Mobil Olivia melaju pelan memasuki halaman rumah yang luas dan terawat dengan baik, di apit oleh pepohonan hijau, juga semak bunga yang rapi.
Sebuah rumah mewah berdiri megah di tengah-tengahnya, menampilkan arsitektur yang anggun dan elegan. Dinding putih yang bersih dan jendela kaca besar yang menghiasi rumah, menciptakan kesan mewah namun klasik. Di bagian depan rumah, terdapat air mancur yang airnya jatuh ke kolam dengan gemercik lembut, menambah suasana tenang di lingkungan tersebut. Olivia masih duduk di dalam mobil dan mengamati rumah itu lekat-lekat. Terlihat jelas bahwa rumah tersebut di rawat baik, dengan lantai marmer yang mengkilap dan patung-patung marmernya yang artistik. Pintu utama rumah terbuat dari kayu jati berkualitas tinggi dengan ukiran yang detail dan indah, menambah kesan kemewahan pada rumah. Namun, di balik kemegahannya, Olivia merasakan sebuah keperihan yang mendalam setiap mengingat di rumah itulah dulu ia dan ibunya~Amanda begitu bahagia bersama-sama. Sampai sebuah masalah yang tak begitu ia mengerti terjadi karena masih berusia lima tahun, sang ibu pergi dari rumah meninggalkannya, entah kemana. Suasana yang tampak tenang dan damai dari luar, seakan menutupi luka yang masih ada di dalam rumah tersebut. Rasa kecemasan mulai menghantui pikiran Olivia saat ia ingin turun dengan perasaan gugup. Berencana hendak masuk ke dalam rumah untuk menghadapi Ayahnya yang sedang dalam kondisi kesehatan tidak stabil. Ia harus menguatkan hati untuk memberi tahu ayahnya~Abian Stevano, bahwa dirinya sudah tak sanggup lagi hidup bersama Elgard karena telah dikhianati dan di manfaatkan sedemikian rupa. Olivia berharap Abian bisa berlapang dada menerima keputusannya untuk bercerai dari putra keluarga kaya raya Nugroho itu, sehingga tak mempengaruhi kesehatan sang Ayah nantinya. Ia hendak menurunkan koper dari dalam mobil karena akan kembali tinggal di rumah masa kecilnya tersebut. Namun sebelum memberitahu masalahnya pada sang Ayah, ia mengurungkan niat untuk membawa masuk barang-barangnya. Olivia yang sudah turun dari mobil, di sambut penjaga rumah dengan senyum lebar. " Nona Olivia... Selamat datang Non..." Sapa Pak Rahmat dengan ramah. " Terima kasih Pak. Assalamualaikum..." Olivia balas tersenyum, pria itu adalah pegawai rumah yang cukup dekat dengannya sejak kecil. " Oh. Wa'alaikumsalam... Saya senang Nona datang." Pak Rahmat terus melihat ke arah pintu mobil Olivia yang satunya lagi, tak ada yang turun selain Nona mudanya saja. " Saya datang sendiri Pak." Jawab Olivia paham dengan apa yang dipikirkan sang satpam. " Oo... Saya pikir datang bersama suami Nona. Hee..." " Enggak, Pak." Olivia tersenyum singkat. Tak mungkin dirinya bersama Elgard. Selama menikah, pria itu tak pernah mau berada di sampingnya. Bahkan mereka tak pernah datang ke rumah Ayah Olivia untuk berkunjung. " Ayah ada di rumah?" Tanya Olivia melihat ke arah pintu rumah besar dan tinggi yang tertutup. " Ada. Nyonya Helen juga ada..." Jawab Pak Rahmat dengan raut wajah tak enak saat menyebut nama Helen, ibu tiri Olivia. " Angel?" Tanya Olivia, itu saudari tirinya~Angelina. Putri tercinta Helen yang seusia dengan dirinya. " Non Angel lagi gak di rumah. Biasa, jarang pulang. Mungkin nginap di rumah pacarnya lagi." Pak Rahmat sedikit risih menjelaskan tentang saudari