Malam itu, Tuan Virendra, Ayah dari Barra Malik Virendra dan istrinya Syafira, sedang duduk di belakang mobil mewah yang melaju menuju restoran ternama di kota. Mereka berdua diundang untuk menghadiri makan malam penting bersama sahabat lama mereka, Dirgantara dan istrinya Sari. Maksud dari makan malam ini adalah untuk mengenalkan putra dan putri mereka satu sama lain dengan harapan menjodohkan keduanya. Syafira tampak gelisah di kursi belakang mobil, menyesuaikan gaun malam yang ia kenakan. Virendra yang menyadari kegelisahan istrinya, segera menggenggam tangan Syafira dan tersenyum menenangkan. "Tenang aja, sayang. Mereka sahabat kita, jadi gak perlu gugup," Ucap Virendra berusaha menenangkan istrinya. Syafira menghela napas panjang, kemudian tersenyum tipis. "Aku tau, sayang. Tapi aku gak yakin Barra mau datang. Selama ini kita selalu mengajak dia datang untuk berkenalan dengan Putri teman-teman kita, dan dia gak pernah datang." ungkap Syafira yang sudah pesimis duluan. "Kali
Malam itu, Olivia duduk di meja makan di apartemennya yang sederhana, menikmati hidangan buka puasa yang telah ia siapkan sesudah sholat Maghrib tadi.Hidangan tersebut didominasi oleh berbagai jenis sayuran hijau segar dan buah-buahan yang beraneka warna.Olivia memandang piring di hadapannya dengan senyum puas, mengetahui bahwa ia telah menjalankan ibadah puasa sunat dengan baik pada hari Kamis ini.Meskipun hanya seorang diri di apartemen sederhananya, Olivia tetap merasa bersyukur. la mengambil sepotong pepaya, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Rasanya manis dan segar, membuat Olivia tersenyum semakin lebar.la tahu bahwa hidupnya mungkin tampak sepi, namum la percaya bahwa Tuhan selalu ada di sisinya, memberinya kekuatan dan kebahagiaan.Olivia melanjutkan makan malamnya dengan penuh rasa syukur, menikmati setiap suapan salad sayuran dan buah yang ia makan. Ia merasa tenang dan damai, merasa bahwa hidupnya cukup lengkap meskipun ia hanya hidup sendiri. Tak ada orang tua, saudara
Barra duduk dengan wajah frustasi di kursi kebesarannya di ruangan CEO tersebut.Pandangan matanya kosong, menatap hampa di depannya, sambil menggenggam kuat kedua tangannya di atas meja kerja.Permintaan Syafira agar dirinya harus membawa calon istri ke hadapan ibunya itu hanya dalam waktu dua minggu, membuat perasaannya kalut bercampur kesal.Barra menghela napas panjang, mencoba meredakan emosinya yang bergejolak. Baginya, permintaan ibunya itu seperti mimpi buruk yang tak terelakkan. Bagaimana mungkin ia bisa menemukan calon istri dalam waktu yang begitu singkat?Dahi Barra berkerut, sorot matanya begitu nyalang menunjukkan kemarahan di dalam jiwa. Ia lalu berdiri, berjalan ke jendela, dan menatap langit yang mendung. Pikiran Barra melayang, mencari jalan keluar dari situasi yang kian terpojokkan.Entah berapa lama Barra terdiam di depan jendela, hingga suara pintu terbuka membuatnya menoleh, Asisten pribadinya, Jefri, masuk dengan wajah cemas."Pak Barra? Apa yang terjadi? Anda s
