Olivia menatap piring kosong di meja makan, sisa-sisa makan siang yang baru saja ia selesaikan. Ruangan itu di penuhi oleh teman-teman kerja yang juga baru saja menghabiskan makan siang mereka. Semua tampak bercengkrama dan tertawa berbagi cerita tentang pekerjaan maupun kehidupan pribadi. Mereka bersiap untuk kembali bekerja, melanjutkan rutinitas harian mereka, begitu pun Olivia dan rekan-rekannya di departemen IT. Di tengah-tengah keramaian itu, tiba-tiba ponsel di saku Olivia bergetar. Ia merogoh ponselnya dan melihat nama di layar, hatinya berdegup kencang. Itu adalah informan yang ia tugaskan untuk mencari keberadaan ibunya yang telah lama hilang. “Amal?”Lirih Olivia sambil melirik ke sekitar terlebih dahulu. kawan-kawannya tengah sibuk mengobrol satu sama lain.Dengan berbisik, Olivia menjawab panggilan telepon tersebut, berusaha agar tidak di dengar oleh rekan-rekan kerja di dekatnya.“Amal, apa ada informasi baru?”Tanya Olivia dengan suara penuh harap.“Ya, saya baru saja
Mobil Jefri berhenti di depan gerbang sebuah pekarangan rumah besar, kediaman Abian Stevano.la keluar dari dalam mobil, mendekati pos satpam penjaga. "Permisi, selamat siang." Sapanya pada sang penjaga."Ya, siang. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya seorang satpam keluar dari posnya, menyambut kedatangan Jefri."Apa benar ini rumahnya Olivia Seraphina?" Tanya Jefri.Sang satpam terdiam sejenak. Dengan ragu, ia menjawab pertanyaan Jefri. "Ya benar. Maksudnya, ini rumah orang tuanya Non Olivia. Mas ini siapa ya?""Oh, saya temannya Olivia. Boleh saya bertemu dengannya?" Uji Jefri."Waduh, Non Olivia udah gak tinggal disini lagi." Jawab sang Satpam dengan tatapan sendu."Tinggal dimana ya? Boleh saya minta alamatnya?" Jefri sedikit heran dengan raut wajah Pria paruh baya itu."Saya juga ndak tau, Mas.""Siapa Pak Karyo?" Tanya seorang wanita yang tiba-tiba mendekati Satpam dan Jefei. Raut wajahnya menyelidik pada Asisten pribadi Barra itu."Oh ini Non Angel, ada temannya Non Oliv, nanyain
•• UD ENTERTAINMENT •• Ammar duduk di ruang kerjanya yang luas dan megah, dengan dinding berwarna abu-abu gelap melingkupi ruangan tersebut, menambah kesan serius dan profesional. Meja kerja berbahan kayu mahoni berukuran besar dan kursi kulit hitam yang empuk, menunjukkan kemapanan dan otoritas. Di atas meja, laptop keluaran terbaru dan berbagai dokumen penting tersusun rapi, menunjukkan kerapian dan ketertiban sang CEO. Rak buku yang tinggi di salah satu sudut ruangan berisi buku-buku tebal dan jurnal bisnis, mencerminkan pengetahuan dan kebijaksanaan seorang Barra Malik Virendra. Di sepanjang dinding, terdapat beberapa lukisan hitam putih yang abstrak, menciptakan suasana yang artistik namun tetap sopan. Pencahayaan yang di atur dengan baik, menghasilkan semburat cahaya yang cukup terang untuk bekerja namun tidak menyilaukan mata. Di tengah ruangan, terdapat sebuah karpet tebal berwarna abu-abu yang melapisi lantai, menyerap setiap langkah kaki dan menciptakan suasana henin
