Mobil Olivia melaju pelan memasuki halaman rumah yang luas dan terawat dengan baik, di apit oleh pepohonan hijau, juga semak bunga yang rapi.
Sebuah rumah mewah berdiri megah di tengah-tengahnya, menampilkan arsitektur yang anggun dan elegan. Dinding putih yang bersih dan jendela kaca besar yang menghiasi rumah, menciptakan kesan mewah namun klasik. Di bagian depan rumah, terdapat air mancur yang airnya jatuh ke kolam dengan gemercik lembut, menambah suasana tenang di lingkungan tersebut. Olivia masih duduk di dalam mobil dan mengamati rumah itu lekat-lekat. Terlihat jelas bahwa rumah tersebut di rawat baik, dengan lantai marmer yang mengkilap dan patung-patung marmernya yang artistik. Pintu utama rumah terbuat dari kayu jati berkualitas tinggi dengan ukiran yang detail dan indah, menambah kesan kemewahan pada rumah. Namun, di balik kemegahannya, Olivia merasakan sebuah keperihan yang mendalam setiap mengingat di rumah itulah dulu ia dan ibunya~Amanda begitu bahagia bersama-sama. Sampai sebuah masalah yang tak begitu ia mengerti terjadi karena masih berusia lima tahun, sang ibu pergi dari rumah meninggalkannya, entah kemana. Suasana yang tampak tenang dan damai dari luar, seakan menutupi luka yang masih ada di dalam rumah tersebut. Rasa kecemasan mulai menghantui pikiran Olivia saat ia ingin turun dengan perasaan gugup. Berencana hendak masuk ke dalam rumah untuk menghadapi Ayahnya yang sedang dalam kondisi kesehatan tidak stabil. Ia harus menguatkan hati untuk memberi tahu ayahnya~Abian Stevano, bahwa dirinya sudah tak sanggup lagi hidup bersama Elgard karena telah dikhianati dan di manfaatkan sedemikian rupa. Olivia berharap Abian bisa berlapang dada menerima keputusannya untuk bercerai dari putra keluarga kaya raya Nugroho itu, sehingga tak mempengaruhi kesehatan sang Ayah nantinya. Ia hendak menurunkan koper dari dalam mobil karena akan kembali tinggal di rumah masa kecilnya tersebut. Namun sebelum memberitahu masalahnya pada sang Ayah, ia mengurungkan niat untuk membawa masuk barang-barangnya. Olivia yang sudah turun dari mobil, di sambut penjaga rumah dengan senyum lebar. " Nona Olivia... Selamat datang Non..." Sapa Pak Rahmat dengan ramah. " Terima kasih Pak. Assalamualaikum..." Olivia balas tersenyum, pria itu adalah pegawai rumah yang cukup dekat dengannya sejak kecil. " Oh. Wa'alaikumsalam... Saya senang Nona datang." Pak Rahmat terus melihat ke arah pintu mobil Olivia yang satunya lagi, tak ada yang turun selain Nona mudanya saja. " Saya datang sendiri Pak." Jawab Olivia paham dengan apa yang dipikirkan sang satpam. " Oo... Saya pikir datang bersama suami Nona. Hee..." " Enggak, Pak." Olivia tersenyum singkat. Tak mungkin dirinya bersama Elgard. Selama menikah, pria itu tak pernah mau berada di sampingnya. Bahkan mereka tak pernah datang ke rumah Ayah Olivia untuk berkunjung. " Ayah ada di rumah?" Tanya Olivia melihat ke arah pintu rumah besar dan tinggi yang tertutup. " Ada. Nyonya Helen juga ada..." Jawab Pak Rahmat dengan raut wajah tak enak saat menyebut nama Helen, ibu tiri Olivia. " Angel?" Tanya Olivia, itu saudari tirinya~Angelina. Putri tercinta Helen yang seusia dengan dirinya. " Non Angel lagi gak di rumah. Biasa, jarang pulang. Mungkin nginap di rumah pacarnya lagi." Pak Rahmat sedikit risih menjelaskan tentang saudari