“Baiklah. Kamu akan saya lindungi dari kasus pencemaran nama baik ini. Mobil dan apartemen juga akan saya siapkan. Uang bulanan akan selalu saya transfer ke rekening kamu!” Haris menahan gemuruh emosi di dada. Azalea seketika mengembangkan senyum senang. Akhirnya ia memiliki ATM berjalan sekarang. “Thank's, Om sayang...” bisiknya di telinga Haris yang langsung menjauhkan kepalanya dari wajah Azalea. “Awas saja kalau kamu sampai membawa-bawa nama saya. Habis kamu, Azalea!!” Haris memperingatkan dengan serius. “Sure. Aku sebenarnya senang bekerjasama dengan Om. Om memang baik banget aslinya_” Azalea mengelus lembut paha Haris, hingga ke bagian dalam pahanya. “Singkirkan tangan menjijikkan kamu itu, Betina!!” Haris murka. Perutnya seketika mual, jijik akan sentuhan Azalea. “Om munafik. Bilang aja Om suka tapi takut istri, kan?” ledek Azalea. “Kalau Om mau, kita bisa ke hotel tempat aku menginap. Aku puasin Om karena udah baik banget sama aku! Gimana?” “Jalang!” bentak Haris Nugroho
“Munafik! Om itu suka sama aku, tapi di depan anak Om, Om bilang jijik sama aku. Muna!” teriak Azalea pada Haris, mengejutkan pria itu. “Kamu?” Haris melotot pada Azalea. “Apa? Emang benar kan kalau aku ini simpanan Om. Kita sering ketemuan diam-diam tanpa ada orang yang tau. Om suka minta ketemuan, kalau gak di hotel, di rumah aku, atau di villa milik keluarga Om!” Azalea membalas, mengeluarkan kebenciannya dengan mengarang cerita. “Apa yang kamu bicarakan? Kamu mau menfitnah saya_” Haris kaget. Tak menyangka Azalea bisa sebejat ini. “Hei, kamu!” tunjuk Azalea pada Clarissa yang tengah menahan emosi memuncak di ubun-ubunnya, “Papa kamu ini memang berselingkuh sama aku. Dia selalu mendapatkan kepuasan dari tubuh aku, dari pelayanan aku di atas ranjang. Dia selalu mengeluh kalau dia gak bisa terpuaskan dari Mama kamu yang udah gak muda lagi itu. Udah menopause katanya, gak gurih lagi! Dia merasa hampa karena kebutuhan biologisnya kurang terpenuhi dari Mama kamu, sehingga dengan keh
Barra mengamati video dari ponsel Jefri dengan seksama. la mengerutkan kening melihat bagaimana agresifnya Azalea mencumbu bibir Haris di restaurant. Perut Barra bagai diaduk-aduk, seketika merasa mual, Azalea benar-benar murahan. Bagaimana bisa dulu dirinya menikahi perempuan seperti ini, bahkan selalu menunggu kembalinya wanita itu dalam hidupnya setelah perceraian mereka, dua tahun lamanya. Bodohnya, ia sanggup mengajak Olivia menikah dengan sebuah kesepakatan akan mengakhiri pernikahan mereka jika Azalea kembali. Barra begitu merutuki kebodohannya tersebut. Hampir saja dirinya benar-benar kehilangan Olivia selamanya, hanya karena seorang Azalea yang tak pantas ditunggu apalagi diperjuangkan. “Bagaimana, Pak? Apa kita sebar sekarang videonya?” Jefri menunggu perintah. “Tahan dulu, Jef. Tadinya aku memang ingin video ini segera kita sebar sebagai balasan dari apa yang sudah mereka lakukan terhadapku. Tetapi setelah video pertengkaran Haris dan Putrinya viral, ditambah amukannya
