••••• “Kamu bahagia El?” Chelsea memainkan jemari lentiknya di wajah bersih Elgard. Mereka sedang duduk berdua di kamar pengantin mereka, di atas tempat tidur sebuah hotel yang menjadi tempat di langsungkannya resepsi pernikahan mereka barusan. “Aku senang Honey. Akhirnya aku bisa juga memiliki kamu.” Elgard mengambil jemari Chelsea, mengecupnya dalam-dalam. “Tapi kamu banyak diam dari kemarin. Aku rasa kamu gak terlalu bersemangat. Apa kamu merasa menyesal nikah sama aku?” Chelsea berwajah sendu. “Aku kan udah bilang, aku senang karena akhirnya aku bisa memiliki kamu Chelsea...” Elgard tersenyum, tak ingin istrinya itu merasa sedih. “Hem ya, aku tau kamu senang karena kamu udah lama menunggu hari ini terjadi, akhirnya kita bisa bersama sebagai suami istri. Tapi aku juga tau kalau kamu sedang berbohong. Mata kamu gak bisa menyembunyikan apapun dari aku El... Cuma aku yang paling tau tentang kamu. Kamu sedih karena Papa sama Mama kamu gak hadir kan di pernikahan kita?” Elgard dia
••••• “A-Abian???” Helen menjerit saat melihat Abian pulang dalam keadaan babak belur. Abian masuk ke dalam rumah sambil meringis kesakitan pada wajahnya, ia duduk, tubuhnya seakan remuk. “Bian, kamu kenapa? Siapa yang melakukan ini??” Helen ikut duduk di sofa, di samping Abian, panik dan butuh penjelasan. “Aku gak tau, Helen! Pulang dari kantor, saat di parkiran, ada beberapa preman tiba-tiba datang dan mengeroyokku!” Abian menghentikan ucapannya, terasa sakit saat berbicara. Sudut bibirnya terluka, sepertinya ada luka robek. “Preman?? Kenapa? Mereka mau merampok kamu?? Kita harus lapor ke polisi!” Helen tak terima. “Mereka malah gak mengambil apapun dariku, barang-barangku tetap aman. Aku menawarkan mereka uang dan sebagainya agar berhenti memukuli wajahku, tapi mereka tidak peduli. Aku gak tau dimana salahku!” Abian merasa bingung. “Apa-apaan itu? Kamu malah mau ngasi mereka uang kamu, bodoh! Harusnya kamu lawan. Bagaimana kamu ini!!” Umpat Helen. Abian terkesiap men
••••• Barra dan Jefri turun dari mobil. Keduanya telah tiba di suatu tempat, seperti sebuah bangunan yang tak lagi di fungsikan. Jauh dari permukiman. “Pak Barra, selamat datang...” Sambut seorang pria dengan penuh hormat pada Barra yang berjalan dengan sorot mata tajam, seakan membakar apa saja yang ada di sekelilingnya. Jefri mengiringi di belakang seperti biasa. “Mana anak kecil itu?” Tanya Barra terus berjalan memasuki gedung, diikuti pria tersebut. Aaron, yang merupakan ketua dari para anak buah Jefri. “Dia ada di salah satu ruangan. Kami menjaganya tetap aman. Mari saya antar Pak...” Ucap Aaron menuntun Barra dan Jefri ke sebuah ruangan. Dari luar pintu, beberapa orang-orang Aaron menjaga. Dapat Barra dengar suara seorang anak laki-laki kecil dari dalamnya tertawa kegirangan. Aaron membuka pintu, mempersilahkan Bos besarnya itu masuk. Begitu pun Jefri. Barra melangkah masuk. Tampak langsung seorang bocah kecil sedang menonton televisi sambil tertawa. Ada kartun lucu yang