~ Dua hari kemudian~ Olivia duduk di depan laptopnya dengan ekspresi serius yang menyelimuti wajahnya. Jari-jemarinya lincah mengetik di papan ketik, mencari informasi mengenai sindikat penculikan terorganisir yang dikenal kejam di Negara ini. Ia ingin mengetahui lebih dalam mengenai sindikat ini, bagaimana mereka melakukan aksi keji mereka dan apa yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut. Pikiran Olivia terus melayang pada Ibunya yang hilang delapan belas tahun lalu. Ia benar-benar harus bisa menemukan informasi mengenai orang yang diduga menyewa sindikat ini untuk menculik ibunya. Rasa penasaran dan keinginan untuk menemukan kebenaran, membuat Olivia tak bisa tidur nyenyak di tiap-tiap malamnya. Layar laptop menyala terang, menampilkan berbagai artikel dan berita mengenai sindikat tersebut. Olivia membaca setiap detail yang tersedia dengan penuh perhatian, mencatat poin-poin penting yang mungkin bisa membantunya mencari tahu lebih jauh. Sesekali, ia menemukan foto korba
Olivia tertegun sejenak menatap tas branded kesayangan yang berada di pangkuannya. Kali ini, ia benar-benar harus merelakan koleksi kesayangannya itu untuk di jual. Keperluan mendesak mengharuskannya mengumpulkan uang dalam waktu singkat, dan menjual tas branded adalah pilihan yang di anggap paling tepat untuk saat ini. Sambil menghela napas, Olivia menggenggam tas itu erat-erat sebelum akhirnya meletakkannya kembali ke dalam kotak. Ia merapikan kotak tersebut, lalu mengambil selembar kertas dan menuliskan catatan tentang kondisi tas dan harga yang di harapkan. Setelah itu, Olivia berangkat ke toko tas mahal yang berada di pusat perbelanjaan mewah. Dengan langkah pasti dan wajah yang meyakinkan, Olivia menyerahkan kotak berisi tas kesayangannya itu kepada petugas toko. “Maaf, saya ingin menjual tas ini. Ini tas original dan masih dalam kondisi sangat baik.” Ujar Olivia. Petugas toko mengecek tas tersebut dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia lalu menawarkan harga yang ses
Gadis berhijab itu menarik napas dalam-dalam sebelum melangkahkan kaki masuk ke dalam ruang kerja Barra. Saat di minta Syifa untuk segera masuk, ia pun akhirnya memberanikan diri melangkah. Langsung terlihat sosok Barra yang duduk di kursi kebesarannya di belakang meja kerja. Tak jauh darinya, Jefri sang Asisten pribadi, berdiri mendampingi. Jantung Olivia berdebar kencang, tak bisa di pungkiri bahwa ia merasa gugup berada di depan sang CEO yang terkenal dingin dan ekspresinya tak terbaca itu. Barra menatap Olivia dengan sorot mata tajam, sulit di artikan. Tatapan itu membuat bulu kuduk Olivia merinding, seolah-olah Barra bisa membaca isi hatinya yang paling dalam. Ruangan ini terasa sangat dingin, bahkan udara di sekitar mereka seolah-olah bisa memotong kulit. Olivia menelan ludahnya, berusaha menenangkan diri sebelum ia mulai bicara. “D-dikatakan pada saya bahwa Anda meminta saya datang kesini, Pak Barra?” Ujar Olivia dengan suara yang sedikit gemetar. Ia menyesali dirinya
“Informan saya terlanjur di ketahui mencari tau tentang penculikan ibu saya oleh mereka yang sekarang sudah banyak berganti dengan orang yang baru dan lebih muda.” Olivia melanjutkan, “Dia di kejar hingga nyawanya nyaris melayang kalau saja tidak berhasil kabur setelah di bantu oleh seseorang yang misterius, entah siapa? Itu sebabnya mulai saat ini saya dan dia gak bisa saling menghubungi dulu untuk sementara waktu yang tidak pasti.” “Saya mencari tau tentang kelompok sindikat ini. Saya berhasil masuk ke satu situs rahasia online tentang seluk-beluk sindikat ini. Sampai akhirnya saya di sarankan untuk menghubungi seseorang yang pernah menjadi bagian dari sindikat itu. Dari dia, saya bisa mendapatkan informasi dimana keberadaan ibu saya sekarang dan siapa yang membayar mereka udah menculik ibu saya. Dan juga apa motifnya.” Ujar Olivia dengan wajah tegang. “Lalu?” Barra menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dengan kedua tangan bersidekap dada. “Untuk bisa mendapatkan informas
