Naomi menyipitkan mata, menatap sosok yang sedang duduk di tepi danau. Memastikan apakah lelaki yang duduk di tepi danau itu adalah suaminya atau bukan. Jarak mereka masih lumayan jauh, dirinya berada di dataran yang lebih tinggi. Sebenarnya Naomi tak berniat menghampiri Alister. Namun, karena obrolan singkatnya dengan Nancy tadi, ia jadi penasaran dan akhirnya tergerak mencari Alister. Wanita itu ingin memastikan apakah Alister ada di danau atau tidak. Dan ternyata suaminya benar-benar ada di sini. Naomi ingin menghampiri Alister, tetapi ia ragu. Alister pasti masih marah dan lelaki itu sangat menyeramkan ketika marah. Namun, di sisi lain Naomi juga merasa bersalah. Sepertinya kata-kata pada lelaki itu tadi pagi terlalu kasar dan tidak sopan. Pelan-pelan Naomi melangkah tanpa suara. Mendekati Alister yang duduk membelakanginya. Ia ingin meminta maaf atas perkataan kasarnya. Naomi menghentikan langkah tepat di belakang Alister. Meremas kedua tangannya gugup. Dan lelaki itu belum me
“Attar?”Manik mata Naomi membulat sempurna. Ia mengerjapkan matanya berulang kali. Khawatir ada yang salah dengan indra penglihatannya. Namun, keberadaan adiknya itu benar-benar nyata. Bukanlah sekadar ilusi yang muncul karena terlalu rindu. Attar benar-benar ada di sini. Menatapnya dengan sorot sendu dari kursi roda yang pemuda itu miliki. Naomi membeku di tempatnya berdiri. Lidahnya kelu untuk berucap. Ia terkejut bukan main melihat kedatangan adiknya yang sangat mendadak. Alister yang sudah menyimpan koper mereka di kamar berdecak melihat Naomi yang hanya berdiri kaku di depan Attar. Ia langsung menghampiri dan menarik wanita itu ke arah Attar. Namun, atensinya teralih karena mendengar ringisan Naomi. “Kamu kenapa?” tanya Alister dengan mata memicing. Naomi dan Alister sama-sama memperhatikan kaki Naomi yang terdapat beberapa luka lecet memerah. Alister baru melihatnya karena sedari kemarin lelaki itu tidak memperhatikan kaki istrinya. Dan luka-luka itu malah baru terasa perih
Beberapa bulan lalu, Naomi pasti senang bukan main jika Alister pergi dalam waktu yang lama. Bahkan, berharap lelaki itu tak perlu cepat-cepat menemuinya. Namun, sekarang rasanya berbeda. Bukannya senang karena bebas melakukan apa pun. Ia malah kesepian. Seminggu telah berlalu sejak Alister pergi waktu itu. Hingga saat ini, Alister belum memberi kabar sama sekali. Lelaki itu menghilang bak ditelan bumi. Sedangkan Naomi tidak berani mengirim pesan apalagi menghubungi suaminya lebih dulu. Ia takut menggangguSelama seminggu ini pula Naomi rutin mengunjungi Attar lagi. Meskipun hubungan mereka belum benar-benar membaik. Tetapi, Attar sudah tidak lagi menunjukkan aura permusuhan padanya. Sayangnya, kunjungan itu tetap tak bisa membunuh kebosanan yang Naomi rasakan. Drrtt ... drrtt ...“Siapa yang menelpon malam-malam begini?” Naomi sudah bersiap memejamkan mata dan tidur. Meskipun malas, Naomi tetap meraih ponselnya yang berada di atas nakas dengan mata setengah terpejam. Siapa tahu sa