“Ma...” Haris berusaha memegang pundak Ayuma yang duduk di tepi ranjang sembari membelakanginya. Ayuma hanya diam, air matanya terus saja mengalir. “Ma, berita itu bohong. Papa gak selingkuh. Clarissa main ngamuk-ngamuk aja di sana, sampai akhirnya semua orang melihat kami, lalu menyebar berita seperti apa yang mereka lihat aja,” Haris dengan perasaan khawatir, memberi penjelasan pada sang istri yang sejak tadi diam tak mengatakan apapun. Justru semakin membuatnya takut. Bukankah diamnya wanita bisa menjadi lebih berbahaya daripada marahnya secara langsung? Terlebih Ayuma tipe wanita yang tidak suka marah, lemah lembut, jika merasa sedih hanya memilih menangis, tapi diam-diam, bisa pergi begitu saja. la takut jika sampai seperti itu. “Ma, please... Tolong percaya Papa. Mustahil Papa menduakan Mama. Seperti yang Papa jelaskan tadi, Papa memang mengajak Azalea bekerjasama untuk membuat Barra dan Oliv berpisah. Tapi rencana itu gagal total kok, Ma. Maafkan Papa karena gak memberitahu
Barra berjalan dengan langkah cepat memasuki rumah. la akan langsung menuju ke kamarnya bersama Olivia di rumah itu, segera menemui sang istri. “Barra, sudah pulang?” Tuan Rawless memanggil saat baru saja keluar dari ruang kerjanya bersama Asisten pribadinya. “Kakek,” Barra langsung mendekat, akan menyalami terlebih dahulu. “Assalamu'alaikum, Kek,” Ucapnya, mencium takzim tangan sang Kakek. “Wa'alaikumussalam,” Tuan Rawless tersenyum, namun dapat melihat kegelisahan di wajah Barra. “Kenapa Kakek mengizinkan Elgard masuk ke rumah ini?” Barra langsung bertanya to the point, wajahnya kesal. Tuan Rawless terkesima sesaat. Benar dugaannya, Barra memang sedang gelisah akibat kedatangan Elgard tadi pagi. “Dia tidak masuk ke dalam rumah, Barra. Hanya di halaman saja,” Jawabnya lembut. “Ya tetap saja, Kek. Seharusnya jangan biarkan orang itu memasuki gerbang rumah!” Barra kesal bukan main. Elgard benar-benar sudah menguji kesabarannya sejak lama. “Sebenarnya Ibu kamu udah menyuruh penj
Ceklek Barra membuka pintu kamar, masuk ke dalam dengan menutup kembali pintunya. “Assalamu'alaikum, Sayang,” seru Barra lembut. Olivia yang baru saja menyelesaikan tilawahnya, seketika menoleh pada Barra. Senyumnya merekah melihat Barra tersenyum mendekatinya yang duduk di sofa dekat jendela kamar. “Wa'alaikumussalam warahmatullah, Mas,” Jawab Olivia sembari meletakkan Mushaf di atas meja. “Sudah selesai mengaji?” Barra mengambil duduk di samping Olivia. la selalu kagum melihat istrinya itu ta'at beribadah, menentramkan hati memandangnya, teduh, menyejukkan jiwa. “Udah, Alhamdulillah.” Olivia mencium tangan Barra, seperti biasa saat suaminya pergi dan pulang. “Anak Ayah bagaimana? Habis dingajiin Ibu, ya?” Barra mengelus-ngelus perut Olivia, tak lupa menciumi babybump sang istri. Ada anaknya di dalam sana yang selalu berkembang dengan baik dan sehat. Bangganya Barra. “Iya, Ayah. Dari dalam kandungan, selalu dengerin ayat-ayat Allah supaya kalau gede nanti, mudah ngapalin Qur'
Mobil hitam Alphard tiba di depan rumah.Pria dengan setelan jas kerja yang pas di tubuh tinggi tegapnya, turun dari mobil dengan sorot mata penuh amarah. Berjalan dengan langkah cepat memasuki rumah.Olivia berada di ruang tengah, dapat ia dengar suara pintu terbuka. Tanpa ada ketukan terlebih dahulu. Siapa lagi jika bukan Elgard, suaminya. Hanya mereka berdua yang bisa masuk ke dalam rumah karena sistem keamanan pintu menggunakan sistem pengenalan bentuk wajah.Olivia dengan sikap tenang, berjalan menuju ruang tamu. Akan menemui suaminya yang tiba-tiba pulang ke rumah.Ya.. pria itu biasanya hanya datang sesekali, itupun tak pernah mau melihatnya yang selalu berusaha menyambut dengan senyum cerah. Berharap Elgard mau menetap di rumah yang ia tempati kini setelah resmi menjadi istri dari putra keluarga Nugroho tersebut.Elgard menghentikan langkah saat melihat Olivia telah berdiri di ruang tamu.Wanita itu menatap Elgard dengan raut wajah datar, tak berekspresi. Sudah tahu apa yang
