Arumi segera menepis tangan Dewa yang melingkar erat di pinggang rampingnya, bahkan dia segera menjaga jarak. Karena tidak mau di tuduh yang tidak-tidak lagi. "Maaf aku tidak sengaja," jelas Arumi yang segera merapihkan diri, lalu bertanya apakah dia sudah boleh kembali ke ruang kerjanya. Tentu saja Dewangga tidak membiarkan pergi begitu saja. Selain dia masih kesal dengan sikap Arumi yang seolah tidak berterima kasih karena sudah di tolong, dia juga ingin menilai bagaimana rasanya kopi yang sudah di buatkan untuknya. Dengan pelan, Dewa mulai meniup lalu meminum kopi buatan Arumi. Kedua bola matanya membulat seketika jantungnya seperti berhenti berdetak baru kali ini pria tampan itu merasakan kopi panas yang membuatnya sangat terkejut, karena tidak menyangka jika Arumi bisa membuatkan kopi yang sangat enak. "Tuan Dewa, bagaimana apakah tuan suka dengan kopinya?" tanya Arumi yang masih setia berdiri setia di samping Dewa. Dewa tersentak kaget saat satu pertanyaan Arumi yang
Siang berganti malam, Dewangga dan Arumi yang baru pulang ke rumah mereka di sambut hangat oleh nyonya Rima yang berharap banyak jika hari ini adalah awal yang baik untuk mereka lebih dekat lagi setelah semuanya yang telah dia rencanakan. "Dewa! Arumi. Akhirnya kalian pulang juga pasti pada cape ya. Kebetulan nenek sudah memasak untuk kalian, setelah kalian mandi cepatlah kemari kita makan bersama." Nyonya Rima menyambut hangat cucu dan menantunya. Melihat wajah Arumi yang terlihat pucat, membuat nyonya Rima mengerutkan kening dan merasa sangat cemas. "Arumi, kamu apa sakit nak? ko wajahnya pucat sekali?" cecar Nyonya Rima seraya membelai wajah Arumi dengan penuh kelembutan. Arumi tersentak, lalu menjawab jika ia baik-baik saja hanya saja tubuhnya sedikit lemas karena menurutnya hari ini pertama kali ia kembali bekerja. Mendengar hal itu nyonya Rima bernafas lega, dan terus menyemangati Arumi. "Syukurlah, kalau kamu baik-baik saja nak. Nenek sangat cemas jika kamu sampai sa
Rania memancarkan ekspresi tidak senang, saat mendengar permintaan sang ayah. Membuatnya begitu kesal dan marah. Tapi dia berusaha menahan diri dan sengaja mencari alasan untuk menolak. "Ayah, aku ini tidak tahu kemana Arumi pergi, lagi pula nomer ponselnya juga tidak aktif sulit mencarinya," Rania beralasan. Pak Harun terdiam, sekilas dia mengingat pertengkarannya dengan Arumi. Yang membuatnya merasa sedikit menyesal. Karena bagaimana bisa putrinya bisa hidup sendiri di luaran sana. Padahal dari kecil Arumi selalu bersamanya. "Kamu benar Rania maafkan ayah, tidak seharusnya merepotkan mu untuk membujuk Arumi pulang," Pak Harun menghela nafas berat. Rania tersenyum lalu mencoba untuk menenangkan sang ayah dengan sikap manipulatifnya. "Ayah, jangan sedih. Sebenarnya Rania mau mencari Arumi tapi sayangnya ponselnya sudah tidak aktif lagi, jadi ayah yang sabar ya. Rania janji ketemu pasti Arumi aku ajak pulang," Rania yang berusaha meyakinkan seraya memutar kedua mata malas. M