“Apa? Ke restoran? Itu tidak mungkin. Bagaimana kalau ada yang mengenaliku? Bukannya katanya Tuan Alister baru pulang minggu depan?” sahut Naomi yang terkejut bukan main. Bagaimana tidak. Semalam Alister mengatakan masih berada di luar kota sampai seminggu ke depan. Dan sekarang tiba-tiba saja supir lelaki itu berkata Alister sudah menunggunya. Dan harus datang ke restoran. Itu sama saja seolah membongkar hubungan mereka. “Saya hanya menyampaikan perintah Tuan, Nyonya,” jawab sang supir. “Tuan meminta Nyonya datang ke restorannya yang lain. Bukan tempat Nyonya bekerja. Silakan habiskan makanan Nyonya dulu. Saya tunggu di mobil.” Supir itu langsung pamit pergi setelahnya. Naomi yang sebenarnya masih ingin bertanya kembali mengatupkan bibirnya. Ia merogoh tasnya, mencari nomor Alister dan langsung menghubungi lelaki itu. Naomi ingin memastikan apakah Alister benar-benar memintanya datang atau mungkin supir itu hanya salah informasi. Beberapa pesan juga telepon darinya tak mendapat
Manik mata Naomi membulat sempurna mendengar suara ketukan pintu. Namun, dengan santainya Alister malah membuka pintu. Sedangkan Naomi kalang kabut memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai. Bukan untuk digunakan karena tak ada waktu. Melainkan karena ingin ia sembunyikan di balik selimutnya. Tak ada waktu untuk merapikan pakaiannya. Naomi menyembunyikan seluruh tubuhnya di dalam selimut. Tak ingin siapa pun yang datang itu melihatnya. Apalagi dengan penampilan yang berantakan seperti ini. Sudut bibir Alister berkedut menahan geli melihat kelakuan ajaib istrinya. “Ada apa?” tanya Alister pada sang pengetuk yang merupakan kepala chef di restoran ini. “Restoran sudah tutup dan semuanya sudah kami bereskan, Tuan,” papar sang kepala chef. “Oke. Kalian pulang saja. Berikan kuncinya padaku. Masih ada yang harus aku selesaikan,” balas Alister. Kepala chef itu langsung memberikan kunci restoran pada bosnya dan berpamitan pergi. Alister kembali menutup pintu sembari memutar kunci res
“Aw!” Naomi spontan meringis ketika pinggangnya menabrak pinggiran wastafel. Lantai yang agak licin membuatnya hampir kehilangan keseimbangan jika tidak berpegangan pada tembok di sampingnya. Setelah kembali berdiri tegak, Naomi mengangkat kepala. Menatap orang gila yang tiba-tiba datang, mendorong dan mengatainya. Keningnya mengerut, ia merasa tak mengenal wanita berpakaian minim namun glamor yang berdiri di depannya. Firasat Naomi mengatakan jika wanita di hadapannya ini tidak jauh berbeda dengan wanita yang tiba-tiba mendatanginya di pesta ulang tahun anak Alex. Ia tidak menyangka akan bertemu lagi dengan wanita seperti ini di saat suasana hatinya sedang buruk. Naomi sedang tak ingin bertemu dengan siapa pun. Apalagi dengan orang-orang yang berpotensi memancing emosinya. Ia pergi ke toilet untuk menenangkan diri sejenak dan menghindari tatapan-tatapan penuh kebencian itu. Namun, malah bertemu orang tak waras di sini. “Kenapa kamu menatapku seperti itu? Tidak terima?” tantang
“Oke. Aku akan pulang sendiri. Permisi, Tuan,” tutur Naomi seraya melepas genggaman Alister. Kemudian melangkah pergi. Naomi tidak mau lagi berlama-lama di rumah ini. Kalau bisa ia tak ingin lagi menginjakkan kaki di tempat ini lagi. Wanita itu sudah tidak tahan. Lagipula, untuk apa juga berlama-lama di sini jika sang pemilik rumah bahkan ingin dirinya segera pergi. Alister kontan bergerak dan menghalangi langkah Naomi. Kembali mencengkram tangan wanita itu agar tidak bisa pergi ke mana-mana. “Tidak bisa. Sekarang sudah malam. Bagaimana kalau ada apa-apa di jalan? Kamu tidak boleh pulang sendiri. Kita menginap di sini.”Alister selalu saja keras kepala. Naomi yang sudah muak kini mulai berkaca-kaca. Rasanya ia ingin menangis karena sudah sangat lelah. Namun, Alister tak mengerti maksudnya. Naomi tidak suka dipaksa, apalagi jelas-jelas tak ada yang menerimanya. “Aku tidak mau!” jawab Naomi tegas. “Lepaskan aku, Tuan! Aku bisa pulang sendiri. Biasanya juga seperti itu dan aku baik-ba
