Mentari pagi menyinari wajah Olivia dari arah jendela kamar. Gadis cantik yang sebentar lagi akan menyandang status janda namun belum pernah terjamah itu, baru saja selesai melaksanakan ibadah rutin paginya di kamar~dhuha time. Usai berdoa meminta ketenangan dan kekuatan, senyum kebahagiaan terpatri di bibirnya, menggambarkan hati yang cerah bagaikan pagi ini. Olivia sudah bangun pagi-pagi sekali di hari yang telah di tunggu-tunggu. Ia mandi dan akan berangkat menuju pengadilan agama. Hari ini adalah sidang terakhir perceraiannya dengan Elgard Mario Nugroho, suami yang selama ini tak pernah menerima kehadirannya dalam kehidupan pria itu. Ia merasa secercah kebahagiaan menyelimuti hatinya, seolah akan terbebas dari belenggu yang selama ini menghimpit hidupnya. Saat melirik jam dinding, Olivia segera bergegas bangkit dari duduknya di atas hamparan sajadah. Membuka mukena, melipat sajadah dan menyusun di tempat semula. Ia meregangkan badannya, lalu mengusap wajahnya dengan lembut.
' Chelsea!!! Apa yang kamu lakukan disini?? Aku kan udah bilang jangan datang!! Kamu bikin suasana makin panas, arrgh!!' gerutu Elgard di dalam hati, kesal pada wanita yang begitu ia cintai itu. Sementara Olivia yang menyadari kehadiran Mertuanya dan juga keberadaan wanita idaman lain di hati suaminya, hanya bisa tersenyum miris. Dirinya tak peduli lagi. Tak butuh waktu berjam-jam, dirinya akan menyudahi pernikahan dengan pria itu. Resmi secara Agama dan Negara. Sidang dimulai dengan pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum. Olivia merasakan perasaan yang bercampur aduk, ada rasa lega karena sebentar lagi semua akan berakhir. Namun juga ada rasa sedih yang mendalam karena tak pernah menyangka memiliki pernikahan menyedihkan seperti ini. Jauh dari kata langgeng, harmonis, sekali untuk seumur hidup. Tak berbeda dengan Elgard. Pria itu seharusnya merasa bahagia. Terlebih ada Chelsea yang datang memberi dukungan dan semangat padanya. Ada calon bayinya juga di dalam perut wanit
Liana sang pengacara hanya bisa geleng-geleng kepala. Pelakor memang tak punya malu. Bahkan bangga pada kelakuannya yang terlihat murahan. "Aku permisi Elgard." Ucap Olivia hendak pergi, tak ada keinginan berlama-lama di dekat mantan suaminya itu. Urusan mereka udah selesai. "Olivia..." Elgard menghentikan langkah Olivia, Chelsea pun kaget. Ada apa dengan Elgard? Bukankah pria itu selalu mengatakan muak dan jijik melihat Olivia? "Kamu sekarang tinggal dimana? Apa yang kamu lakukan sehari-hari?" Tanya Elgard ingin memastikan Olivia hidup dengan baik. "Apa-apaan kamu El?? Apa urusan kamu mau tau dia tinggal dimana, melakukan apa sehari-hari." Bentak Chelsea, tak terima kekasihnya memberi perhatian pada mantan istri pria itu. "Chelsea, tolonglah..." Elgard meminta pengertian Chelsea, dirinya hanya sedang bersikap respect terhadap mantan istrinya. Itu saja. "Kamu!!" Chelsea geram, Elgard menyebalkan di matanya." Olivia, jangan sampai kamu baper ya! Calon suami aku, bukan sedan
