Olivia keluar dari gedung apartemennya dengan langkah terburu-buru. Ia menghampiri sebuah mobil yang terparkir di depan, tampak seorang pria sudah berdiri tegap di samping mobil mewah tersebut. “Pak Jefri, ada apa anda memintaku bersiap-siap?” Tanya Olivia setelah mendekati Asisten pribadi Barra itu. “Nona ikut saya sekarang. Pak Barra meminta saya untuk membawa Nona ke salon kecantikan agar penampilan Nona semakin mengesankan. Hari ini Pak Barra akan membawa Nona bertemu dengan Tuan dan Nyonya Virendra.” Ujar Jefri, seperti biasa dengan ekspresinya yang datar. “Bertemu orang tua Pak Barra? Sekarang?” Olivia terkejut. Dirinya belum mempersiapkan diri sama sekali. Jefri membukakan pintu mobil di bangku belakang. “Ayo, silahkan masuk Nona!” Pintanya santun namun tegas. Olivia yang berdiri terpaku, dengan penuh keterpaksaan dan keraguan, akhirnya masuk ke dalam mobil. Setelah menutup pintu mobil bagian Olivia dari luar, Jefri ikut masuk ke bangku depan, di sebelah sopir. Mobil se
Olivia sendiri pun sebenarnya tak dapat membantah jika dirinya memang terlihat lebih baik setelah di make over oleh tangan terampil penata busana tadi. Ia berharap semoga saja pertemuan nanti berjalan lancar. Namun, di balik sedikit kelegaan yang ia rasakan, ada kekhawatiran yang menghantui pikirannya. Apakah keluarga Barra akan akan menerima dirinya seutuhnya, atau hanya karena penampilan semu yang kini ia kenakan? Seandainya saja kecantikan hatinya juga dapat dilihat oleh keluarga Barra, bukan hanya kecantikan fisiknya yang memukau... Kini Olivia pun sudah bersiap-siap untuk bertemu dengan orang tua Barra. Dengan hati berdebar dan langkah gontai, ia berjalan keluar dari pusat kecantikan itu, diiringi tatapan kagum dari para pegawai salon. “Pak Jef, aku udah selesai! Lalu sekarang?” Tanya Olivia pada Jefri yang telah kembali pada pembawaannya yang tegas dan profesional. “Kita langsung ke kediaman Tuan Virendra Nona. Pak Barra sudah lebih dulu di sana.” Jawab Jefri. “Aku gugup j
Syafira tersenyum lebar saat ia membawa Olivia duduk di ruang keluarga, tepat di sampingnya. Gadis itu tampak cantik dengan hijab yang ia kenakan, menutup auratnya dengan sempurna. Di seberang mereka, Barra, putri Syafira yang selalu berekspresi dingin itu duduk berdampingan dengan Virendra, sang Ayah. Syafira tak bisa menutupi kebahagiaannya, mengetahui bahwa putranya yang selama ini tidak tertarik untuk menikah lagi, ternyata mampu memilih calon istri sesuai dengan yang ia minta yaitu seperti Olivia. Olivia merasa canggung dan gugup saat duduk di samping calon ibu mertuanya, lebih tepatnya mertua yang tak akan bisa selamanya menjadi bagian dari hidupnya. Ia memainkan ujung jilbabnya yang rapi, mencoba meredakan kegugupan yang ia rasakan. Sementara itu, Barra menatap Olivia dengan pandangan yang sulit di tebak. Hatinya merasa lega karena telah berhasil memilih calon istri yang sesuai dengan harapan ibunya, namun ia juga sedikit merasa bersalah pada Syafira dan Virendra, karen
