“Pak, setelah ini kita akan ke mana?” Tanya Jefri setelah mereka keluar dari gedung dan berjalan menuju mobil. Angin malam yang dingin seolah-olah menusuk hingga ke tulang. Barra melirik Jefri. “Kenapa kamu bertanya?” Hardiknya. Jefri tercengang, Barra seperti tak suka akan pertanyaan yang biasa ia lontarkan saat menemani sang Bos keluar di malam hari. “Maksud saya, mungkin anda ingin minum dulu di tempat biasa. Barulah pulang.” Jelas Jefri hati-hati. “Jef, istriku sendirian di rumah. Apa menurutmu aku akan berlama-lama meninggalkannya?” Barra langsung masuk ke dalam mobil saat pintu telah terbuka. Jefri termangu. Istri? Bosnya itu benar-benar tak sadar jika begitu memikirkan Olivia, sehingga rela pulang lebih awal ke rumah. Tak seperti biasanya jika mereka baru menyelesaikan pekerjaan di malam hari, Barra pasti akan pergi minum dulu barang segelas dua gelas di Bar elite langganannya. ••••• Olivia berada di dapur, ini sudah cukup larut, matanya mulai berat. Ia pastikan dapu
Pagi ini cuaca cukup cerah, secerah perasaan Olivia yang semalam benar-benar bisa tidur dengan nyenyak. Sudah lama sekali rasanya gadis yang baru kemarin diperistri oleh CEO dingin tempat ia bekerja itu, tidur tanpa di hantui berbagai rasa sedih dan trauma, mulai dari trauma masa kecil hingga dirinya dewasa. Trauma saat sedang bahagia-bahagianya di cintai, di rawat dan di perhatikan oleh seorang Ibu, lalu ditinggalkan begitu saja. Meski tak begitu banyak kenangan manis yang ia ingat saat masih bersama Amanda, ibunya. Di karenakan masih berusia lima tahunan. Namun tetap saja ada beberapa ingatan indah yang terekam jelas di memorinya. Senyuman dan belaian tangan halus Amanda yang begitu hangat dan menenangkan, Olivia selalu merindukan senyuman dan belaian itu. Hingga trauma saat posisi Amanda di gantikan oleh Helen Ibu tirinya. Wanita itu tak sayang padanya, jahat dan suka menghukum jika dirinya di anggap bersalah tanpa mau menerima penjelasan. Parahnya Abian tak pernah membela,
Ia terus menyuap makanannya. Rasa sop daging sapi buatan Olivia begitu segar, belum lagi menu yang lainnya. Gadis itu pintar memasak, sesuai keinginan Syafira, ibunya. Olivia ikut mengambil makanan untuknya, kemudian bersiap untuk pergi. Barra terheran. Olivia tak duduk untuk makan bersama? “Kamu mau kemana?” Tanyanya cepat. “Mau sarapan juga Pak, di ruangan lain.” Jawab Olivia dengan wajah lugu. “Kenapa tidak disini?” Barra heran, pasang wajah tak senang. “Um, itu... Emang boleh? Nanti mengganggu makannya Pak Barra?” Olivia ragu-ragu. Dulu Helen dan Angelina, begitu pun Elgard, tak mau satu meja dengannya. Barra meletakkan sendok dan garpu di piringnya. Ia semakin tak mengerti dengan Olivia yang terlihat suka menarik diri dan ragu-ragu. “Makan bersama saya Olivia!” Titah Barra. “Baik!” Olivia langsung duduk, di kursi yang berseberangan dengan Barra. “Kenapa kamu duduk berjauhan dengan saya? Duduk disini!” Titah Barra lagi, menunjuk dengan wajahnya kursi yang ada d