~ CS Bridal Boutique ~ " Mbak Chelsea, ada mas Elgard di luar. Pengen bertemu mbak katanya..." Ucap seorang karyawati butik pada owner tempat ia bekerja. Chelsea membuang napas kasar, jengah. " Bilang saja saya gak ada, Elena!" Jawab Chelsea kembali meneruskan pekerjaannya, mendesain sebuah gaun pengantin. " Elena sudah bilang mbak, tapi mas Elgard nya gak percaya. Dia keukeuh nungguin mbak di depan. Penting katanya." Jelas Elena bingung. Chelsea mendecak, ia merasa tak ingin lagi bertemu Elgard. Apalagi setelah Olivia, istri pria itu mendatanginya dengan maksud melarang agar tidak lagi berhubungan dengan Elgard. Drrt.. Drrt.. Ponsel bergetar lagi. Sejak tadi selalu di hubungi oleh nomor Elgard, namun tak sekalipun ia angkat. Chelsea menggeser tombol merah, tanda tak ingin menerima panggilan telepon Elgard. Elena hanya bisa mengelus dada. Majikannya sedang bertengkar dengan kekasih yang merupakan suami orang. Wajar hubungan mereka tidak pernah berjalan lancar. Me
Ceklek Barra membuka pintu kamar, masuk ke dalam dengan menutup kembali pintunya. “Assalamu'alaikum, Sayang,” seru Barra lembut. Olivia yang baru saja menyelesaikan tilawahnya, seketika menoleh pada Barra. Senyumnya merekah melihat Barra tersenyum mendekatinya yang duduk di sofa dekat jendela kamar. “Wa'alaikumussalam warahmatullah, Mas,” Jawab Olivia sembari meletakkan Mushaf di atas meja. “Sudah selesai mengaji?” Barra mengambil duduk di samping Olivia. la selalu kagum melihat istrinya itu ta'at beribadah, menentramkan hati memandangnya, teduh, menyejukkan jiwa. “Udah, Alhamdulillah.” Olivia mencium tangan Barra, seperti biasa saat suaminya pergi dan pulang. “Anak Ayah bagaimana? Habis dingajiin Ibu, ya?” Barra mengelus-ngelus perut Olivia, tak lupa menciumi babybump sang istri. Ada anaknya di dalam sana yang selalu berkembang dengan baik dan sehat. Bangganya Barra. “Iya, Ayah. Dari dalam kandungan, selalu dengerin ayat-ayat Allah supaya kalau gede nanti, mudah ngapalin Qur'
Barra berjalan dengan langkah cepat memasuki rumah. la akan langsung menuju ke kamarnya bersama Olivia di rumah itu, segera menemui sang istri. “Barra, sudah pulang?” Tuan Rawless memanggil saat baru saja keluar dari ruang kerjanya bersama Asisten pribadinya. “Kakek,” Barra langsung mendekat, akan menyalami terlebih dahulu. “Assalamu'alaikum, Kek,” Ucapnya, mencium takzim tangan sang Kakek. “Wa'alaikumussalam,” Tuan Rawless tersenyum, namun dapat melihat kegelisahan di wajah Barra. “Kenapa Kakek mengizinkan Elgard masuk ke rumah ini?” Barra langsung bertanya to the point, wajahnya kesal. Tuan Rawless terkesima sesaat. Benar dugaannya, Barra memang sedang gelisah akibat kedatangan Elgard tadi pagi. “Dia tidak masuk ke dalam rumah, Barra. Hanya di halaman saja,” Jawabnya lembut. “Ya tetap saja, Kek. Seharusnya jangan biarkan orang itu memasuki gerbang rumah!” Barra kesal bukan main. Elgard benar-benar sudah menguji kesabarannya sejak lama. “Sebenarnya Ibu kamu udah menyuruh penj