Beberapa jam kemudian, Dewa yang baru saja sampai di sebuah rumah sakit pusat kota dia memangil semua para tenaga medis. Hingga terlihat ke tiga wanita berseragam serba putih yang datang menghampiri sembari membawa brankar ke arahnya. "Tuan apa yang terjadi pada nyonya? apa ada yang bisa kami bantu?" tanya para tenaga medis yang terlihat panik. "Cepat periksa dan beri tindakan medis yang terbaik!" Perintah Dewa yang perlahan membaringkan Arumi di atas brankar, lalu membantu para suster itu mendorong menyusuri lobi panjang rumah sakit terbesar itu hingga akhirnya sampai di sebuah ruangan UGD. Dengan berat hati, Para suster itu meminta Dewa cukup mengantar sampai pintu saja, dan hanya perlu menunggu di luar saja. Dewa yang tidak bisa melanggar prosedur pun hanya bisa mematuhi peraturan yang ada berharap tidak terjadi apa-apa pada Arumi, karena dia tidak ingin jika sampai neneknya marah dan menyalahkan dirinya. "Dia kenapa lagi, dulu hampir mau bvnuh diri, sekarang membuat ku r
"Nona Arumi, bayi itu adalah milikku jadi aku ingin kau menjaga dan melahirkannya baik-baik dan aku berjanji akan memberikan kompensasi yang sesuai untuk mu nanti," tegas Dewa dengan nada tinggi dan penuh penekanan. Buliran air mata Arumi kembali berjatuhan membasahi wajah cantiknya, saat mendengar perintah Dewangga yang terdengar jelas begitu enteng di gendang telinganya. Ingin sekali Gadis cantik itu berteriak dan memprotes kenyataan pahit yang harus dia terima dan dia jalani. "Beristirahatlah dulu, setelah kondisi mu membaik kita pulang," Dewangga mengingatkan dengan nada datar dan sikap dinginnya. Lalu dia keluar karena sengaja memberikan ruang sendiri untuk Arumi menenangkan diri. Arumi terlihat bingung, bagaimana bisa dia menjalani hari-harinya menjadi seorang calon ibu sementara pernikahannya dengan Dewa hanyalah sebuah status belaka. Namun mengingat janin yang hadir di dalam perut, membuat Arumi tidak bisa menolak atau menyalahkannya. Dan dia hanya bisa berusaha untu
Baru saja Dewa masuk ke dalam ruang rawat, Rudi sang asisten yang baru datang tak sengaja berpapasan dengan nyonya Rima. Wanita tua itu menatap nyalang paper bag yang di bawa oleh bawahan cucunya. "Tunggu! Rudi, apa yang kamu bawa?" tanya nyonya Rima menatap penuh selidik. "Maaf nyonya, jika saya lancang. Ada kiriman paket untuk tuan dari Paris." Jelas Rudi sembari membungkukkan badan dengan penuh hormat.. Kening Nyonya Rima berkerut, tentu saja dia tidak mengijinkan Rudi untuk memberikan paper bag hitam mewah dengan cepatnya wanita tua itu meraih dan membawanya. "Tidak usah di berikan pada Dewa, dan satu hal yang harus kamu lakukan anggap saja tidak ada apa-apa hari ini apa kau mengerti?" tegas Nyonya Rima memberi perintah. Rudi mengangguk patuh, tanpa berani membangkang perintah nyonya besar yang selalu dia hormati. "Baik nyonya besar, saya mengerti, hanya saja ada lagi yang harus saya sampaikan pada tuan, jika hari ini ada undangan pesta dari koleganya." Mengingat Dewa
Setelah Rania keluar dari kamar Arumi, Marisa yang dari tadi menunggu putrinya dengan cepat dia menghampiri dan melontarkan pertanyaan untuk memastikan. "Rania, bagaimana apakah ayah sudah setuju untuk memberi kompensasi itu pada Daniel?" Marisa sangat penasaran. Karena kado pernikahan yang di janjikan cukup lumayan. "Ibu tidak usah khawatir, nanti setelah mas Daniel dan aku menikah kata ayah, dia akan memberikannya," Jawab Rania dengan penuh semangat. Marisa begitu semangat, meskipun perusahaan suaminya tidak terlalu besar tapi setidaknya dia dan putrinya akan mendapat bagian saham terbesar. "Bagus, kamu harus pintar mengambil hati ayah mu. jangan membiarkan Arumi dekat kembali dengan ayahnya. Yang ada nanti kita malah tidak mendapat bagian daftar warisan," Hera mengingatkan. "Ibu tenang saja, sepertinya ayah sudah sangat kecewa dengan Arumi. Rasanya gak mungkin kalau dia di manja seperti dulu," ujar Rania enteng dan begitu yakin. "Kamu benar, Ayah selalu sakit-sakitan kala