Ruangan Divisi IT dipenuhi dengan gemeretak keyboard dan bisikan kipas pendingin di dalam komputer yang tidak pernah berhenti bekerja. Staf IT duduk di meja yang diatur secara strategis, masing-masing dengan beberapa layar komputer yang menampilkan kode dan grafik yang rumit. Wajah mereka tampak fokus, mencerminkan konsentrasi yang mendalam untuk menyelesaikan tugas yang diberikan. Di sudut ruangan, Arya membungkukkan tubuhnya untuk merapikan kabel-kabel yang acak-acakan yang menjuntai di lantai, sementara yang lain mengangguk setuju saat menerima instruksi dari atasan mereka melalui headset yang terhubung ke komputer. Dinding ruangan dihiasi dengan papan tulis putih yang penuh dengan diagram dan catatan, menciptakan semacam peta pikiran yang menjadi bukti kerja keras mereka. Di antara kesibukan pekerjaan, ada aroma kopi yang kuat menyebar di udara, memberi semangat bagi mereka yang mulai merasa lapar menjelang makan siang ini. Setiap karyawan tampak bersemangat menjalan ruti
Barra tanpa sadar, masih tak melepas tatapannya pada Olivia. Menatap dengan intens. Olivia pun merasa semakin canggung, bingung, sedikit gugup karena khawatir ada yang salah pada dirinya hingga kenapa CEO dingin itu memandanginya begitu lekat sulit diartikan. Rangga yang telah jauh berjalan lebih dulu meninggalkan Barra dan Jefri, akhirnya tersadar juga jika dirinya hanya berjalan dan mengoceh seorang diri sedari tadi. la kembali tergesa-gesa mendekati Barra. "Bar, ayo kita jalan sekarang." ajaknya merasa heran melihat sahabatnya yang terpaku. la menyadarkan Barra dari lamunan pria itu, menepuk bahu Barra dan mengingatkan bahwa mereka harus segera pergi makan siang ke restoran yang telah direservasi. Barra tersentak dari lamunannya yang berusaha mengingat dimana pernah melihat Olivia. Ia mengangguk. Sadar bahwa telah membuat suasana menjadi tidak nyaman. Dengan langkah berat dan raut wajah penasaran, pria itu melanjutkan langkah bersama Rangga dan Jefri, namun matanya masih s
Olivia menatap piring kosong di meja makan, sisa-sisa makan siang yang baru saja ia selesaikan. Ruangan itu di penuhi oleh teman-teman kerja yang juga baru saja menghabiskan makan siang mereka. Semua tampak bercengkrama dan tertawa berbagi cerita tentang pekerjaan maupun kehidupan pribadi. Mereka bersiap untuk kembali bekerja, melanjutkan rutinitas harian mereka, begitu pun Olivia dan rekan-rekannya di departemen IT. Di tengah-tengah keramaian itu, tiba-tiba ponsel di saku Olivia bergetar. Ia merogoh ponselnya dan melihat nama di layar, hatinya berdegup kencang. Itu adalah informan yang ia tugaskan untuk mencari keberadaan ibunya yang telah lama hilang. “Amal?”Lirih Olivia sambil melirik ke sekitar terlebih dahulu. kawan-kawannya tengah sibuk mengobrol satu sama lain.Dengan berbisik, Olivia menjawab panggilan telepon tersebut, berusaha agar tidak di dengar oleh rekan-rekan kerja di dekatnya.“Amal, apa ada informasi baru?”Tanya Olivia dengan suara penuh harap.“Ya, saya baru saja
Mobil Jefri berhenti di depan gerbang sebuah pekarangan rumah besar, kediaman Abian Stevano.la keluar dari dalam mobil, mendekati pos satpam penjaga. "Permisi, selamat siang." Sapanya pada sang penjaga."Ya, siang. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya seorang satpam keluar dari posnya, menyambut kedatangan Jefri."Apa benar ini rumahnya Olivia Seraphina?" Tanya Jefri.Sang satpam terdiam sejenak. Dengan ragu, ia menjawab pertanyaan Jefri. "Ya benar. Maksudnya, ini rumah orang tuanya Non Olivia. Mas ini siapa ya?""Oh, saya temannya Olivia. Boleh saya bertemu dengannya?" Uji Jefri."Waduh, Non Olivia udah gak tinggal disini lagi." Jawab sang Satpam dengan tatapan sendu."Tinggal dimana ya? Boleh saya minta alamatnya?" Jefri sedikit heran dengan raut wajah Pria paruh baya itu."Saya juga ndak tau, Mas.""Siapa Pak Karyo?" Tanya seorang wanita yang tiba-tiba mendekati Satpam dan Jefei. Raut wajahnya menyelidik pada Asisten pribadi Barra itu."Oh ini Non Angel, ada temannya Non Oliv, nanyain
