Barra duduk dengan wajah frustasi di kursi kebesarannya di ruangan CEO tersebut.Pandangan matanya kosong, menatap hampa di depannya, sambil menggenggam kuat kedua tangannya di atas meja kerja.Permintaan Syafira agar dirinya harus membawa calon istri ke hadapan ibunya itu hanya dalam waktu dua minggu, membuat perasaannya kalut bercampur kesal.Barra menghela napas panjang, mencoba meredakan emosinya yang bergejolak. Baginya, permintaan ibunya itu seperti mimpi buruk yang tak terelakkan. Bagaimana mungkin ia bisa menemukan calon istri dalam waktu yang begitu singkat?Dahi Barra berkerut, sorot matanya begitu nyalang menunjukkan kemarahan di dalam jiwa. Ia lalu berdiri, berjalan ke jendela, dan menatap langit yang mendung. Pikiran Barra melayang, mencari jalan keluar dari situasi yang kian terpojokkan.Entah berapa lama Barra terdiam di depan jendela, hingga suara pintu terbuka membuatnya menoleh, Asisten pribadinya, Jefri, masuk dengan wajah cemas."Pak Barra? Apa yang terjadi? Anda s
Ruangan Divisi IT dipenuhi dengan gemeretak keyboard dan bisikan kipas pendingin di dalam komputer yang tidak pernah berhenti bekerja. Staf IT duduk di meja yang diatur secara strategis, masing-masing dengan beberapa layar komputer yang menampilkan kode dan grafik yang rumit. Wajah mereka tampak fokus, mencerminkan konsentrasi yang mendalam untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Di sudut ruangan, Arya membungkukkan tubuhnya untuk merapikan kabel-kabel yang acak-acakan yang menjuntai di lantai, sementara yang lain mengangguk setuju saat menerima instruksi dari atasan mereka melalui headset yang terhubung ke komputer. Dinding ruangan dihiasi dengan papan tulis putih yang penuh dengan diagram dan catatan, menciptakan semacam peta pikiran yang menjadi bukti kerja keras mereka. Di antara kesibukan pekerjaan, ada aroma kopi yang kuat menyebar di udara, memberi semangat bagi mereka yang mulai merasa lapar menjelang makan siang ini. Setiap karyawan tampak bersemangat menjalan ruti
Barra tanpa sadar, masih tak melepas tatapannya pada Olivia. Menatap dengan intens. Olivia pun merasa semakin canggung, bingung, sedikit gugup karena khawatir ada yang salah pada dirinya hingga kenapa CEO dingin itu memandanginya begitu lekat sulit diartikan. Rangga yang telah jauh berjalan lebih dulu meninggalkan Barra dan Jefri, akhirnya tersadar juga jika dirinya hanya berjalan dan mengoceh seorang diri sedari tadi. la kembali tergesa-gesa mendekati Barra. "Bar, ayo kita jalan sekarang." ajaknya merasa heran melihat sahabatnya yang terpaku. la menyadarkan Barra dari lamunan pria itu, menepuk bahu Barra dan mengingatkan bahwa mereka harus segera pergi makan siang ke restoran yang telah direservasi. Barra tersentak dari lamunannya yang berusaha mengingat dimana pernah melihat Olivia. Ia mengangguk. Sadar bahwa telah membuat suasana menjadi tidak nyaman. Dengan langkah berat dan raut wajah penasaran, pria itu melanjutkan langkah bersama Rangga dan Jefri, namun matanya masih s
