Olivia melangkah masuk ke ruangan IT dengan senyum cerah di wajahnya. " Assalamu'alaikum, semuanya!" Ucapnya memberi salam. Para staff IT yang sedang sibuk bekerja di depan komputer mereka masing-masing, serentak menoleh dan menjawab salam Olivia dengan penuh semangat. Di tangannya terlihat sebuah paper bag yang menarik perhatian rekan-rekan kerjanya itu. " Wa'alaikumsalam, Olivia cantik." Serempak mereka menjawab dengan senyum mengembang karena akhirnya bisa juga melihat sesuatu yang indah dan bening di ruangan tersebut. Ya, memang di bagian IT, di dominasi karyawan pria. Karena di perusahaan tempat Olivia bekerja, ruangan IT menjadi wilayah yang di kuasai oleh para karyawan pria. Bukan tanpa alasan, pekerjaan yang ada di divisi ini memang cukup berat dan menguras energi. Para karyawan harus sering kali lembur untuk mengejar deadline, terutama mereka yang bertugas di bagian teknis yang harus siap dengan IT support seperti hardware, software, jaringan dan sistem komputer, j
" Iya, Pak Barra itu juga gak peduli sama cewek cantik. Bagi dia, yang paling cantik cuma mantan istrinya." Farhan tergelak. " Mantan istri?" Olivia terkejut mengetahui sang CEO pernah menikah dan gagal. Sama seperti dirinya. " Iya. Pak Barra itu pernah menikah, tapi dengar-dengar kabar, katanya di tinggalin istrinya. Istrinya minta cerai, gak tau kenapa?" Arya mengangkat kedua bahunya. " Mungkin dia selingkuh kali ya, makanya istrinya marah lalu minta cerai." Nanda pasang wajah julid. " Ah, masa sih Pak Barra selingkuh? Dia aja dingin sama semua cewek. Dia kayaknya cinta banget sama istrinya itu." Dafa membantah. " Kita gak tau apa masalahnya. Tapi yang jelas, setelah bercerai, Pak Barra jadi makin parah dinginnya. Kalau gak suka sama sesuatu, langsung emosi. Mungkin perceraian membuat dia depresi." Ungkap Farhan. Olivia masih terdiam. Dirinya juga mengalami perceraian, di abaikan, di selingkuhi, juga di usir keluarganya dari rumah, tapi tak sampai depresi hingga gampang
Siang, pukul 12.00 wib. Ini jam makan siang. Semua karyawan yang bukan di bagian pelayanan, bergegas mengisi perut ke ruang khusus makan para karyawan UD Entertainment. Ruang makan perusahaan itu tampak luas dan nyaman, dengan meja-meja panjang yang tertata rapi dan kursi ergonomis yang disediakan untuk para karyawan. Dinding-dindingnya dihiasi dengan beberapa lukisan yang menampilkan pemandangan alam, menciptakan suasana yang tenang dan menenangkan. Di salah satu sudut, terdapat meja buffet yang berisi berbagai macam hidangan lezat, mulai dari makanan tradisional hingga internasional. Aroma menggoda dari masakan tersebut menggantung di udara, membangkitkan selera makan para karyawan yang sedang istirahat. Di sisi lain, terdapat stasiun minuman yang menyediakan aneka pilihan, mulai dari air mineral, jus buah, hingga kopi dan teh hangat. Para karyawan terlihat antusias mengambil porsi makanan mereka, mengobrol santai sambil menikmati hidangan yang telah disajikan. Dari wajah m