Mendengar suara lelaki idamannya, Pamela yang berada di ruang tamu kontan melangkah keluar. Wanita itu tidak menyadari hawa permusuhan yang menguar. Pamela melangkah anggun melewati beberapa sepupunya yang telah lebih dulu keluar. “Kenapa pagi-pagi sudah mencari—”Plak!Tamparan amat keras dari Alister membuat wajah Pamela terlempar ke samping dan wanita itu jatuh tersungkur. Kedua lututnya yang bergesekan dengan paving blok terluka dan mengeluarkan darah segar. Manik matanya berkaca-kaca, menatap Alister dengan sorot tak percaya. Naomi yang tadinya masih berada di mobil spontan keluar. Ia tidak menyangka Alister akan melakukan tindakan kasar seperti itu. Naomi pikir Alister hanya akan menegur Pamela. Meskipun Pamela memang bersalah, dia tetaplah seorang wanita.Beberapa sepupu Alister dan Pamela hanya berani menyaksikan dari kejauhan. Tidak ada yang berani mendekat dan mencari masalah dengan Alister. Sebab, itu sama saja seperti menggali lubang kubur mereka sendiri. Semuanya hanya
“Kakak yakin ingin pindah ke sini?” tanya Attar sembari menatap bangunan menjulang di hadapannya. “Iya. Kurasa sekarang sudah waktunya,” jawab Naomi yang spontan turut melirik rumah megah di depannya. Sejak terakhir kali menginjakkan kaki di sini, Naomi belum pernah datang lagi. Baru kali ini dirinya memberanikan diri untuk kembali datang. Setelah berbulan-bulan memilih mengasingkan diri dan berpikir tak akan pernah kembali sampai kapan pun. “Kuharap ini keputusan terbaik. Katakan kalau dia menyakitimu. Aku tidak akan segan-segan memukul wajahnya. Lagi. Atau Kakak bisa melakukan itu sendiri,” balas Attar sembari berkelakar. Naomi berdecak pelan. Niatnya datang kemari bukan untuk mencari masalah. Namun, untuk menyelesaikan salah satu masalah besar yang dihadapinya. Lebih tepatnya berdamai dengan hatinya setelah sekian lama dibuat bingung dengan keputusannya sendiri.Naomi ingat Attar bercerita kalau pemuda itu pernah memukul Alister. Itu terjadi setelah Alister menjelaskan kenapa d
“Ibu tirimu mengatakan ayahmu sakit sejak seminggu lalu. Dia berusaha menghubungimu dan adikmu, tapi tidak bisa,” ucap Alister yang sedang menyetir. Naomi spontan merogoh tasnya dan mengambil ponselnya. Ia mencari nomor telepon ibu tirinya yang sengaja dirinya blokir sejak lama. Ibu tirinya itu pernah menghubunginya di awal-awal ayahnya masuk penjara. Tentunya ingin meminta tolong agar Naomi membantu mengeluarkan sang ayah dari penjara. Oleh karena itu, Naomi memilih memblokir kontak ibu tirinya. Sebab, bagaimana pun caranya, Naomi tak mungkin membantu membebaskan ayahnya. Attar pun melakukan hal yang sama. Bukannya ingin memutuskan hubungan, mereka hanya muak dengan gangguan itu. Mendengar ayahnya sakit membuat kekhawatiran Naomi pada sang ayah mencuat tanpa bisa dicegah. Walaupun ia juga tidak tahu sakit apa yang ayahnya derita. Barusan, Naomi juga sudah menghubungi adiknya mengatakan tentang kondisi ayah mereka. “Kamu tenang dulu. Ayahmu pasti baik-baik saja,” tutur Alister sem
