" Lupakan ucapanku dulu. Sekarang duduk disini. Kita sarapan bersama." Elgard berbicara dengan nada lebih lembut.
" Kita? Sayangnya aku cuma pengen sarapan sendiri. Maaf, sekarang aku yang gak sudi berdekatan dengan kamu, Tuan Elgard Mario Nugroho." Olivia menunjukkan senyum mencibir, kembali melanjutkan langkahnya. Ia akan menyelesaikan sarapan pagi ini di kamar tamu yang ditempatinya semalam. Elgard tak habis akal, ia berjalan cepat menghadang langkah Olivia dan mengambil nampan berisi sarapan yang dibawa wanita itu. Olivia terkejut." Kamu apa-apaan?!" Sentaknya kesal. " Ini sarapanku!" Jawab Elgard membawa makanan tersebut ke atas meja, bersiap untuk menyantapnya. " Kamu...!" Olivia speechless, Elgard merampas makanan miliknya. " Kamu itu udah tau punya suami, kenapa cuma membuat sarapan untuk satu orang? Ya udah, ini berarti untukku sebagai kepala keluarga yang harus dilayani di rumah ini. Kamu bikin lagi yang baru untuk kamu sana!" Elgard dengan tanpa rasa bersalah, langsung menggigit sandwich yang terlihat mengunggah seleranya itu. Ia mengunyah sambil manggut-manggut karena rasanya sangat enak. Olivia semakin speechless, semakin sadar jika Elgard bukanlah tipe suami yang pantas di perjuangkan. Pria itu mementingkan diri sendiri. Yang penting semua untuk dirinya, harus dilayani, tak peduli perasaan istri. " Aku biasanya memang memasak cuma untuk diri sendiri. Selama ini kamu gak pernah mau tinggal di rumah ini, kamu juga jijik makan masakan yang aku buat bukan? Setiap kamu pulang, aku selalu masakin yang enak-enak, tapi apa yang kamu bilang? Kamu gak sudi menyentuh apapun yang aku siapkan, kamu gak akan mau memakan makanan yang aku masak. Kamu lupa?" Olivia mencoba mengingatkan Elgard kembali. Elgard terdiam. Ia menjilat ludah sendiri artinya. " Olivia, kamu itu masih saja suka mengingat-ingat sesuatu yang gak penting. Sekarang aku mau pulang ke rumah ini. Aku mau makan masakan kamu. Dan aku juga akan memperlakukan kamu seperti istriku. Kamu senang? Itu kan yang kamu mau?" Elgard merasa bangga. Mustahil Olivia menolak, pikirnya. Wanita itu pasti begitu bersyukur karena dirinya bersikap seolah telah menyadari kesalahannya. Olivia semakin geram. Perasaan muaknya sudah di level tertinggi." Kamu pikir aku bodoh? Kamu begini karena diancam papa kamu! Kalau kamu sampai membuat aku menuntut cerai dari kamu, maka kamu akan kehilangan hak waris dari Nugroho. Kamu gak mau jadi gelandangan kan Elgard..." Olivia bersidekap dada, tersenyum tipis mencemooh. Elgard seketika menghentikan makannya. Olivia sudah tahu jika dirinya sedang bersandiwara dengan berpura-pura menjadi seorang suami yang mau menerima wanita itu mulai sekarang. " Aku tetap pada pendirianku semalam. Aku ingin BERCERAI!" Lanjut Olivia penuh penekanan. Tak ada keraguan dari sorot matanya saat menegaskan hal tersebut. Elgard mengepalkan tangannya erat, emosi memuncak di dalam dirinya. Wanita yang berdiri di hadapannya itu berhasil membangkitkan amarahnya pagi-pagi begini. Ia bangkit dari duduk, berjalan mendekati Olivia yang menantang matanya." Kamu mau bercerai?" Tanyanya dengan tatapan tajam." Jangan mimpi." Sambungnya dingin. Tak ingin semakin terbakar amarah, Elgard pergi meninggalkan Olivia. Tak lama sesudahnya, suara mobil pergi meninggalkan pagar rumah terdengar dari arah luar. Elgard pergi, namun Olivia tak peduli. Justru itu yang ia harapkan. " Hm, dia akan ke Kantor. Atau ke... Tempat kekasihnya." Olivia tersenyum miris. Pernikahan ini memang sudah tak bisa lagi di