“Kenapa Anda memilih saya? Anda bahkan sudah mencari tahu tentang saya sebelumnya secara mendalam.” Olivia pasang wajah serius, merasa di manfaatkan walaupun hatinya memang membenarkan jika tawaran Barra adalah satu-satunya jalan keluar baginya. “Saya rasa kamu memenuhi kriteria yang diinginkan ibu saya!” “Saya janda. Apa mungkin orang tua anda mau punya menantu seorang janda di saat anda bisa mendapatkan gadis yang belum pernah menikah!” “Itu biar saya yang mengurusnya, sekarang kamu cukup memberi jawaban ya atau tidak!” Tukas Barra, sorot matanya tetap dingin, sikapnya tenang tak berekspresi. “Jangan bilang anda akan membohongi orang tua anda bahwa saya belum pernah menikah. Saya yakin mereka tidak bodoh Pak. Mereka pasti akan mencari tau tentang saya!” Olivia ragu, tak yakin dengan rencana Bosnya tersebut. “Saya sudah katakan, biar itu semua menjadi urusan saya! Kamu tinggal membuat keputusan, akan menerima tawaran saya, atau menolak!” Tegas Barra lagi. Olivia terdiam. Ia mer
Olivia keluar dari gedung apartemennya dengan langkah terburu-buru. Ia menghampiri sebuah mobil yang terparkir di depan, tampak seorang pria sudah berdiri tegap di samping mobil mewah tersebut. “Pak Jefri, ada apa anda memintaku bersiap-siap?” Tanya Olivia setelah mendekati Asisten pribadi Barra itu. “Nona ikut saya sekarang. Pak Barra meminta saya untuk membawa Nona ke salon kecantikan agar penampilan Nona semakin mengesankan. Hari ini Pak Barra akan membawa Nona bertemu dengan Tuan dan Nyonya Virendra.” Ujar Jefri, seperti biasa dengan ekspresinya yang datar. “Bertemu orang tua Pak Barra? Sekarang?” Olivia terkejut. Dirinya belum mempersiapkan diri sama sekali. Jefri membukakan pintu mobil di bangku belakang. “Ayo, silahkan masuk Nona!” Pintanya santun namun tegas. Olivia yang berdiri terpaku, dengan penuh keterpaksaan dan keraguan, akhirnya masuk ke dalam mobil. Setelah menutup pintu mobil bagian Olivia dari luar, Jefri ikut masuk ke bangku depan, di sebelah sopir. Mobil se
Olivia sendiri pun sebenarnya tak dapat membantah jika dirinya memang terlihat lebih baik setelah di make over oleh tangan terampil penata busana tadi. Ia berharap semoga saja pertemuan nanti berjalan lancar. Namun, di balik sedikit kelegaan yang ia rasakan, ada kekhawatiran yang menghantui pikirannya. Apakah keluarga Barra akan akan menerima dirinya seutuhnya, atau hanya karena penampilan semu yang kini ia kenakan? Seandainya saja kecantikan hatinya juga dapat dilihat oleh keluarga Barra, bukan hanya kecantikan fisiknya yang memukau... Kini Olivia pun sudah bersiap-siap untuk bertemu dengan orang tua Barra. Dengan hati berdebar dan langkah gontai, ia berjalan keluar dari pusat kecantikan itu, diiringi tatapan kagum dari para pegawai salon. “Pak Jef, aku udah selesai! Lalu sekarang?” Tanya Olivia pada Jefri yang telah kembali pada pembawaannya yang tegas dan profesional. “Kita langsung ke kediaman Tuan Virendra Nona. Pak Barra sudah lebih dulu di sana.” Jawab Jefri. “Aku gugup j
Syafira tersenyum lebar saat ia membawa Olivia duduk di ruang keluarga, tepat di sampingnya. Gadis itu tampak cantik dengan hijab yang ia kenakan, menutup auratnya dengan sempurna. Di seberang mereka, Barra, putri Syafira yang selalu berekspresi dingin itu duduk berdampingan dengan Virendra, sang Ayah. Syafira tak bisa menutupi kebahagiaannya, mengetahui bahwa putranya yang selama ini tidak tertarik untuk menikah lagi, ternyata mampu memilih calon istri sesuai dengan yang ia minta yaitu seperti Olivia. Olivia merasa canggung dan gugup saat duduk di samping calon ibu mertuanya, lebih tepatnya mertua yang tak akan bisa selamanya menjadi bagian dari hidupnya. Ia memainkan ujung jilbabnya yang rapi, mencoba meredakan kegugupan yang ia rasakan. Sementara itu, Barra menatap Olivia dengan pandangan yang sulit di tebak. Hatinya merasa lega karena telah berhasil memilih calon istri yang sesuai dengan harapan ibunya, namun ia juga sedikit merasa bersalah pada Syafira dan Virendra, karen