Olivia menatap piring kosong di meja makan, sisa-sisa makan siang yang baru saja ia selesaikan. Ruangan itu di penuhi oleh teman-teman kerja yang juga baru saja menghabiskan makan siang mereka. Semua tampak bercengkrama dan tertawa berbagi cerita tentang pekerjaan maupun kehidupan pribadi. Mereka bersiap untuk kembali bekerja, melanjutkan rutinitas harian mereka, begitu pun Olivia dan rekan-rekannya di departemen IT. Di tengah-tengah keramaian itu, tiba-tiba ponsel di saku Olivia bergetar. Ia merogoh ponselnya dan melihat nama di layar, hatinya berdegup kencang. Itu adalah informan yang ia tugaskan untuk mencari keberadaan ibunya yang telah lama hilang. “Amal?”Lirih Olivia sambil melirik ke sekitar terlebih dahulu. kawan-kawannya tengah sibuk mengobrol satu sama lain.Dengan berbisik, Olivia menjawab panggilan telepon tersebut, berusaha agar tidak di dengar oleh rekan-rekan kerja di dekatnya.“Amal, apa ada informasi baru?”Tanya Olivia dengan suara penuh harap.“Ya, saya baru saja
Mobil Jefri berhenti di depan gerbang sebuah pekarangan rumah besar, kediaman Abian Stevano.la keluar dari dalam mobil, mendekati pos satpam penjaga. "Permisi, selamat siang." Sapanya pada sang penjaga."Ya, siang. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya seorang satpam keluar dari posnya, menyambut kedatangan Jefri."Apa benar ini rumahnya Olivia Seraphina?" Tanya Jefri.Sang satpam terdiam sejenak. Dengan ragu, ia menjawab pertanyaan Jefri. "Ya benar. Maksudnya, ini rumah orang tuanya Non Olivia. Mas ini siapa ya?""Oh, saya temannya Olivia. Boleh saya bertemu dengannya?" Uji Jefri."Waduh, Non Olivia udah gak tinggal disini lagi." Jawab sang Satpam dengan tatapan sendu."Tinggal dimana ya? Boleh saya minta alamatnya?" Jefri sedikit heran dengan raut wajah Pria paruh baya itu."Saya juga ndak tau, Mas.""Siapa Pak Karyo?" Tanya seorang wanita yang tiba-tiba mendekati Satpam dan Jefei. Raut wajahnya menyelidik pada Asisten pribadi Barra itu."Oh ini Non Angel, ada temannya Non Oliv, nanyain
•• UD ENTERTAINMENT •• Ammar duduk di ruang kerjanya yang luas dan megah, dengan dinding berwarna abu-abu gelap melingkupi ruangan tersebut, menambah kesan serius dan profesional. Meja kerja berbahan kayu mahoni berukuran besar dan kursi kulit hitam yang empuk, menunjukkan kemapanan dan otoritas. Di atas meja, laptop keluaran terbaru dan berbagai dokumen penting tersusun rapi, menunjukkan kerapian dan ketertiban sang CEO. Rak buku yang tinggi di salah satu sudut ruangan berisi buku-buku tebal dan jurnal bisnis, mencerminkan pengetahuan dan kebijaksanaan seorang Barra Malik Virendra. Di sepanjang dinding, terdapat beberapa lukisan hitam putih yang abstrak, menciptakan suasana yang artistik namun tetap sopan. Pencahayaan yang di atur dengan baik, menghasilkan semburat cahaya yang cukup terang untuk bekerja namun tidak menyilaukan mata. Di tengah ruangan, terdapat sebuah karpet tebal berwarna abu-abu yang melapisi lantai, menyerap setiap langkah kaki dan menciptakan suasana henin
~ Dua hari kemudian~ Olivia duduk di depan laptopnya dengan ekspresi serius yang menyelimuti wajahnya. Jari-jemarinya lincah mengetik di papan ketik, mencari informasi mengenai sindikat penculikan terorganisir yang dikenal kejam di Negara ini. Ia ingin mengetahui lebih dalam mengenai sindikat ini, bagaimana mereka melakukan aksi keji mereka dan apa yang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut. Pikiran Olivia terus melayang pada Ibunya yang hilang delapan belas tahun lalu. Ia benar-benar harus bisa menemukan informasi mengenai orang yang diduga menyewa sindikat ini untuk menculik ibunya. Rasa penasaran dan keinginan untuk menemukan kebenaran, membuat Olivia tak bisa tidur nyenyak di tiap-tiap malamnya. Layar laptop menyala terang, menampilkan berbagai artikel dan berita mengenai sindikat tersebut. Olivia membaca setiap detail yang tersedia dengan penuh perhatian, mencatat poin-poin penting yang mungkin bisa membantunya mencari tahu lebih jauh. Sesekali, ia menemukan foto korba