Langit biru yang cerah terbentang luas di kepala, dengan beberapa awan putih yang berarak perlahan, seolah-olah menghiasi langit seperti kapas. Sinar matahari menyinari bumi, memberikan kehangatan yang menyenangkan bagi semua yang menikmatinya. Pohon-pohon bergerak perlahan mengikuti alunan angin, membuat suara gemericik yang menenangkan. Di kejauhan, bunyi burung-burung riang terdengar, menciptakan simfoni alam yang indah. ~ Barra Malik Virendra ~ Pria tampan berusia dua puluh sembilan tahun yang di kenal sebagai pewaris tunggal perusahaan besar UD Entertainment. Ia merupakan anak satu-satunya dari pemilik perusahaan tersebut, membuatnya menjadi sorotan media dan banyak orang. Apapun berita mengenai dirinya yang di kenal rupawan namun tertutup, membuat banyak orang penasaran untuk mengetahui bagaimana kehidupan pribadi sang CEO. Barra memiliki wajah yang rupawan, dengan mata tajam yang menawan dan rambut hitam pekat yang selalu terjaga kebersihannya. Tubuhnya yang tin
Ya, Barra adalah pria yang pernah menikah. Memiliki seorang istri yang cantik, yang menjadi dambaan laki-laki. Azalea Stefani. Namun, kebahagiaan mereka berdua tidak berlangsung lama. Azalea memutuskan untuk bercerai dari Barra dan pergi meninggalkannya. Kejadian itu membuat Barra sangat terpukul dan menyesali pernikahannya yang tak bisa bertahan lebih lama. Sejak saat itu, Barra berubah menjadi pria yang dingin dan sulit untuk di ajak bercanda. Hatinya menjadi tertutup dan tidak mudah untuk bisa menerima cinta dari wanita lain. Setiap kali melihat wanita cantik, Barra hanya bisa mengingat mantan istrinya yang pernah menjadi miliknya dan pergi meninggalkannya tanpa alasan yang jelas. Jefri Harisson, sang asisten, berjalan mendekati Barra, putra pemilik UD Entertainment yang terkenal dingin, yang tengah berolahraga di ruang gym. Dengan napas terengah-engah, Barra menepuk keringat di dahinya sebelum menghentikan treadmill yang sedang ia gunakan. "Ada apa, Jef?" Tanya Barra denga
Olivia berdiri di pinggir jalan sambil memberi makan kucing-kucing jalanan. Ini adalah kebiasaan yang selalu ia lakukan setiap hari, sebelum masuk kantor. Senyum manis terukir di wajahnya, mencerminkan kebahagiaan hati setelah resmi bercerai dari Elgard. Rasa bebas yang di rasakannya, membuat Olivia lebih menikmati hari-hari dengan penuh syukur. 'Makan yang banyak ya anak-anak.' ucapnya tersenyum riang. Angin berhembus lembut, membuat hijab yang menutupi kepalanya bergoyang anggun. Tanpa di sadarinya, kecantikan dan kelembutan yang ia miliki, berhasil mencuri perhatian seorang pria yang sedang duduk di dalam mobilnya yang berhenti tak jauh dari tempat Olivia memberi makan kucing. Sosok Olivia yang menawan itu seolah menancap dalam benak pria tersebut. Matanya tak bisa lepas dari pemandangan gadis yang terlihat begitu tulus dan lembut dalam berinteraksi dengan kucing-kucing jalanan. Di sisi lain, Olivia yang tak menyadari tatapan pria tersebut, terus saja memberi makan kuci
Olivia melangkah masuk ke dalam lobby perusahaan yang megah. Di tangannya, ia memegang sebuah paper bag berukuran sedang, berisi sekotak cake enak untuk nanti di makan bersama tim kerjanya di divisi IT. Seorang security bagian depan membukakan pintu kaca tinggi dan lebar lobby tersebut untuknya. " Silahkan Mbak Olivia..." Ucap security ramah. " Terima kasih Pak." Balas Olivia tak kalah ramah. Sembari berjalan, Olivia merasa semakin percaya diri dan siap menghadapi apa yang menanti di hari kerjanya. Ia dengan wajah senyum berjalan di sepanjang lobby UD Entertainment yang megah, menciptakan suasana mengesankan bagi siapapun yang memasuki gedung ini. Lantai marmer mengkilap seperti cermin, mencerminkan langit-langit tinggi yang di hiasi lampu gantung kristal, memancarkan cahaya yang cukup, namun tidak menyilaukan. Dinding-dindingnya di lapisi panel kayu jati, menambahkan kesan elegan dan rasa kehangatan pada ruangan yang luas ini. Di sudut, terdapat meja resepsionis yang terbuat