•• UD ENTERTAINMENT •• Ammar duduk di ruang kerjanya yang luas dan megah, dengan dinding berwarna abu-abu gelap melingkupi ruangan tersebut, menambah kesan serius dan profesional. Meja kerja berbahan kayu mahoni berukuran besar dan kursi kulit hitam yang empuk, menunjukkan kemapanan dan otoritas. Di atas meja, laptop keluaran terbaru dan berbagai dokumen penting tersusun rapi, menunjukkan kerapian dan ketertiban sang CEO. Rak buku yang tinggi di salah satu sudut ruangan berisi buku-buku tebal dan jurnal bisnis, mencerminkan pengetahuan dan kebijaksanaan seorang Barra Malik Virendra. Di sepanjang dinding, terdapat beberapa lukisan hitam putih yang abstrak, menciptakan suasana yang artistik namun tetap sopan. Pencahayaan yang di atur dengan baik, menghasilkan semburat cahaya yang cukup terang untuk bekerja namun tidak menyilaukan mata. Di tengah ruangan, terdapat sebuah karpet tebal berwarna abu-abu yang melapisi lantai, menyerap setiap langkah kaki dan menciptakan suasana henin
Pukul 20.25 wib. Barra duduk dengan menyandarkan punggung di sandaran sofa ruang tengah, sembari memegang ponselnya. Matanya fokus menatap banyaknya ungkapan terkejut sekaligus ucapan selamat dari para kenalan yang mengikutinya di media sosial atas pernikahannya yang baru diumumkan hari ini. Akhirnya, senyum di bibir pria itu tak dapat juga ditahan-tahan. Barra tersenyum puas dan senang melihat beberapa foto, berikut video pendek dirinya dan Olivia di pantai tadi, yang dibagikan Jefri sebagai admin akun pribadi miliknya. Jefri duduk di sofa yang berseberangan dengan Barra, ikut sumringah melihat raut wajah bahagia puas bosnya. “My love?” Barra mengerutkan kening membaca caption salah satu foto yang di posting Jefri. “Stay with me forever?” lanjut Barra antusias. “Kamu dapat kata-kata seperti itu dari mana?” tanyanya, cukup excited melihat inisiatif sang asisten yang membubuhkan kata-kata romantis difoto dirinya dan Olivia tanpa disuruh. “Oh itu, saya suka liat orang
“Tidak! Ini tidak benar!” Azalea menggeleng-gelengkan kepalanya, tak terima dengan fakta yang baru saja ia dengar. Barra-nya telah menikah lagi? “Kamu pasti salah! Gak mungkin Barra Malik Virendra menikah dengan perempuan lain. Dia udah janji akan menunggu sampai aku kembali lagi padanya, kapanpun aku mau...” Sanggah Azalea, masih tak percaya dengan apa yang Vincent katakan. Vincent menggaruk kepalanya, bingung. Kenapa juga istri simpanan Laksmana itu menolak untuk percaya pada penjelasannya? “Salah bagaimana ya? Saya dikirim kesini dengan mempertaruhkan nyawa karena Pak Barra yang ingin menyelamatkan ibu mertuanya, Amanda Rawless. Dan nyonya bukankah istri Laksmana? Kenapa mengaku-ngaku sebagai istri bos saya?” Vincent membuang napas kasar. Kenapa wanita ini sebenarnya? “Aku Azalea Stefani, istri Barra Malik Virendra! Kamu pasti pernah mendengar tentang kami sekitar dua tahun lalu sebagai pasangan suami istri yang serasi dan saling mencintai. Jangan bilang kamu gak pernah d