“Ah, aku kalau punya anak, akan aku jaga sebaik mungkin. Gak akan aku tinggalkan. Aku tetap harus sehat supaya terus bisa bersama mereka. Karena aku gak percaya sama suami aku nanti. Kalau aku mati, dia pasti gak akan sayang lagi sama anak kami. Aku gak mau anakku sampai terlunta-lunta.” “Olivia, a-apa yang kamu bicarakan?” Barra menelan ludah, Olivia berbicara tentang anak dan suami? “Eh, bukan gitu Pak. Maksudnya, kalau suatu saat nanti Pak Barra ceraiin aku karena Bu Azalea udah kembali, pastinya aku akan punya kehidupan yang lainnya lagi kan. Mungkin aku bakal menikah lagi dengan seorang pria yang menjadi suami dan Ayah dari anak-anak aku.” Jelas Olivia tak ingin Barra salah paham. Pria itu tak mungkin menjadi Ayah dari anak-anaknya, mustahil Barra mau memiliki anak darinya. “Tapi gila juga ya, masa aku nikah sampai tiga kali... Ck ck ck... Memecahkan rekor, haa...” Olivia menertawakan dirinya sendiri, nasibnya menikah dengan pria-pria yang tak cinta padanya. Barra terbung
°° UD ENTERTAINMENT °° Barra memimpin rapat penting bersama para manajer dari tiap divisi di sebuah ruang rapat yang di kelilingi oleh dinding kaca. Ruangan ini terletak di lantai atas, sehingga menawarkan pemandangan yang jelas dari lobby perusahaan yang luas. Setiap manajer duduk tegak dan fokus, menunjukkan rasa hormat dan keseriusan mereka kepada sang pemimpin. Lantai lobby yang mengkilap terlihat jelas melalui dinding kaca, mencerminkan cahaya lampu gantung yang elegan. Tampak di lobby karyawan-karyawan berpakaian rapi dan profesional berjalan kesana kemari, sibuk dengan urusan masing-masing. Di dalam ruang rapat, suasana tegang dan formal menguasai setiap sudut. Barra berbicara dengan nada tegas dan tenang, memaparkan strategi dan target perusahaan yang harus di capai oleh para manajer dan divisi mereka. Wajah para manajer menunjukkan ketegangan dan konsentrasi, takut salah berkata atau membuat kesalahan yang akan mengecewakan sang CEO. Sudah hampir dua jam rapat berlang
“Kita pake kamera camcorder kak?” Tanya Olivia penuh antusias, sembari meneliti kamera canggih di tangannya yang di berikan Ridwan. Keduanya berjalan di sepanjang lobby, akan menuju tempat di langsungkannya acara penting perusahaan sebentar lagi. “Iya Oliv. Supaya rekaman videonya setara profesional. Pake ini kita bisa menggerakkan kamera dengan cepat sesuai gerakan objek yang direkam. Juga mudah dipakai karena letak tombol play, stop, sama zoom nya berdekatan dengan jari.” Jelas Ridwan dengan antusias, menjelaskan kamera video yang dipegang Olivia. “Keren Kak!” Olivia manggut-manggut, ia jadi bersemangat. “Kalau mau hasil bagus, resolusi juga mesti tinggi nih.” Tambahnya. “Yap, kita pake yang resolusi 4K supaya hasil videonya jelas dan jernih, dengan frame rate dua kali lebih halus dari yang lain, sehingga gak akan ada momen yang terpotong walaupun gerakan objek sangat cepat. Warna yang dihasilkan juga berkualitas tinggi, Oliv!” Ujar Ridwan berseri-seri. “Canggih!” Olivia sem
Barra memasuki gedung auditorium diikuti Jefri dan beberapa manajer divisi yang tadi menunggunya setelah rapat berakhir. Pria itu masuk dengan menatap lurus ke depan, tak di sengaja matanya tertuju tepat pada seorang gadis berhijab yang tengah melakukan dokumentasi ke arah para tamu yang telah duduk di kursi mereka masing-masing. Barra terpana sesaat, istrinya ternyata mendapat pekerjaan untuk melakukan pengambilan video di acara tersebut. Berarti kamera yang Olivia bawa saat berjalan bersama seorang pria tadi, adalah untuk pekerjaan ini. Tetapi mana karyawan laki-laki yang bernama Ridwan itu? Barra sempat mencari dengan mata tajamnya, berharap laki-laki itu tidak mencari perhatian Olivia lagi dengan cara mendekati istrinya, berpura-pura membahas pekerjaan. Olivia yang fokus mengarahkan kameranya pada tamu yang baru saja mengambil tempat duduk, tak sengaja mengarahkan kameranya pada Barra yang berjalan sambil menatap sekilas padanya. Pria itu kemudian melihat ke arah lain, pada te