Naomi menyadari jika Alister berada di restoran yang dipenuhi hidangan mewah. Apa pun yang lelaki itu inginkan pasti ada di sana. Akan tetapi, tiba-tiba saja dirinya terdorong untuk membuat dan mengantarkan makanan pada lelaki itu. Sekarang Naomi sudah dalam perjalanan menuju ke salah satu restoran Alister, di mana lelaki itu berada. Ia pun datang tanpa mengatakan apa pun pada Alister. Mereka hanya sempat bertukar pesan sebelumnya hingga Naomi mengetahui di mana lelaki itu berada. Naomi pun tidak tahu suaminya itu sudah makan atau belum. Atau mungkin saja sudah berpindah ke restoran lain. Sebab, biasanya pun sering seperti itu. Ia melakukan ini sebagai bentuk terima kasihnya atas tutor bisnis dadakan yang lelaki itu lakukan belakangan ini. “Tuan Alister ada di ruangannya?” tanya Naomi pada salah seorang karyawan Alister yang sedang membuang sampah di luar restoran. “Eh, Nyonya? Tuan ada di ruangannya. Mau saya antar?” tawar sang pelayan dengan senyum ramah. Naomi langsung menggel
Naomi tahu Alister adalah perayu ulung. Lelaki itu berpengalaman melakukan negosiasi dengan puluhan, bahkan ratusan orang selama ini. Jelas saja, Alister memiliki banyak cara untuk membuat orang yang tadinya enggan menjadi setuju. Seperti itu juga yang dirasakan oleh Naomi. Tadinya, wanita itu bersikeras menolak keinginan Alister untuk mengelola restoran baru lelaki itu. Namun, dalam waktu singkat, Alister berhasil mengubah keputusannya. Naomi baru menyadari itu setelah dirinya memutuskan sesuatu yang berbanding terbalik dengan keinginan hatinya. Akhirnya, Naomi benar-benar mengelola restoran tersebut seperti yang lelaki itu inginkan. Setelah di pikir-pikir lagi, tawaran Alister tidak membuatnya rugi sama sekali. Malahan, dirinya bisa mendapat banyak ilmu dan pengalaman baru yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. “Bagian mana lagi yang belum kamu pahami?” tanya Alister membuyarkan lamunan Naomi. Naomi tersentak pelan dan langsung menunjuk satu bagian yang belum dirinya mengerti
“Kenapa Tuan mengajakku ke sini lagi?” tanya Naomi sembari menatap restoran mewah yang beberapa hari lalu ia kunjungi bersama Alister beberapa hari lalu. Bedanya, sekarang restoran tersebut telah beroperasi. Meskipun grand openingnya baru beberapa hari lalu, restoran ini sudah cukup ramai. Pengunjungnya pun terlihat berkelas dan bukan orang sembarangan. Naomi masih mengamati semuanya dari balik dinding kaca transparan yang mengelilingi restoran ini. Nama besar yang sudah Alister miliki membuat lelaki itu tak perlu terlalu mengeluarkan biaya untuk promosi. Bahkan, sepertinya tanpa promosi pun restoran ini tetap dapat beroperasi dengan baik. Bahkan, lelaki itu juga berhasil membuat restoran yang nyaris bangkrut kembali berjalan sebagaimana mestinya. Alkanna. Itulah nama restoran mewah ini. Alister mengatakan jika nama tersebut diambil dari gabungan namanya, nama putranya, dan Naomi. Alister, Ariana, dan Naomi. Entah itu benar atau tidak. Naomi pun tidak mempercayainya. Bahkan, masih
“Kamu pasti menerobos masuk tanpa izin!” tuduh Raga dengan sorot sinis. Dari semua sepupu Alister, hanya Raga yang berani menantang dan mengganggu Alister secara terang-terangan. Sedangkan sisanya tidak ada yang berani mendebat lelaki itu sama sekali. Bahkan, mereka cenderung menjauhi Alister jika tidak ada keperluan mendesak. Mereka akan berubah menjadi penjilat ulung jika membutuhkan bantuan Alister. Meskipun walau sudah berusaha keras, terkadang Alister mengabaikan permintaan mereka. Hanya Raga yang tak pernah melakukan itu karena merasa bisa mengatasi masalahnya sendiri. Sejak kecil mereka seolah bermusuhan dan bersaing untuk menjadi yang terbaik. Mungkin, lebih tepatnya hanya Raga yang melakukan itu. Sedangkan Alister tidak peduli dengan siapa pun, kecuali yang dianggapnya penting. Dan bersaing dengan Raga bukan salah satunya. “Jangan berisik! Istri dan anakku sedang tidur! Apa yang kamu inginkan? Pergi! Kami tidak menerima tamu!” Alister kembali melontarkan pengusiran pada R