tiri Nona mudanya itu. Olivia menaikkan sebelah alisnya, sudah tak heran. " Saya masuk dulu ya Pak. Mau ketemu Ayah." " Oh, ya. Silahkan Nona..." Olivia berjalan pelan. Dengan jantung berdebar-debar tentunya. Dirinya ingin bicara empat mata dengan Abian sebenarnya, namun ada Helen juga ternyata di rumah itu. Entah apa yang akan terjadi nanti, mengingat Helen selalu mendominasi sang Ayah. " Nona Olivia, selamat datang..." Pelayan rumah sontak menyambut kedatangan Olivia dengan antusias. " Ya mbak. Ayah lagi dimana?" Olivia tersenyum hangat. " Ada di ruang keluarga bersama Nyonya. Mari saya antar Nona..." " Gak perlu, makasih mbak. Saya sendiri aja kesana ya." Olivia kembali melemparkan senyum pada semua pelayan rumah yang tersenyum penuh kekaguman padanya, sudah lama Nona muda mereka yang cantik dan baik hati itu tidak datang ke rumah ini. Mereka cukup merindukan Olivia. Sementara itu, Abian duduk termenung di ruang keluarga, wajahnya muram dan gelisah. Helen melihat ekspresi Abian yang tidak biasa. Ia duduk di sebelah suaminya, merasa curiga jika ada masalah berat yang mungkin di hadapi sang suami. " Abian, ada apa? Kamu terlihat sangat cemas." Tanya Helen dengan wajah penuh kekhawatiran. Abian menghela napas panjang, lalu bercerita bahwa perusahaannya sedang dalam keadaan genting karena hutang bank yang terus mengejar. Jika tidak segera dilunasi, bank akan menyita semua aset berharganya. Helen terkejut mendengar pengakuan Abian, kemarahan dan kekhawatiran bercampur di wajahnya. " Di sita? Aku gak mau Abi... Gak mungkin kita jatuh miskin Abian! Kita harus segera mencari solusi." Ujar Helen panik. Pikirannya berputar cepat, mencari cara untuk menyelamatkan harta mereka dari ancaman penyitaan bank. " Kamu gak perlu mengatakannya, aku juga udah sejak kemarin-kemarin mutar otak mau cari solusi apa supaya perusahaan tidak bangkrut begitu aja!" Abian menjambak rambutnya sendiri, sudah frustasi dengan masalah yang sedang di hadapi. Helen terhenyak. Ikut bingung. Tak bisa ia bayangkan hidup miskin sebentar lagi. Tiba-tiba, sebuah ide muncul di benaknya. " Abian, bagaimana kalau kita menjadikan Olivia, putrimu, sebagai alasan untuk meminta bantuan lagi sama besan kita, Pak Haris Nugroho? Aku yakin, kalau udah menyangkut tentang Olivia, Pak Haris pasti akan memberikan apapun untuk menantunya itu. Dengan begitu, kita bisa melunasi hutang perusahaan." Usul Helen dengan wajah penuh harapan. Abian menatap Helen, bingung dengan usulan istrinya. Namun, melihat keputusan yang ada di wajah Helen, Abian mulai mempertimbangkan rencana tersebut. Mungkin dengan bantuan mertua Olivia, mereka bisa melewati masa-masa sulit ini dan menyelamatkan perusahaan serta aset yang dimiliki. " Aku juga berpikir seperti itu sejak awal Helen. Tapi masa kita minta bantuan Pak Haris lagi? Dulu dia udah membantuku dengan uang yang begitu besar untuk membangkitkan kembali perusahaan yang hampir pailit. Dia mau membantu karena aku bersedia memenuhi wasiat ayahnya dan ayah mertuaku untuk menjodohkan Olivia dan Elgard." Ujar Abian merasa tak tenang. " Lha, itu gunanya punya besan kaya raya Abian. Apa artinya anak kamu jadi menantu dari seorang Haris Nugroho kalau gak bisa dimanfaatkan." Helen berusaha mengendalikan pikiran Abian. " Lima 50M! Kamu pikir dimana aku bisa mendapatkan