“Pak Elgard?” Panggil seseorang tiba-tiba dari arah belakang. “Ya?” Elgard menoleh, siapa yang memanggilnya? “Pak Barra Malik Virendra??” Ucapnya antusias dengan senyum mengembang, senang di sapa CEO yang terkenal tampan dan cerdas namun dingin itu. Di samping Barra, ada Jefri yang selalu setia mendampingi. “Apa kabar Pak Elgard?” Barra berusaha bersikap ramah, menyalami Elgard yang lebih dulu mengulurkan tangan untuk bersalaman. Bukan tanpa sebab, Barra hanya ingin mengalihkan perhatian Elgard dari Olivia, sampai istrinya itu pergi dari gedung auditorium tersebut. “Baik. Malah semakin baik setelah hadir di acara ini. Begitu banyak kejutan luar biasa, termasuk bisa bertemu langsung dengan Bapak Barra Malik Virendra yang saya kagumi!” Jawab Elgard apa adanya, tak bisa menutupi rasa bahagianya. Barra tersenyum tipis, senyum tersirat. Ia tahu apa yang sebenarnya dimaksud Elgard. Pria itu merasa semakin baik karena mendapat kejutan bisa bertemu kembali dengan Olivia. Barra tak bodoh.
“Kak, udah pulang?” Ayuma yang duduk di ruang keluarga, menoleh ke arah Clarissa yang baru pulang.“Udah, Ma.” Clarissa tersenyum simpul mendekati Ayuma, wajahnya tampak berbeda dengan mata yang sembab. Tak ada semangat sama sekali.“Kakak, kamu kenapa? Habis nangis?” Ayuma yang masih mengenakan mukena sehabis sholat Isya tadi, langsung meletakkan Qur'an tafsirnya di atas meja sudut samping sofa yang sedang ia duduki saat ini. Wajahnya seketika cemas melihat wajah murung putrinya.“Ma,” lirih Clarissa, duduk di samping Ayuma dengan wajah lesu. la peluk ibunya, berusaha menguatkan diri.“Kakak ok? Ada masalah sama Jefri?” Ayuma ikut memeluk tubuh Clarissa, mengusap-usap punggung putrinya yang tak pernah seperti ini sebelumnya.“Selesai, Ma. Aku sama Jefri udah gak ada hubungan apa-apa lagi.” Clarissa menahan air mata, tolong jangan menangis lagi pintanya pada diri sendiri.“Kalian putus kak?” Ayuma cukup kaget, ikut sedih. Padahal ini pertama kalinya putrinya serius menjalin hubungan d
Pukul, 19.00 wib_“Aah... Seru banget tadi filmnya.” Clarissa kegirangan, puas.“Nona suka film horor?” Jefri mengernyitkan dahi, cukup heran saat Clarissa memilih untuk menonton film horor tadi.Saat ini mereka baru saja keluar dari bioskop, berada di depan gedung. Keduanya berencana akan melanjutkan kencan romantis mereka untuk mencari kulineran malam.“Aku gak suka horor. Tapi mumpung nonton sama Ayang, aku mau!”“Kenapa?” Jefri masih tak mengerti.“Karena kalau pas lagi ada jump scare-nya, aku bisa meluk Ayang waktu kaget kayak tadi. Romantis kan? Hihihi...” kekeh Clarissa, itu alasannya.Jefri seketika tertawa, lucu sekali tingkah wanita yang sedang bersamanya ini. Alasan Clarissa di luar ekspektasinya.“Nona sudah lapar? Kita cari makan sekarang ya. Tunggu saja di sini. Saya ambil motor kita dulu.” Jefri meminta Clarissa untuk duduk di bangku panjang yang ada di sana. Clarissa tak perlu ikut berjalan ke parkiran, cukup tunggu saja dirinya menjemput.“Ayang, sebentar.” Clarissa d