tiri Nona mudanya itu. Olivia menaikkan sebelah alisnya, sudah tak heran. " Saya masuk dulu ya Pak. Mau ketemu Ayah." " Oh, ya. Silahkan Nona..." Olivia berjalan pelan. Dengan jantung berdebar-debar tentunya. Dirinya ingin bicara empat mata dengan Abian sebenarnya, namun ada Helen juga ternyata di rumah itu. Entah apa yang akan terjadi nanti, mengingat Helen selalu mendominasi sang Ayah. " Nona Olivia, selamat datang..." Pelayan rumah sontak menyambut kedatangan Olivia dengan antusias. " Ya mbak. Ayah lagi dimana?" Olivia tersenyum hangat. " Ada di ruang keluarga bersama Nyonya. Mari saya antar Nona..." " Gak perlu, makasih mbak. Saya sendiri aja kesana ya." Olivia kembali melemparkan senyum pada semua pelayan rumah yang tersenyum penuh kekaguman padanya, sudah lama Nona muda mereka yang cantik dan baik hati itu tidak datang ke rumah ini. Mereka cukup merindukan Olivia. Sementara itu, Abian duduk termenung di ruang keluarga, wajahnya muram dan gelisah. Helen melihat ekspresi Abian yang tidak biasa. Ia duduk di sebelah suaminya, merasa curiga jika ada masalah berat yang mungkin di hadapi sang suami. " Abian, ada apa? Kamu terlihat sangat cemas." Tanya Helen dengan wajah penuh kekhawatiran. Abian menghela napas panjang, lalu bercerita bahwa perusahaannya sedang dalam keadaan genting karena hutang bank yang terus mengejar. Jika tidak segera dilunasi, bank akan menyita semua aset berharganya. Helen terkejut mendengar pengakuan Abian, kemarahan dan kekhawatiran bercampur di wajahnya. " Di sita? Aku gak mau Abi... Gak mungkin kita jatuh miskin Abian! Kita harus segera mencari solusi." Ujar Helen panik. Pikirannya berputar cepat, mencari cara untuk menyelamatkan harta mereka dari ancaman penyitaan bank. " Kamu gak perlu mengatakannya, aku juga udah sejak kemarin-kemarin mutar otak mau cari solusi apa supaya perusahaan tidak bangkrut begitu aja!" Abian menjambak rambutnya sendiri, sudah frustasi dengan masalah yang sedang di hadapi. Helen terhenyak. Ikut bingung. Tak bisa ia bayangkan hidup miskin sebentar lagi. Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya. " Abian, bagaimana kalau kita menjadikan Olivia, putrimu, sebagai alasan untuk meminta bantuan lagi sama besan kita, Pak Haris Nugroho? Aku yakin, kalau udah menyangkut tentang Olivia, Pak Haris pasti akan memberikan apapun untuk menantunya itu. Dengan begitu, kita bisa melunasi hutang perusahaan." Usul Helen dengan wajah penuh harapan. Abian menatap Helen, bingung dengan usulan istrinya. Namun, melihat keputusan yang ada di wajah Helen, Abian mulai mempertimbangkan rencana tersebut. Mungkin dengan bantuan mertua Olivia, mereka bisa melewati masa-masa sulit ini dan menyelamatkan perusahaan serta aset yang dimiliki. " Aku juga berpikir seperti itu sejak awal Helen. Tapi masa kita minta bantuan Pak Haris lagi? Dulu dia udah membantuku dengan uang yang begitu besar untuk membangkitkan kembali perusahaan yang hampir pailit. Dia mau membantu karena aku bersedia memenuhi wasiat ayahnya dan ayah mertuaku untuk menjodohkan Olivia dan Elgard." Ujar Abian merasa tak tenang. " Lha, itu gunanya punya besan kaya raya Abian. Apa artinya anak kamu jadi menantu dari seorang Haris Nugroho kalau gak bisa dimanfaatkan." Helen berusaha mengendalikan pikiran Abian. " Lima 50M! Kamu pikir dimana aku bisa