Olivia tertegun sejenak menatap tas branded kesayangan yang berada di pangkuannya. Kali ini, ia benar-benar harus merelakan koleksi kesayangannya itu untuk di jual. Keperluan mendesak mengharuskannya mengumpulkan uang dalam waktu singkat, dan menjual tas branded adalah pilihan yang di anggap paling tepat untuk saat ini. Sambil menghela napas, Olivia menggenggam tas itu erat-erat sebelum akhirnya meletakkannya kembali ke dalam kotak. Ia merapikan kotak tersebut, lalu mengambil selembar kertas dan menuliskan catatan tentang kondisi tas dan harga yang di harapkan. Setelah itu, Olivia berangkat ke toko tas mahal yang berada di pusat perbelanjaan mewah. Dengan langkah pasti dan wajah yang meyakinkan, Olivia menyerahkan kotak berisi tas kesayangannya itu kepada petugas toko. “Maaf, saya ingin menjual tas ini. Ini tas original dan masih dalam kondisi sangat baik.” Ujar Olivia. Petugas toko mengecek tas tersebut dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia lalu menawarkan harga yang ses
“Sudah! Kalian berdua harus bekerjasama. Kamu juga, El. Sebagai wakil Clarissa, kamu harus ikut bersamanya. Jangan bawa-bawa masalah pribadi ke pekerjaan. Papa gak suka!” “Ya, Pa. Elgard paham.” Ucap Elgard, tak mau mengecewakan Haris. Clarissa hanya diam dengan wajah angkuhnya. Tak mau menurunkan ego jika sudah berdebat dengan dua pria ini. “Kamu kenapa kusut gitu? Papa lihat, setelah nikah lagi, kamu nggak pernah bahagia seperti dulu. Berantem lagi?” Elgard buang nafas kasar, capek hati. “Chelsea, Pa.” Jawabnya lesu. “Kenapa dia?” Haris penasaran. “Dia lagi hamil, tapi masih suka ngerokok, minum, lalu ngerancang beberapa gaun pengantin buat project dia di acara fashion week Madam Prilly minggu depan. Pola hidup dia benar-benar gak baik buat calon anak kami. Padahal sebelum nikahin dia, Elgard gak tau kalau Chelsea suka rokok sama minum. Berkali-kali Elgard tegur, dia malah melawan dan ujung-ujungnya bertengkar. Capek Elgard, Pa!” Haris tersenyum samar. Ya, bagus jika putranya
Dua hari berlalu... Di kediaman keluarga Nugroho, sarapan pagi baru saja selesai. “Pa, jangan lupa minum obat tensinya. Mama ke depan dulu ya, mau nyiram tanaman,” Ucap Ayuma pada Haris. “Ya, Sayang.” Haris tersenyum hangat pada istri tercintanya, matanya lalu melirik obat yang telah Ayuma siapkan di atas meja makan. Kini tinggal Haris dan Clarissa-sang Putri di ruang makan tersebut. Clarissa menatap Haris dengan sorot mata penuh tanya. “Hari ini jadi pertemuan dengan PT. Selamat, Kak?” Tanya Haris setelah menelan pil dengan didorong beberapa teguk air minum. “Jadi, pukul sepuluh ini, Pa,” Jawab Clarissa, menatap intens wajah sang Papa. “Sama Elgard juga, kan?” “Hu'um.” “Bagus. Elgard itu public speaking-nya bagus. Dia ahli banget dalam urusan lobi-melobi dengan klien,” Haris senang. Putri dan Putranya kompak dalam mengurus perusahaan keluarga. “Kenapa gak Elgard aja yang jadi Presdir, Pa? Dia lebih cocok!” “No! Selagi dia masih sama perempuan itu, gak akan Papa kasi dia ja