Waktu sudah memasuki sore hari, Olivia melirik jam tangannya, sedikit resah namun berusaha di tutupi. “Kenapa Olivia? Kamu gak betah ya disini?” Tanya Syafira tersenyum. Dirinya justru sangat ingin berlama-lama dengan calon menantunya itu. Syafira seperti baru saja mendapatkan seorang teman cerita yang bisa ia ajak mendiskusikan segala hal, terutama masalah agama. “Bukan Mom...” Sanggah Olivia cepat. “Oliv mau numpang sholat asar dulu, boleh?” Bisiknya pada Syafira. Syafira terhenyak. Benar juga, dirinya bahkan lupa jika gadis yang duduk bersamanya itu tak pernah melewatkan sholat lima waktu. “Tentu Oliv, Mommy juga mau ikut sholat aah... Ayo kita sholat berjamaah.” Ajak Syafira bersemangat. Seumur hidup wanita itu tak begitu memikirkan masalah akhiratnya, karena terlalu di sibukkan dengan urusan duniawi. Kini, memasuki usia paruh baya, hatinya mulai memberontak. Lelah dengan segala hiruk pikuk duniawi. Meski memiliki segalanya, tetap saja selalu ada yang ia rasakan dalam hi
“Mom... Mommy pasti sembuh. Itu sebabnya Pak Barra bela-belain nikahin Oliv demi Mommy mau menjalani pengobatan di luar negeri, di tangani dokter terbaik dan ahli. Ini ikhtiar yang bisa di lakukan, InsyaAllah bernilai pahala yang besar di sisi Allah.” Olivia merasa sedih mengetahui apa yang di alami wanita yang tulus padanya itu. Sama seperti ibunya Elgard, begitu tulus pada dirinya seperti ibu kandung sendiri. Tetapi sayang, anak-anak mereka yang tak menyukai dirinya. “Aamiin, Mommy semakin bersemangat setelah melihat siapa calon mantu Mommy.” Ungkap Syafira. Ia tiba-tiba menggenggam kedua tangan Olivia, menatap gadis itu begitu dalam. “Mommy janji, Mommy akan se-effort mungkin mendapatkan kesembuhan. Karena Mommy pengen hidup lebih lama lagi, bersama Dad, Barra, kamu dan cucu-cucu Mommy. Semoga Allah sempatkan Mommy menikmati hari-hari tua Mommy dengan anak-anak kalian ya, karena jujur Mommy belum mau mati Olivia. Mommy masih pengen melihat Barra punya anak bersama kamu.” “Mom b
Malam itu, jalanan kota Jakarta tampak masih hidup dan penuh energi. Olivia duduk di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang. Menyusuri jalan-jalan yang di kelilingi oleh gedung-gedung tinggi yang berdiri megah. Lampu-lampu di gedung-gedung itu berkelap-kelip. Menciptakan pemandangan kota yang menakjubkan dan mempesona. Seiring mobil bergerak, Olivia dapat melihat berbagai aktivitas yang terjadi di sekitarnya. Orang-orang yang sedang berjalan kaki atau berkendara, menciptakan suasana yang ramai dan dinamis. Suara klakson mobil dan suara mesin kendaraan yang berseliweran, menambah semarak suasana malam Jakarta. Sementara itu, di langit yang gelap, bintang-bintang tampak bersinar di kejauhan, seolah-olah menjadi penonton setia untuk kehidupan malam kota yang tak pernah tidur ini. “Pak Jefri...” Panggilnya pelan pada Jefri yang duduk di depan, di samping supir. “Ya Nona?” Jefri menoleh ke belakang, pada calon istri Bosnya. “Bisa kita mampir ke suatu tempat sebentar?”