dana sebesar itu dulunya kalau bukan karena Olivia. Aku malu kalau harus minta bantuannya lagi." Abian mendesah, resah. " Lho, kenapa harus malu? Olivia itu anak kamu, udah sewajarnya dia membalas jasa kamu dengan menerima perjodohan itu. Dan sekarang keluarga Nugroho kan sudah jadi besan kita, harusnya mereka bisa bantu kita dong, kan kita sudah mengorbankan Olivia untuk mau menjadi menantu mereka." Ujar Helen. " Aku gak enak sama Olivia, takutnya dia tahu kalau kita memanfaatkan dirinya lagi. Belum tentu juga dia bersedia membantu meyakinkan mertuanya." Abian ragu. " Abi, kamu lupa ya? Olivia dan Elgard itu di jodohkan karena wasiat kakek-kakek mereka yang berteman dekat." Ujar Helen dengan tajam, seakan ingin mengingatkan sesuatu." Kamu mau menjalankan wasiat itu asalkan Pak Haris mau memberikan 50M untuk kita. Dan kamu pikir dia tidak menghitung untung-rugi? Dia itu pebisnis, Abi..." Lanjutnya, kedua alisnya menyatu. " Semua sudah dia perkirakan dengan sangat baik. Dengan menjalankan wasiat ayahnya, dia otomatis mendapatkan seluruh harta peninggalan ayahnya tanpa harus membaginya dengan anak-anak dari istri ayahnya yang lain." Lanjut Helen menarik napas dalam-dalam." Dari yang aku dengar, itu kesepakatan yang dia buat dengan kakeknya Elgard." Tambahnya penuh keyakinan. " Aku juga dengar seperti itu. Tapi 50M kesepakatan kami waktu menjodohkan Olivia dengan Elgard udah selesai. Aku gak yakin dia mau membantu lagi." Abian skeptis. " Minta Olivia membujuk mertuanya itu. Pak Haris pasti luluh kalau sama Olivia." Desak Helen, tak kehabisan akal. " Bagaimana cara aku meminta Olivia melakukannya? Dia pasti gak mau. Menerima perjodohan waktu itu saja Olivia sudah keberatan. Aku terpaksa berpura-pura sakit jantung dulu, baru akhirnya dia mau." Abian membuang napas kasar. " Justru itu... Yang harus kamu lakukan kali ini adalah berpura-pura seperti sedang sekarat terkena serangan jantung karena shock perusahaan pailit. Aku yakin seratus persen Olivia pasti akan sedih dan melakukan apapun untuk menyelamatkan perusahaan demi kamu bisa membaik. Bagaimana? Bagus kan ide aku?" Helen tertawa berbinar, yakin idenya berhasil. " Bagus! Tapi sayangnya gak akan berhasil! " Helen dan Abian terperanjat mendengar seseorang menjawab pertanyaan Helen pada Abian tadi. " OLIVIA??" Serempak sepasang suami-istri itu menyebut nama gadis yang berdiri di pintu masuk ruang keluarga, dengan tatapan dingin tangannya bersidekap dada. " Oliv... Kapan kamu datang?" Abian gelagapan. Panik putrinya mendengar pembicaraan nya dengan Helen tadi. " Sejak tadi. Dan aku mendengar semua." Sinis Olivia. Ia berusaha menahan sakit hati yang begitu besar, selama ini ditipu dan dimanfaatkan. " Olivia, itu, sebenarnya..." Abian tergugup, bingung harus menjelaskan apa. Semua terlanjur diketahui putrinya. " Ayah pura-pura sakit?" Sentak Olivia terluka. " Ayah menjualku! Lima puluh milyar?" Lanjutnya, seakan sulit mempercayai semuanya. " Bukan begitu... Ayah cuma..." Abian kesulitan menjawab. " Apa yang salah? Ayah kamu membutuhkannya! Dan kalau dengan menjodohkan kamu bisa mendapatkan dana yang besar untuk menyelamatkan perusahaan, dimana letak kesalahannya? Kamu jangan terlalu berlebihan Olivia. Toh kamu dinikahkan dengan laki-laki kaya raya dan juga ganteng. Harusnya kamu bersyukur. Anggap