Naomi mengenal sapu tangan itu. Sapu tangan itu memang miliknya. Lebih tepatnya peninggalan ibunya yang telah hilang beberapa tahun lalu. Ia sempat menangis saat mengetahui sapu tangan itu hilang. Sebab, baginya sapu tangan tersebut adalah benda keberuntungannya. Sapu tangan itu membuat Naomi merasa dekat dengan ibunya yang telah tiada. Ia selalu membawa sapu tangan iru ke mana pun dirinya pergi. Oleh karena itu, ketika sapu tangannya hilang entah ke mana, Naomi sangat merasa bersalah dan sedih. Naomi tidak pernah mengira jika sapu tangan itu berada di tangan Alister. Lebih tidak percaya lagi lelaki itu masih menyimpannya sampai sekarang. Padahal benda itu sudah terlihat lusuh. Orang sekelas Alister pasti menganggapnya seperti sampah. “Kamu tidak sengaja menumpahkan kopi di kemejaku dan kamu memberikan sapu tangan itu untuk membersihkannya. Kamu ingat? Kalau di pikir-pikir lagi, perbuatanmu waktu itu sangat tidak sopan,” ucap Alister sembari terkekeh. “Kamu ingin mengembalikannya
Hawa dingin yang menerpa punggungnya membuat Naomi menggeliat pelan dan akhirnya terbangun. Seketika saja ia mengingat apa yang terjadi beberapa jam lalu. Wajahnya langsung bersemu. Namun, ranjang di sampingnya malah kosong. “Tidurlah, sekarang masih malam,” ucap Alister yang berdiri di sudut ruangan. Naomi spontan mengalihkan pandangan. Wanita itu mengira dirinya ditinggalkan di sini. Dalam cahaya remang-remang, ia dapat melihat siluet Alister di sudut kamar yang sedang menggendong Arkana. Mereka masih berada di kamar hotel Alister tadi. Naomi tidak tahu sejak kapan Arkana berada di sini. Ia tidak enak pada Attar jika adiknya yang membawa Arkana kemari. Ia telah mengganggu waktu istirahat pemuda itu dengan meminta dia menemani Arkana. Apalagi dirinya berjanji hanya pergi sebentar. Naomi tidak menyesal telah memaksakan jauh-jauh datang. Meskipun awalnya dibuat salah paham, setidaknya sekarang dirinya sudah lebih lega. Jika tidak begini, ia tidak akan tahu apa-apa. Walaupun masih b
Seharusnya, Naomi merasa baik-baik saja. Namun, entah ke mana matanya tiba-tiba memburam dan memanas. Kedua tangan yang berada di samping tubuhnya pun gemetar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun otaknya seolah ingin menyimpulkan sendiri. Amara menatap Naomi dengan senyum miring, kemudian berjalan melewati wanita itu. Dengan sengaja Amara menyenggol Naomi hingga wanita itu nyaris terhuyung. Senyum miring Amara kian mengembang setelah melewati Naomi. Cukup lama Naomi membeku di tempat. Alister pun tampak terkejut melihat kedatangannya. Setelah tersadar dari lamunannya, Naomi lantas berbalik bersiap melangkah pergi dari sana. Namun, Alister bergerak lebih cepat dan menahannya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alister pada Naomi. Naomi berdecih sinis. “Bukannya Tuan yang menyuruhku datang?” Bisa-bisanya Alister bertanya seperti itu seolah tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas-jelas lelaki itu sendiri yang memintanya datang. Ternyata, ia diminta datang hanya untuk menyaksikan Ali