“Pak, setelah ini kita akan ke mana?” Tanya Jefri setelah mereka keluar dari gedung dan berjalan menuju mobil. Angin malam yang dingin seolah-olah menusuk hingga ke tulang. Barra melirik Jefri. “Kenapa kamu bertanya?” Hardiknya. Jefri tercengang, Barra seperti tak suka akan pertanyaan yang biasa ia lontarkan saat menemani sang Bos keluar di malam hari. “Maksud saya, mungkin anda ingin minum dulu di tempat biasa. Barulah pulang.” Jelas Jefri hati-hati. “Jef, istriku sendirian di rumah. Apa menurutmu aku akan berlama-lama meninggalkannya?” Barra langsung masuk ke dalam mobil saat pintu telah terbuka. Jefri termangu. Istri? Bosnya itu benar-benar tak sadar jika begitu memikirkan Olivia, sehingga rela pulang lebih awal ke rumah. Tak seperti biasanya jika mereka baru menyelesaikan pekerjaan di malam hari, Barra pasti akan pergi minum dulu barang segelas dua gelas di Bar elite langganannya. ••••• Olivia berada di dapur, ini sudah cukup larut, matanya mulai berat. Ia pastikan dapu
Pagi ini cuaca cukup cerah, secerah perasaan Olivia yang semalam benar-benar bisa tidur dengan nyenyak. Sudah lama sekali rasanya gadis yang baru kemarin diperistri oleh CEO dingin tempat ia bekerja itu, tidur tanpa di hantui berbagai rasa sedih dan trauma, mulai dari trauma masa kecil hingga dirinya dewasa. Trauma saat sedang bahagia-bahagianya di cintai, di rawat dan di perhatikan oleh seorang Ibu, lalu ditinggalkan begitu saja. Meski tak begitu banyak kenangan manis yang ia ingat saat masih bersama Amanda, ibunya. Di karenakan masih berusia lima tahunan. Namun tetap saja ada beberapa ingatan indah yang terekam jelas di memorinya. Senyuman dan belaian tangan halus Amanda yang begitu hangat dan menenangkan, Olivia selalu merindukan senyuman dan belaian itu. Hingga trauma saat posisi Amanda di gantikan oleh Helen Ibu tirinya. Wanita itu tak sayang padanya, jahat dan suka menghukum jika dirinya di anggap bersalah tanpa mau menerima penjelasan. Parahnya Abian tak pernah membela,
Ia terus menyuap makanannya. Rasa sop daging sapi buatan Olivia begitu segar, belum lagi menu yang lainnya. Gadis itu pintar memasak, sesuai keinginan Syafira, ibunya. Olivia ikut mengambil makanan untuknya, kemudian bersiap untuk pergi. Barra terheran. Olivia tak duduk untuk makan bersama? “Kamu mau kemana?” Tanyanya cepat. “Mau sarapan juga Pak, di ruangan lain.” Jawab Olivia dengan wajah lugu. “Kenapa tidak disini?” Barra heran, pasang wajah tak senang. “Um, itu... Emang boleh? Nanti mengganggu makannya Pak Barra?” Olivia ragu-ragu. Dulu Helen dan Angelina, begitu pun Elgard, tak mau satu meja dengannya. Barra meletakkan sendok dan garpu di piringnya. Ia semakin tak mengerti dengan Olivia yang terlihat suka menarik diri dan ragu-ragu. “Makan bersama saya Olivia!” Titah Barra. “Baik!” Olivia langsung duduk, di kursi yang berseberangan dengan Barra. “Kenapa kamu duduk berjauhan dengan saya? Duduk disini!” Titah Barra lagi, menunjuk dengan wajahnya kursi yang ada d
“Ah, aku kalau punya anak, akan aku jaga sebaik mungkin. Gak akan aku tinggalkan. Aku tetap harus sehat supaya terus bisa bersama mereka. Karena aku gak percaya sama suami aku nanti. Kalau aku mati, dia pasti gak akan sayang lagi sama anak kami. Aku gak mau anakku sampai terlunta-lunta.” “Olivia, a-apa yang kamu bicarakan?” Barra menelan ludah, Olivia berbicara tentang anak dan suami? “Eh, bukan gitu Pak. Maksudnya, kalau suatu saat nanti Pak Barra ceraiin aku karena Bu Azalea udah kembali, pastinya aku akan punya kehidupan yang lainnya lagi kan. Mungkin aku bakal menikah lagi dengan seorang pria yang menjadi suami dan Ayah dari anak-anak aku.” Jelas Olivia tak ingin Barra salah paham. Pria itu tak mungkin menjadi Ayah dari anak-anaknya, mustahil Barra mau memiliki anak darinya. “Tapi gila juga ya, masa aku nikah sampai tiga kali... Ck ck ck... Memecahkan rekor, haa...” Olivia menertawakan dirinya sendiri, nasibnya menikah dengan pria-pria yang tak cinta padanya. Barra terbung