Ekspresi wajah Dewa terlihat sangat muram, saat mendengar jawaban dari asisten kepercayaannya. Padahal jelas-jelas kemarin adalah tanggal penting. Rudi menelan saliva beberapa kali, sebenarnya dia merasa sangat bersalah karena telah berbohong tapi sebagai seorang pegawai dia tidak bisa berbuat lebih apa lagi itu semua perintah Nyonya Rima. "Ya sudah, kau boleh pergi," usir Dewa berdecak kesal dengan perasaan kecewa. Karena tidak seperti biasanya di malam hari ulang tahunnya selalu ada kado kejutan yang tidak pernah terlewatkan. Tanpa banyak bicara lagi, Rudi segera undur diri dari ruangan sang bos. Namun dia tak lupa menyampaikan pesan jika malam ini harus pulang lebih awal. Dewa hanya berdehem, dan kembali fokus mengerjakan beberapa berkas project kerja samanya dengan perusahaan lain meskipun hatinya terlihat kesal dan marah. Tapi lelaki tampan itu berusaha untuk bekerja profesional. Apa lagi sore ini dia harus segera pulang sesuai perintah neneknya, yang tidak mungkin
Clarisa sedikit cemas saat melihat ekspresi wajah Arumi, saat melihat Laura yang memeluk Dewa di depan banyak orang sebagai sesama wanita ia merasa tidak nyaman. Dewa yang tak sengaja melihat Arumi dia merasa sedikit khawatir, dengan apa yang di lakukan Laura di depan. "Laura! apa yang kamu lakukan? kita sedang berada di tempat umum tidak seharusnya kamu bersikap seperti ini," tegur Dewa yang perlahan melepaskan tangan kekasih lamanya itu. Mendengar perkataan Dewa, Laura sangat kecewa dan kesal. Karena baru kali ini lelaki yang selama ini selalu mencintai dan selalu memanjakannya seolah ingin menepis tentang kedekatan mereka. "Mas Dewa! kenapa kamu begitu dingin pada ku? kita sudah berpacaran sangat lama, kamu juga selalu senang jika aku selalu memberikan kejutan untuk mu," Protes Laura yang sangat kesal saat melihat Dewa yang malah pergi di depan semua orang. Dewa terpaksa meninggalkan pekerjaannya sejenak, dia tidak ingin jika sampai kondisi Arumi terganggu hanya karena ke
Clarisa terdiam, saat mendengar pertanyaan Arumi yang sungkan untuk dia jawab. Bagaimana mungkin dia menceritakan tentang Dewa dan beberapa mantan kekasihnya. "Kenapa diam, dari tadi nona Clarisa begitu bersemangat membahas tentang mas Dewa," Arumi masih menanti. Seketika Clarisa merasa tidak enak hati, saat melihat Arumi yang masih menunggu jawaban. Clarisa pun berusaha untuk mengalihkan topik pembicaraan. "Aku hanya bercanda Arumi, sebenarnya Dewa adalah tipikal pria yang sulit untuk jatuh cinta, hanya wanita yang beruntung saja bisa dia cinta, dan termasuk kamu jadi istrinya," kata Clarisa berusaha menghibur Arumi. "Benarkah, aku sangat penasaran kira-kira wanita seperti apa yang jadi cinta pertama mas Dewa, aku sangat penasaran sekali," lirih Arumi. seraya diam-diam menatap Dewa yang saat ini tengah sibuk membahas beberapa keunggulan project barunya. Clarisa menatap Arumi yang merasa jika wanita yang ada di sampingnya, terasa sangat begitu tulus pada Dewa. Sebagai sahaba