saja itu sebuah bentuk balas jasa kamu sebagai anak yang berbakti." Helen menunjukkan bahwa mereka tak bersalah. Olivia menatap tajam pada Helen." Bisa diam? Jangan ikut campur!" Ucapnya dingin, tak menganggap wanita itu. " Ka-kamu?? Aku ini ibu kamu. Kurang ajar banget kamu bicara seperti itu padaku!" Helen berang. " Anda bukan ibuku! Kehadiran anda, membuat semua kekacauan ini terjadi. Anda penyebab semuanya! Ibuku juga pergi menghilang tanpa sebab, karena kehadiran anda juga. Aku akan cari tau!!" Tegas Olivia dengan sorot mata nyalang. " Olivia!!" Helen murka. Ia tak menyangka putri tirinya yang semenjak kecil takut dan patuh padanya, kini berani bicara seperti itu.Helen benar-benar geram akan keberanian Olivia melawannya. " Anak tidak tau diri! Mentang-mentang kamu udah jadi menantu keluarga Nugroho, kamu merasa hebat ya?? Kamu lupa? Kami yang udah membesarkan kamu dengan baik sampai kamu jadi seperti sekarang. Kami juga yang udah menjodohkan kamu dengan laki-laki terhormat, dari keluarga terpandang. Itu semua supaya kamu bisa memiliki kehidupan yang bahagia. Kamu itu kacang lupa kulitnya!" Helen menunjuk-nunjuk wajah Olivia dengan jari telunjuknya, meminta putri tirinya itu agar tahu diri. " Aku? Aku dibesarkan dengan baik dan dijodohkan dengan laki-laki terhormat, demi kebahagiaanku?? Wow!" Olivia tergelak, sinis. Ia bertepuk tangan atas ucapan Helen. " Aku lihat dan dengar dengan mata kepalaku sendiri, aku dijodohkan demi keuntungan kalian semata. Kalian gak pernah sama sekali memikirkan kebahagiaanku. Yang ada, kalian cuma ingin memanfaatkanku!" Sentak Olivia, muak. " Kalian lupa? Aku hidup menderita di rumahku sendiri? Ini rumah ibu
" Dan itu kamu lakukan saat Elgard sudah menjadi suamiku. Kamu mendatanginya ke kantor dengan alasan kamu adalah iparnya. Kamu mulai menggodanya dengan tubuh yang kamu punya. Tapi sayang, Elgard menolak mentah-mentah. Dia jijik melihat kamu. Dia maunya cuma tubuh Chelsea, bukan kamu yang merupakan teman baik kekasihnya. Entah kenapa Elgard gak memberitahu kekasihnya kalau kamu sudah melakukan perbuatan memalukan itu? Mungkin Elgard gak pernah tertarik membahas tentang kamu. Dia cuma menganggap kamu seperti kebanyakan perempuan di luar sana yang mencoba menggodanya." Ucapan Olivia berhasil membuat wajah Angel merah padam, antara menahan malu dan marah karena dipermalukan. " Diam Lo!" Bentaknya pada Olivia yang menatapnya tanpa ekspresi. " Angel, apa itu benar? Kamu datang ke kantor Elgard untuk menggodanya? Itu memalukan Angel!!" Helen begitu malu, tak menyangka putri kebanggaannya bisa berbuat serendah itu. " Jangan percaya Ma! Perempuan binal ini sedang memfitnah aku..." "
Mobil Olivia keluar dari pintu gerbang kediaman Abian dengan melaju kencang. Elgard yang baru saja tiba di kediaman Ayah mertuanya itu, cukup heran melihat mobil istrinya pergi, kemana Olivia kali ini? Sebenarnya saat berasa di kantor tadi, pikiran Elgard tak tenang. Firasatnya mengatakan jika Olivia bisa saja benar-benar pergi dari rumah mereka, mengingat istrinya itu mengatakan tetap pada pendiriannya yaitu bercerai. Elgard yang mulai kepikiran, tak pikir panjang lagi, segera meninggalkan pekerjaannya di kantor untuk kembali pulang ke rumah. Jangan sampai Olivia benar-benar pergi. Ia tak mau permasalahan rumah tangganya menyebabkan dirinya jadi kehilangan tujuannya yaitu menjadi penerus Nugroho sebagai Presiden Direktur di perusahaan keluarga mereka. Saat tiba di rumah, benar saja. Olivia sudah tidak ada lagi. Ia berlari menuju kamar, membuka lemari pakaian, sudah tak ada lagi pakaian-pakaian Olivia di dalamnya. Meja rias juga kosong dari perlengkapan wajah dan skinc