°° UD ENTERTAINMENT °° Barra memimpin rapat penting bersama para manajer dari tiap divisi di sebuah ruang rapat yang di kelilingi oleh dinding kaca. Ruangan ini terletak di lantai atas, sehingga menawarkan pemandangan yang jelas dari lobby perusahaan yang luas. Setiap manajer duduk tegak dan fokus, menunjukkan rasa hormat dan keseriusan mereka kepada sang pemimpin. Lantai lobby yang mengkilap terlihat jelas melalui dinding kaca, mencerminkan cahaya lampu gantung yang elegan. Tampak di lobby karyawan-karyawan berpakaian rapi dan profesional berjalan kesana kemari, sibuk dengan urusan masing-masing. Di dalam ruang rapat, suasana tegang dan formal menguasai setiap sudut. Barra berbicara dengan nada tegas dan tenang, memaparkan strategi dan target perusahaan yang harus di capai oleh para manajer dan divisi mereka. Wajah para manajer menunjukkan ketegangan dan konsentrasi, takut salah berkata atau membuat kesalahan yang akan mengecewakan sang CEO. Sudah hampir dua jam rapat berlang
Mata Olivia tiba-tiba tak sengaja melihat ke arah pakaian tidur wanita yang dipajang pada manekin, tampak dari kaca besar sebuah toko khusus pakaian tidur wanita dewasa yang ada di lantai mall tempat mereka berada sekarang. Berbagai macam lingerie, terpajang cukup menarik perhatian para pengunjung yang melewati toko itu. Terutama baju dinas malam bertema cosplay anime yang lucu dan gemas. Olivia menyipitkan mata, tak habis pikir. ‘Kenapa toko itu harus memajang pakaian seperti itu di depan? Gimana kalau laki-laki yang otaknya kotor, sampai berpikir yang enggak-enggak?’ ‘Kalau ada istri mah enak, bisa dibeliin dan minta istrinya pake didepan dia. Nah kalau gak punya istri, ya bisa gawat...’ Olivia bermonolog dengan hatinya sendiri. Dirinya saja merasa malu melihat pakaian-pakaian yang seharusnya cukup privasi itu, di pajang dengan mudahnya dibalik kaca besar toko tersebut, sehingga bisa dilihat oleh siapa saja germasuk anak dibawah umur. Ya, namanya juga toko khusus pakaian seper
“Lho, Elgard, Olivnya mana?” Clarissa yang baru saja datang, mencari keberadaan Olivia di dekat Elgard, namun tak ada. Elgard masih diam terpaku, belum bisa menormalkan perasaannya. “Lo kenapa? Berantem sama Oliv? Lo bilang apa sama dia? Jangan bilang lo nyakitin perasaan dia lagi makanya dia pergi gitu aja!” Clarissa curiga, baru sebentar ia tinggal pergi. Olivia sudah tak ada. “Gue harus tanya papa soal ini kak!” Elgard tak menjawab pertanyaan Clarissa. Ia langsung beranjak pergi dengan perasaan tak menentu, tergesa-gesa, hanya untuk memastikan kebenaran kabar pernikahan Barra dan Olivia yang belum diketahui semua orang. Berharap itu tidak benar. “Dia mau nanya apa ke papa?” gumam Clarissa tak mengerti, Elgard pergi begitu saja meninggalkannya. °°° “Pak Barra...” Olivia menghentikan langkahnya, menahan lengan Barra yang berjalan sambil menggenggam tangannya. Barra ikut berhenti dan menatap Olivia, wajahnya masih tampak dingin. “Maafkan aku... Aku gak bermaksud lancang mendah