“Manda, kemarilah. Duduk di samping Papa,” Pinta Tuan Rawless menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya. Amanda diam sesaat, hingga akhirnya mengikuti permintaan Tuan Rawless. Ia berpindah duduk, tepat di samping sang Ayah. Tuan Rawless mengambil tangan putrinya, ia genggam dengan lembut. “Papa juga masih memiliki rasa trauma atas apa yang Papa alami selama dalam pelarian Papa. Papa merasa butuh bercerita dengan seseorang yang bisa mengobati rasa trauma itu. Dan kamu juga sama seperti Papa, kamu perlu menghilangkan rasa trauma dan kebencian kamu demi bisa hidup tenang dan bahagia. Ayo kita ke Psikolog, Nak! Atau bila perlu, kita ke Psikiater untuk mengobati trauma kita ini...” Tuan Rawless mencoba hati-hati dalam berucap, tak ingin Amanda semakin berang. “Psikiater?” Amanda terkejut. “Papa pikir Manda gila?!” Ia tarik tangannya dari genggaman Tuan Rawless. “Bukan Nak. Orang yang datang ke mereka bukan berarti gila. Seperti kasus kita, trauma yang mendalam memang terkadang membutuhk
“Kami semua paham dengan penderitaan kamu, Nak. Kami tau betapa beratnya apa yang sudah kamu lalui_” “Kalian gak tau! Gak usah sok baik, merasa paling paham! Manda tau, di belakang Manda, semua menyalahkan Manda karena memisahkan Oliv dari Barra.” Amanda memotong ucapan Tuan Rawless. “Ok, mungkin memang Barra sudah menyadari kesalahannya. Tetapi siapa yang bisa menjamin kalau di kemudian hari dia gak akan menyakiti Oliv lagi?” “Papa yakin Barra setia dan sangat mencintai Oliv, Manda!” Tuan Rawless meyakinkan Amanda. “Halah! Papa tau, dulu Abian sangat mencintai Manda. Sampai Oliv lahir dan berusia empat tahun, hidup keluarga kecil kami begitu sempurna dan bahagia.” Amanda tergelak sinis, muak. “Tetapi setelah Helen hadir di antara kami, malapetaka datang. Oliv berumur lima tahun, Abian berselingkuh di belakang Manda. Dia berubah begitu drastis. Kami selalu bertengkar karena dia tidak lagi mempedulikan istri dan anaknya. Sampai akhirnya Manda tau dia ternyata sudah menjalin hubung
Olivia bersenandung ringan. la baru saja mengeringkan rambut panjangnya dengan hair dryer, selesai keramas. Rasanya begitu segar. Kaki indah Olivia melangkah ke lemari pakaian, akan mengambil baju rumahannya untuk dipakai. Ceklek! Pintu kamar dibuka dari luar, tampak Barra masuk dengan mata tak berkedip ke arahnya yang masih mengenakan handuk singkat membalut tubuhnya sebatas dada dan pangkal paha. Barra berjalan mendekati Olivia yang menutup pintu lemari setelah mendapatkan daster santai yang ia pilih. “Mas, udah selesai meetingnya? Kok cepat?” Olivia terheran. Suaminya sudah masuk kamar saja. Barra tak menjawab. Tangannya langsung meraih tubuh Olivia, menarik pinggang istri cantiknya itu ke dalam dekapannya. Hug! “M-Mas...” Olivia terkesiap, tatapan Barra membuat tubuhnya meremang. Kedua tangan pria itu memeluk kencang pinggangnya hingga tubuh mereka menempel rapat. “Rindu kamu Sayang!” Ungkap Barra untuk pertama kalinya memanggil Olivia dengan mesra, langsung di depan yan
Mobil Amanda tiba di PT. LV-RAWLESS ENERGY. Vincent membantu membukakan pintunya, mempersilahkan sang Nyonya turun. “Ibu ada beberapa jadwal rapat sampai sore. Kamu bisa pulang saja dulu Vincent, temani Adnan bermain ya,” Ucap Amanda setelah turun dari mobil. “Terimakasih, Bu,” Vincent menatap Amanda melangkah pergi bersama para staff perusahaan yang dari tadi telah menunggu Pimpinan sebenarnya PT. LV-RAWLESS itu di depan lobbi. la buang napas kasar. Sejak tadi rasanya begitu tegang dan sesak. Hatinya tak tenang. Jika pengkhianat seperti Margaretha dan Helen diperlakukan seperti tadi, bagaimana dengan dirinya dan Nia nanti? Mereka masih aman karena belum ketahuan telah mengkhianati kepercayaan sang Nyonya. Jika sampai ketahuan, bisa habis mereka berdua, terutama Nia yang sangat ia khawatirkan. Drrt... Ponsel Vincent tiba-tiba bergetar saat dirinya sedang larut dalam kekhawatiran. la terkejut, cepat-cepat menerima panggilan masuk tersebut. “Ini siapa?” Lirihnya dengan mengernyi