" Aah, mana nanti aku harus ikut meeting perdana lagi sama beliau. Deg-degan aku..." Salah satu mereka memegang dada, gugup bukan main. Olivia tersenyum, bermaksud menghibur," Jangan khawatir. Semua pasti akan baik-baik saja. Kita semua bekerja keras dan profesional, jadi gak ada alasan untuk takut, bukan?" Ucapnya membuat beberapa karyawan merasa sedikit lebih tenang dan mengangguk setuju. " Oke deh, aku ke MIT dulu yah..." Olivia hendak pamit. " Eh, by the way. Kamu dari mana Olivia? Kok cantik banget sih hari ini?" Tanya salah seorang mereka, menghentikan langkah Olivia. " Aku izin telat pagi ini karena ada urusan keluarga." Jawab Olivia, tak terlalu menjelaskan. " Wah, apa ada acara lamaran? Kamu mau nikah ya?" Goda mereka, tak tahu bagaimana kehidupan pribadi Olivia sesungguhnya. " Haa... Masa acara lamaran pagi-pagi ? Nggak kok!" Sanggahnya. Lebih baik tak ada yang tahu jika dirinya baru saja bercerai. Orang akan tahu siapa mantan suaminya nanti. Siapa yang tidak k
Olivia bersenandung ringan. la baru saja mengeringkan rambut panjangnya dengan hair dryer, selesai keramas. Rasanya begitu segar. Kaki indah Olivia melangkah ke lemari pakaian, akan mengambil baju rumahannya untuk dipakai. Ceklek! Pintu kamar dibuka dari luar, tampak Barra masuk dengan mata tak berkedip ke arahnya yang masih mengenakan handuk singkat membalut tubuhnya sebatas dada dan pangkal paha. Barra berjalan mendekati Olivia yang menutup pintu lemari setelah mendapatkan daster santai yang ia pilih. “Mas, udah selesai meetingnya? Kok cepat?” Olivia terheran. Suaminya sudah masuk kamar saja. Barra tak menjawab. Tangannya langsung meraih tubuh Olivia, menarik pinggang istri cantiknya itu ke dalam dekapannya. Hug! “M-Mas...” Olivia terkesiap, tatapan Barra membuat tubuhnya meremang. Kedua tangan pria itu memeluk kencang pinggangnya hingga tubuh mereka menempel rapat. “Rindu kamu Sayang!” Ungkap Barra untuk pertama kalinya memanggil Olivia dengan mesra, langsung di depan yan
Mobil Amanda tiba di PT. LV-RAWLESS ENERGY. Vincent membantu membukakan pintunya, mempersilahkan sang Nyonya turun. “Ibu ada beberapa jadwal rapat sampai sore. Kamu bisa pulang saja dulu Vincent, temani Adnan bermain ya,” Ucap Amanda setelah turun dari mobil. “Terimakasih, Bu,” Vincent menatap Amanda melangkah pergi bersama para staff perusahaan yang dari tadi telah menunggu Pimpinan sebenarnya PT. LV-RAWLESS itu di depan lobbi. la buang napas kasar. Sejak tadi rasanya begitu tegang dan sesak. Hatinya tak tenang. Jika pengkhianat seperti Margaretha dan Helen diperlakukan seperti tadi, bagaimana dengan dirinya dan Nia nanti? Mereka masih aman karena belum ketahuan telah mengkhianati kepercayaan sang Nyonya. Jika sampai ketahuan, bisa habis mereka berdua, terutama Nia yang sangat ia khawatirkan. Drrt... Ponsel Vincent tiba-tiba bergetar saat dirinya sedang larut dalam kekhawatiran. la terkejut, cepat-cepat menerima panggilan masuk tersebut. “Ini siapa?” Lirihnya dengan mengernyi