Olivia terpaku, matanya membulat sempurna, tak mampu berkata-kata setelah mendengar ucapan dingin Barra yang baru saja menawarkan dirinya agar menikah dengan pria itu. Pikirannya berkecamuk, seolah tak mampu mencerna apa yang baru saja ia dengar. Sementara itu, Barra menatap tajam pada Olivia yang masih diam seribu bahasa, menunggu respon darinya. Jika wanita lain, sudah pasti mereka akan histeris dan berseri-seri jika mendapat tawaran menikah dengan seorang Barra Malik Virendra. Namun, Olivia tak seperti itu. Ia masih terdiam, menatap Barra dengan pandangan bingung. Barra sendiri sebenarnya tak ingin melakukan ini. Namun demi ibunya yang terus mendesaknya untuk menikah, ia terpaksa menawarkan sebuah pernikahan pada Olivia. Waktunya tak banyak karena Syafira hanya memberikan waktu dua minggu saja, dan sekarang sudah berlalu beberapa hari. Ia hanya ingin Syafira segera berobat, kesehatan wanita itu yang paling penting baginya saat ini. “Kenapa diam? Tidakkah kamu mau menjawab
Pukul 20.25 wib. Barra duduk dengan menyandarkan punggung di sandaran sofa ruang tengah, sembari memegang ponselnya. Matanya fokus menatap banyaknya ungkapan terkejut sekaligus ucapan selamat dari para kenalan yang mengikutinya di media sosial atas pernikahannya yang baru diumumkan hari ini. Akhirnya, senyum di bibir pria itu tak dapat juga ditahan-tahan. Barra tersenyum puas dan senang melihat beberapa foto, berikut video pendek dirinya dan Olivia di pantai tadi, yang dibagikan Jefri sebagai admin akun pribadi miliknya. Jefri duduk di sofa yang berseberangan dengan Barra, ikut sumringah melihat raut wajah bahagia puas bosnya. “My love?” Barra mengerutkan kening membaca caption salah satu foto yang di posting Jefri. “Stay with me forever?” lanjut Barra antusias. “Kamu dapat kata-kata seperti itu dari mana?” tanyanya, cukup excited melihat inisiatif sang asisten yang membubuhkan kata-kata romantis difoto dirinya dan Olivia tanpa disuruh. “Oh itu, saya suka liat orang
“Tidak! Ini tidak benar!” Azalea menggeleng-gelengkan kepalanya, tak terima dengan fakta yang baru saja ia dengar. Barra-nya telah menikah lagi? “Kamu pasti salah! Gak mungkin Barra Malik Virendra menikah dengan perempuan lain. Dia udah janji akan menunggu sampai aku kembali lagi padanya, kapanpun aku mau...” Sanggah Azalea, masih tak percaya dengan apa yang Vincent katakan. Vincent menggaruk kepalanya, bingung. Kenapa juga istri simpanan Laksmana itu menolak untuk percaya pada penjelasannya? “Salah bagaimana ya? Saya dikirim kesini dengan mempertaruhkan nyawa karena Pak Barra yang ingin menyelamatkan ibu mertuanya, Amanda Rawless. Dan nyonya bukankah istri Laksmana? Kenapa mengaku-ngaku sebagai istri bos saya?” Vincent membuang napas kasar. Kenapa wanita ini sebenarnya? “Aku Azalea Stefani, istri Barra Malik Virendra! Kamu pasti pernah mendengar tentang kami sekitar dua tahun lalu sebagai pasangan suami istri yang serasi dan saling mencintai. Jangan bilang kamu gak pernah d