"Apa dia istri mu? ko wanitanya beda lagi Dewa? Pertanyaan wanita yang ada di depannya dengan Dewa, membuat kening Arumi berkerut penuh keheranan. Karena dia tidak mengerti maksudnya. Wajah Dewa memerah seperti udang rebus, saat Clarisa meledek dirinya tepat di depan Arumi. "Diam, kamu ini sudah datang terlambat bicara ngawur lagi," bentak Dewa menatap tajam, sepi memberi kode pada sahabat wanitanya itu agar tidak membahas tentang kisah asmaranya. Tapi bukan Clarisa jika tidak julid dengan sahabat kecilnya, bahkan dengan sengaja wanita bertubuh sek-si itu, sengaja melontarkan pertanyaan pada Arumi. "Hay! aku Clarisa, kamu pasti Arumi kan? bagaimana rasanya jadi istri Dewa? jengkel tidak dia banyak ngatur dan banyak bicara bukan?" tanya Clarisa meledek sembari menyeringai. "Clarisa! kamu bicara apa? jangan bicara sembarangan lihat tempat!" tegur Dewa dengan nada membentak. Arumi sama sekali tidak mengerti apa hubungan Dewa dan wanita itu, membuatnya malah ikut pusing d
"Aku sudah membelikan mu buah-buahan, ayo sekarang di makan dulu," Ajak Dewa yang sengaja merangkul bahu Arumi tepat di depan Adrian dengan sangat mesra. Namun sebelum Dewa pergi, dia juga tak lupa mengingatkan Adrian, Agar menunggunya bersama rekannya yang lain dengan tatapan dan nada sinis. Arumi merasa tidak enak hati dengan sikap Dewa yang terlihat jelas tidak suka pada Kaka seniornya dulu. Andrian hanya memancarkan senyum getir seraya menggelegkan kepala, saat melihat sikap Dewa yang seolah sedang mengajak perang dingin dengannya. Setelah sampai di tempat duduk yang ada di area pembangunan hotel itu, Dewa menyuruh Arumi untuk duduk dan makan buah-buahan yang dia beli. "Silahkan Nona Arumi, bukankah tadi kamu ingin makan ini? sekarang ayo makanlah yang banyak," Sindir Dewa kesal menatap tajam istri kontraknya itu. Sebagai seorang pria, entah kenapa setelah cape-cape mencari apa yang di inginkan oleh Arumi, ternyata setelah kembali malah tengah asik mengobrol dengan rek
"Kenapa hanya diam? apa yang aku katakan benarkan?" Dewa menghela nafas kasar, saat mendengar pertanyaan yang terus dilontarkan oleh Laura dengan nada penuh penekanan. Tak ingin berdebat di dalam telepon Dewa sengaja mencari waktu yang tepat untuk berbicara empat mata dengan pikiran yang jernih dan tenang. "Laura, aku masih ada pekerjaan penting setelah pekerjaan ini selesai lebih baik kita bertemu secara langsung," tegas Dewa mematikan sambungan telepon. Lalu kembali mengemudikan mobilnya ke arah Mini market. Laura semakin marah, saat Dewa semakin jauh darinya sampai mematikan panggilan telepon sebelum dia puas bertanya. "Aakkkh, mas Dewa keterlaluan, aku tidak terima jika dia benar punya akan dari ja-lang itu," Teriak Laura yang sedikit frustasi. Sebagai seorang wanita yang lebih dulu mengisi hari Dewa, Laura tidak ingin membiarkan Arumi menjadi seorang ibu dari anak lelaki yang sangat dia cintai. Seketika wanita itu mempunyai sebuah ide. Dengan penuh amarah, Laira pe
Dewa benar-benar tak habis pikir dengan keinginan seorang wanita hamil, membuat ia tidak bisa di tolak apa lagi di depan pria yang pernah menjadi senior Arumi. Kalau Dewa menolak di kiranya bukan suami siaga, terlebih lagi di sana juga banyak para tetua yang spontan memberikan pendapat juga padanya agar keinginan istri sedang hamil tidak boleh di abaikan. "Tuan, istri kalau sedang hamil di turuti keinginannya. Takutnya nanti Bayi-nya ileran kalau kemauan ibunya tidak terpenuhi." "Iya benar tuan, ayo semangat beli buah-buahan untuk istrinya." Ujar beberapa rekan Dewa dengan selorohnya. Arumi yang awalnya hanya ingin mengalihkan perhatian sang suami, agar tidak berdebat dengan Adrian, tapi tanpa ia pikirkan akan menjadi pusat perhatian semua orang di sana. "Aduh! gawat, kenapa aku asal bicara ya? jadinya malah begitu," batin Arumi merutuki diri sendiri karena merasa sang bersalah. Dewa tidak ingin di bilang menjadi pria yang tidak perhatian pada sang istri, kini ia pun me