Olivia tersenyum miris, tak menggubris penolakan Elgard yang takut kehilangan haknya sebagai putra satu-satunya Haris Nugroho jika sampai bercerai darinya sebelum mendapatkan tujuan pria itu. "Aku udah minta pengacaraku mengurus gugatan cerai untuk kamu. Aku cuma pengen prosesnya di percepat! Aku cuma mau secepatnya pergi dari kehidupan kamu Elgard!" "Itu gak akan terjadi! Aku akan mempersulit semuanya! Jangan coba-coba melawan seorang Elgard Mario Nugroho!" Elgard menatap tajam pada Olivia. "Kamu itu terlalu polos, El... Kamu pikir kamu akan benar-benar di coret dari pewaris Papa kamu kalau aku minta cerai??" Olivia tersenyum mencibir. "Maksud kamu?" Elgard tak mengerti. "Kamu adalah satu-satunya penerus Papa Haris. Walaupun ada kakak perempuan kamu, tapi yang bisa meneruskan perusahaan keluarga Nugroho itu cuma kamu!" Jelas Olivia, membuat Elgard terdiam beberapa saat. " Kenapa aku bisa mengatakan seperti ini? Sebab aku juga baru tau tadi, bahwa ternyata Ayah kamu ngotot
Tiga bulan berlalu... Pukul 06.30 wib_ Kringg... Kringg... Dering alarm yang keras dari ponsel diatas nakas, memecah keheningan kamar, membuat Elgard tersentak dari tidurnya. Dalam keadaan kusut, Elgard segera menoleh ke arah jam dinding. Matanya membulat, menghitung detik yang semakin menyempit. Ini sudah pagi ternyata. 'Ini hari persidangan terakhirku, aku gak boleh terlambat.' gumam Elgard sambil berlari menuju kamar mandi. Ia segera membersihkan diri dengan terburu-buru, tak ingin membuang waktu sedikit pun. Setelah selesai, Elgard mengenakan setelan jas terbaiknya, mencerminkan keseriusan namun juga ada sedikit kekhawatiran yang memenuhi pikirannya. Elgard melangkah keluar rumah dengan langkah cepat, tak sabar ingin segera sampai di pengadilan. Namun, di tengah perjalanan, ia merasa ada sesuatu yang ganjil. Wajahnya tampak bingung, seolah mencari sesuatu yang hilang. Tiba-tiba, ia menyadari bahwa ia lupa membawa berkas-berkas penting yang di butuhkan dalam p
Mentari pagi menyinari wajah Olivia dari arah jendela kamar. Gadis cantik yang sebentar lagi akan menyandang status janda namun belum pernah terjamah itu, baru saja selesai melaksanakan ibadah rutin paginya di kamar~dhuha time. Usai berdoa meminta ketenangan dan kekuatan, senyum kebahagiaan terpatri di bibirnya, menggambarkan hati yang cerah bagaikan pagi ini. Olivia sudah bangun pagi-pagi sekali di hari yang telah di tunggu-tunggu. Ia mandi dan akan berangkat menuju pengadilan agama. Hari ini adalah sidang terakhir perceraiannya dengan Elgard Mario Nugroho, suami yang selama ini tak pernah menerima kehadirannya dalam kehidupan pria itu. Ia merasa secercah kebahagiaan menyelimuti hatinya, seolah akan terbebas dari belenggu yang selama ini menghimpit hidupnya. Saat melirik jam dinding, Olivia segera bergegas bangkit dari duduknya di atas hamparan sajadah. Membuka mukena, melipat sajadah dan menyusun di tempat semula. Ia meregangkan badannya, lalu mengusap wajahnya dengan lembut.