mendapatkan dana sebesar itu dulunya kalau bukan karena Olivia. Aku malu kalau harus minta bantuannya lagi." Abian mendesah, resah. " Lho, kenapa harus malu? Olivia itu anak kamu, udah sewajarnya dia membalas jasa kamu dengan menerima perjodohan itu. Dan sekarang keluarga Nugroho kan sudah jadi besan kita, harusnya mereka bisa bantu kita dong, kan kita sudah mengorbankan Olivia untuk mau menjadi menantu mereka." Ujar Helen. " Aku gak enak sama Olivia, takutnya dia tahu kalau kita memanfaatkan dirinya lagi. Belum tentu juga dia bersedia membantu meyakinkan mertuanya." Abian ragu. " Abi, kamu lupa ya? Olivia dan Elgard itu di jodohkan karena wasiat kakek-kakek mereka yang berteman dekat." Ujar Helen dengan tajam, seakan ingin mengingatkan sesuatu." Kamu mau menjalankan wasiat itu asalkan Pak Haris mau memberikan 50M untuk kita. Dan kamu pikir dia tidak menghitung untung-rugi? Dia itu pebisnis, Abi..." Lanjutnya, kedua alisnya menyatu. " Semua sudah dia perkirakan dengan sangat baik. Dengan menjalankan wasiat ayahnya, dia otomatis mendapatkan seluruh harta peninggalan ayahnya tanpa harus membaginya dengan anak-anak dari istri ayahnya yang lain." Lanjut Helen menarik napas dalam-dalam." Dari yang aku dengar, itu kesepakatan yang dia buat dengan kakeknya Elgard." Tambahnya penuh keyakinan. " Aku juga dengar seperti itu. Tapi 50M kesepakatan kami waktu menjodohkan Olivia dengan Elgard udah selesai. Aku gak yakin dia mau membantu lagi." Abian skeptis. " Minta Olivia membujuk mertuanya itu. Pak Haris pasti luluh kalau sama Olivia." Desak Helen, tak kehabisan akal. " Bagaimana cara aku meminta Olivia melakukannya? Dia pasti gak mau. Menerima perjodohan waktu itu saja Olivia sudah keberatan. Aku terpaksa berpura-pura sakit jantung dulu, baru akhirnya dia mau." Abian membuang napas kasar. " Justru itu... Yang harus kamu lakukan kali ini adalah berpura-pura seperti sedang sekarat terkena serangan jantung karena shock perusahaan pailit. Aku yakin seratus persen Olivia pasti akan sedih dan melakukan apapun untuk menyelamatkan perusahaan demi kamu bisa membaik. Bagaimana? Bagus kan ide aku?" Helen tertawa berbinar, yakin idenya berhasil. " Bagus! Tapi sayangnya gak akan berhasil! " Helen dan Abian terperanjat mendengar seseorang menjawab pertanyaan Helen pada Abian tadi. " OLIVIA??" Serempak sepasang suami-istri itu menyebut nama gadis yang berdiri di pintu masuk ruang keluarga, dengan tatapan dingin tangannya bersidekap dada. " Oliv... Kapan kamu datang?" Abian gelagapan. Panik putrinya mendengar pembicaraan nya dengan Helen tadi. " Sejak tadi. Dan aku mendengar semua." Sinis Olivia. Ia berusaha menahan sakit hati yang begitu besar, selama ini ditipu dan dimanfaatkan. " Olivia, itu, sebenarnya..." Abian tergugup, bingung harus menjelaskan apa. Semua terlanjur diketahui putrinya. " Ayah pura-pura sakit?" Sentak Olivia terluka. " Ayah menjualku! Lima puluh milyar?" Lanjutnya, seakan sulit mempercayai semuanya. " Bukan begitu... Ayah cuma..." Abian kesulitan menjawab. " Apa yang salah? Ayah kamu membutuhkannya! Dan kalau dengan menjodohkan kamu bisa mendapatkan dana yang besar untuk menyelamatkan perusahaan, dimana letak kesalahannya? Kamu jangan terlalu berlebihan Olivia. Toh kamu dinikahkan dengan laki-laki kaya raya dan juga ganteng. Harusnya kamu bersyukur. Anggap