“Ayah bilang suami selingkuh karena istri yang gak bisa membuat suami tertarik padanya? Menurut Ayah, suami yang berselingkuh, berzina, tapi istri yang harus instrospeksi diri??” Ulang Olivia lagi. Olivia tergelak sinis. Ia menggeleng-gelengkan kepala, geram mendengar apa yang Ayahnya itu katakan. “Tentu aja Ayah bilang seperti itu. Karena Ayah pun dulu juga berselingkuh dari Ibu kan?? Ayah selingkuh dengan teman baik Ibu, si Helen! Tapi Ayah gak pernah merasa bersalah sama sekali. Ayah justru menyalahkan Ibuku. Ibuku menghilang, Ayah malah senang karena bisa hidup bersama Helen. Jangan pikir aku nggak tau!!” “Diam Oliv!!! Jaga ucapan kamu!” Abian membentak, tak terima di katakan telah berselingkuh dengan Helen. “Dengar Ayah! Kalau sampai aku mendapatkan bukti bahwa Ayah dan Helen yang udah menyingkirkan Ibuku demi hubungan kotor kalian itu, maka aku gak akan pernah mengampuni kalian semua. Aku akan membuat kalian menyesal! Lihat aja!!” Olivia tak tahan lagi, ia langsung melan
Dua hari berlalu... Di kediaman keluarga Nugroho, sarapan pagi baru saja selesai. “Pa, jangan lupa minum obat tensinya. Mama ke depan dulu ya, mau nyiram tanaman,” Ucap Ayuma pada Haris. “Ya, Sayang.” Haris tersenyum hangat pada istri tercintanya, matanya lalu melirik obat yang telah Ayuma siapkan di atas meja makan. Kini tinggal Haris dan Clarissa-sang Putri di ruang makan tersebut. Clarissa menatap Haris dengan sorot mata penuh tanya. “Hari ini jadi pertemuan dengan PT. Selamat, Kak?” Tanya Haris setelah menelan pil dengan didorong beberapa teguk air minum. “Jadi, pukul sepuluh ini, Pa,” Jawab Clarissa, menatap intens wajah sang Papa. “Sama Elgard juga, kan?” “Hu'um.” “Bagus. Elgard itu public speaking-nya bagus. Dia ahli banget dalam urusan lobi-melobi dengan klien,” Haris senang. Putri dan Putranya kompak dalam mengurus perusahaan keluarga. “Kenapa gak Elgard aja yang jadi Presdir, Pa? Dia lebih cocok!” “No! Selagi dia masih sama perempuan itu, gak akan Papa kasi dia ja
“Manda, kemarilah. Duduk di samping Papa,” Pinta Tuan Rawless menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya. Amanda diam sesaat, hingga akhirnya mengikuti permintaan Tuan Rawless. Ia berpindah duduk, tepat di samping sang Ayah. Tuan Rawless mengambil tangan putrinya, ia genggam dengan lembut. “Papa juga masih memiliki rasa trauma atas apa yang Papa alami selama dalam pelarian Papa. Papa merasa butuh bercerita dengan seseorang yang bisa mengobati rasa trauma itu. Dan kamu juga sama seperti Papa, kamu perlu menghilangkan rasa trauma dan kebencian kamu demi bisa hidup tenang dan bahagia. Ayo kita ke Psikolog, Nak! Atau bila perlu, kita ke Psikiater untuk mengobati trauma kita ini...” Tuan Rawless mencoba hati-hati dalam berucap, tak ingin Amanda semakin berang. “Psikiater?” Amanda terkejut. “Papa pikir Manda gila?!” Ia tarik tangannya dari genggaman Tuan Rawless. “Bukan Nak. Orang yang datang ke mereka bukan berarti gila. Seperti kasus kita, trauma yang mendalam memang terkadang membutuhk
