Suara Gideon terdengar begitu serius, tapi raut wajahnya justru terlihat sangat damai. Brandon yang kaget dengan reaksi Gideon pun spontan melirik ke arah Yuna dan seketika itu pula dia mengerti apa yang terjadi.“Ah, benar juga.” Dia pun menarik kembali tangannya dan berkata dengan penuh hormat, “Aku sebagai cucu menantu mengucapkan selamat ulang tahun buat Kakek.”“Cu-cucu … menantu?!”Bahkan Gideon juga ikut tercengang dan matanya terbelalak. Apa anak muda zaman sekarang sevulgar ini? Beberapa detik yang lalu dia masih memanggilnya dengan sebutan “Pak”, tapi sedetik kemudian dia langsung menyebut dirinya sendiri sebagai cucu menantu.“Segenap keluarga Tanoto masih belum mengakui kamu,” sahut Clinton yang saat itu mulai risih.Gideon sebagai orang lebih tua yang punya lebih banyak pengalaman berusaha untuk menenangkan Clinton, lalu dia berdeham, “Brandon, aku nggak keberatan kamu panggil kakek, tapi kalau cucu menantu … kayaknya masih terlalu awal.”Singkat kata, sebenarnya keluarga
“Kek, acaranya sebentar lagi sudah mau dimulai,” kata Clinton mengingatkan.“Oke,” angguk Gideon perlahan, tapi matanya masih menatap Yuna seolah masih ingin mengobrol dengannya.“Aku nggak ikut, ya, Kek. Kakek tahu sendiri aku nggak suka keramaian,” kata Yuna.“Iya,” sahut Gideon tanpa banyak bicara lagi.Brandon juga menaruh tangannya di bahu Yuna dan menambahkan, “Aku juga, aku mau menemani Yuna.”“Kalau begitu menginap saja di sini! Nanti aku suruh Dodi siapin dua kamar buat kalian nginap dua hari, gimana?”Kata-kata terakhir Gideon jelas mengindikasikan kalau dia meminta pendapat dari Yuna. Ketika ditanya seperti itu oleh kakeknya, Yuna pun merasa tersanjung dan mengangguk, “Oke, ikut apa kata Kakek saja.”Gideon senang mendengar jawaban itu dan spontan senyum di wajahnya melebar, “Clinton, ayo jalan.”Clinton lantas mendorong kursi roda kakeknya dan berpesan kepada Yuna, “Nanti Pak Dodi bakal antar kalian berdua ke kamar masing-masing.”“Oke.” Yuna pun keluar kamar dan melihat C
“Iya, aku nggak mau pisah sama kamu. Kenapa, nggak boleh?” kata Yuna sambil merangkul lengannya di leher Brandon.“Setiap masalah pasti punya solusi!” jawab Brandon seraya mencium bibir Yuna, “Coba kita lihat kamar kamu dulu.”Kamar yang Yuna tempati adalah kamar yang dulu dia gunakan sewaktu masih tinggal di sana. Betapa terharunya Yuna seketika dia membuka pintu. Susunan kamarnya masih sama persis seperti saat dia pergi. Segala macam barang yang ada di dalam tidak dipindahkan sedikit pun, tapi masih tetap terjaga kebersihannya. Yang berbeda hanyalah seprai yang sudah diganti baru. Sepertinya seprainya pun baru saja dijemur karena masih terasa hangat. Satu-satunya yang janggal adalah tidak adanya AC di kamar.“Kamar kamu nggak ada AC?” tanya Brandon.“Oh iya, aku lupa kasih tahu. Semua kamar yang ada di rumah ini nggak pakai AC. Jadi … nanti malam kamu bertahan, ya.”“Serius nggak ada AC?”Hal itu sangat sulit dipercaya oleh Brandon. Di era modern seperti sekarang, alat elektronik sud
“Kamar tamu juga nggak pakai AC? Tamu yang nginap di sini masa juga harus ikut latihan?”Bagaimanapun juga banyak orang yang datang untuk merayakan acara ulang tahun dan tidak langsung pulang di hari itu juga. Beberapa dari tamu yang datang juga akan menginap, dan apakah mereka juga harus menjalani pengalaman yang sama?“Gedung yang depan memang buat cara kayak pesta dan semacamnya, jadi kamar yang ada di gedung depan ada AC. Tapi karena gedung belakang tempat kita berada di sekarang khusus buat anggota keluarga Tanoto, semua kamarnya nggak ada AC.”Intinya, orang luar boleh pakai AC, tapi keluarga sendiri tidak.“Jadi, aku sudah dianggap jadi bagian dari keluarga Tanoto?” tanya Brandon.Apakah benar karena alasan itu Brandon ditempatkan di kamar yang ada di gedung belakang? Kalau memang demikian, Brandon tidak tahu apakah dia harus senang atau sedih sekarang.“Iya, seharusnya begitu. Berarti kamu harusnya merasa terhormat!”Mereka berdua masih sempat mengobrol santai untuk beberapa sa