saja itu sebuah bentuk balas jasa kamu sebagai anak yang berbakti." Helen menunjukkan bahwa mereka tak bersalah. Olivia menatap tajam pada Helen." Bisa diam? Jangan ikut campur!" Ucapnya dingin, tak menganggap wanita itu. " Ka-kamu?? Aku ini ibu kamu. Kurang ajar banget kamu bicara seperti itu padaku!" Helen berang. " Anda bukan ibuku! Kehadiran anda, membuat semua kekacauan ini terjadi. Anda penyebab semuanya! Ibuku juga pergi menghilang tanpa sebab, karena kehadiran anda juga. Aku akan cari tau!!" Tegas Olivia dengan sorot mata nyalang. " Olivia!!" Helen murka. Ia tak menyangka putri tirinya yang semenjak kecil takut dan patuh padanya, kini berani bicara seperti itu.Helen benar-benar geram akan keberanian Olivia melawannya. " Anak tidak tau diri! Mentang-mentang kamu udah jadi menantu keluarga Nugroho, kamu merasa hebat ya?? Kamu lupa? Kami yang udah membesarkan kamu dengan baik sampai kamu jadi seperti sekarang. Kami juga yang udah menjodohkan kamu dengan laki-laki terhormat, dari keluarga terpandang. Itu semua supaya kamu bisa memiliki kehidupan yang bahagia. Kamu itu kacang lupa kulitnya!" Helen menunjuk-nunjuk wajah Olivia dengan jari telunjuknya, meminta putri tirinya itu agar tahu diri. " Aku? Aku dibesarkan dengan baik dan dijodohkan dengan laki-laki terhormat, demi kebahagiaanku?? Wow!" Olivia tergelak, sinis. Ia bertepuk tangan atas ucapan Helen. " Aku lihat dan dengar dengan mata kepalaku sendiri, aku dijodohkan demi keuntungan kalian semata. Kalian gak pernah sama sekali memikirkan kebahagiaanku. Yang ada, kalian cuma ingin memanfaatkanku!" Sentak Olivia, muak. " Kalian lupa? Aku hidup menderita di rumahku sendiri? Ini rumah ibu
" Dan itu kamu lakukan saat Elgard sudah menjadi suamiku. Kamu mendatanginya ke kantor dengan alasan kamu adalah iparnya. Kamu mulai menggodanya dengan tubuh yang kamu punya. Tapi sayang, Elgard menolak mentah-mentah. Dia jijik melihat kamu. Dia maunya cuma tubuh Chelsea, bukan kamu yang merupakan teman baik kekasihnya. Entah kenapa Elgard gak memberitahu kekasihnya kalau kamu sudah melakukan perbuatan memalukan itu? Mungkin Elgard gak pernah tertarik membahas tentang kamu. Dia cuma menganggap kamu seperti kebanyakan perempuan di luar sana yang mencoba menggodanya." Ucapan Olivia berhasil membuat wajah Angel merah padam, antara menahan malu dan marah karena dipermalukan. " Diam Lo!" Bentaknya pada Olivia yang menatapnya tanpa ekspresi. " Angel, apa itu benar? Kamu datang ke kantor Elgard untuk menggodanya? Itu memalukan Angel!!" Helen begitu malu, tak menyangka putri kebanggaannya bisa berbuat serendah itu. " Jangan percaya Ma! Perempuan binal ini sedang memfitnah aku..." "
Mobil Olivia keluar dari pintu gerbang kediaman Abian dengan melaju kencang. Elgard yang baru saja tiba di kediaman Ayah mertuanya itu, cukup heran melihat mobil istrinya pergi, kemana Olivia kali ini? Sebenarnya saat berasa di kantor tadi, pikiran Elgard tak tenang. Firasatnya mengatakan jika Olivia bisa saja benar-benar pergi dari rumah mereka, mengingat istrinya itu mengatakan tetap pada pendiriannya yaitu bercerai. Elgard yang mulai kepikiran, tak pikir panjang lagi, segera meninggalkan pekerjaannya di kantor untuk kembali pulang ke rumah. Jangan sampai Olivia benar-benar pergi. Ia tak mau permasalahan rumah tangganya menyebabkan dirinya jadi kehilangan tujuannya yaitu menjadi penerus Nugroho sebagai Presiden Direktur di perusahaan keluarga mereka. Saat tiba di rumah, benar saja. Olivia sudah tidak ada lagi. Ia berlari menuju kamar, membuka lemari pakaian, sudah tak ada lagi pakaian-pakaian Olivia di dalamnya. Meja rias juga kosong dari perlengkapan wajah dan skinc