Malam itu, Tuan Virendra, Ayah dari Barra Malik Virendra dan istrinya Syafira, sedang duduk di belakang mobil mewah yang melaju menuju restoran ternama di kota. Mereka berdua diundang untuk menghadiri makan malam penting bersama sahabat lama mereka, Dirgantara dan istrinya Sari. Maksud dari makan malam ini adalah untuk mengenalkan putra dan putri mereka satu sama lain dengan harapan menjodohkan keduanya. Syafira tampak gelisah di kursi belakang mobil, menyesuaikan gaun malam yang ia kenakan. Virendra yang menyadari kegelisahan istrinya, segera menggenggam tangan Syafira dan tersenyum menenangkan. "Tenang aja, sayang. Mereka sahabat kita, jadi gak perlu gugup," Ucap Virendra berusaha menenangkan istrinya. Syafira menghela napas panjang, kemudian tersenyum tipis. "Aku tau, sayang. Tapi aku gak yakin Barra mau datang. Selama ini kita selalu mengajak dia datang untuk berkenalan dengan Putri teman-teman kita, dan dia gak pernah datang." ungkap Syafira yang sudah pesimis duluan. "Kali
Malam itu, Olivia duduk di meja makan di apartemennya yang sederhana, menikmati hidangan buka puasa yang telah ia siapkan sesudah sholat Maghrib tadi.Hidangan tersebut didominasi oleh berbagai jenis sayuran hijau segar dan buah-buahan yang beraneka warna.Olivia memandang piring di hadapannya dengan senyum puas, mengetahui bahwa ia telah menjalankan ibadah puasa sunat dengan baik pada hari Kamis ini.Meskipun hanya seorang diri di apartemen sederhananya, Olivia tetap merasa bersyukur. la mengambil sepotong pepaya, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Rasanya manis dan segar, membuat Olivia tersenyum semakin lebar.la tahu bahwa hidupnya mungkin tampak sepi, namum la percaya bahwa Tuhan selalu ada di sisinya, memberinya kekuatan dan kebahagiaan.Olivia melanjutkan makan malamnya dengan penuh rasa syukur, menikmati setiap suapan salad sayuran dan buah yang ia makan. Ia merasa tenang dan damai, merasa bahwa hidupnya cukup lengkap meskipun ia hanya hidup sendiri. Tak ada orang tua, saudara
Barra duduk dengan wajah frustasi di kursi kebesarannya di ruangan CEO tersebut.Pandangan matanya kosong, menatap hampa di depannya, sambil menggenggam kuat kedua tangannya di atas meja kerja.Permintaan Syafira agar dirinya harus membawa calon istri ke hadapan ibunya itu hanya dalam waktu dua minggu, membuat perasaannya kalut bercampur kesal.Barra menghela napas panjang, mencoba meredakan emosinya yang bergejolak. Baginya, permintaan ibunya itu seperti mimpi buruk yang tak terelakkan. Bagaimana mungkin ia bisa menemukan calon istri dalam waktu yang begitu singkat?Dahi Barra berkerut, sorot matanya begitu nyalang menunjukkan kemarahan di dalam jiwa. Ia lalu berdiri, berjalan ke jendela, dan menatap langit yang mendung. Pikiran Barra melayang, mencari jalan keluar dari situasi yang kian terpojokkan.Entah berapa lama Barra terdiam di depan jendela, hingga suara pintu terbuka membuatnya menoleh, Asisten pribadinya, Jefri, masuk dengan wajah cemas."Pak Barra? Apa yang terjadi? Anda s
Ruangan Divisi IT dipenuhi dengan gemeretak keyboard dan bisikan kipas pendingin di dalam komputer yang tidak pernah berhenti bekerja. Staf IT duduk di meja yang diatur secara strategis, masing-masing dengan beberapa layar komputer yang menampilkan kode dan grafik yang rumit. Wajah mereka tampak fokus, mencerminkan konsentrasi yang mendalam untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Di sudut ruangan, Arya membungkukkan tubuhnya untuk merapikan kabel-kabel yang acak-acakan yang menjuntai di lantai, sementara yang lain mengangguk setuju saat menerima instruksi dari atasan mereka melalui headset yang terhubung ke komputer. Dinding ruangan dihiasi dengan papan tulis putih yang penuh dengan diagram dan catatan, menciptakan semacam peta pikiran yang menjadi bukti kerja keras mereka. Di antara kesibukan pekerjaan, ada aroma kopi yang kuat menyebar di udara, memberi semangat bagi mereka yang mulai merasa lapar menjelang makan siang ini. Setiap karyawan tampak bersemangat menjalan ruti