“Tapi di media sosial, Oliv gak ada sama sekali membagikan postingan bersama Barra Malik Virendra. Dia juga udah lama gak aktif di medsos kayaknya?” Clarissa mencoba untuk mencari tahu di akun media sosial Olivia tentang berita pernikahan mantan istri Elgard itu dengan seorang Barra Malik Virendra, seperti yang dikatakan adiknya tersebut. Elgard dan Haris Nugroho melihat Clarissa yang sibuk menscroll layar ponselnya, ingin mendapatkan informasi yang pasti. “Mungkin di media sosial Barra Malik Virendra ada.” ucap Haris Nugroho. “Duh, aku udah follow akunnya tapi belum di confirm pa. Medsosnya di private soalnya. Lo bisa El?” Tanya Clarissa pada Elgard yang juga telah standby melihat layar ponsel miliknya. “Gue dan Barra Malik Virendra sama-sama saling follow sebagai sesama pebisnis.” Jawab Elgard pada sang kakak. “Gue rasa di laman media sosialnya, Barra Malik Virendra itu gak pernah memposting tentang kehidupan pribadinya. Kayaknya gak bakal ada postingan bersama Oliv disa
“Siapa yang menyelamatkan Olivia?” Clarissa ikut penasaran. “Yang pasti bukan Elgard, Clarissa!” Sindir Haris lagi, membuat Elgard menelan ludah. “Barra Malik Virendra, CEO UD Entertainment, putra Virendra yang sekarang menggantikan ayahnya! Dialah yang udah menyelamatkan Olivia yang merupakan karyawannya!” Jawab Haris Nugroho menjelaskan. “Papa tau soal itu?” Elgard tak menyangka. “Papa kan sudah bilang, ada orang suruhan papa yang selalu mengawasi Olivia! Termasuk di perusahaan itu sendiri, salah satu karyawannya adalah orang yang papa bayar untuk menjaga dan terus melaporkan apapun yang terjadi pada Olivia. Tapi sekarang dia kehilangan jejak Olivia yang entah tinggal dimana, papa gak bisa tenang memikirkan menantu papa itu!” Haris menghela napas panjang. “Jadi begitu? Itu artinya papa juga udah tau kalau Olivia punya hubungan istimewa dengan_Barra Malik Virendra?” Elgard bertanya dengan menguatkan hati, perasaannya begitu resah. Berharap Haris Nugroho mengatakan bahwa Olivia b
Ia melihat penjaga depan kamar tersebut hendak pergi dari sana.“Suster, saya ke toilet dulu. Jangan sampai perempuan gila itu keluar dari kamar.” teriak sang penjaga dari luar. “Ya!” sahut seorang wanita yang mungkin adalah suster dari perempuan gila yang dimaksud. Vincent menunggu penjaga benar-benar pergi dengan mengintip dari balik tembok, “Sepertinya itu memang kamar Nyonya Amanda.” Gumam Vincent sambil melangkah pelan ke pintu kamar tersebut. Ia lalu mengintip dari kaca kecil yang ada di pintu. Tampak seorang wanita seperti berpakaian perawat tengah menyuapi seseorang makan.“Itu...” Vincent terkesiap. Seseorang yang sedang disuapi makan itu adalah seorang wanita yang bisa ia tebak adalah Amanda. Wajahnya meski tak semuda difoto yang Jefri beri, tetapi tetap mirip. Itu memang ibu mertua Barra Malik Virendra.“Aku menemukannya...!” Vincent begitu lega.“Apa yang kamu temukan?”Deg!Vincent terperanjat. Seseorang dari belakang mengulang kembali kata-katanya.Ia menoleh perlahan
“Pak, kita pulang sekarang?” tanyanya akan bersiap juga. “Tidak Jef. Istriku ingin mencari Masjid terdekat dari sini. Kami sholat magrib dulu. Kamu juga ikut. Ayo!” “Sholat?” Jefri terperangah, seorang Barra Malik Virendra mau sholat? Barra yang memperdulikan ekspresi terkejut Jefri, akan masuk juga ke dalam mobil. “Pak, sebentar. Lihat ini.” Jefri cepat-cepat menunjukkan hasil rekaman video maupun foto-foto Barra dan Olivia yang ia ambil tadi. Barra dengan wajah berseri-seri, melihat satu persatu foto dan video yang Jefri ambil di layar ponsel asistennya tersebut. “Ini sangat bagus. Kamu merekam kami?” Barra senang bukan main. Puas pada inisiatif asistennya itu. “Ya Pak. Siapa tahu mau disimpan sebagai momen indah yang tak terlupakan untuk anda dan nyonya.” “Jef, posting beberapa foto kami ini di beberapa media sosialku. Video pendeknya juga. Semua orang dan relasi bisnisku harus tau siapa istriku! Terutama Laksmana Sanjaya!” Titah Barra mantap. “Siap Pak!” Jefri bersemangat