' Chelsea!!! Apa yang kamu lakukan disini?? Aku kan udah bilang jangan datang!! Kamu bikin suasana makin panas, arrgh!!' gerutu Elgard di dalam hati, kesal pada wanita yang begitu ia cintai itu. Sementara Olivia yang menyadari kehadiran Mertuanya dan juga keberadaan wanita idaman lain di hati suaminya, hanya bisa tersenyum miris. Dirinya tak peduli lagi. Tak butuh waktu berjam-jam, dirinya akan menyudahi pernikahan dengan pria itu. Resmi secara Agama dan Negara. Sidang dimulai dengan pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum. Olivia merasakan perasaan yang bercampur aduk, ada rasa lega karena sebentar lagi semua akan berakhir. Namun juga ada rasa sedih yang mendalam karena tak pernah menyangka memiliki pernikahan menyedihkan seperti ini. Jauh dari kata langgeng, harmonis, sekali untuk seumur hidup. Tak berbeda dengan Elgard. Pria itu seharusnya merasa bahagia. Terlebih ada Chelsea yang datang memberi dukungan dan semangat padanya. Ada calon bayinya juga di dalam perut wanit
Liana sang pengacara hanya bisa geleng-geleng kepala. Pelakor memang tak punya malu. Bahkan bangga pada kelakuannya yang terlihat murahan. "Aku permisi Elgard." Ucap Olivia hendak pergi, tak ada keinginan berlama-lama di dekat mantan suaminya itu. Urusan mereka udah selesai. "Olivia..." Elgard menghentikan langkah Olivia, Chelsea pun kaget. Ada apa dengan Elgard? Bukankah pria itu selalu mengatakan muak dan jijik melihat Olivia? "Kamu sekarang tinggal dimana? Apa yang kamu lakukan sehari-hari?" Tanya Elgard ingin memastikan Olivia hidup dengan baik. "Apa-apaan kamu El?? Apa urusan kamu mau tau dia tinggal dimana, melakukan apa sehari-hari." Bentak Chelsea, tak terima kekasihnya memberi perhatian pada mantan istri pria itu. "Chelsea, tolonglah..." Elgard meminta pengertian Chelsea, dirinya hanya sedang bersikap respect terhadap mantan istrinya. Itu saja. "Kamu!!" Chelsea geram, Elgard menyebalkan di matanya." Olivia, jangan sampai kamu baper ya! Calon suami aku, bukan sedan
Pukul 19.00 wib— “Pa, Mama gak mau dengerin penjelasan Elgard,” Elgard jadi frustasi. Ayuma-sang ibu masih marah besar pada Haris Nugroho. “Mama masih ngunci kamar?” Haris melemas, rumah tangganya sebelumnya tak pernah seperti ini. Selalu harmonis, berdua istrinya itu. “Masih. Elgard aja disuruh keluar tadi. Kata Mbak, dari siang tadi Mama gak makan sampai malam ini. Elgard takut Mama sakit, Pa,” Elgard khawatir. Haris mengusap kasar wajahnya. Dirinya tak diizinkan masuk kamar oleh Ayuma. Wanita itu sudah marah besar. Biasanya tak pernah bersikap seperti ini. “Aarh! Ini ulah Clarissa. Dia mempermalukan keluarga!” “Pa, udahlah. Kenapa malah nyalahin Kakak? Papa juga ngapain mau dirayu si Azalea? Pake ciuman segala di tempat umum,” Elgard menatap kecewa pada Haris. “Kamu, Elgard. Percaya kamu kalau Papa begituan sama si Jalang itu? Papa aja gak nyangka dia melakukan itu. Semua terlalu mendadak dan di saat bersamaan, Kakak kamu melihat sampai akhirnya salah paham,” Jelas Haris, ke
Ceklek Barra membuka pintu kamar, masuk ke dalam dengan menutup kembali pintunya. “Assalamu'alaikum, Sayang,” seru Barra lembut. Olivia yang baru saja menyelesaikan tilawahnya, seketika menoleh pada Barra. Senyumnya merekah melihat Barra tersenyum mendekatinya yang duduk di sofa dekat jendela kamar. “Wa'alaikumussalam warahmatullah, Mas,” Jawab Olivia sembari meletakkan Mushaf di atas meja. “Sudah selesai mengaji?” Barra mengambil duduk di samping Olivia. la selalu kagum melihat istrinya itu ta'at beribadah, menentramkan hati memandangnya, teduh, menyejukkan jiwa. “Udah, Alhamdulillah.” Olivia mencium tangan Barra, seperti biasa saat suaminya pergi dan pulang. “Anak Ayah bagaimana? Habis dingajiin Ibu, ya?” Barra mengelus-ngelus perut Olivia, tak lupa menciumi babybump sang istri. Ada anaknya di dalam sana yang selalu berkembang dengan baik dan sehat. Bangganya Barra. “Iya, Ayah. Dari dalam kandungan, selalu dengerin ayat-ayat Allah supaya kalau gede nanti, mudah ngapalin Qur'