Barra tanpa sadar, masih tak melepas tatapannya pada Olivia. Menatap dengan intens. Olivia pun merasa semakin canggung, bingung, sedikit gugup karena khawatir ada yang salah pada dirinya hingga kenapa CEO dingin itu memandanginya begitu lekat sulit diartikan. Rangga yang telah jauh berjalan lebih dulu meninggalkan Barra dan Jefri, akhirnya tersadar juga jika dirinya hanya berjalan dan mengoceh seorang diri sedari tadi. la kembali tergesa-gesa mendekati Barra. "Bar, ayo kita jalan sekarang." ajaknya merasa heran melihat sahabatnya yang terpaku. la menyadarkan Barra dari lamunan pria itu, menepuk bahu Barra dan mengingatkan bahwa mereka harus segera pergi makan siang ke restoran yang telah direservasi. Barra tersentak dari lamunannya yang berusaha mengingat dimana pernah melihat Olivia. Ia mengangguk. Sadar bahwa telah membuat suasana menjadi tidak nyaman. Dengan langkah berat dan raut wajah penasaran, pria itu melanjutkan langkah bersama Rangga dan Jefri, namun matanya masih s
“Nona,” panggil Jefri saat mereka sudah keluar dari pintu lobby. “Eh, ma-maaf. Aku gak sadar. Maaf ya.” Clarissa melepaskan tangan Jefri, jadi malu sendiri. “Tidak apa-apa.” Jefri tersenyum tipis. “Wuaah... Kamu senyum barusan? Manis banget, Jefri,” Clarissa terpukau-pukau. Suka melihat senyuman Jefri yang baru ini bisa ia lihat secara langsung. Jefri lagi-lagi terhenyak, kembali salah tingkah dengan pujian Clarissa. Wanita di dekatnya ini ekspresif ternyata. Berbeda dengan dirinya yang cukup calm. “Oh, iya. Sebelumnya maaf ya. Aku pengen traktir kamu, tapi untuk kali ini, aku traktir makannya di tempat biasa aja ya. Uang aku pas-pasan,” jelas Clarissa, berterus-terang di awal. Jefri terperangah. Seorang Clarissa Nugroho hanya memiliki uang pas-pasan? “Kamu gak keberatan kan kalau kita makan di tempat yang murah meriah?” Clarissa memastikan dulu. “Oh, saya tidak mempermasalahkan soal itu. Yang penting bisa makan, sudah cukup,” balas Jefri, penasaran dengan apa yang sebenarnya
Olivia tersadar. Ucapannya barusan malah membuat Barra merasa bersalah. “Eh, kok minta maaf, Mas? Aku gak bermaksud mengungkit yang buruk-buruk. Aku cuma nostalgia ke pertama kalinya kita bicara empat mata. Maaf udah bikin Mas gak enak hati,” Olivia mengusap-usap lengan Barra yang memeluk dadanya, mengecup tangan kekar suaminya itu. Barra balikkan tubuh Olivia agar menghadap langsung padanya. “Itu keputusan yang sangat Mas sesali dalam hidup. Kalau saja waktu itu Mas ajak kamu menikah bukan karena sebuah kesepakatan, mungkin masalah besar yang sempat memisahkan kita, tidak akan pernah terjadi,” Ungkapnya dengan sorot mata penuh penyesalan. “Hu'um. Dan kita mungkin aja gak akan pernah menikah sampai mau punya anak seperti sekarang,” Olivia tersenyum, melirik ke bawah pada perutnya. “Karena mustahil Mas ajak aku nikah, Mas gak kenal aku, apalagi mencintai aku. Mungkin memang seperti itu cara Allah menyatukan kita, dengan Mas mengajak aku nikah supaya gak dijodohkan sama Dokter Syahna