pertahankan. Elgard memiliki niat yang tak baik bertahan dengannya, bukan karena serius ingin menyelamatkan dan memperbaiki rumah tangga mereka. Dan niat buruk itu tidak boleh ada dalam sebuah pernikahan. Sandwich yang hanya sempat di makan beberapa gigit saja oleh Elgard, segera Olivia kemaskan. Begitu pun teh hangat yang sudah dingin. Setelah membereskan meja makan, Olivia naik ke kamar utama yang ia tinggalkan semalam karena adanya kehadiran Elgard. Ia merogoh ponsel di saku, kemudian mencari sebuah nomor telepon seseorang. Setelah mendapatkan nomor yang ingin di hubungi, Olivia segera melakukan panggilan telepon. " Assalamualaikum, Bu Liana." Sapanya setelah seseorang yang di hubungi di seberang telepon sana menjawab panggilan masuk darinya. " Saya butuh bantuan, Bu Liana. Saya ingin menggugat cerai suami saya." Lanjut Olivia yakin. " Tolong bantu uruskan semua prosedurnya. Saya serahkan masalah ini pada Anda. Saya ingin secepatnya berpisah dari Elgard Mario Nugroho. Dan saya juga sudah menyiapkan semua bukti agar perceraian ini bisa secepatnya di kabulkan pengadilan." " Baiklah. Setelah saya menemui ayah saya, saya akan ke kantor anda. Terima kasih. Assalamualaikum." Olivia menutup panggilan telepon setelah pengacara pribadinya menjawab salam darinya. ' Yah, ini saatnya menyudahi semua. Aku nggak mau lagi menyia-nyiakan waktu dan umurku yang masih muda ini dengan hidup bersama suami seperti Elgard.' Olivia sudah memutuskan. Ia mengambil sebuah koper besar, kemudian memasukkan semua barang-barangnya yang ada di kamar itu ke dalam koper tersebut. Setelah memastikan tidak ada lagi yang tertinggal, Olivia turun ke lantai bawah, keluar dari rumah tersebut untuk mengambil mobil miliknya. Di dalam garasi rumah yang luas itu, Olivia memandang beberapa mobil mewah yang tersusun rapi, semuanya adalah milik Elgard yang tidak pernah Olivia sentuh sama sekali. Hatinya sebak mengingat bahwa pernikahan yang seharusnya menjadi pertama dan terakhir dalam hidupnya, akan benar-benar ia akhiri sesegera mungkin. Ia mendekati honda jazz berwarna putih miliknya yang ia beli dengan uang tabungannya, hasil jerih payah sendiri saat masih bekerja sebelum menikah dengan Elgard dulu. Olivia merasakan rasa amarah dan kecewa yang berkumpul dalam hatinya. Ia membuka pintu mobil dan mencoba menahan isakan. Disitu, saat duduk di jok mobil Honda Jazz-nya, rasa bangga yang menerpa hati Olivia menjadi benteng dari sakit dan air mata yang sedang meluap. Semua harta yang diperoleh dari Elgard, ia tak akan ambil. Ia kemudian menatapi rumah besar yang sudah ditempatinya selama enam bulan ini. Tak ada kenangan indah sama sekali. Yang ada hanya kesepian dan kekecewaan. Dirinya berstatus sebagai seorang istri, tapi tak pernah merasakan bagaimana rasanya memiliki seorang suami. Hampa. Ia tak akan menangis lagi. Air matanya terlalu berharga untuk menangisi seorang suami yang tidak pernah menganggapnya ada, bahkan terang-terangan berkhianat darinya. Olivia menarik napas panjang setelah memasukkan koper ke dalam mobil. Matanya bergerak memandangi sekali lagi rumah mewah milik Elgard yang sebentar lagi akan ia gugat cerai. Ia menaiki mobil dan segera melajukan kendaraannya keluar dari halaman rumah. ' Selamat tinggal... Aku tidak akan kembali lagi ke rumah ini!" Gumam Olivia dengan suara lirih, tangannya memegang erat setir mobil yang ia kemudikan. Tidak ada yang bisa menggoyahkan pendiriannya untuk bercerai dari Elgard. Keyakinannya telah bulat, ia tak ingin bertahan bersama