“Kami semua paham dengan penderitaan kamu, Nak. Kami tau betapa beratnya apa yang sudah kamu lalui_” “Kalian gak tau! Gak usah sok baik, merasa paling paham! Manda tau, di belakang Manda, semua menyalahkan Manda karena memisahkan Oliv dari Barra.” Amanda memotong ucapan Tuan Rawless. “Ok, mungkin memang Barra sudah menyadari kesalahannya. Tetapi siapa yang bisa menjamin kalau di kemudian hari dia gak akan menyakiti Oliv lagi?” “Papa yakin Barra setia dan sangat mencintai Oliv, Manda!” Tuan Rawless meyakinkan Amanda. “Halah! Papa tau, dulu Abian sangat mencintai Manda. Sampai Oliv lahir dan berusia empat tahun, hidup keluarga kecil kami begitu sempurna dan bahagia.” Amanda tergelak sinis, muak. “Tetapi setelah Helen hadir di antara kami, malapetaka datang. Oliv berumur lima tahun, Abian berselingkuh di belakang Manda. Dia berubah begitu drastis. Kami selalu bertengkar karena dia tidak lagi mempedulikan istri dan anaknya. Sampai akhirnya Manda tau dia ternyata sudah menjalin hubung
Olivia bersenandung ringan. la baru saja mengeringkan rambut panjangnya dengan hair dryer, selesai keramas. Rasanya begitu segar. Kaki indah Olivia melangkah ke lemari pakaian, akan mengambil baju rumahannya untuk dipakai. Ceklek! Pintu kamar dibuka dari luar, tampak Barra masuk dengan mata tak berkedip ke arahnya yang masih mengenakan handuk singkat membalut tubuhnya sebatas dada dan pangkal paha. Barra berjalan mendekati Olivia yang menutup pintu lemari setelah mendapatkan daster santai yang ia pilih. “Mas, udah selesai meetingnya? Kok cepat?” Olivia terheran. Suaminya sudah masuk kamar saja. Barra tak menjawab. Tangannya langsung meraih tubuh Olivia, menarik pinggang istri cantiknya itu ke dalam dekapannya. Hug! “M-Mas...” Olivia terkesiap, tatapan Barra membuat tubuhnya meremang. Kedua tangan pria itu memeluk kencang pinggangnya hingga tubuh mereka menempel rapat. “Rindu kamu Sayang!” Ungkap Barra untuk pertama kalinya memanggil Olivia dengan mesra, langsung di depan yan
Mobil Amanda tiba di PT. LV-RAWLESS ENERGY. Vincent membantu membukakan pintunya, mempersilahkan sang Nyonya turun. “Ibu ada beberapa jadwal rapat sampai sore. Kamu bisa pulang saja dulu Vincent, temani Adnan bermain ya,” Ucap Amanda setelah turun dari mobil. “Terimakasih, Bu,” Vincent menatap Amanda melangkah pergi bersama para staff perusahaan yang dari tadi telah menunggu Pimpinan sebenarnya PT. LV-RAWLESS itu di depan lobbi. la buang napas kasar. Sejak tadi rasanya begitu tegang dan sesak. Hatinya tak tenang. Jika pengkhianat seperti Margaretha dan Helen diperlakukan seperti tadi, bagaimana dengan dirinya dan Nia nanti? Mereka masih aman karena belum ketahuan telah mengkhianati kepercayaan sang Nyonya. Jika sampai ketahuan, bisa habis mereka berdua, terutama Nia yang sangat ia khawatirkan. Drrt... Ponsel Vincent tiba-tiba bergetar saat dirinya sedang larut dalam kekhawatiran. la terkejut, cepat-cepat menerima panggilan masuk tersebut. “Ini siapa?” Lirihnya dengan mengernyi
“Tunggu! Apa maksudnya ini? Aku mau diapakan Manda!!” pekik Margaretha, histeris dengan tubuh bergetar hebat. “Kamu maling! Hukuman untuk maling ada pada tangannya!” Jawab Amanda menegaskan. “Kamu kejam!!!” Teriak Margaretha, tak mau. “Aku memang kejam! Dan bukan hanya tangan, tetapi sedikit demi sedikit bagian tubuh lainnya juga akan mendapat perlakuan yang sama setiap harinya!” Amanda berwajah bengis, menyeramkan. “Mandaaa... Jangan lakukan itu...” Margaretha menjerit-jerit, ketakutan. “Lakukan di sini, sekarang juga. Biar wanita pengkhianat itu bisa melihat langsung!” Tunjuk Amanda pada Helen yang menggigil. “Baik, Bu!” dua wanita penjaga menarik kasar Margaretha, mendudukkannya di kursi dengan mengikat masing-masing pergelangan tangannya di pegangan kursi. Margaretha berteriak, meraung-raung, histeris saat pembalasan Amanda disegerakan. Amanda tersenyum sinis, dirinya begitu puas bisa memberikan pelajaran pada istri Laksmana ini atas apa yang telah dilakukannya. Tatapanny