Olivia tersenyum miris, tak menggubris penolakan Elgard yang takut kehilangan haknya sebagai putra satu-satunya Haris Nugroho jika sampai bercerai darinya sebelum mendapatkan tujuan pria itu. "Aku udah minta pengacaraku mengurus gugatan cerai untuk kamu. Aku cuma pengen prosesnya di percepat! Aku cuma mau secepatnya pergi dari kehidupan kamu Elgard!" "Itu gak akan terjadi! Aku akan mempersulit semuanya! Jangan coba-coba melawan seorang Elgard Mario Nugroho!" Elgard menatap tajam pada Olivia. "Kamu itu terlalu polos, El... Kamu pikir kamu akan benar-benar di coret dari pewaris Papa kamu kalau aku minta cerai??" Olivia tersenyum mencibir. "Maksud kamu?" Elgard tak mengerti. "Kamu adalah satu-satunya penerus Papa Haris. Walaupun ada kakak perempuan kamu, tapi yang bisa meneruskan perusahaan keluarga Nugroho itu cuma kamu!" Jelas Olivia, membuat Elgard terdiam beberapa saat. " Kenapa aku bisa mengatakan seperti ini? Sebab aku juga baru tau tadi, bahwa ternyata Ayah kamu ngotot
Tiga bulan berlalu... Pukul 06.30 wib_ Kringg... Kringg... Dering alarm yang keras dari ponsel diatas nakas, memecah keheningan kamar, membuat Elgard tersentak dari tidurnya. Dalam keadaan kusut, Elgard segera menoleh ke arah jam dinding. Matanya membulat, menghitung detik yang semakin menyempit. Ini sudah pagi ternyata. 'Ini hari persidangan terakhirku, aku gak boleh terlambat.' gumam Elgard sambil berlari menuju kamar mandi. Ia segera membersihkan diri dengan terburu-buru, tak ingin membuang waktu sedikit pun. Setelah selesai, Elgard mengenakan setelan jas terbaiknya, mencerminkan keseriusan namun juga ada sedikit kekhawatiran yang memenuhi pikirannya. Elgard melangkah keluar rumah dengan langkah cepat, tak sabar ingin segera sampai di pengadilan. Namun, di tengah perjalanan, ia merasa ada sesuatu yang ganjil. Wajahnya tampak bingung, seolah mencari sesuatu yang hilang. Tiba-tiba, ia menyadari bahwa ia lupa membawa berkas-berkas penting yang di butuhkan dalam p
Mentari pagi menyinari wajah Olivia dari arah jendela kamar. Gadis cantik yang sebentar lagi akan menyandang status janda namun belum pernah terjamah itu, baru saja selesai melaksanakan ibadah rutin paginya di kamar~dhuha time. Usai berdoa meminta ketenangan dan kekuatan, senyum kebahagiaan terpatri di bibirnya, menggambarkan hati yang cerah bagaikan pagi ini. Olivia sudah bangun pagi-pagi sekali di hari yang telah di tunggu-tunggu. Ia mandi dan akan berangkat menuju pengadilan agama. Hari ini adalah sidang terakhir perceraiannya dengan Elgard Mario Nugroho, suami yang selama ini tak pernah menerima kehadirannya dalam kehidupan pria itu. Ia merasa secercah kebahagiaan menyelimuti hatinya, seolah akan terbebas dari belenggu yang selama ini menghimpit hidupnya. Saat melirik jam dinding, Olivia segera bergegas bangkit dari duduknya di atas hamparan sajadah. Membuka mukena, melipat sajadah dan menyusun di tempat semula. Ia meregangkan badannya, lalu mengusap wajahnya dengan lembut.