Mobil yang membawa Olivia menuju UD Entertainment, sudah hampir tiba.Olivia tersenyum. Suaminya sejak tadi menanyakan sudah di mana posisinya. Barra cerewet sekali jika sudah menyangkut istrinya.Drrt... Drrt...Suara getar ponsel membuat Olivia cepat-cepat melihat siapa yang menelepon. Sudah pasti suaminya.Olivia terheran. Ini bukan nomor suaminya, tetapi nomor baru yang belum tersimpan di kontak telepon. ‘Siapa, ya?’ batinnya.“Assalamu'alaikum?” jawabnya, menerima panggilan masuk tersebut.“MasyaAllah, Kak Risa?” Olivia seketika excited, ternyata dari Clarissa.Jefri yang duduk di depan, di samping supir, sontak merasa penasaran saat mendengar nama perempuan yang terakhir kali bertemu dengannya satu minggu lalu. Clarissa kala itu tengah di bawah pengaruh alkohol, meninggalkan memori tak terlupakan.Malam itu, Putri Haris Nugroho tersebut mengatakan suka padanya dan mengajaknya menikah.Jantung Jefri berdebar setiap kali mengingat kejadian itu. Dan sekarang mendengar namanya saja,
“Wah, ini enak-enak semua, Nona. Eh, Nyonya maksudnya.” Bu Inun takjub dengan beberapa menu masakan yang telah Olivia siapkan untuk dibawa ke kantor Barra. “Alhamdulillah, senang banget bisa masakin suami makanan yang enak. Ni kesukaannya Mas Barra semua, Bu,” Ungkap Olivia puas. Dirinya dibantu Bu Inun menutup kotak-kotak bekal tersebut, dan memasukkannya ke dalam totebag. “Itu benar. Ada kepuasan tersendiri kalau bisa buatin makanan kesukaan suami. Pantesan aja Tuan Barra makin bucin, ya.” Bu Inun terkekeh, ia sudah tahu jika tuannya itu begitu tergila-gila pada Nyonya mudanya ini. Sedari tadi wanita paruh baya itu suka menatapi Olivia yang terlihat cantik dan modis dengan penampilannya. “Heem, suami bucinnya akuh, hee... ” Olivia menimpali, ikut nyengir. “Tapi emang banyakan gitu, Nyonya. Suami-suami yang kelihatan dingin dan arogan di depan orang lain, rata-rata bucin sama istrinya. Kalau udah sayang sama satu perempuan, biasanya mencintai secara ugal-ugalan,” Ungkap Bu In
“Pak, rapat dewan direksi akan dilangsungkan hari ini juga,” jelas sang Sekretaris. Haris melirik Asistennya yang sedari tadi mendampinginya di ruangan tersebut, “Membahas tentang video viral itu?” tanyanya setelah menarik napas dalam-dalam. “Tepatnya tentang Bu Clarissa yang sudah melakukan keributan di restaurant Emily Kitchen pekan lalu, Pak. Beberapa dewan direksi terusik dengan kelakuan Bu Clarissa yang dianggap tidak pantas sebagai seorang Presiden Direktur Nugroho Group. Mereka takut citra buruk Bu Clarissa itu membuat para investor atau relasi bisnis mundur dari kerjasama yang telah disepakati. Mereka tidak mau Pimpinan Nugroho group adalah orang bar-bar dan brutal sehingga membuat malu perusahaan. Begitu kata beberapa dari mereka yang melakukan protes,” ungkap Raisa. Haris mengepalkan tangannya. “Itu karena selama ini diantara mereka iri pada Putriku! Mereka ingin yang menjadi Presdir adalah mereka yang mustahil aku setujui. Kalau memang alasannya Clarissa bersikap bar-bar
Haris Nugroho memasuki lobi Perusahaannya dengan langkah berat. Ada juga pengacara dan asisten pribadi yang mengiringi langkahnya menuju ruang kerjanya. Biasanya, ia akan menyapa dan tersenyum ramah kepada para karyawan yang ditemui. Namun sekarang, tepatnya beberapa hari ini, wajahnya selalu dingin dan tak ada lagi senyum yang tersungging. Sorot matanya tajam dengan raut wajah menunjukkan banyaknya permasalahan dan kekecewaan yang mendalam. Karyawan yang biasa menyapa dengan sopan dan antusias, hanya bisa memberikan hormat dari kejauhan, hati-hati mengucapkan salam sembari berbisik-bisik setelah dirinya lewat. Mereka semua tahu tentang skandal yang menimpa bos mereka tersebut. Sebuah video yang memperlihatkan Haris Nugroho dilabrak putrinya karena ketahuan berselingkuh dengan Azalea Stevani di sebuah restoran mewah, telah viral dan masih menjadi topik panas selama satu minggu belakangan. Semua ini benar-benar sudah menghancurkan reputasi dan martabat seorang Haris Nugroho yang se