“Hai Oliv.” Sapa Elgard lebih mendekat pada Olivia yang mulai resah. Ia lirik Barra di seberang sana. Suami tampan dan posesifnya itu ternyata tengah menatap tajam ke arahnya dan Elgard sembari melangkah menuju tempatnya berada. Olivia tahu Barra tak akan suka melihat dirinya didekati Elgard.“Oh hai Elgard. Aku duluan ya.” Olivia cepat-cepat beranjak dari hadapan mantan suaminya itu, akan mendekati Barra yang berwajah menakutkan di seberang sana.“Olivia sebentar!” Elgard menghadang langkah Olivia, tak ingin lagi kehilangan kesempatan untuk bicara berdua setelah beberapa kali gagal.“Ada apa?” Tanya Olivia sedikit kaget, namun matanya masih tertuju ke belakang Elgard, tepatnya ke arah Barra disana yang tampak menahan amarah melihat Olivia tak dibiarkan pergi oleh seorang pria yang pernah menjadi masa lalu istrinya itu.“Olivia, aku cuma mau bilang ke kamu. Tolong jauhi Barra Malik Virendra.” Ucap Elgard to the point, mengejutkan Olivia.“Maksudnya?” Olivia menelan ludah. Ia baru inga
“Kamu haus?” Tanya Barra setelah mereka keluar dari arena permainan. Olivia merasa sudah cukup puas bermain dan mengajak suaminya keluar dari tempat itu. “Iya nih. Aku rasanya pengen es krim...” Olivia menunjuk stand es krim yang berada tak jauh dari sana. “Saya akan pergi membelikan es krimnya Pak.” Jefri hendak beranjak. “Tidak perlu Jef. Kamu bawa saja hadiah-hadiah ini ke mobil. Biar aku saya yang kesana membelinya!” Tukas Barra. “Baik Pak.” Jefri mengambil banyaknya hadiah yang diperoleh Olivia dari permainan yang dimenangkan Barra tadi, membawanya ke mobil untuk disimpan agar tak mengganggu gerak dan langkah bebas mereka. “Kamu tunggu disini, duduk saja. Saya belikan dulu es krimnya.” Ucap Barra pada Olivia setelah Jefri pergi. “Aku bisa pergi sendiri membelinya.” Olivia merasa tak enak hati merepotkan Barra. “Tidak Olivia, tunggulah disini! Saya hanya sebentar!” Titah Barra, tak ingin sang istri kelelahan. “Baiklah.” Olivia tersenyum, manut saja pada perintah suaminya.
“Kita jalan sekarang?” Tanya Barra antusias. “Ayo.” Olivia mengangguk, berusaha tampak antusias didepan Barra. “Kamu mau kita kemana?” “Aku ikut kemana anda bawa, soalnya aku gak begitu tau tempat-tempat yang biasa orang datangi.” jelas Olivia, apa adanya. Barra mengerti. Kehidupan istrinya itu tidak seperti para gadis lainnya sejak dulu, yang bisa hanging out bersama keluarga dan teman, atau bebas keluar rumah jalan-jalan menghabiskan masa remaja, melakukan banyak hal produktif. Jika tak sekolah, istrinya sehari-hari disamakan dengan asisten rumah tangga, mengerjakan sebagian pekerjaan mereka demi menghemat pengeluaran rumah tangga. “Kita berbelanja dulu seperti janji saya tadi pagi.” Barra memutuskan. Olivia diam sejenak, hingga mengiyakan. Terserah suaminya itu saja. °°° Pusat perbelanjaan... Mall yang ramai dengan pengunjung menjadi saksi betapa pasangan Barra dan Olivia menarik perhatian banyak orang. Barra seperti biasa dengan tatapannya yang tajam dan dingin itu, ber
Rapat sedang berlangsung... Barra duduk di ujung meja rapat, menatap para karyawan yang duduk berbaris disisi meja. Rapat berjalan dengan lancar, para karyawan menyampaikan ide dan strategi mereka dengan lebih percaya diri. Barra terus mengawasi dan memberikan arahan, memastikan bahwa proyek film ini akan menjadi sukses besar yang akan mengangkat nama perusahaannya menjadi lebih tinggi di industri entertainment. Namun yang tak bisa Barra hindari sedari tadi, berkali-kali dirinya melirik jam tangan. ‘Kenapa siang terlalu lama?’ gerutunya dalam hati. Saat karyawan fokus mendengar kepala bagian marketing menyampaikan ide dan gagasannya, Barra membuka ponsel. Rasa ingin tahu tentang apa yang sedang istrinya lakukan dirumah saat ini, membuatnya tak tahan untuk melihat rekaman cctv rumah. Barra tanpa sadar, tersenyum melihat Olivia yang berada didapur. Istrinya itu terlihat seperti sedang membuat minuman untuk dirinya sendiri. Tampak Olivia menatap ke kamera cctv, seolah tahu jika