Suara dering ponsel Dewa membuat Arumi yang sedang membereskan beberapa dokumen project baru merasa terganggu, karena dari tadi tidak berhenti-berhenti. Membuat wanita cantik itu memberanikan diri untuk mengingatkan. "Tuan, itu kenapa tidak di angkat teleponnya?" tanya Arumi terheran. Dewa menelan ludah setelah tadi mengintip nama id yang ada di ponselnya dari Laura, agar tidak membuat Arumi sedih Dewa berusaha mencari alasan yang tepat. "Ini dari teman ku, nanti saja tidak terlalu penting juga, sekarang apa kamu sudah siapkan semua kontrak kerja sama dengan Adrian?" jelas Dewa yang sengaja berbalik tanya. Dengan sikap disiplin dan penuh tangung jawab, Arumi pun mengatakan jika semuanya sudah beres, tinggal kedua belah pihak menandatanganinya. "Bagus, ternyata kamu juga lumayan berpengalaman pekerjaan." Sanjung Dewa, ia juga bertanya dari mana Arumi memiliki pengalaman kerja. Arumi terdiam, saat mendengar pertanyaan Dewa. Sekilas ia Dejavu saat bekerja dengan Daniel
Hera terkejut, saat melihat ada beberapa pria berjas hitam tengah berada ruang resepsionis, dia begitu penasaran hingga perlahan menghampiri. Baru saja akan bertanya, salah satu dari pria berjas hitam itu menghampirinya, lalu menjelaskan jika bos mereka telah membayar lunas semua biaya pengobatan. Membuatnya sangat kecewa karena tidak bisa mencurangi-nya. "Nyonya, biaya pengobatan pak Harun sudah di lunasi tuan Dewa berpesan agar anda tidak lagi menelpon dan mengirim pesan pada nona Arumi, jika ada hal lain lagi anda bisa menghubungi kami," peringat salah satu dari ke empat pengawal Dewa. Hera menggangguk dan mengiyakan semua perintah pria itu, bahkan dia juga mengucapkan terima kasihnya pada pria kepercayaan Dewa. Setelah perintah sang tuan di laksanakan, para pengawal itu pergi. Hera yang masih mematung terlihat sangat kecewa karena tidak bisa menyelipkan uang biaya rumah sakitnya. "Sial, kenapa tidak Arumi yang datang ke sini, setidaknya aku bisa berbohong dan meminta
Keesokan harinya, Hera sangat terkejut saat mendengar perkataan sang Dokter setelah mengetahui hasil medis yang lebih baru jika pak Harun terserang struk ringan juga membuat wanita paruh baya itu kecewa. "Dok! sampai kapan suami saya mengalami struk seperti ini?" Hera memastikan, karena ia sangat lelah saat membayangkan bagaimana mengurusnya juga. "Kami tidak bisa memastikan kapan pasien bisa sembuh total, dan sangat disarankan sekali harus sering cek up, dan di bantu dengan dukungan keluarga juga agar pasien memiliki semangat yang tinggi untuk membantu rasa ingin sembuhnya," imbuh sang Dokter. Hera mengerucutkan bibirnya, dia sangat kesal karena harus banyak menghabiskan banyak waktu dan banyak uang yang harus di keluarka Meskipun ragu, Hera memberanikan diri untuk bertanya apakah pak Harun sudah bisa di bawa pulang. Tentu saja Dokter tidak setuju dan perlu beberapa hari lagi untuk pak Harun di rawat. . "Baiklah Dokter, saya akan mendiskusikan dulu dengan anak-anak saya