laki-laki yang memang tak ada keinginan untuk hidup bersamanya. *****Mobil Olivia melaju pelan memasuki halaman rumah yang luas dan terawat dengan baik, di apit oleh pepohonan hijau, juga semak bunga yang rapi. Sebuah rumah mewah berdiri megah di tengah-tengahnya, menampilkan arsitektur yang anggun dan elegan. Dinding putih yang bersih dan jendela kaca besar yang menghiasi rumah, menciptakan kesan mewah namun klasik. Di bagian depan rumah, terdapat air mancur yang airnya jatuh ke kolam dengan gemercik lembut, menambah suasana tenang di lingkungan tersebut. Olivia masih duduk di dalam mobil dan mengamati rumah itu lekat-lekat. Terlihat jelas bahwa rumah tersebut di rawat baik, dengan lantai marmer yang mengkilap dan patung-patung marmernya yang artistik. Pintu utama rumah terbuat dari kayu jati berkualitas tinggi dengan ukiran yang detail dan indah, menambah kesan kemewahan pada rumah. Namun, di balik kemegahannya, Olivia merasakan sebuah keperihan yang mendalam setiap mengingat di rumah itulah dulu ia dan ibunya~Amanda begitu bahagia bersama-sama
Helen benar-benar geram akan keberanian Olivia melawannya. " Anak tidak tau diri! Mentang-mentang kamu udah jadi menantu keluarga Nugroho, kamu merasa hebat ya?? Kamu lupa? Kami yang udah membesarkan kamu dengan baik sampai kamu jadi seperti sekarang. Kami juga yang udah menjodohkan kamu dengan laki-laki terhormat, dari keluarga terpandang. Itu semua supaya kamu bisa memiliki kehidupan yang bahagia. Kamu itu kacang lupa kulitnya!" Helen menunjuk-nunjuk wajah Olivia dengan jari telunjuknya, meminta putri tirinya itu agar tahu diri. " Aku? Aku dibesarkan dengan baik dan dijodohkan dengan laki-laki terhormat, demi kebahagiaanku?? Wow!" Olivia tergelak, sinis. Ia bertepuk tangan atas ucapan Helen. " Aku lihat dan dengar dengan mata kepalaku sendiri, aku dijodohkan demi keuntungan kalian semata. Kalian gak pernah sama sekali memikirkan kebahagiaanku. Yang ada, kalian cuma ingin memanfaatkanku!" Sentak Olivia, muak. " Kalian lupa? Aku hidup menderita di rumahku sendiri? Ini rumah ibu
" Dan itu kamu lakukan saat Elgard sudah menjadi suamiku. Kamu mendatanginya ke kantor dengan alasan kamu adalah iparnya. Kamu mulai menggodanya dengan tubuh yang kamu punya. Tapi sayang, Elgard menolak mentah-mentah. Dia jijik melihat kamu. Dia maunya cuma tubuh Chelsea, bukan kamu yang merupakan teman baik kekasihnya. Entah kenapa Elgard gak memberitahu kekasihnya kalau kamu sudah melakukan perbuatan memalukan itu? Mungkin Elgard gak pernah tertarik membahas tentang kamu. Dia cuma menganggap kamu seperti kebanyakan perempuan di luar sana yang mencoba menggodanya." Ucapan Olivia berhasil membuat wajah Angel merah padam, antara menahan malu dan marah karena dipermalukan. " Diam Lo!" Bentaknya pada Olivia yang menatapnya tanpa ekspresi. " Angel, apa itu benar? Kamu datang ke kantor Elgard untuk menggodanya? Itu memalukan Angel!!" Helen begitu malu, tak menyangka putri kebanggaannya bisa berbuat serendah itu. " Jangan percaya Ma! Perempuan binal ini sedang memfitnah aku..." "