Waktu sudah memasuki sore hari, Olivia melirik jam tangannya, sedikit resah namun berusaha di tutupi. “Kenapa Olivia? Kamu gak betah ya disini?” Tanya Syafira tersenyum. Dirinya justru sangat ingin berlama-lama dengan calon menantunya itu. Syafira seperti baru saja mendapatkan seorang teman cerita yang bisa ia ajak mendiskusikan segala hal, terutama masalah agama. “Bukan Mom...” Sanggah Olivia cepat. “Oliv mau numpang sholat asar dulu, boleh?” Bisiknya pada Syafira. Syafira terhenyak. Benar juga, dirinya bahkan lupa jika gadis yang duduk bersamanya itu tak pernah melewatkan sholat lima waktu. “Tentu Oliv, Mommy juga mau ikut sholat aah... Ayo kita sholat berjamaah.” Ajak Syafira bersemangat. Seumur hidup wanita itu tak begitu memikirkan masalah akhiratnya, karena terlalu di sibukkan dengan urusan duniawi. Kini, memasuki usia paruh baya, hatinya mulai memberontak. Lelah dengan segala hiruk pikuk duniawi. Meski memiliki segalanya, tetap saja selalu ada yang ia rasakan dalam hi
“Mom... Mommy pasti sembuh. Itu sebabnya Pak Barra bela-belain nikahin Oliv demi Mommy mau menjalani pengobatan di luar negeri, di tangani dokter terbaik dan ahli. Ini ikhtiar yang bisa di lakukan, InsyaAllah bernilai pahala yang besar di sisi Allah.” Olivia merasa sedih mengetahui apa yang di alami wanita yang tulus padanya itu. Sama seperti ibunya Elgard, begitu tulus pada dirinya seperti ibu kandung sendiri. Tetapi sayang, anak-anak mereka yang tak menyukai dirinya. “Aamiin, Mommy semakin bersemangat setelah melihat siapa calon mantu Mommy.” Ungkap Syafira. Ia tiba-tiba menggenggam kedua tangan Olivia, menatap gadis itu begitu dalam. “Mommy janji, Mommy akan se-effort mungkin mendapatkan kesembuhan. Karena Mommy pengen hidup lebih lama lagi, bersama Dad, Barra, kamu dan cucu-cucu Mommy. Semoga Allah sempatkan Mommy menikmati hari-hari tua Mommy dengan anak-anak kalian ya, karena jujur Mommy belum mau mati Olivia. Mommy masih pengen melihat Barra punya anak bersama kamu.” “Mom b
Malam itu, jalanan kota Jakarta tampak masih hidup dan penuh energi. Olivia duduk di dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang. Menyusuri jalan-jalan yang di kelilingi oleh gedung-gedung tinggi yang berdiri megah. Lampu-lampu di gedung-gedung itu berkelap-kelip. Menciptakan pemandangan kota yang menakjubkan dan mempesona. Seiring mobil bergerak, Olivia dapat melihat berbagai aktivitas yang terjadi di sekitarnya. Orang-orang yang sedang berjalan kaki atau berkendara, menciptakan suasana yang ramai dan dinamis. Suara klakson mobil dan suara mesin kendaraan yang berseliweran, menambah semarak suasana malam Jakarta. Sementara itu, di langit yang gelap, bintang-bintang tampak bersinar di kejauhan, seolah-olah menjadi penonton setia untuk kehidupan malam kota yang tak pernah tidur ini. “Pak Jefri...” Panggilnya pelan pada Jefri yang duduk di depan, di samping supir. “Ya Nona?” Jefri menoleh ke belakang, pada calon istri Bosnya. “Bisa kita mampir ke suatu tempat sebentar?”