“M-Maksudnya?” Olivia berdebar-debar. Barra menatap serius ke mata Olivia. Ia kemudian mengambil sesuatu dari saku celananya, menunjukkan pada Olivia. “Ini... Ini bukankah?” Olivia menatap bingung pada sepasang cincin yang ditunjukkan Barra di depan matanya. “Ini cincin pernikahan kita yang tidak pernah kita pakai. Waktu kamu dirawat di rumah sakit, Jefri dan Syifa saya suruh merombak kamar kamu dan memindahkan semua barang-barang kamu ke kamar utama kita. Mereka menemukan cincin nikah kamu di laci kamar itu, kamu menyimpannya di sana.” jelas Barra mengejutkan Olivia. “Mulai detik ini, kita akan pakai cincin nikah kita Olivia. Kamu dan saya.” Lanjut Barra dengan tatapan penuh keseriusan. Tak tampak oleh Olivia kepura-puraan di mata pria itu. “Kita...?” Olivia masih sulit mempercayai semua ini. Barra serius mengajaknya hidup bersama? “Ya, kita!” Barra tak buang waktu, langsung memakaikan cincin milik Olivia di jari manis istrinya itu. “Sekarang giliran kamu. Pakaikan cincin di j
Olivia semakin mendekati Barra, “Jadi selama ini anda sebenarnya _ngefans ya sama aku!” lanjutnya dengan tatapan penuh kecurigaan, wajah Barra terlihat gugup tetapi lucu. “Fans?” Barra yang sempat berdebar-debar menanti apa yang ingin Olivia katakan, spontan terpana. Ternyata istrinya malah berpikir seperti itu. Tadinya ia pikir Olivia sudah tahu sesuatu yang begitu sulit ia ungkapkan dari hati terdalamnya, tepatnya perasaannya yang semakin ia sadari setelah malam pertama mereka. “Hem, kalau ngefans, kenapa gak bilang? Pake alasan mau ambil gambar sunsetnya. Padahal isinya foto aku semua!” Olivia melipat kedua tangannya di dada, menyipitkan mata dengan senyum menggoda Barra. “Siapa bilang saya ngefans sama kamu? Yang benar aja! Tadi sudah saya katakan, saya hanya membantu mengambil foto kamu yang sedang menikmati sunset. Itu foto untuk kamu juga, bukan untuk saya!” Barra meraih ponselnya ditangan Olivia, namun dengan cepat wanita itu tahan. “Tapi aku gak pernah minta difotoin, an
“Anda juga sering ke pantai seperti ini?” Tanya Olivia. Ia yakin jika ini bukan pertama kalinya Barra membawa wanita bersamanya menikmati suasana pantai yang eksotis. Bersama Azalea dulu, pasti Barra sering kesini. “Waktu masih kecil, bersama Mommy dan Daddy. Tapi setelah dewasa, tidak pernah lagi. Baru ini saya ke pantai lagi setelah sekian lamanya, bersama kamu.” Jawab Barra jujur, masih menatap keindahan senja di depan mereka. Olivia terpana, “Benarkah?” tanyanya sulit mempercayai. “Menurut kamu saya punya waktu hanya untuk sekedar menghabiskan waktu sendirian di sini?” Olivia terdiam. Apa itu artinya Barra dan Azalea tidak pernah ke pantai menghabiskan waktu bersama? ‘Mungkin mereka keluar kota, atau keluar negeri kalau mau quality time ya.” batinnya, menerka. “Kenapa diam? Kamu tidak percaya saya baru datang ke pantai lagi setelah seusia ini?” “Hem, ya! Kayaknya gak mungkin. Pasti ada beberapa kali atau satu kali aja anda ke sini menikmati pantai yang cantik bersama Bu Az