' Chelsea!!! Apa yang kamu lakukan disini?? Aku kan udah bilang jangan datang!! Kamu bikin suasana makin panas, arrgh!!' gerutu Elgard di dalam hati, kesal pada wanita yang begitu ia cintai itu. Sementara Olivia yang menyadari kehadiran Mertuanya dan juga keberadaan wanita idaman lain di hati suaminya, hanya bisa tersenyum miris. Dirinya tak peduli lagi. Tak butuh waktu berjam-jam, dirinya akan menyudahi pernikahan dengan pria itu. Resmi secara Agama dan Negara. Sidang dimulai dengan pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum. Olivia merasakan perasaan yang bercampur aduk, ada rasa lega karena sebentar lagi semua akan berakhir. Namun juga ada rasa sedih yang mendalam karena tak pernah menyangka memiliki pernikahan menyedihkan seperti ini. Jauh dari kata langgeng, harmonis, sekali untuk seumur hidup. Tak berbeda dengan Elgard. Pria itu seharusnya merasa bahagia. Terlebih ada Chelsea yang datang memberi dukungan dan semangat padanya. Ada calon bayinya juga di dalam perut wanit
Liana sang pengacara hanya bisa geleng-geleng kepala. Pelakor memang tak punya malu. Bahkan bangga pada kelakuannya yang terlihat murahan. "Aku permisi Elgard." Ucap Olivia hendak pergi, tak ada keinginan berlama-lama di dekat mantan suaminya itu. Urusan mereka udah selesai. "Olivia..." Elgard menghentikan langkah Olivia, Chelsea pun kaget. Ada apa dengan Elgard? Bukankah pria itu selalu mengatakan muak dan jijik melihat Olivia? "Kamu sekarang tinggal dimana? Apa yang kamu lakukan sehari-hari?" Tanya Elgard ingin memastikan Olivia hidup dengan baik. "Apa-apaan kamu El?? Apa urusan kamu mau tau dia tinggal dimana, melakukan apa sehari-hari." Bentak Chelsea, tak terima kekasihnya memberi perhatian pada mantan istri pria itu. "Chelsea, tolonglah..." Elgard meminta pengertian Chelsea, dirinya hanya sedang bersikap respect terhadap mantan istrinya. Itu saja. "Kamu!!" Chelsea geram, Elgard menyebalkan di matanya." Olivia, jangan sampai kamu baper ya! Calon suami aku, bukan sedan
“Kita jalan sekarang?” Tanya Barra antusias. “Ayo.” Olivia mengangguk, berusaha tampak antusias didepan Barra. “Kamu mau kita kemana?” “Aku ikut kemana anda bawa, soalnya aku gak begitu tau tempat-tempat yang biasa orang datangi.” jelas Olivia, apa adanya. Barra mengerti. Kehidupan istrinya itu tidak seperti para gadis lainnya sejak dulu, yang bisa hanging out bersama keluarga dan teman, atau bebas keluar rumah jalan-jalan menghabiskan masa remaja, melakukan banyak hal produktif. Jika tak sekolah, istrinya sehari-hari disamakan dengan asisten rumah tangga, mengerjakan sebagian pekerjaan mereka demi menghemat pengeluaran rumah tangga. “Kita berbelanja dulu seperti janji saya tadi pagi.” Barra memutuskan. Olivia diam sejenak, hingga mengiyakan. Terserah suaminya itu saja. °°° Pusat perbelanjaan... Mall yang ramai dengan pengunjung menjadi saksi betapa pasangan Barra dan Olivia menarik perhatian banyak orang. Barra seperti biasa dengan tatapannya yang tajam dan dingin itu, ber
Rapat sedang berlangsung... Barra duduk di ujung meja rapat, menatap para karyawan yang duduk berbaris disisi meja. Rapat berjalan dengan lancar, para karyawan menyampaikan ide dan strategi mereka dengan lebih percaya diri. Barra terus mengawasi dan memberikan arahan, memastikan bahwa proyek film ini akan menjadi sukses besar yang akan mengangkat nama perusahaannya menjadi lebih tinggi di industri entertainment. Namun yang tak bisa Barra hindari sedari tadi, berkali-kali dirinya melirik jam tangan. ‘Kenapa siang terlalu lama?’ gerutunya dalam hati. Saat karyawan fokus mendengar kepala bagian marketing menyampaikan ide dan gagasannya, Barra membuka ponsel. Rasa ingin tahu tentang apa yang sedang istrinya lakukan dirumah saat ini, membuatnya tak tahan untuk melihat rekaman cctv rumah. Barra tanpa sadar, tersenyum melihat Olivia yang berada didapur. Istrinya itu terlihat seperti sedang membuat minuman untuk dirinya sendiri. Tampak Olivia menatap ke kamera cctv, seolah tahu jika