Barra berjalan dengan langkah cepat memasuki rumah. la akan langsung menuju ke kamarnya bersama Olivia di rumah itu, segera menemui sang istri. “Barra, sudah pulang?” Tuan Rawless memanggil saat baru saja keluar dari ruang kerjanya bersama Asisten pribadinya. “Kakek,” Barra langsung mendekat, akan menyalami terlebih dahulu. “Assalamu'alaikum, Kek,” Ucapnya, mencium takzim tangan sang Kakek. “Wa'alaikumussalam,” Tuan Rawless tersenyum, namun dapat melihat kegelisahan di wajah Barra. “Kenapa Kakek mengizinkan Elgard masuk ke rumah ini?” Barra langsung bertanya to the point, wajahnya kesal. Tuan Rawless terkesima sesaat. Benar dugaannya, Barra memang sedang gelisah akibat kedatangan Elgard tadi pagi. “Dia tidak masuk ke dalam rumah, Barra. Hanya di halaman saja,” Jawabnya lembut. “Ya tetap saja, Kek. Seharusnya jangan biarkan orang itu memasuki gerbang rumah!” Barra kesal bukan main. Elgard benar-benar sudah menguji kesabarannya sejak lama. “Sebenarnya Ibu kamu udah menyuruh penj
“Ma...” Haris berusaha memegang pundak Ayuma yang duduk di tepi ranjang sembari membelakanginya. Ayuma hanya diam, air matanya terus saja mengalir. “Ma, berita itu bohong. Papa gak selingkuh. Clarissa main ngamuk-ngamuk aja di sana, sampai akhirnya semua orang melihat kami, lalu menyebar berita seperti apa yang mereka lihat aja,” Haris dengan perasaan khawatir, memberi penjelasan pada sang istri yang sejak tadi diam tak mengatakan apapun. Justru semakin membuatnya takut. Bukankah diamnya wanita bisa menjadi lebih berbahaya daripada marahnya secara langsung? Terlebih Ayuma tipe wanita yang tidak suka marah, lemah lembut, jika merasa sedih hanya memilih menangis, tapi diam-diam, bisa pergi begitu saja. la takut jika sampai seperti itu. “Ma, please... Tolong percaya Papa. Mustahil Papa menduakan Mama. Seperti yang Papa jelaskan tadi, Papa memang mengajak Azalea bekerjasama untuk membuat Barra dan Oliv berpisah. Tapi rencana itu gagal total kok, Ma. Maafkan Papa karena gak memberitahu
Barra mengamati video dari ponsel Jefri dengan seksama. la mengerutkan kening melihat bagaimana agresifnya Azalea mencumbu bibir Haris di restaurant. Perut Barra bagai diaduk-aduk, seketika merasa mual, Azalea benar-benar murahan. Bagaimana bisa dulu dirinya menikahi perempuan seperti ini, bahkan selalu menunggu kembalinya wanita itu dalam hidupnya setelah perceraian mereka, dua tahun lamanya. Bodohnya, ia sanggup mengajak Olivia menikah dengan sebuah kesepakatan akan mengakhiri pernikahan mereka jika Azalea kembali. Barra begitu merutuki kebodohannya tersebut. Hampir saja dirinya benar-benar kehilangan Olivia selamanya, hanya karena seorang Azalea yang tak pantas ditunggu apalagi diperjuangkan. “Bagaimana, Pak? Apa kita sebar sekarang videonya?” Jefri menunggu perintah. “Tahan dulu, Jef. Tadinya aku memang ingin video ini segera kita sebar sebagai balasan dari apa yang sudah mereka lakukan terhadapku. Tetapi setelah video pertengkaran Haris dan Putrinya viral, ditambah amukannya