“Ada apa, Pa?” Elgard terheran melihat Haris Nugroho tiba-tiba mendatanginya ke ruang wakil Presiden direktur. “Kamu dari mana? Kenapa baru ada jam segini di kantor,” Haris Nugroho mendengus kesal. “Dari rumah sakit. Tadi nemani Chelsea cek kandungan.” “Hah, dia lagi!” Haris Nugroho selalu muak jika sudah mendengar nama menantunya itu. Elgard menatap sang Ayah. Haris Nugroho memang tak peduli sedikit pun pada calon bayinya di kandungan Chelsea. Tak pernah menanyakan keadaannya. “Tadi Papa datang ke rumah Paman Abraham Rawless untuk berkunjung sekaligus kembali menjalin hubungan baik dengan keluarga Rawless.” Ungkap Haris Nugroho to the point. “Benarkah? Kenapa Papa gak ajak Elgard?” Elgard seketika excited. “Papa aja habis disemprot karena gak menjaga Olivia dengan baik. Apalagi kamu yang udah nyia-nyiain cucunya. Bisa mati kamu!” Elgard terhenyak, benar juga. “Seharusnya kita dan keluarga Rawless adalah dua gabungan keluarga besar yang luar biasa. Tetapi gara-gara kamu, kita
“Sudah tau di mana Oliv?” Amanda bertanya, namun tatapannya tetap fokus pada tangannya yang menandatangani beberapa berkas di atas meja kerjanya. Vincent diam sejenak, sedang mengatur kata-kata yang tepat untuk disampaikan. Nyonya majikannya masih diliputi amarah yang besar. “Belum, Bu. Pak Jefri tidak pernah pergi ke suatu tempat yang diduga sebagai kediaman baru Pak Barra. Kami sudah mengawasi kemana pun dia pergi. Dia hanya ke UD Entertainment, lalu pulang ke rumah Tuan Rawless. Penthouse Pak Barra pun kosong setelah orang kita menyelidiki ke sana. Dan Pak Barra tidak ke Kantor sehingga kita tidak bisa mengikuti kemana dia pulang. Kami kehilangan jejaknya,” Jelas Vincent, hati-hati. Aura Amanda begitu dingin, membuat suasana di dalam ruang kerja wanita itu tegang mencekam. Amanda mengepal kuat jari jemarinya, tengah menahan amarah. “Dia pintar sekali. Putriku pasti disekap di suatu tempat. Aku tidak tau bagaimana keadaan Oliv sekarang di tengah kehamilan mudanya. Barra memisahka
“Jadi sekarang Dokter rajin memperdalam ilmu agama?” Tanya Barra serius.“Ya. Saya kan imam untuk istri dan anak-anak saya, jadi saya harus bisa memimpin mereka dengan cara selalu upgrade diri dengan ilmu agama yang luas,” Jelas Dokter Andrew.“Kalau Dokter punya waktu, bisa ajak saya sekalian ikut belajar ke ustadz-nya Dokter,” Barra berinisiatif. Ucapan dokter di hadapannya ini, membuka pikirannya tentang seorang pemimpin dalam rumah tangga yang harus berilmu.“Tentu, dengan senang hati. InsyaAllah saya kabari kapan ada kajian rutin dengan ustadz ya,” Dokter Andrew menyambut denganantusias.Barra benar-benar puas. Baru ini ia menemukan teman yang asik diajak mengobrol dan berbagi cerita.“Nah, itu istri saya,” Dokter Andrew menunjuk ke arah seorang wanita anggun berhijab yang sedang menyapa Olivia dengan ramah. ltu Dokter Anita, istrinya.Keduanya mendekati para istri, ikut bergabung.“Udah selesai praktek polinya, Sayang?” Tanya Dokter Andrew pada sang istri.“Udah, Mas. Sekarang