“Ayah bilang suami selingkuh karena istri yang gak bisa membuat suami tertarik padanya? Menurut Ayah, suami yang berselingkuh, berzina, tapi istri yang harus instrospeksi diri??” Ulang Olivia lagi. Olivia tergelak sinis. Ia menggeleng-gelengkan kepala, geram mendengar apa yang Ayahnya itu katakan. “Tentu aja Ayah bilang seperti itu. Karena Ayah pun dulu juga berselingkuh dari Ibu kan?? Ayah selingkuh dengan teman baik Ibu, si Helen! Tapi Ayah gak pernah merasa bersalah sama sekali. Ayah justru menyalahkan Ibuku. Ibuku menghilang, Ayah malah senang karena bisa hidup bersama Helen. Jangan pikir aku nggak tau!!” “Diam Oliv!!! Jaga ucapan kamu!” Abian membentak, tak terima di katakan telah berselingkuh dengan Helen. “Dengar Ayah! Kalau sampai aku mendapatkan bukti bahwa Ayah dan Helen yang udah menyingkirkan Ibuku demi hubungan kotor kalian itu, maka aku gak akan pernah mengampuni kalian semua. Aku akan membuat kalian menyesal! Lihat aja!!” Olivia tak tahan lagi, ia langsung melan
“Apa yang akan anda lakukan? Anda mau menyerang orang di rumahnya sendiri? Jangan begitu Pak Jefri. Aku gak mau anda melakukan itu karena mereka bisa saja melaporkan anda ke pihak berwajib. Atau justru nanti mereka jadi tau siapa pria yang akan menikahiku. Itu cuma akan membuat mereka kembali berpura-pura baik padaku dan memanfaatkan pernikahanku dengan Pak Barra demi keuntungan mereka.” Jefri tak jadi melangkah, ia tatap Olivia serius. “Tapi Pak Barra memerintahkan saya untuk langsung memberinya pelajaran kalau sampai menyakiti anda!” Protes Jefri. “Aku udah biasa mereka sakiti, walaupun kali ini agak keterlaluan karena udah secara fisik, bukan sekedar verbal saja. Tapi bukan dengan menyerang langsung yang aku mau Pak Jef. Aku ingin mereka di beri pelajaran dengan membuat mereka kehilangan apa yang udah mereka rebut dari aku!” “Nona akan melakukan apa?” Jefri menunggu perintah dari calon istri Bosnya itu. “Besok aku akan di nikahi Pak Barra. Dan selain menemukan Ibuku, aku ma
Mata Olivia tiba-tiba tak sengaja melihat ke arah pakaian tidur wanita yang dipajang pada manekin, tampak dari kaca besar sebuah toko khusus pakaian tidur wanita dewasa yang ada di lantai mall tempat mereka berada sekarang. Berbagai macam lingerie, terpajang cukup menarik perhatian para pengunjung yang melewati toko itu. Terutama baju dinas malam bertema cosplay anime yang lucu dan gemas. Olivia menyipitkan mata, tak habis pikir. ‘Kenapa toko itu harus memajang pakaian seperti itu di depan? Gimana kalau laki-laki yang otaknya kotor, sampai berpikir yang enggak-enggak?’ ‘Kalau ada istri mah enak, bisa dibeliin dan minta istrinya pake didepan dia. Nah kalau gak punya istri, ya bisa gawat...’ Olivia bermonolog dengan hatinya sendiri. Dirinya saja merasa malu melihat pakaian-pakaian yang seharusnya cukup privasi itu, di pajang dengan mudahnya dibalik kaca besar toko tersebut, sehingga bisa dilihat oleh siapa saja germasuk anak dibawah umur. Ya, namanya juga toko khusus pakaian seper
“Lho, Elgard, Olivnya mana?” Clarissa yang baru saja datang, mencari keberadaan Olivia di dekat Elgard, namun tak ada. Elgard masih diam terpaku, belum bisa menormalkan perasaannya. “Lo kenapa? Berantem sama Oliv? Lo bilang apa sama dia? Jangan bilang lo nyakitin perasaan dia lagi makanya dia pergi gitu aja!” Clarissa curiga, baru sebentar ia tinggal pergi. Olivia sudah tak ada. “Gue harus tanya papa soal ini kak!” Elgard tak menjawab pertanyaan Clarissa. Ia langsung beranjak pergi dengan perasaan tak menentu, tergesa-gesa, hanya untuk memastikan kebenaran kabar pernikahan Barra dan Olivia yang belum diketahui semua orang. Berharap itu tidak benar. “Dia mau nanya apa ke papa?” gumam Clarissa tak mengerti, Elgard pergi begitu saja meninggalkannya. °°° “Pak Barra...” Olivia menghentikan langkahnya, menahan lengan Barra yang berjalan sambil menggenggam tangannya. Barra ikut berhenti dan menatap Olivia, wajahnya masih tampak dingin. “Maafkan aku... Aku gak bermaksud lancang mendah