“Ma...” Haris berusaha memegang pundak Ayuma yang duduk di tepi ranjang sembari membelakanginya. Ayuma hanya diam, air matanya terus saja mengalir. “Ma, berita itu bohong. Papa gak selingkuh. Clarissa main ngamuk-ngamuk aja di sana, sampai akhirnya semua orang melihat kami, lalu menyebar berita seperti apa yang mereka lihat aja,” Haris dengan perasaan khawatir, memberi penjelasan pada sang istri yang sejak tadi diam tak mengatakan apapun. Justru semakin membuatnya takut. Bukankah diamnya wanita bisa menjadi lebih berbahaya daripada marahnya secara langsung? Terlebih Ayuma tipe wanita yang tidak suka marah, lemah lembut, jika merasa sedih hanya memilih menangis, tapi diam-diam, bisa pergi begitu saja. la takut jika sampai seperti itu. “Ma, please... Tolong percaya Papa. Mustahil Papa menduakan Mama. Seperti yang Papa jelaskan tadi, Papa memang mengajak Azalea bekerjasama untuk membuat Barra dan Oliv berpisah. Tapi rencana itu gagal total kok, Ma. Maafkan Papa karena gak memberitahu
Barra mengamati video dari ponsel Jefri dengan seksama. la mengerutkan kening melihat bagaimana agresifnya Azalea mencumbu bibir Haris di restaurant. Perut Barra bagai diaduk-aduk, seketika merasa mual, Azalea benar-benar murahan. Bagaimana bisa dulu dirinya menikahi perempuan seperti ini, bahkan selalu menunggu kembalinya wanita itu dalam hidupnya setelah perceraian mereka, dua tahun lamanya. Bodohnya, ia sanggup mengajak Olivia menikah dengan sebuah kesepakatan akan mengakhiri pernikahan mereka jika Azalea kembali. Barra begitu merutuki kebodohannya tersebut. Hampir saja dirinya benar-benar kehilangan Olivia selamanya, hanya karena seorang Azalea yang tak pantas ditunggu apalagi diperjuangkan. “Bagaimana, Pak? Apa kita sebar sekarang videonya?” Jefri menunggu perintah. “Tahan dulu, Jef. Tadinya aku memang ingin video ini segera kita sebar sebagai balasan dari apa yang sudah mereka lakukan terhadapku. Tetapi setelah video pertengkaran Haris dan Putrinya viral, ditambah amukannya
“Munafik! Om itu suka sama aku, tapi di depan anak Om, Om bilang jijik sama aku. Muna!” teriak Azalea pada Haris, mengejutkan pria itu. “Kamu?” Haris melotot pada Azalea. “Apa? Emang benar kan kalau aku ini simpanan Om. Kita sering ketemuan diam-diam tanpa ada orang yang tau. Om suka minta ketemuan, kalau gak di hotel, di rumah aku, atau di villa milik keluarga Om!” Azalea membalas, mengeluarkan kebenciannya dengan mengarang cerita. “Apa yang kamu bicarakan? Kamu mau menfitnah saya_” Haris kaget. Tak menyangka Azalea bisa sebejat ini. “Hei, kamu!” tunjuk Azalea pada Clarissa yang tengah menahan emosi memuncak di ubun-ubunnya, “Papa kamu ini memang berselingkuh sama aku. Dia selalu mendapatkan kepuasan dari tubuh aku, dari pelayanan aku di atas ranjang. Dia selalu mengeluh kalau dia gak bisa terpuaskan dari Mama kamu yang udah gak muda lagi itu. Udah menopause katanya, gak gurih lagi! Dia merasa hampa karena kebutuhan biologisnya kurang terpenuhi dari Mama kamu, sehingga dengan keh
“Baiklah. Kamu akan saya lindungi dari kasus pencemaran nama baik ini. Mobil dan apartemen juga akan saya siapkan. Uang bulanan akan selalu saya transfer ke rekening kamu!” Haris menahan gemuruh emosi di dada. Azalea seketika mengembangkan senyum senang. Akhirnya ia memiliki ATM berjalan sekarang. “Thank's, Om sayang...” bisiknya di telinga Haris yang langsung menjauhkan kepalanya dari wajah Azalea. “Awas saja kalau kamu sampai membawa-bawa nama saya. Habis kamu, Azalea!!” Haris memperingatkan dengan serius. “Sure. Aku sebenarnya senang bekerjasama dengan Om. Om memang baik banget aslinya_” Azalea mengelus lembut paha Haris, hingga ke bagian dalam pahanya. “Singkirkan tangan menjijikkan kamu itu, Betina!!” Haris murka. Perutnya seketika mual, jijik akan sentuhan Azalea. “Om munafik. Bilang aja Om suka tapi takut istri, kan?” ledek Azalea. “Kalau Om mau, kita bisa ke hotel tempat aku menginap. Aku puasin Om karena udah baik banget sama aku! Gimana?” “Jalang!” bentak Haris Nugroho