“Tapi di media sosial, Oliv gak ada sama sekali membagikan postingan bersama Barra Malik Virendra. Dia juga udah lama gak aktif di medsos kayaknya?” Clarissa mencoba untuk mencari tahu di akun media sosial Olivia tentang berita pernikahan mantan istri Elgard itu dengan seorang Barra Malik Virendra, seperti yang dikatakan adiknya tersebut. Elgard dan Haris Nugroho melihat Clarissa yang sibuk menscroll layar ponselnya, ingin mendapatkan informasi yang pasti. “Mungkin di media sosial Barra Malik Virendra ada.” ucap Haris Nugroho. “Duh, aku udah follow akunnya tapi belum di confirm pa. Medsosnya di private soalnya. Lo bisa El?” Tanya Clarissa pada Elgard yang juga telah standby melihat layar ponsel miliknya. “Gue dan Barra Malik Virendra sama-sama saling follow sebagai sesama pebisnis.” Jawab Elgard pada sang kakak. “Gue rasa di laman media sosialnya, Barra Malik Virendra itu gak pernah memposting tentang kehidupan pribadinya. Kayaknya gak bakal ada postingan bersama Oliv disa
“Siapa yang menyelamatkan Olivia?” Clarissa ikut penasaran. “Yang pasti bukan Elgard, Clarissa!” Sindir Haris lagi, membuat Elgard menelan ludah. “Barra Malik Virendra, CEO UD Entertainment, putra Virendra yang sekarang menggantikan ayahnya! Dialah yang udah menyelamatkan Olivia yang merupakan karyawannya!” Jawab Haris Nugroho menjelaskan. “Papa tau soal itu?” Elgard tak menyangka. “Papa kan sudah bilang, ada orang suruhan papa yang selalu mengawasi Olivia! Termasuk di perusahaan itu sendiri, salah satu karyawannya adalah orang yang papa bayar untuk menjaga dan terus melaporkan apapun yang terjadi pada Olivia. Tapi sekarang dia kehilangan jejak Olivia yang entah tinggal dimana, papa gak bisa tenang memikirkan menantu papa itu!” Haris menghela napas panjang. “Jadi begitu? Itu artinya papa juga udah tau kalau Olivia punya hubungan istimewa dengan_Barra Malik Virendra?” Elgard bertanya dengan menguatkan hati, perasaannya begitu resah. Berharap Haris Nugroho mengatakan bahwa Olivia b
Ia melihat penjaga depan kamar tersebut hendak pergi dari sana.“Suster, saya ke toilet dulu. Jangan sampai perempuan gila itu keluar dari kamar.” teriak sang penjaga dari luar. “Ya!” sahut seorang wanita yang mungkin adalah suster dari perempuan gila yang dimaksud. Vincent menunggu penjaga benar-benar pergi dengan mengintip dari balik tembok, “Sepertinya itu memang kamar Nyonya Amanda.” Gumam Vincent sambil melangkah pelan ke pintu kamar tersebut. Ia lalu mengintip dari kaca kecil yang ada di pintu. Tampak seorang wanita seperti berpakaian perawat tengah menyuapi seseorang makan.“Itu...” Vincent terkesiap. Seseorang yang sedang disuapi makan itu adalah seorang wanita yang bisa ia tebak adalah Amanda. Wajahnya meski tak semuda difoto yang Jefri beri, tetapi tetap mirip. Itu memang ibu mertua Barra Malik Virendra.“Aku menemukannya...!” Vincent begitu lega.“Apa yang kamu temukan?”Deg!Vincent terperanjat. Seseorang dari belakang mengulang kembali kata-katanya.Ia menoleh perlahan
“Pak, kita pulang sekarang?” tanyanya akan bersiap juga. “Tidak Jef. Istriku ingin mencari Masjid terdekat dari sini. Kami sholat magrib dulu. Kamu juga ikut. Ayo!” “Sholat?” Jefri terperangah, seorang Barra Malik Virendra mau sholat? Barra yang memperdulikan ekspresi terkejut Jefri, akan masuk juga ke dalam mobil. “Pak, sebentar. Lihat ini.” Jefri cepat-cepat menunjukkan hasil rekaman video maupun foto-foto Barra dan Olivia yang ia ambil tadi. Barra dengan wajah berseri-seri, melihat satu persatu foto dan video yang Jefri ambil di layar ponsel asistennya tersebut. “Ini sangat bagus. Kamu merekam kami?” Barra senang bukan main. Puas pada inisiatif asistennya itu. “Ya Pak. Siapa tahu mau disimpan sebagai momen indah yang tak terlupakan untuk anda dan nyonya.” “Jef, posting beberapa foto kami ini di beberapa media sosialku. Video pendeknya juga. Semua orang dan relasi bisnisku harus tau siapa istriku! Terutama Laksmana Sanjaya!” Titah Barra mantap. “Siap Pak!” Jefri bersemangat