“Tunggu! Apa maksudnya ini? Aku mau diapakan Manda!!” pekik Margaretha, histeris dengan tubuh bergetar hebat. “Kamu maling! Hukuman untuk maling ada pada tangannya!” Jawab Amanda menegaskan. “Kamu kejam!!!” Teriak Margaretha, tak mau. “Aku memang kejam! Dan bukan hanya tangan, tetapi sedikit demi sedikit bagian tubuh lainnya juga akan mendapat perlakuan yang sama setiap harinya!” Amanda berwajah bengis, menyeramkan. “Mandaaa... Jangan lakukan itu...” Margaretha menjerit-jerit, ketakutan. “Lakukan di sini, sekarang juga. Biar wanita pengkhianat itu bisa melihat langsung!” Tunjuk Amanda pada Helen yang menggigil. “Baik, Bu!” dua wanita penjaga menarik kasar Margaretha, mendudukkannya di kursi dengan mengikat masing-masing pergelangan tangannya di pegangan kursi. Margaretha berteriak, meraung-raung, histeris saat pembalasan Amanda disegerakan. Amanda tersenyum sinis, dirinya begitu puas bisa memberikan pelajaran pada istri Laksmana ini atas apa yang telah dilakukannya. Tatapanny
“Ada apa, Pa?” Elgard terheran melihat Haris Nugroho tiba-tiba mendatanginya ke ruang wakil Presiden direktur. “Kamu dari mana? Kenapa baru ada jam segini di kantor,” Haris Nugroho mendengus kesal. “Dari rumah sakit. Tadi nemani Chelsea cek kandungan.” “Hah, dia lagi!” Haris Nugroho selalu muak jika sudah mendengar nama menantunya itu. Elgard menatap sang Ayah. Haris Nugroho memang tak peduli sedikit pun pada calon bayinya di kandungan Chelsea. Tak pernah menanyakan keadaannya. “Tadi Papa datang ke rumah Paman Abraham Rawless untuk berkunjung sekaligus kembali menjalin hubungan baik dengan keluarga Rawless.” Ungkap Haris Nugroho to the point. “Benarkah? Kenapa Papa gak ajak Elgard?” Elgard seketika excited. “Papa aja habis disemprot karena gak menjaga Olivia dengan baik. Apalagi kamu yang udah nyia-nyiain cucunya. Bisa mati kamu!” Elgard terhenyak, benar juga. “Seharusnya kita dan keluarga Rawless adalah dua gabungan keluarga besar yang luar biasa. Tetapi gara-gara kamu, kita
“Sudah tau di mana Oliv?” Amanda bertanya, namun tatapannya tetap fokus pada tangannya yang menandatangani beberapa berkas di atas meja kerjanya. Vincent diam sejenak, sedang mengatur kata-kata yang tepat untuk disampaikan. Nyonya majikannya masih diliputi amarah yang besar. “Belum, Bu. Pak Jefri tidak pernah pergi ke suatu tempat yang diduga sebagai kediaman baru Pak Barra. Kami sudah mengawasi kemana pun dia pergi. Dia hanya ke UD Entertainment, lalu pulang ke rumah Tuan Rawless. Penthouse Pak Barra pun kosong setelah orang kita menyelidiki ke sana. Dan Pak Barra tidak ke Kantor sehingga kita tidak bisa mengikuti kemana dia pulang. Kami kehilangan jejaknya,” Jelas Vincent, hati-hati. Aura Amanda begitu dingin, membuat suasana di dalam ruang kerja wanita itu tegang mencekam. Amanda mengepal kuat jari jemarinya, tengah menahan amarah. “Dia pintar sekali. Putriku pasti disekap di suatu tempat. Aku tidak tau bagaimana keadaan Oliv sekarang di tengah kehamilan mudanya. Barra memisahka