Jefri tiba juga di depan Nugroho Group dengan sepeda motornya.Tampak dari pintu keluar, Clarissa melangkah cepat menghampirinya dengan senyum mengembang.“Ayaaang...” Seru Clarissa excited, bahagia Jefri telah datang menjemput setelah beberapa lama menunggu. la raih tangan Jefri seperti biasanya, menyalami pria yang ia anggap sebagai calon suaminya dengan mencium takzim punggung tangan pria itu.Jefri yang telah membuka kaca helm, mengedarkan pandangan ke sekeliling, tak ada yang melihat mereka dalam keadaan Clarissa menyalaminya dengan romantis seperti barusan.“Ayang kok nervous terus sih tiap aku salami,” kekeh Clarissa, Jefri selalu berwajah gugup tiap dirinya salami.“Bukan apa-apa, Nona. Cuma memastikan tidak ada yang melihat.”“Emang kenapa kalau ada yang lihat? Ayang malu?” goda Clarissa, menggemaskan sekali wajah kekasihnya ini.“Hanya menjaga tatakrama saja. Jangan sampai ada yang berpikir, orang zaman sekarang bukan suami istri, tetapi bertingkah melebihi pasangan suami i
Keesokan harinya,“Azalea ditusvk?” Barra terkejut mendengar informasi yang baru saja Jefri sampaikan.“Ya, Pak. Orang yang kita bayar untuk mengawasinya di sana, memberitahu kalau Azalea ditemukan di kamar mandi dalam keadaan perutnya ditusvk orang. Dan Margaretha beserta teman-temannya diduga sebagai pelaku atas kejadian itu,” jelas Jefri serius.“Apa benar Margaretha berani melakukannya? Bukankah itu perbuatan bodoh mengingat dia adalah musuh bebuyutan Azalea yang kalau melakukan tindakan seperti itu, pasti akan langsung ketahuan. Aku tidak percaya Margaretha pelakunya!” Barra mengusap-usap dagunya sambil mengerutkan alis mencerna kejadian tersebut.“Benar, Pak. Dari penjelasan orang bayaran kita, mustahil Margaretha yang melakukannya. Dia curiga ada orang lain yang sepertinya sengaja melakukan penvsukan itu dengan memanfaatkan permasalahan yang terjadi di antara Margaretha dan Azalea,”“Haris,” tebak Barra, yakin. “Setelah apa yang terjadi dalam pernikahannya, dia pasti semakin sa
“Heh, lu duduk di kursi gua!”Azalea yang hendak menyuap makanannya, terkejut. Pundaknya tiba-tiba ditepuk dengan kasar.la menolehkan wajah ke samping, menatap seorang wanita yang menghardiknya dengan tatapan sinis, mengklaim jika kursi yang ia duduki saat ini adalah milik wanita yang berdiri dengan berkacak pinggang tersebut.la edarkan pandangan ke semua meja panjang dengan kapasitas sepuluh orang di tiap mejanya, masih ada meja dan kursi yang kosong yang seharusnya bisa wanita itu gunakan untuk makan.“Lha, dia bengong! Eh, lu budeg? Gua bilang, lu duduk di kursi gua. Minggir!” bentak wanita yang sama-sama merupakan penghuni lapas.Azalea menghela napas panjang, begini saja terus. “Perasaan gak ada yang namanya kursi pribadi di sini, bebas mau duduk di mana aja selagi kosong. Kenapa kamu gak duduk di kursi lain? Aku udah lebih dulu duduk di sini.” Azalea tak mau mengalah.“Oooh, udah berani ngebantah ya sekarang, anak baru? Lo berani sama gua!”Aah!Azalea menjerit, rambutnya dija
“Ma, gak baik kayak gini. Kamu udah satu minggu lebih diemin Papa, jangan jadi istri durhaka!” Haris sudah di titik muak. Ayuma tak sedikit pun memberikan kepercayaan padanya, selalu menjauhi, menghindarinya hingga pisah kamar. Tadi saat di kantor, ART melaporkan padanya jika Ayuma sedang bersiap-siap untuk pergi dari rumah. Istrinya itu seperti sedang dikuasai amarah memuncak. “Istri durhaka? Itu kata ajaib yang selalu para suami ucapkan untuk menyudutkan istrinya tanpa mau introspeksi diri!” balas Ayuma, tak kalah keras. Ia terus saja memasukkan pakaiannya ke dalam koper, tak kuat lagi hidup satu atap dengan Haris. “Mau introspeksi diri bagaimana? Papa gak melakukan seperti apa yang orang-orang tuduhkan, kenapa juga Papa harus menyalahkan diri sendiri? Kamu sebagai istri, seharusnya mendukung suami. Tapi ini suami lagi dapat masalah, kamu malah ikut memojokkan. Istri macam apa kamu itu, Ma!” “Aku mencoba untuk percaya. Tapi fakta terbaru yang aku terima, kamu memang punya hubu