“M-Maksudnya?” Olivia berdebar-debar. Barra menatap serius ke mata Olivia. Ia kemudian mengambil sesuatu dari saku celananya, menunjukkan pada Olivia. “Ini... Ini bukankah?” Olivia menatap bingung pada sepasang cincin yang ditunjukkan Barra di depan matanya. “Ini cincin pernikahan kita yang tidak pernah kita pakai. Waktu kamu dirawat di rumah sakit, Jefri dan Syifa saya suruh merombak kamar kamu dan memindahkan semua barang-barang kamu ke kamar utama kita. Mereka menemukan cincin nikah kamu di laci kamar itu, kamu menyimpannya di sana.” jelas Barra mengejutkan Olivia. “Mulai detik ini, kita akan pakai cincin nikah kita Olivia. Kamu dan saya.” Lanjut Barra dengan tatapan penuh keseriusan. Tak tampak oleh Olivia kepura-puraan di mata pria itu. “Kita...?” Olivia masih sulit mempercayai semua ini. Barra serius mengajaknya hidup bersama? “Ya, kita!” Barra tak buang waktu, langsung memakaikan cincin milik Olivia di jari manis istrinya itu. “Sekarang giliran kamu. Pakaikan cincin di j
Olivia semakin mendekati Barra, “Jadi selama ini anda sebenarnya _ngefans ya sama aku!” lanjutnya dengan tatapan penuh kecurigaan, wajah Barra terlihat gugup tetapi lucu. “Fans?” Barra yang sempat berdebar-debar menanti apa yang ingin Olivia katakan, spontan terpana. Ternyata istrinya malah berpikir seperti itu. Tadinya ia pikir Olivia sudah tahu sesuatu yang begitu sulit ia ungkapkan dari hati terdalamnya, tepatnya perasaannya yang semakin ia sadari setelah malam pertama mereka. “Hem, kalau ngefans, kenapa gak bilang? Pake alasan mau ambil gambar sunsetnya. Padahal isinya foto aku semua!” Olivia melipat kedua tangannya di dada, menyipitkan mata dengan senyum menggoda Barra. “Siapa bilang saya ngefans sama kamu? Yang benar aja! Tadi sudah saya katakan, saya hanya membantu mengambil foto kamu yang sedang menikmati sunset. Itu foto untuk kamu juga, bukan untuk saya!” Barra meraih ponselnya ditangan Olivia, namun dengan cepat wanita itu tahan. “Tapi aku gak pernah minta difotoin, an
“Anda juga sering ke pantai seperti ini?” Tanya Olivia. Ia yakin jika ini bukan pertama kalinya Barra membawa wanita bersamanya menikmati suasana pantai yang eksotis. Bersama Azalea dulu, pasti Barra sering kesini. “Waktu masih kecil, bersama Mommy dan Daddy. Tapi setelah dewasa, tidak pernah lagi. Baru ini saya ke pantai lagi setelah sekian lamanya, bersama kamu.” Jawab Barra jujur, masih menatap keindahan senja di depan mereka. Olivia terpana, “Benarkah?” tanyanya sulit mempercayai. “Menurut kamu saya punya waktu hanya untuk sekedar menghabiskan waktu sendirian di sini?” Olivia terdiam. Apa itu artinya Barra dan Azalea tidak pernah ke pantai menghabiskan waktu bersama? ‘Mungkin mereka keluar kota, atau keluar negeri kalau mau quality time ya.” batinnya, menerka. “Kenapa diam? Kamu tidak percaya saya baru datang ke pantai lagi setelah seusia ini?” “Hem, ya! Kayaknya gak mungkin. Pasti ada beberapa kali atau satu kali aja anda ke sini menikmati pantai yang cantik bersama Bu Az