Mobil Olivia keluar dari pintu gerbang kediaman Abian dengan melaju kencang. Elgard yang baru saja tiba di kediaman Ayah mertuanya itu, cukup heran melihat mobil istrinya pergi, kemana Olivia kali ini? Sebenarnya saat berasa di kantor tadi, pikiran Elgard tak tenang. Firasatnya mengatakan jika Olivia bisa saja benar-benar pergi dari rumah mereka, mengingat istrinya itu mengatakan tetap pada pendiriannya yaitu bercerai. Elgard yang mulai kepikiran, tak pikir panjang lagi, segera meninggalkan pekerjaannya di kantor untuk kembali pulang ke rumah. Jangan sampai Olivia benar-benar pergi. Ia tak mau permasalahan rumah tangganya menyebabkan dirinya jadi kehilangan tujuannya yaitu menjadi penerus Nugroho sebagai Presiden Direktur di perusahaan keluarga mereka. Saat tiba di rumah, benar saja. Olivia sudah tidak ada lagi. Ia berlari menuju kamar, membuka lemari pakaian, sudah tak ada lagi pakaian-pakaian Olivia di dalamnya. Meja rias juga kosong dari perlengkapan wajah dan skinc
Olivia tersenyum miris, tak menggubris penolakan Elgard yang takut kehilangan haknya sebagai putra satu-satunya Haris Nugroho jika sampai bercerai darinya sebelum mendapatkan tujuan pria itu. "Aku udah minta pengacaraku mengurus gugatan cerai untuk kamu. Aku cuma pengen prosesnya di percepat! Aku cuma mau secepatnya pergi dari kehidupan kamu Elgard!" "Itu gak akan terjadi! Aku akan mempersulit semuanya! Jangan coba-coba melawan seorang Elgard Mario Nugroho!" Elgard menatap tajam pada Olivia. "Kamu itu terlalu polos, El... Kamu pikir kamu akan benar-benar di coret dari pewaris Papa kamu kalau aku minta cerai??" Olivia tersenyum mencibir. "Maksud kamu?" Elgard tak mengerti. "Kamu adalah satu-satunya penerus Papa Haris. Walaupun ada kakak perempuan kamu, tapi yang bisa meneruskan perusahaan keluarga Nugroho itu cuma kamu!" Jelas Olivia, membuat Elgard terdiam beberapa saat. " Kenapa aku bisa mengatakan seperti ini? Sebab aku juga baru tau tadi, bahwa ternyata Ayah kamu ngotot
Tiga bulan berlalu... Pukul 06.30 wib_ Kringg... Kringg... Dering alarm yang keras dari ponsel diatas nakas, memecah keheningan kamar, membuat Elgard tersentak dari tidurnya. Dalam keadaan kusut, Elgard segera menoleh ke arah jam dinding. Matanya membulat, menghitung detik yang semakin menyempit. Ini sudah pagi ternyata. 'Ini hari persidangan terakhirku, aku gak boleh terlambat.' gumam Elgard sambil berlari menuju kamar mandi. Ia segera membersihkan diri dengan terburu-buru, tak ingin membuang waktu sedikit pun. Setelah selesai, Elgard mengenakan setelan jas terbaiknya, mencerminkan keseriusan namun juga ada sedikit kekhawatiran yang memenuhi pikirannya. Elgard melangkah keluar rumah dengan langkah cepat, tak sabar ingin segera sampai di pengadilan. Namun, di tengah perjalanan, ia merasa ada sesuatu yang ganjil. Wajahnya tampak bingung, seolah mencari sesuatu yang hilang. Tiba-tiba, ia menyadari bahwa ia lupa membawa berkas-berkas penting yang di butuhkan dalam p
Mentari pagi menyinari wajah Olivia dari arah jendela kamar. Gadis cantik yang sebentar lagi akan menyandang status janda namun belum pernah terjamah itu, baru saja selesai melaksanakan ibadah rutin paginya di kamar~dhuha time. Usai berdoa meminta ketenangan dan kekuatan, senyum kebahagiaan terpatri di bibirnya, menggambarkan hati yang cerah bagaikan pagi ini. Olivia sudah bangun pagi-pagi sekali di hari yang telah di tunggu-tunggu. Ia mandi dan akan berangkat menuju pengadilan agama. Hari ini adalah sidang terakhir perceraiannya dengan Elgard Mario Nugroho, suami yang selama ini tak pernah menerima kehadirannya dalam kehidupan pria itu. Ia merasa secercah kebahagiaan menyelimuti hatinya, seolah akan terbebas dari belenggu yang selama ini menghimpit hidupnya. Saat melirik jam dinding, Olivia segera bergegas bangkit dari duduknya di atas hamparan sajadah. Membuka mukena, melipat sajadah dan menyusun di tempat semula. Ia meregangkan badannya, lalu mengusap wajahnya dengan lembut.