“Hai Oliv.” Sapa Elgard lebih mendekat pada Olivia yang mulai resah. Ia lirik Barra di seberang sana. Suami tampan dan posesifnya itu ternyata tengah menatap tajam ke arahnya dan Elgard sembari melangkah menuju tempatnya berada. Olivia tahu Barra tak akan suka melihat dirinya didekati Elgard.“Oh hai Elgard. Aku duluan ya.” Olivia cepat-cepat beranjak dari hadapan mantan suaminya itu, akan mendekati Barra yang berwajah menakutkan di seberang sana.“Olivia sebentar!” Elgard menghadang langkah Olivia, tak ingin lagi kehilangan kesempatan untuk bicara berdua setelah beberapa kali gagal.“Ada apa?” Tanya Olivia sedikit kaget, namun matanya masih tertuju ke belakang Elgard, tepatnya ke arah Barra disana yang tampak menahan amarah melihat Olivia tak dibiarkan pergi oleh seorang pria yang pernah menjadi masa lalu istrinya itu.“Olivia, aku cuma mau bilang ke kamu. Tolong jauhi Barra Malik Virendra.” Ucap Elgard to the point, mengejutkan Olivia.“Maksudnya?” Olivia menelan ludah. Ia baru inga
“Kamu haus?” Tanya Barra setelah mereka keluar dari arena permainan. Olivia merasa sudah cukup puas bermain dan mengajak suaminya keluar dari tempat itu. “Iya nih. Aku rasanya pengen es krim...” Olivia menunjuk stand es krim yang berada tak jauh dari sana. “Saya akan pergi membelikan es krimnya Pak.” Jefri hendak beranjak. “Tidak perlu Jef. Kamu bawa saja hadiah-hadiah ini ke mobil. Biar aku saya yang kesana membelinya!” Tukas Barra. “Baik Pak.” Jefri mengambil banyaknya hadiah yang diperoleh Olivia dari permainan yang dimenangkan Barra tadi, membawanya ke mobil untuk disimpan agar tak mengganggu gerak dan langkah bebas mereka. “Kamu tunggu disini, duduk saja. Saya belikan dulu es krimnya.” Ucap Barra pada Olivia setelah Jefri pergi. “Aku bisa pergi sendiri membelinya.” Olivia merasa tak enak hati merepotkan Barra. “Tidak Olivia, tunggulah disini! Saya hanya sebentar!” Titah Barra, tak ingin sang istri kelelahan. “Baiklah.” Olivia tersenyum, manut saja pada perintah suaminya.
“Kita jalan sekarang?” Tanya Barra antusias. “Ayo.” Olivia mengangguk, berusaha tampak antusias didepan Barra. “Kamu mau kita kemana?” “Aku ikut kemana anda bawa, soalnya aku gak begitu tau tempat-tempat yang biasa orang datangi.” jelas Olivia, apa adanya. Barra mengerti. Kehidupan istrinya itu tidak seperti para gadis lainnya sejak dulu, yang bisa hanging out bersama keluarga dan teman, atau bebas keluar rumah jalan-jalan menghabiskan masa remaja, melakukan banyak hal produktif. Jika tak sekolah, istrinya sehari-hari disamakan dengan asisten rumah tangga, mengerjakan sebagian pekerjaan mereka demi menghemat pengeluaran rumah tangga. “Kita berbelanja dulu seperti janji saya tadi pagi.” Barra memutuskan. Olivia diam sejenak, hingga mengiyakan. Terserah suaminya itu saja. °°° Pusat perbelanjaan... Mall yang ramai dengan pengunjung menjadi saksi betapa pasangan Barra dan Olivia menarik perhatian banyak orang. Barra seperti biasa dengan tatapannya yang tajam dan dingin itu, ber