Olivia tersenyum manis, barusan dirinya dilanda cemburu. “Maaf, aku gak bakal kayak tadi lagi. Aku suka cemburuan sekarang. Aneh juga karena semakin nambah usia kandungan, aku jadi posesif sama Mas. Maaf ya, Cintaku...” Olivia menge-cup singkat bibir Barra, betapa dirinya sangat mencintai suaminya ini, semakin cinta dari hari ke hari. Mungkin bawaan bayi dalam kandungannya juga. Barra tersenyum senang. Mendengar Olivia cemburu, membuat hidungnya kembang kempis, bangga. Sekarang dirinya berhasil membuat istrinya itu jatuh cinta dan bergantung padanya. Tak hanya cinta sendiri. “Oh iya, Kak Risa kok belum juga mengabari ya?” Olivia hendak mengambil ponselnya, akan melihat apakah ada pesan dari Clarissa jika sudah tiba di UD Entertainment. “Biar Mas ambilkan.” Barra menahan Olivia agar tidak beranjak dari tempat tidur. Dirinya yang akan mengambilkan ponsel sang istri di atas meja. “Ini, Sayang.” Barra kembali ke tempat tidur, duduk di samping Olivia dengan membawakan ponsel. Kemba
“Ayang sweet banget iih... Bikin aku melting.” Clarissa tanpa Jefri duga, langsung memeluk lengan pria itu dengan manja. Lagi-lagi membuat Jefri membeku. Tidak sadarkah Clarissa jika dirinya adalah pria normal yang telah lama melajang? Drrt... Drrt... Sepasang Ayang-ayangan itu terkejut mendengar getar dari ponsel Clarissa. “Eh siapa yang nelepon ya?” Clarissa melepaskan rangkulan manjanya pada lengan kokoh Jefri, langsung melihat siapa yang menelepon. “Ini Mbak di rumah. Bentar ya, Yang.” Clarissa akan menerima panggilan masuk tersebut. “Ya, Mbak?” jawab Clarissa pada si penelepon di seberang sana. Jefri mengamati. Tatapannya masih setia pada Clarissa yang sudah berkali-kali sejak tadi membuatnya terkejut, hingga speechless. Masih bingung dengan status mereka yang sudah di hak patenkan gadis itu. “Apa mbak? Mama sama Papa berantem hebat??” Clarissa kaget dengan suara dipelankan. “Ce-cerai? Kok gitu? lya iya, aku pulang sekarang.” Clarissa dengan wajah panik, segera menutup te
Keduanya mulai menyantap makanan masing-masing, sudah begitu lapar. “Gimana? Enak? Atau gak sesuai lidah kamu?” tanya Clarissa di sela makan mereka, meminta pendapat Jefri. “Ini enak. Sesuai,” jawab Jefri sembari mengunyah. “Alhamdulillah.” Clarissa lega. “Jadi, yang akan menjabat sebagai Presiden Direktur Nugroho Group yang baru adalah Elgard Mario Nugroho?” Jefri kembali ke topik tadi, memastikan kembali. “lya. Awalnya para dewan direksi mengajukan beberapa nama pilihan mereka dari kalangan mereka sendiri, karena mereka tau kalau Elgard gak mungkin dipilih Papa mengingat dia menikah dengan perempuan yang Papa benci. Tapi ternyata Papa malah langsung memutuskan Elgard yang menjadi pengganti aku, bukan orang lain. Akhirnya mereka terbungkam sendiri, gak bisa membantah. Siap-siap aja jabatan mereka satu persatu bakal dicopot Papa.” Clarissa terkekeh, terus menikmati santap makan siangnya yang sudah hampir selesai. Jefri manggut-manggut pelan, sekarang sudah jelas. “Haduh, gak en