' Chelsea!!! Apa yang kamu lakukan disini?? Aku kan udah bilang jangan datang!! Kamu bikin suasana makin panas, arrgh!!' gerutu Elgard di dalam hati, kesal pada wanita yang begitu ia cintai itu. Sementara Olivia yang menyadari kehadiran Mertuanya dan juga keberadaan wanita idaman lain di hati suaminya, hanya bisa tersenyum miris. Dirinya tak peduli lagi. Tak butuh waktu berjam-jam, dirinya akan menyudahi pernikahan dengan pria itu. Resmi secara Agama dan Negara. Sidang dimulai dengan pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum. Olivia merasakan perasaan yang bercampur aduk, ada rasa lega karena sebentar lagi semua akan berakhir. Namun juga ada rasa sedih yang mendalam karena tak pernah menyangka memiliki pernikahan menyedihkan seperti ini. Jauh dari kata langgeng, harmonis, sekali untuk seumur hidup. Tak berbeda dengan Elgard. Pria itu seharusnya merasa bahagia. Terlebih ada Chelsea yang datang memberi dukungan dan semangat padanya. Ada calon bayinya juga di dalam perut wanit
Pukul 19.00 wib— “Pa, Mama gak mau dengerin penjelasan Elgard,” Elgard jadi frustasi. Ayuma-sang ibu masih marah besar pada Haris Nugroho. “Mama masih ngunci kamar?” Haris melemas, rumah tangganya sebelumnya tak pernah seperti ini. Selalu harmonis, berdua istrinya itu. “Masih. Elgard aja disuruh keluar tadi. Kata Mbak, dari siang tadi Mama gak makan sampai malam ini. Elgard takut Mama sakit, Pa,” Elgard khawatir. Haris mengusap kasar wajahnya. Dirinya tak diizinkan masuk kamar oleh Ayuma. Wanita itu sudah marah besar. Biasanya tak pernah bersikap seperti ini. “Aarh! Ini ulah Clarissa. Dia mempermalukan keluarga!” “Pa, udahlah. Kenapa malah nyalahin Kakak? Papa juga ngapain mau dirayu si Azalea? Pake ciuman segala di tempat umum,” Elgard menatap kecewa pada Haris. “Kamu, Elgard. Percaya kamu kalau Papa begituan sama si Jalang itu? Papa aja gak nyangka dia melakukan itu. Semua terlalu mendadak dan di saat bersamaan, Kakak kamu melihat sampai akhirnya salah paham,” Jelas Haris, ke
Ceklek Barra membuka pintu kamar, masuk ke dalam dengan menutup kembali pintunya. “Assalamu'alaikum, Sayang,” seru Barra lembut. Olivia yang baru saja menyelesaikan tilawahnya, seketika menoleh pada Barra. Senyumnya merekah melihat Barra tersenyum mendekatinya yang duduk di sofa dekat jendela kamar. “Wa'alaikumussalam warahmatullah, Mas,” Jawab Olivia sembari meletakkan Mushaf di atas meja. “Sudah selesai mengaji?” Barra mengambil duduk di samping Olivia. la selalu kagum melihat istrinya itu ta'at beribadah, menentramkan hati memandangnya, teduh, menyejukkan jiwa. “Udah, Alhamdulillah.” Olivia mencium tangan Barra, seperti biasa saat suaminya pergi dan pulang. “Anak Ayah bagaimana? Habis dingajiin Ibu, ya?” Barra mengelus-ngelus perut Olivia, tak lupa menciumi babybump sang istri. Ada anaknya di dalam sana yang selalu berkembang dengan baik dan sehat. Bangganya Barra. “Iya, Ayah. Dari dalam kandungan, selalu dengerin ayat-ayat Allah supaya kalau gede nanti, mudah ngapalin Qur'