“Tunggu! Apa maksudnya ini? Aku mau diapakan Manda!!” pekik Margaretha, histeris dengan tubuh bergetar hebat. “Kamu maling! Hukuman untuk maling ada pada tangannya!” Jawab Amanda menegaskan. “Kamu kejam!!!” Teriak Margaretha, tak mau. “Aku memang kejam! Dan bukan hanya tangan, tetapi sedikit demi sedikit bagian tubuh lainnya juga akan mendapat perlakuan yang sama setiap harinya!” Amanda berwajah bengis, menyeramkan. “Mandaaa... Jangan lakukan itu...” Margaretha menjerit-jerit, ketakutan. “Lakukan di sini, sekarang juga. Biar wanita pengkhianat itu bisa melihat langsung!” Tunjuk Amanda pada Helen yang menggigil. “Baik, Bu!” dua wanita penjaga menarik kasar Margaretha, mendudukkannya di kursi dengan mengikat masing-masing pergelangan tangannya di pegangan kursi. Margaretha berteriak, meraung-raung, histeris saat pembalasan Amanda disegerakan. Amanda tersenyum sinis, dirinya begitu puas bisa memberikan pelajaran pada istri Laksmana ini atas apa yang telah dilakukannya. Tatapanny
“Ada apa, Pa?” Elgard terheran melihat Haris Nugroho tiba-tiba mendatanginya ke ruang wakil Presiden direktur. “Kamu dari mana? Kenapa baru ada jam segini di kantor,” Haris Nugroho mendengus kesal. “Dari rumah sakit. Tadi nemani Chelsea cek kandungan.” “Hah, dia lagi!” Haris Nugroho selalu muak jika sudah mendengar nama menantunya itu. Elgard menatap sang Ayah. Haris Nugroho memang tak peduli sedikit pun pada calon bayinya di kandungan Chelsea. Tak pernah menanyakan keadaannya. “Tadi Papa datang ke rumah Paman Abraham Rawless untuk berkunjung sekaligus kembali menjalin hubungan baik dengan keluarga Rawless.” Ungkap Haris Nugroho to the point. “Benarkah? Kenapa Papa gak ajak Elgard?” Elgard seketika excited. “Papa aja habis disemprot karena gak menjaga Olivia dengan baik. Apalagi kamu yang udah nyia-nyiain cucunya. Bisa mati kamu!” Elgard terhenyak, benar juga. “Seharusnya kita dan keluarga Rawless adalah dua gabungan keluarga besar yang luar biasa. Tetapi gara-gara kamu, kita
“Sudah tau di mana Oliv?” Amanda bertanya, namun tatapannya tetap fokus pada tangannya yang menandatangani beberapa berkas di atas meja kerjanya. Vincent diam sejenak, sedang mengatur kata-kata yang tepat untuk disampaikan. Nyonya majikannya masih diliputi amarah yang besar. “Belum, Bu. Pak Jefri tidak pernah pergi ke suatu tempat yang diduga sebagai kediaman baru Pak Barra. Kami sudah mengawasi kemana pun dia pergi. Dia hanya ke UD Entertainment, lalu pulang ke rumah Tuan Rawless. Penthouse Pak Barra pun kosong setelah orang kita menyelidiki ke sana. Dan Pak Barra tidak ke Kantor sehingga kita tidak bisa mengikuti kemana dia pulang. Kami kehilangan jejaknya,” Jelas Vincent, hati-hati. Aura Amanda begitu dingin, membuat suasana di dalam ruang kerja wanita itu tegang mencekam. Amanda mengepal kuat jari jemarinya, tengah menahan amarah. “Dia pintar sekali. Putriku pasti disekap di suatu tempat. Aku tidak tau bagaimana keadaan Oliv sekarang di tengah kehamilan mudanya. Barra memisahka
“Jadi sekarang Dokter rajin memperdalam ilmu agama?” Tanya Barra serius.“Ya. Saya kan imam untuk istri dan anak-anak saya, jadi saya harus bisa memimpin mereka dengan cara selalu upgrade diri dengan ilmu agama yang luas,” Jelas Dokter Andrew.“Kalau Dokter punya waktu, bisa ajak saya sekalian ikut belajar ke ustadz-nya Dokter,” Barra berinisiatif. Ucapan dokter di hadapannya ini, membuka pikirannya tentang seorang pemimpin dalam rumah tangga yang harus berilmu.“Tentu, dengan senang hati. InsyaAllah saya kabari kapan ada kajian rutin dengan ustadz ya,” Dokter Andrew menyambut denganantusias.Barra benar-benar puas. Baru ini ia menemukan teman yang asik diajak mengobrol dan berbagi cerita.“Nah, itu istri saya,” Dokter Andrew menunjuk ke arah seorang wanita anggun berhijab yang sedang menyapa Olivia dengan ramah. ltu Dokter Anita, istrinya.Keduanya mendekati para istri, ikut bergabung.“Udah selesai praktek polinya, Sayang?” Tanya Dokter Andrew pada sang istri.“Udah, Mas. Sekarang