“Kamu diam. Artinya kamu tidak akan komplain lagi.” Ucap Barra memecah keheningan sesaat yang terjadi. “Aku gak akan membantah lagi. Terserah anda saja. Maaf...” Jawab Olivia, pasrah. Barra merasa tak senang dengan ketidak-antusiasan Olivia, hanya dirinya saja yang semangat untuk menunjukkan hubungan mereka pada semua orang. Wanita itu begitu terpaksa. Jefri menatap satu persatu wajah Barra dan Olivia. Entah mengapa, ia seakan merasa ada yang salah disini. Apakah sedang terjadi miss komunikasi di antara majikannya ini? Sang Nyonya muda menangkap, Barra mempublikasikan hubungan mereka hanya untuk menakut-nakuti lawannya yaitu Laksmana Sanjaya, agar tak berani lagi macam-macam. Ia pun merasa bimbang dan tak yakin dengan keputusan suaminya karena terkesan pria itu hanya ingin melangsungkan resepsi pernikahan, hanya untuk melindunginya semata, bukan untuk sesuatu yang lebih dari sekedar tentang seorang Laksmana. Tentang masa depan berdua, misalnya? Sedang sang Bos dari sikap istriny
“Itu benar. Ini yang saya maksud kemarin bahwa kamu tinggal tunggu tanggal mainnya. Orang-orang akan tau tentang hubungan kita sebentar lagi karena resepsi pernikahan kita akan segera dilangsungkan. Kamu sudah siap kan?” Barra begitu excited.Olivia masih dipenuhi banyak pertanyaan di benaknya, masih sulit mempercayai. “Kenapa diadakan resepsi? Bukankah kita sepakat untuk merahasiakan pernikahan ini?” Tanyanya butuh penjelasan, apa tujuan Barra sebenarnya?“Sepertinya memang tidak akan bisa dirahasiakan lagi Olivia. Orang memang harus tahu kalau kita sudah menikah. Tidak perlu menunggu Mommy dan Daddy kembali, resepsinya akan segera dilangsungkan!” Ujar Barra penuh keyakinan.Olivia tertegun. Mimpi apa dirinya? Apa itu artinya Barra telah membatalkan kesepakatan di awal bahwa pernikahan mereka akan berakhir setelah Azalea kembali.Apakah Barra telah menyadari bahwa sebuah pernikahan adalah sesuatu yang suci dan sakral, tidak boleh dipermainkan. Sehingga pria itu ingin serius membina r
“Kamu bilang apa?” Tanyanya untuk lebih memastikan, kenapa istrinya ini tidak protes?“Aku ikut apa aja yang suami aku katakan. Semua juga demi kebaikan aku kan?” Jawab Olivia, tak ada ekspresi keberatan yang ia tunjukkan.Barra cukup excited mendengar jawaban Olivia, wanita itu mau menuruti keinginannya? Tak protes apalagi merasa kesal.Perasaannya begitu lega, Olivia bersedia menjadi ibu rumah tangga saja. Seketika muncul di benaknya bayangan tentang keluarga bahagia yang harmonis, dilengkapi anak-anak yang lucu.Dadanya berdebar, namun senyumnya masih ditahan-tahan. Sejujurnya ia ingin langsung salto saat ini juga saking girangnya.“Bagus! Saya senang kalau kamu jadi istri yang nurut pada suami!” Barra membelai rambut panjang Olivia, wanita itu membuat hatinya selalu tentram. Olivia mengangguk. Ia tahu Barra mengkhawatirkan dirinya karena Laksmana pasti sedang mengincar nyawanya. Patuh dan taat pada apa yang suaminya katakan, maka itu yang akan ia lakukan meski tak bisa lagi beker