Barra berjalan dengan langkah cepat memasuki rumah. la akan langsung menuju ke kamarnya bersama Olivia di rumah itu, segera menemui sang istri. “Barra, sudah pulang?” Tuan Rawless memanggil saat baru saja keluar dari ruang kerjanya bersama Asisten pribadinya. “Kakek,” Barra langsung mendekat, akan menyalami terlebih dahulu. “Assalamu'alaikum, Kek,” Ucapnya, mencium takzim tangan sang Kakek. “Wa'alaikumussalam,” Tuan Rawless tersenyum, namun dapat melihat kegelisahan di wajah Barra. “Kenapa Kakek mengizinkan Elgard masuk ke rumah ini?” Barra langsung bertanya to the point, wajahnya kesal. Tuan Rawless terkesima sesaat. Benar dugaannya, Barra memang sedang gelisah akibat kedatangan Elgard tadi pagi. “Dia tidak masuk ke dalam rumah, Barra. Hanya di halaman saja,” Jawabnya lembut. “Ya tetap saja, Kek. Seharusnya jangan biarkan orang itu memasuki gerbang rumah!” Barra kesal bukan main. Elgard benar-benar sudah menguji kesabarannya sejak lama. “Sebenarnya Ibu kamu udah menyuruh penj
“Ma...” Haris berusaha memegang pundak Ayuma yang duduk di tepi ranjang sembari membelakanginya. Ayuma hanya diam, air matanya terus saja mengalir. “Ma, berita itu bohong. Papa gak selingkuh. Clarissa main ngamuk-ngamuk aja di sana, sampai akhirnya semua orang melihat kami, lalu menyebar berita seperti apa yang mereka lihat aja,” Haris dengan perasaan khawatir, memberi penjelasan pada sang istri yang sejak tadi diam tak mengatakan apapun. Justru semakin membuatnya takut. Bukankah diamnya wanita bisa menjadi lebih berbahaya daripada marahnya secara langsung? Terlebih Ayuma tipe wanita yang tidak suka marah, lemah lembut, jika merasa sedih hanya memilih menangis, tapi diam-diam, bisa pergi begitu saja. la takut jika sampai seperti itu. “Ma, please... Tolong percaya Papa. Mustahil Papa menduakan Mama. Seperti yang Papa jelaskan tadi, Papa memang mengajak Azalea bekerjasama untuk membuat Barra dan Oliv berpisah. Tapi rencana itu gagal total kok, Ma. Maafkan Papa karena gak memberitahu
Barra mengamati video dari ponsel Jefri dengan seksama. la mengerutkan kening melihat bagaimana agresifnya Azalea mencumbu bibir Haris di restaurant. Perut Barra bagai diaduk-aduk, seketika merasa mual, Azalea benar-benar murahan. Bagaimana bisa dulu dirinya menikahi perempuan seperti ini, bahkan selalu menunggu kembalinya wanita itu dalam hidupnya setelah perceraian mereka, dua tahun lamanya. Bodohnya, ia sanggup mengajak Olivia menikah dengan sebuah kesepakatan akan mengakhiri pernikahan mereka jika Azalea kembali. Barra begitu merutuki kebodohannya tersebut. Hampir saja dirinya benar-benar kehilangan Olivia selamanya, hanya karena seorang Azalea yang tak pantas ditunggu apalagi diperjuangkan. “Bagaimana, Pak? Apa kita sebar sekarang videonya?” Jefri menunggu perintah. “Tahan dulu, Jef. Tadinya aku memang ingin video ini segera kita sebar sebagai balasan dari apa yang sudah mereka lakukan terhadapku. Tetapi setelah video pertengkaran Haris dan Putrinya viral, ditambah amukannya
“Munafik! Om itu suka sama aku, tapi di depan anak Om, Om bilang jijik sama aku. Muna!” teriak Azalea pada Haris, mengejutkan pria itu. “Kamu?” Haris melotot pada Azalea. “Apa? Emang benar kan kalau aku ini simpanan Om. Kita sering ketemuan diam-diam tanpa ada orang yang tau. Om suka minta ketemuan, kalau gak di hotel, di rumah aku, atau di villa milik keluarga Om!” Azalea membalas, mengeluarkan kebenciannya dengan mengarang cerita. “Apa yang kamu bicarakan? Kamu mau menfitnah saya_” Haris kaget. Tak menyangka Azalea bisa sebejat ini. “Hei, kamu!” tunjuk Azalea pada Clarissa yang tengah menahan emosi memuncak di ubun-ubunnya, “Papa kamu ini memang berselingkuh sama aku. Dia selalu mendapatkan kepuasan dari tubuh aku, dari pelayanan aku di atas ranjang. Dia selalu mengeluh kalau dia gak bisa terpuaskan dari Mama kamu yang udah gak muda lagi itu. Udah menopause katanya, gak gurih lagi! Dia merasa hampa karena kebutuhan biologisnya kurang terpenuhi dari Mama kamu, sehingga dengan keh