Akan tetapi, hujan yang lebat menutupi semua itu, dan dengan adanya Brandon sekarang, Yuna akhirnya memiliki sandaran. Halaman ini seakan bukan lagi halaman yang ada di dalam masa lalunya Yuna.“Dingin, nggak? Mau balik ke dalam saja?” tanya Brandon.“Balik juga masih tetap dingin. Mending kita lari-lari saja di sini biar nggak kedinginan!”“Kalau kamu ngerasa nggak enak badan, malam ini kita langsung pulang saja?” usul Brandon.Brandon masih tidak bisa membayangkan betapa kerasnya hidup Yuna selama dia tinggal di rumah ini. Sebelumnya, dia pernah datang dua kali ke sini, tapi dia tidak tahu kalau ternyata keluarga Tanoto memiliki pemikiran yang begitu kuno.“Dari dulu aku sudah terbiasa hidup kayak begini, jadi nggak masalah. Justru aku takut kamu yang masih nggak terbiasa.”Sebenarnya, bukannya Yuna tidak terbiasa, tapi dia sudah lama tidak pulang dan butuh sedikit adaptasi kembali. Bagaimanapun juga Yuna sudah terlalu lama hidup nyaman, dan dia pastinya tidak ingin merasakan hari-ha
Yuna sungguh tidak menyangka bisa menemukan pemuda itu di halaman rumahnya sendiri setelah mencarinya ke mana-mana begitu lama. Pemuda itu masih terlihat sama seperti sebelumnya, hanya saja tatapan matanya tidak secerah dulu.“Semua orang yang datang ke sini hari ini pasti punya tujuan yang sama,” kata Yohanes.“Terus kenapa kamu malah ada di sini?” tanya Yuna.“Kamu sendiri juga.”“Kamu masih belum kasih aku penjelasan kenapa kamu tiba-tiba menghilang. Waktu itu kita sudah sepakat, tapi kamu nggak angkat telepon dari aku. Bahkan chat juga nggak dibalas.”Akan tetapi, tatapan mata Yohanes terlihat memuram ketika Yuna mengangkat topik itu lagi. Tanpa memberikan penjelasan apa-apa, dia hanya menjawab dengan gumaman yang tidak jelas, “Aku punya alasan sendiri. Lagian barangnya juga sudah aku kirim tanpa aku pungut biaya. Harusnya kita sudah impas.”“Impas apanya! Mana kayu yang aku minta?” tanya Yuna sambil mengulurkan tangannya.Saat itu mereka sudah sepakat Yuna akan mendapatkan sepoton
Kedua matanya seolah sedang menembakkan laser yang menyapu Yuna dari ujung kepala sampai ujung kaki. Hawa dingin juga terasa sangat pekat menandakan ketidaksukaannya terhadap tingkah laku Yuna.Jujur saja, Yuna merinding seketika pria itu menoleh ke arahnya, tapi Yuna merasa tidak perlu takut dengannya karena toh dia tidak ada hubungan apa-apa dengan orang itu. Bermodal pemikiran itu, kepercayaan diri Yuna pun meningkat dan tidak takut lagi untuk menatap lurus ke mata pria tersebut.Mungkin karena tidak mengira bahwa seorang perempuan bisa begitu berani menghadapinya, pria itu pun tampak sedikit terkejut dan alisnya mengerut. Di saat pria itu hendak berbicara, tiba-tiba Brandon yang sejak tadi hanya diam saja berjalan ke samping Yuna dan berkata, “Om Beny.”Pria yang dipanggil dengan sebutan “Om Beny” itu kaget, “Brandon?”“Tadi aku nggak ngelihat ternyata Om juga datang. Aku pikir tahun ini Om suruh anak buah yang datang. Aku nggak ngira bisa ketemu Om di sini.”“Iya, karena hujan jad
Bahkan Beny pun tidak bisa menutup rasa kagetnya. Meski ini adalah masalah pribadi, bagi mereka yang berasal dari keluarga berada, memiliki pasangan baik itu sekadar pacaran atau pernikahan atas dasar ikatan keluarga, tidak mungkin mereka bisa menutupinya. Terlebih lagi, Brandon adalah sosok pria idaman yang menjadi incaran semua kaum wanita. Jangankan orang biasa, bahkan sesama konglomerat pun berharap bisa menjadikan Brandon sebagai pasangan hidup. Selama ini belum pernah ada rumor tentang kehidupan asmara Brandon. Semua waktu dan tenaga Brandon curahkan untuk karirnya dengan mengembangkan bisnis keluarga, dan tiba-tiba sekarang dia sudah punya tunangan. Yang membuat semua ini lebih mengejutkan adalah fakta itu keluar dari mulutnya sendiri.“Tunangan?!” seru Yohanes terbelalak.“Yohan, nggak sopan kamu!” tegur Beny. Lalu dia menutupi keterkejutannya dan bertanya pada Yuna dengan sikap yang kini jauh lebih segan dibanding sebelumnya, “Ini benar-benar kabar yang nggak disangka-sangka.