“Oh iya, titip salam sama Haris ya. Saya ke dalam dulu,” Tuan Rawless tanpa basa basi untuk mengantarkan Elgard sampai ke mobil, justru masuk ke dalam rumah. Tak ada tawaran untuk Elgard agar masuk dulu ke dalam rumah, disuguhkan minuman, atau mengobrol layaknya memperlakukan seorang tamu. Elgard termangu sendirian. Perlakuan keluarga Rawless sangat dingin. Tidak memarahinya berlebihan ataupun menghujat karena perbuatannya dulu, tapi tidak pula beramah tamah. Ini lebih menyakitkan sebenarnya. la dengan langkah gontai, kembali ke mobil. Pendekatan yang direncanakan, gagal. Sedang Olivia tak sedikitpun mau berlama-lama bertatap muka dengannya. Olivia semakin lama semakin jauh, sulit digapai. Ini pasti karena larangan Barra. “Oliv...” lirihnya saat telah duduk di dalam mobil. “Semakin kamu bersikap cuek seperti ini, semakin kuat juga keinginan aku untuk memiliki kamu. Aku gak pernah merasakan rasa cinta yang menggebu-gebu seperti ini sebelumnya, perasaan yang sudah terlalu besar untu
“Baguslah masalah cepat selesai. Kakek cuma ingin hubungan kamu dan Barra baik-baik saja, tidak terpengaruh dengan apa yang terjadi kemarin. Yang Kakek mau, kalian berdua selalu kuat dan saling percaya satu sama lain,” pinta Tuan Rawless. Ujian cinta sepasang suami-istri itu pasti akan selalu ada, namun jangan sampai membuat keduanya terpisah lagi. “InsyaAllah kami berdua kuat, Kek. Oliv percaya Mas Barra sepenuhnya,” ungkap Olivia, meyakinkan sang Kakek. Tin tin... Suara klakson mobil terdengar di luar gerbang rumah, tampak security berbicara pada pemilik mobil yang ingin masuk. “Siapa, Pa?” Amanda menyipitkan mata melihat ke arah mobil di depan pos penjaga. “Papa juga gak tau,” Tuan Rawless mengangkat kedua bahunya. Olivia mengerutkan alis, itu seperti mobil seseorang yang ia kenal. Tampak Security setengah berlari menghampiri ketiganya. “Tuan, ada tamu yang ingin bertemu,” ucap Security memberitahukan. “Siapa?” Tuan Rawless tak merasa ada janji temu dengan seseorang. “Nam
“Stt, jangan kencang-kencang ngomongnya,” bisik Amal, mengedarkan pandangan ke arah Barra dan yang lain. “Diiih, lepasin!” Syifa menepis tangan Amal yang seenaknya menyentuhnya. “Maaf,” Amal jadi tak enak hati. “Kenapa kamu ada di penginapan waktu itu? Kamu sengaja mengikuti Pak Barra?” tanya Syifa, masih dengan tatapan menyelidik. Amal terdiam. Ketahuan sudah. Mau berkilah bagaimana lagi? “Ibu Amanda yang suruh?” tanya Syifa lagi. “Hem, ya. Tapi bukan karena Ibu ingin mencurigai Pak Barra. lbu cuma ingin memastikan Pak Barra gak diganggu Azalea,” Amal terpaksa jujur. “Lalu, kamu disuruh apa? Berjaga-jaga kalau-kalau Azalea mendatangi Pak Barra ke penginapan itu? Kalau ya, kenapa Azalea masih juga bisa masuk ke dalam kamar? Kamu kenapa gak mengusirnya sejak awal?” Syifa mendesak penjelasan dari Amal. Amal yang tak bisa lagi membantah, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Kok kamu bingung gitu? Aku kasi tau Pak Barra sekarang!” Syifa hendak berbalik kepada Bar