Azalea berjalan gontai diiringi oleh petugas sipir lapas, memasuki lorong panjang, melewati sel-sel yang sesak dan pengap. Rambutnya yang kusut dan wajahnya yang pucat, mencerminkan keputusasaan yang mendalam. Saat Pintu besi berderit tertutup, dia merasakan seolah seluruh dunia telah meninggalkannya. Di dalam sel, beberapa tahanan wanita yang sudah lebih dulu berada di sana, menatapnya dengan sinis. Bisikan dan tawa kecil terdengar, menghujam hatinya yang sudah remuk. Azalea mencoba untuk tidak menangis, namun air matanya lolos terus tanpa bisa dibendung. Setelah putusan sidang yang dijalani, dirinya dinyatakan bersalah dan akhirnya sekarang dipindahkan ke tempat mengerikan ini. Tak ada pembelaan dari pengacara handal seperti yang dijanjikan Haris Nugroho beberapa hari lalu. Haris Nugroho lepas tangan. Bahkan saat di persidangan, malah balik menyerangnya dengan mengatakan dirinya mengadu domba pria itu dengan Barra Malik Virendra. Haris juga mengaku telah dijebak olehnya yang
Pukul 19.00 wib— “Pa, Mama gak mau dengerin penjelasan Elgard,” Elgard jadi frustasi. Ayuma-sang ibu masih marah besar pada Haris Nugroho. “Mama masih ngunci kamar?” Haris melemas, rumah tangganya sebelumnya tak pernah seperti ini. Selalu harmonis, berdua istrinya itu. “Masih. Elgard aja disuruh keluar tadi. Kata Mbak, dari siang tadi Mama gak makan sampai malam ini. Elgard takut Mama sakit, Pa,” Elgard khawatir. Haris mengusap kasar wajahnya. Dirinya tak diizinkan masuk kamar oleh Ayuma. Wanita itu sudah marah besar. Biasanya tak pernah bersikap seperti ini. “Aarh! Ini ulah Clarissa. Dia mempermalukan keluarga!” “Pa, udahlah. Kenapa malah nyalahin Kakak? Papa juga ngapain mau dirayu si Azalea? Pake ciuman segala di tempat umum,” Elgard menatap kecewa pada Haris. “Kamu, Elgard. Percaya kamu kalau Papa begituan sama si Jalang itu? Papa aja gak nyangka dia melakukan itu. Semua terlalu mendadak dan di saat bersamaan, Kakak kamu melihat sampai akhirnya salah paham,” Jelas Haris, ke
Ceklek Barra membuka pintu kamar, masuk ke dalam dengan menutup kembali pintunya. “Assalamu'alaikum, Sayang,” seru Barra lembut. Olivia yang baru saja menyelesaikan tilawahnya, seketika menoleh pada Barra. Senyumnya merekah melihat Barra tersenyum mendekatinya yang duduk di sofa dekat jendela kamar. “Wa'alaikumussalam warahmatullah, Mas,” Jawab Olivia sembari meletakkan Mushaf di atas meja. “Sudah selesai mengaji?” Barra mengambil duduk di samping Olivia. la selalu kagum melihat istrinya itu ta'at beribadah, menentramkan hati memandangnya, teduh, menyejukkan jiwa. “Udah, Alhamdulillah.” Olivia mencium tangan Barra, seperti biasa saat suaminya pergi dan pulang. “Anak Ayah bagaimana? Habis dingajiin Ibu, ya?” Barra mengelus-ngelus perut Olivia, tak lupa menciumi babybump sang istri. Ada anaknya di dalam sana yang selalu berkembang dengan baik dan sehat. Bangganya Barra. “Iya, Ayah. Dari dalam kandungan, selalu dengerin ayat-ayat Allah supaya kalau gede nanti, mudah ngapalin Qur'