“Munafik! Om itu suka sama aku, tapi di depan anak Om, Om bilang jijik sama aku. Muna!” teriak Azalea pada Haris, mengejutkan pria itu. “Kamu?” Haris melotot pada Azalea. “Apa? Emang benar kan kalau aku ini simpanan Om. Kita sering ketemuan diam-diam tanpa ada orang yang tau. Om suka minta ketemuan, kalau gak di hotel, di rumah aku, atau di villa milik keluarga Om!” Azalea membalas, mengeluarkan kebenciannya dengan mengarang cerita. “Apa yang kamu bicarakan? Kamu mau menfitnah saya_” Haris kaget. Tak menyangka Azalea bisa sebejat ini. “Hei, kamu!” tunjuk Azalea pada Clarissa yang tengah menahan emosi memuncak di ubun-ubunnya, “Papa kamu ini memang berselingkuh sama aku. Dia selalu mendapatkan kepuasan dari tubuh aku, dari pelayanan aku di atas ranjang. Dia selalu mengeluh kalau dia gak bisa terpuaskan dari Mama kamu yang udah gak muda lagi itu. Udah menopause katanya, gak gurih lagi! Dia merasa hampa karena kebutuhan biologisnya kurang terpenuhi dari Mama kamu, sehingga dengan keh
“Baiklah. Kamu akan saya lindungi dari kasus pencemaran nama baik ini. Mobil dan apartemen juga akan saya siapkan. Uang bulanan akan selalu saya transfer ke rekening kamu!” Haris menahan gemuruh emosi di dada. Azalea seketika mengembangkan senyum senang. Akhirnya ia memiliki ATM berjalan sekarang. “Thank's, Om sayang...” bisiknya di telinga Haris yang langsung menjauhkan kepalanya dari wajah Azalea. “Awas saja kalau kamu sampai membawa-bawa nama saya. Habis kamu, Azalea!!” Haris memperingatkan dengan serius. “Sure. Aku sebenarnya senang bekerjasama dengan Om. Om memang baik banget aslinya_” Azalea mengelus lembut paha Haris, hingga ke bagian dalam pahanya. “Singkirkan tangan menjijikkan kamu itu, Betina!!” Haris murka. Perutnya seketika mual, jijik akan sentuhan Azalea. “Om munafik. Bilang aja Om suka tapi takut istri, kan?” ledek Azalea. “Kalau Om mau, kita bisa ke hotel tempat aku menginap. Aku puasin Om karena udah baik banget sama aku! Gimana?” “Jalang!” bentak Haris Nugroho
“Oh iya, titip salam sama Haris ya. Saya ke dalam dulu,” Tuan Rawless tanpa basa basi untuk mengantarkan Elgard sampai ke mobil, justru masuk ke dalam rumah. Tak ada tawaran untuk Elgard agar masuk dulu ke dalam rumah, disuguhkan minuman, atau mengobrol layaknya memperlakukan seorang tamu. Elgard termangu sendirian. Perlakuan keluarga Rawless sangat dingin. Tidak memarahinya berlebihan ataupun menghujat karena perbuatannya dulu, tapi tidak pula beramah tamah. Ini lebih menyakitkan sebenarnya. la dengan langkah gontai, kembali ke mobil. Pendekatan yang direncanakan, gagal. Sedang Olivia tak sedikitpun mau berlama-lama bertatap muka dengannya. Olivia semakin lama semakin jauh, sulit digapai. Ini pasti karena larangan Barra. “Oliv...” lirihnya saat telah duduk di dalam mobil. “Semakin kamu bersikap cuek seperti ini, semakin kuat juga keinginan aku untuk memiliki kamu. Aku gak pernah merasakan rasa cinta yang menggebu-gebu seperti ini sebelumnya, perasaan yang sudah terlalu besar untu
“Baguslah masalah cepat selesai. Kakek cuma ingin hubungan kamu dan Barra baik-baik saja, tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi kemarin. Yang Kakek mau, kalian berdua selalu kuat dan saling percaya satu sama lain,” pinta Tuan Rawless. Ujian cinta sepasang suami-istri itu pasti akan selalu ada, namun jangan sampai membuat keduanya terpisah lagi. “InsyaAllah kami berdua kuat, Kek. Oliv percaya Mas Barra sepenuhnya,” ungkap Olivia, meyakinkan sang Kakek. Tin tin... Suara klakson mobil terdengar di luar gerbang rumah, tampak security berbicara pada pemilik mobil yang ingin masuk. “Siapa, Pa?” Amanda menyipitkan mata melihat ke arah mobil di depan pos penjaga. “Papa juga gak tau,” Tuan Rawless mengangkat kedua bahunya. Olivia mengerutkan alis, itu seperti mobil seseorang yang ia kenal. Tampak Security setengah berlari menghampiri ketiganya. “Tuan, ada tamu yang ingin bertemu,” ucap Security memberitahukan. “Siapa?” Tuan Rawless tak merasa ada janji temu dengan seseorang. “Nam