“Kamu diam. Artinya kamu tidak akan komplain lagi.” Ucap Barra memecah keheningan sesaat yang terjadi. “Aku gak akan membantah lagi. Terserah anda saja. Maaf...” Jawab Olivia, pasrah. Barra merasa tak senang dengan ketidak-antusiasan Olivia, hanya dirinya saja yang semangat untuk menunjukkan hubungan mereka pada semua orang. Wanita itu begitu terpaksa. Jefri menatap satu persatu wajah Barra dan Olivia. Entah mengapa, ia seakan merasa ada yang salah disini. Apakah sedang terjadi miss komunikasi di antara majikannya ini? Sang Nyonya muda menangkap, Barra mempublikasikan hubungan mereka hanya untuk menakut-nakuti lawannya yaitu Laksmana Sanjaya, agar tak berani lagi macam-macam. Ia pun merasa bimbang dan tak yakin dengan keputusan suaminya karena terkesan pria itu hanya ingin melangsungkan resepsi pernikahan, hanya untuk melindunginya semata, bukan untuk sesuatu yang lebih dari sekedar tentang seorang Laksmana. Tentang masa depan berdua, misalnya? Sedang sang Bos dari sikap istriny
“Itu benar. Ini yang saya maksud kemarin bahwa kamu tinggal tunggu tanggal mainnya. Orang-orang akan tau tentang hubungan kita sebentar lagi karena resepsi pernikahan kita akan segera dilangsungkan. Kamu sudah siap kan?” Barra begitu excited.Olivia masih dipenuhi banyak pertanyaan di benaknya, masih sulit mempercayai. “Kenapa diadakan resepsi? Bukankah kita sepakat untuk merahasiakan pernikahan ini?” Tanyanya butuh penjelasan, apa tujuan Barra sebenarnya?“Sepertinya memang tidak akan bisa dirahasiakan lagi Olivia. Orang memang harus tahu kalau kita sudah menikah. Tidak perlu menunggu Mommy dan Daddy kembali, resepsinya akan segera dilangsungkan!” Ujar Barra penuh keyakinan.Olivia tertegun. Mimpi apa dirinya? Apa itu artinya Barra telah membatalkan kesepakatan di awal bahwa pernikahan mereka akan berakhir setelah Azalea kembali.Apakah Barra telah menyadari bahwa sebuah pernikahan adalah sesuatu yang suci dan sakral, tidak boleh dipermainkan. Sehingga pria itu ingin serius membina r
“Kamu bilang apa?” Tanyanya untuk lebih memastikan, kenapa istrinya ini tidak protes?“Aku ikut apa aja yang suami aku katakan. Semua juga demi kebaikan aku kan?” Jawab Olivia, tak ada ekspresi keberatan yang ia tunjukkan.Barra cukup excited mendengar jawaban Olivia, wanita itu mau menuruti keinginannya? Tak protes apalagi merasa kesal.Perasaannya begitu lega, Olivia bersedia menjadi ibu rumah tangga saja. Seketika muncul di benaknya bayangan tentang keluarga bahagia yang harmonis, dilengkapi anak-anak yang lucu.Dadanya berdebar, namun senyumnya masih ditahan-tahan. Sejujurnya ia ingin langsung salto saat ini juga saking girangnya.“Bagus! Saya senang kalau kamu jadi istri yang nurut pada suami!” Barra membelai rambut panjang Olivia, wanita itu membuat hatinya selalu tentram. Olivia mengangguk. Ia tahu Barra mengkhawatirkan dirinya karena Laksmana pasti sedang mengincar nyawanya. Patuh dan taat pada apa yang suaminya katakan, maka itu yang akan ia lakukan meski tak bisa lagi beker
Pukul 06.20 wib.Olivia sudah menyiapkan pakaian kantor untuk Barra. Dia memilih satu set kemeja dan celana panjang, serta mengambil dasi berwarna lebih gelap namun masih senada dengan kemeja yang dipilih.Barra mendekati Olivia perlahan. Pria itu baru saja selesai mandi, masih memakai bathrobe putih.Olivia menoleh sekilas pada suaminya tersebut, raut wajahnya masih dingin. Barra tahu Olivia masih marah padanya gara-gara kesengajaannya yang bisa membuat wanita itu mengandung benihnya.Tadi subuh, Olivia mengajaknya sholat berjamaah. Tetapi dengan berbagai alasan, dirinya tak sampai menjadi imam istrinya itu, alhasil Olivia sholat sendiri.Entah mengapa, dirinya merasa tak pantas. Sisi kelamnya yang tak diketahui orang lain termasuk Olivia istrinya sendiri, membuatnya merasa tak pantas menghadap Tuhannya. Dirinya berjiwa kejam, tak segan menyiksa bahkan menghabisi nyawa orang yang tak ia suka. Apa masih boleh menjalankan ibadah suci tersebut? Begitu pikirnya.“Ini pakaian kantor anda.