“Baiklah. Kamu akan saya lindungi dari kasus pencemaran nama baik ini. Mobil dan apartemen juga akan saya siapkan. Uang bulanan akan selalu saya transfer ke rekening kamu!” Haris menahan gemuruh emosi di dada. Azalea seketika mengembangkan senyum senang. Akhirnya ia memiliki ATM berjalan sekarang. “Thank's, Om sayang...” bisiknya di telinga Haris yang langsung menjauhkan kepalanya dari wajah Azalea. “Awas saja kalau kamu sampai membawa-bawa nama saya. Habis kamu, Azalea!!” Haris memperingatkan dengan serius. “Sure. Aku sebenarnya senang bekerjasama dengan Om. Om memang baik banget aslinya_” Azalea mengelus lembut paha Haris, hingga ke bagian dalam pahanya. “Singkirkan tangan menjijikkan kamu itu, Betina!!” Haris murka. Perutnya seketika mual, jijik akan sentuhan Azalea. “Om munafik. Bilang aja Om suka tapi takut istri, kan?” ledek Azalea. “Kalau Om mau, kita bisa ke hotel tempat aku menginap. Aku puasin Om karena udah baik banget sama aku! Gimana?” “Jalang!” bentak Haris Nugroho
“Oh iya, titip salam sama Haris ya. Saya ke dalam dulu,” Tuan Rawless tanpa basa basi untuk mengantarkan Elgard sampai ke mobil, justru masuk ke dalam rumah. Tak ada tawaran untuk Elgard agar masuk dulu ke dalam rumah, disuguhkan minuman, atau mengobrol layaknya memperlakukan seorang tamu. Elgard termangu sendirian. Perlakuan keluarga Rawless sangat dingin. Tidak memarahinya berlebihan ataupun menghujat karena perbuatannya dulu, tapi tidak pula beramah tamah. Ini lebih menyakitkan sebenarnya. la dengan langkah gontai, kembali ke mobil. Pendekatan yang direncanakan, gagal. Sedang Olivia tak sedikitpun mau berlama-lama bertatap muka dengannya. Olivia semakin lama semakin jauh, sulit digapai. Ini pasti karena larangan Barra. “Oliv...” lirihnya saat telah duduk di dalam mobil. “Semakin kamu bersikap cuek seperti ini, semakin kuat juga keinginan aku untuk memiliki kamu. Aku gak pernah merasakan rasa cinta yang menggebu-gebu seperti ini sebelumnya, perasaan yang sudah terlalu besar untu
“Baguslah masalah cepat selesai. Kakek cuma ingin hubungan kamu dan Barra baik-baik saja, tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi kemarin. Yang Kakek mau, kalian berdua selalu kuat dan saling percaya satu sama lain,” pinta Tuan Rawless. Ujian cinta sepasang suami-istri itu pasti akan selalu ada, namun jangan sampai membuat keduanya terpisah lagi. “InsyaAllah kami berdua kuat, Kek. Oliv percaya Mas Barra sepenuhnya,” ungkap Olivia, meyakinkan sang Kakek. Tin tin... Suara klakson mobil terdengar di luar gerbang rumah, tampak security berbicara pada pemilik mobil yang ingin masuk. “Siapa, Pa?” Amanda menyipitkan mata melihat ke arah mobil di depan pos penjaga. “Papa juga gak tau,” Tuan Rawless mengangkat kedua bahunya. Olivia mengerutkan alis, itu seperti mobil seseorang yang ia kenal. Tampak Security setengah berlari menghampiri ketiganya. “Tuan, ada tamu yang ingin bertemu,” ucap Security memberitahukan. “Siapa?” Tuan Rawless tak merasa ada janji temu dengan seseorang. “Nam