari tadi tidak berhenti-berhenti. Membuat wanita cantik itu memberanikan diri untuk mengingatkan. "Tuan, itu kenapa tidak di angkat teleponnya?" tanya Arumi terheran. Dewa menelan ludah setelah tadi mengintip nama id yang ada di ponselnya dari Laura, agar tidak membuat Arumi sedih Dewa berusaha mencari alasan yang tepat. "Ini dari teman ku, nanti saja tidak terlalu penting juga, sekarang apa kamu sudah siapkan semua kontrak kerja sama dengan Adrian?" jelas Dewa yang sengaja berbalik tanya. Dengan sikap disiplin dan penuh tangung jawab, Arumi pun mengatakan jika semuanya sudah beres, tinggal kedua belah pihak menandatanganinya. "Bagus, ternyata kamu juga lumayan berpengalaman pekerjaan." Sanjung Dewa, ia juga bertanya dari mana Arumi memiliki pengalaman kerja. Arumi terdiam, saat mendengar pertanyaan Dewa. Sekilas ia Dejavu saat bekerja dengan Daniel
Hera terkejut, saat melihat ada beberapa pria berjas hitam tengah berada ruang resepsionis, dia begitu penasaran hingga perlahan menghampiri. Baru saja akan bertanya, salah satu dari pria berjas hitam itu menghampirinya, lalu menjelaskan jika bos mereka telah membayar lunas semua biaya pengobatan. Membuatnya sangat kecewa karena tidak bisa mencurangi-nya. "Nyonya, biaya pengobatan pak Harun sudah di lunasi tuan Dewa berpesan agar anda tidak lagi menelpon dan mengirim pesan pada nona Arumi, jika ada hal lain lagi anda bisa menghubungi kami," peringat salah satu dari ke empat pengawal Dewa. Hera menggangguk dan mengiyakan semua perintah pria itu, bahkan dia juga mengucapkan terima kasihnya pada pria kepercayaan Dewa. Setelah perintah sang tuan di laksanakan, para pengawal itu pergi. Hera yang masih mematung terlihat sangat kecewa karena tidak bisa menyelipkan uang biaya rumah sakitnya. "Sial, kenapa tidak Arumi yang datang ke sini, setidaknya aku bisa berbohong dan meminta