Rapat sedang berlangsung... Barra duduk di ujung meja rapat, menatap para karyawan yang duduk berbaris disisi meja. Rapat berjalan dengan lancar, para karyawan menyampaikan ide dan strategi mereka dengan lebih percaya diri. Barra terus mengawasi dan memberikan arahan, memastikan bahwa proyek film ini akan menjadi sukses besar yang akan mengangkat nama perusahaannya menjadi lebih tinggi di industri entertainment. Namun yang tak bisa Barra hindari sedari tadi, berkali-kali dirinya melirik jam tangan. ‘Kenapa siang terlalu lama?’ gerutunya dalam hati. Saat karyawan fokus mendengar kepala bagian marketing menyampaikan ide dan gagasannya, Barra membuka ponsel. Rasa ingin tahu tentang apa yang sedang istrinya lakukan dirumah saat ini, membuatnya tak tahan untuk melihat rekaman cctv rumah. Barra tanpa sadar, tersenyum melihat Olivia yang berada didapur. Istrinya itu terlihat seperti sedang membuat minuman untuk dirinya sendiri. Tampak Olivia menatap ke kamera cctv, seolah tahu jika
“Kamu diam. Artinya kamu tidak akan komplain lagi.” Ucap Barra memecah keheningan sesaat yang terjadi. “Aku gak akan membantah lagi. Terserah anda saja. Maaf...” Jawab Olivia, pasrah. Barra merasa tak senang dengan ketidak-antusiasan Olivia, hanya dirinya saja yang semangat untuk menunjukkan hubungan mereka pada semua orang. Wanita itu begitu terpaksa. Jefri menatap satu persatu wajah Barra dan Olivia. Entah mengapa, ia seakan merasa ada yang salah disini. Apakah sedang terjadi miss komunikasi di antara majikannya ini? Sang Nyonya muda menangkap, Barra mempublikasikan hubungan mereka hanya untuk menakut-nakuti lawannya yaitu Laksmana Sanjaya, agar tak berani lagi macam-macam. Ia pun merasa bimbang dan tak yakin dengan keputusan suaminya karena terkesan pria itu hanya ingin melangsungkan resepsi pernikahan, hanya untuk melindunginya semata, bukan untuk sesuatu yang lebih dari sekedar tentang seorang Laksmana. Tentang masa depan berdua, misalnya? Sedang sang Bos dari sikap istriny
“Itu benar. Ini yang saya maksud kemarin bahwa kamu tinggal tunggu tanggal mainnya. Orang-orang akan tau tentang hubungan kita sebentar lagi karena resepsi pernikahan kita akan segera dilangsungkan. Kamu sudah siap kan?” Barra begitu excited.Olivia masih dipenuhi banyak pertanyaan di benaknya, masih sulit mempercayai. “Kenapa diadakan resepsi? Bukankah kita sepakat untuk merahasiakan pernikahan ini?” Tanyanya butuh penjelasan, apa tujuan Barra sebenarnya?“Sepertinya memang tidak akan bisa dirahasiakan lagi Olivia. Orang memang harus tahu kalau kita sudah menikah. Tidak perlu menunggu Mommy dan Daddy kembali, resepsinya akan segera dilangsungkan!” Ujar Barra penuh keyakinan.Olivia tertegun. Mimpi apa dirinya? Apa itu artinya Barra telah membatalkan kesepakatan di awal bahwa pernikahan mereka akan berakhir setelah Azalea kembali.Apakah Barra telah menyadari bahwa sebuah pernikahan adalah sesuatu yang suci dan sakral, tidak boleh dipermainkan. Sehingga pria itu ingin serius membina r
“Kamu bilang apa?” Tanyanya untuk lebih memastikan, kenapa istrinya ini tidak protes?“Aku ikut apa aja yang suami aku katakan. Semua juga demi kebaikan aku kan?” Jawab Olivia, tak ada ekspresi keberatan yang ia tunjukkan.Barra cukup excited mendengar jawaban Olivia, wanita itu mau menuruti keinginannya? Tak protes apalagi merasa kesal.Perasaannya begitu lega, Olivia bersedia menjadi ibu rumah tangga saja. Seketika muncul di benaknya bayangan tentang keluarga bahagia yang harmonis, dilengkapi anak-anak yang lucu.Dadanya berdebar, namun senyumnya masih ditahan-tahan. Sejujurnya ia ingin langsung salto saat ini juga saking girangnya.“Bagus! Saya senang kalau kamu jadi istri yang nurut pada suami!” Barra membelai rambut panjang Olivia, wanita itu membuat hatinya selalu tentram. Olivia mengangguk. Ia tahu Barra mengkhawatirkan dirinya karena Laksmana pasti sedang mengincar nyawanya. Patuh dan taat pada apa yang suaminya katakan, maka itu yang akan ia lakukan meski tak bisa lagi beker