Barra kembali mendekati Dokter Andrew, sedang Olivia duduk dengan dijaga bodyguard yang siaga. “Bagaimana kabar Dokter? anda terlihat luar biasa,” Ungkapnya. “Alhamdulillah, namanya juga udah berkeluarga, udah ada istri yang menemani dan mengurus semua kebutuhan saya. Ditambah sudah punya dua orang jagoan. Hati jadi selalu senang, hidup penuh semangat,” Dokter Andrew berseri-seri. “Jadi anak anda sudah dua, keduanya laki-laki?” Barra lagi-lagi takjub. “Ya, Muhammad Azzam Daniel, dan Muhammad Izzam Daniel. Dua jagoan kebanggaan saya!” Dokter Andrew begitu bangga. Anak-anaknya adalah cucu kebanggaan Sultan Daniel. “Hem, luar biasa. Berapa umur mereka sekarang?” Barra cukup antusias sebagai seorang calon ayah, dirinya ikut senang mendengar kebahagiaan Dokter Andrew. Akan merasakan hal seperti itu juga tak lama lagi. “Alhamdulillah sekarang Azzam sudah tujuh tahun. Sudah SD kelas satu. Kalau Izzam, masih tiga tahun. Lagi lucu-lucunya,” Dokter Andrew begitu bangga menceritakan ke
“Sebenarnya berhubungan suami istri juga memberikan manfaat. Ada yang namanya Hormon Oksitosin yang dilepaskan secara alami saat berhubungan intim, dimana dapat merangsang ikatan dan keintiman yang baik antara ibu hamil dan suami. Lebih tepatnya mempererat bonding selama kehamilan.” Tambah Dokter Anita Iagi, semakin membuat Barra bersemangat. ‘Harus dengan cara yang tepat, hem.’ Gumamnya dalam hati. la lirik Olivia yang masih mengobrol dengan Dokter Anita, senyum samar terbit di wajahnya yang biasanya selalu tampak datar. ‘Bersiaplah, Sayang!’ Barra membatin, sudah tak sabar untuk segera menagih jatah dari istrinya itu. Terlebih Olivia belum sempat ia beri pelajaran yang tak terlupakan karena telah pergi meninggalkan dirinya selama satu bulan lebih. Hari ini istri cantiknya itu tak akan bisa lepas lagi. °°° “Duh, Mas, foto USG-nya diliatin mulu...” Goda Olivia mengulum senyum. Barra sejak keluar dari ruang Dokter tadi, seakan tak mau berhenti menatapi gambar janin dari print-an
~ROYAL HOSPITAL~ Mobil mewah berwarna hitam yang membawa Barra dan Olivia, melaju pelan hingga berhenti tepat di depan rumah sakit. Di belakangnya, beberapa mobil bodyguard telah lebih dulu parkir dan membentuk formasi ketat. Barra dan Olivia turun dari mobil, diiringi oleh tatapan tajam para bodyguard yang siap mengawal mereka. “Tuan, Nyonya, kami akan mendampingi Anda selama berada di rumah sakit,” Ujar salah satu bodyguard dengan sikap hormat. “Ya, dua tiga orang saja yang ikut masuk. Selebihnya tetap siaga di luar. Kita juga tidak boleh menimbulkan ketidaknyamanan pengunjung rumah sakit lainnya,” Titah Barra. “Baik, Tuan!” Ketua bodyguard tersebut menginstruksikan pada rekannya yang lain untuk melakukan apa yang diperintahkan sang Bos. Olivia menoleh ke Barra, heran dengan kehadiran penjaga yang begitu banyak. “Mas, apa ini? Kenapa banyak penjaga? Apa ada bahaya?” Tanyanya, wajahnya tampak cemas. Barra menatap Olivia dengan tatapan lembut, lalu menggenggam tangan i