“Kenapa dikeluarkan di dalam??!!” Tanya Olivia begitu marah, Barra tak mendengar ucapannya yang selama mereka bergumul panas tadi, berkali-kali sudah ia peringatkan untuk bermain aman karena keduanya sama-sama tak menggunakan pengaman. Barra dengan napas masih ngos-ngosan, menarik tangan Olivia agar ikut berbaring bersamanya sambil berpelukan di bawah selimut, “Olivia...” Ucapnya lembut. “Aku tanya, kenapa gak dikeluarin di luar?” Olivia menepis tangan Barra, minta penjelasan. Barra membuang napas kasar, istrinya marah besar, “Saya tidak suka mengeluarkan di luar.” Jawabnya begitu enteng. “Hanya karena gak suka?? Egois!!” Olivia mengambil baju tidurnya, cepat-cepat memasang ke tubuhnya yang telah dipenuhi cukup banyak tanda cinta dari Barra. “Kamu mau kemana?” Barra menahan Olivia yang hendak turun dari ranjang. Olivia melepas tangannya dari genggaman Barra, tak mau disentuh. Barra telah mengingkari janji. Olivia berjalan dengan cepat ke kamar mandi, meninggalkan Barra y
“Bu Amanda kenapa tidak tidur?” Tanya suster yang baru saja masuk ke dalam kamar Amanda. Suster tersebut langsung berjalan ke arah jendela. Amanda memang tak bisa tidur, pikirannya sejak tadi tertuju pada istri muda Laksmana. Ia melihat pintu kamar terbuka, perlahan bangkit dari duduknya saat suster tengah menutup gorden kamar yang belum di tutup sejak semalam. Tanpa sepengetahuan suster, Amanda beringsut pergi, keluar dari kamar dengan mengendap-endap. Sementara itu... “Hei kamu!” Panggil seorang wanita pada salah seorang penjaga yang sedang duduk berjaga didepan. “Ya, Nyonya?” Penjaga tersebut berlari mendekati Nyonya mudanya. “Kamu punya handphone?” Penjaga diam sesaat, “Ada Nyonya.” Jawabnya. “Kemarilah...” Wanita itu meminta si penjaga mendekatinya. Penjaga dengan sedikit menundukkan kepala, menghampiri sang Nyonya yang hanya memakai baju tidur begitu minim, belahan dada dan pahanya terekspos nyata. Pria mana yang tak akan bernafsu? “Ada apa Nyonya Azalea?” Tanya penja
Pukul 03.30 wib...Olivia membuka matanya. Rasanya malam ini dirinya cukup lama tertidur, tidak seperti biasanya. Dari arah jam dinding yang sejajar dengan posisi tidurnya miring ke kanan, waktu telah menunjukkan hampir memasuki subuh ternyata. Olivia bisa merasakan sebuah beban di badannya, tangan seorang pria tengah melingkar posesif di pinggangnya dari belakang. ‘Jadi aku masih aman ya? Kami benar-benar cuma tidur...’ dirinya membatin, lega. Barra ternyata hanya tidur bersamanya, tidak melakukan hal yang lebih. Ia merasa tubuhnya begitu segar karena tidurnya cukup berkualitas. Tak pernah sebelumnya Olivia tidur senyenyak ini di malam hari. Apa karena di pelukan hangat seorang Barra? Perlahan, Olivia yang tadinya tidur membelakangi Barra, bangkit untuk duduk. Ia akan mempersiapkan diri menyambut subuh seperti biasanya. Tangan Barra yang ada di pinggangnya, dengan penuh kelembutan Olivia singkirkan dari sana. “Mau kemana hem!!” Eh! Olivia yang terkejut, kembali terbaring pada