Manik mata Naomi membulat sempurna melihat siapa yang barusan tak sengaja menabraknya. Kelvin! Ia spontan hendak melepas tangannya dari genggaman Alister. Namun, lelaki itu seakan sengaja mengeratkan genggaman pada tangannya hingga membuat genggaman itu tak bisa terlepas. Kepanikan tampak sangat jelas dari wajah Naomi dan itu tertangkap oleh Alister yang memasang ekspresi datar. Bukan hanya Naomi yanh terkejut, tetapi juga Kelvin. Lelaki itu terbelalak dan seakan tak percaya dengan pertemuan mengejutkan ini. “Naomi ... Tuan Alister ... kalian—” Kelvin kehilangan suaranya, benar-benar terkejut melihat Naomi bersama Alister yanh notabenenya adalah bosnya. Apalagi melihat keduanya bergandengan tangan mesra. Menunjukkan jika ada sesuatu di antara keduanya. Kelvin tak terlalu bodoh untuk menafsirkan hal itu. “Dia istriku,” sahut Alister tegas. Sama seperti ketika membalas pertanyaan Alex semalam. Naomi memejamkan matanya sejenak. Seharusnya tidak seperti ini. Ia tidak menyangka akan d
Naomi menyipitkan mata, menatap sosok yang sedang duduk di tepi danau. Memastikan apakah lelaki yang duduk di tepi danau itu adalah suaminya atau bukan. Jarak mereka masih lumayan jauh, dirinya berada di dataran yang lebih tinggi. Sebenarnya Naomi tak berniat menghampiri Alister. Namun, karena obrolan singkatnya dengan Nancy tadi, ia jadi penasaran dan akhirnya tergerak mencari Alister. Wanita itu ingin memastikan apakah Alister ada di danau atau tidak. Dan ternyata suaminya benar-benar ada di sini. Naomi ingin menghampiri Alister, tetapi ia ragu. Alister pasti masih marah dan lelaki itu sangat menyeramkan ketika marah. Namun, di sisi lain Naomi juga merasa bersalah. Sepertinya kata-kata pada lelaki itu tadi pagi terlalu kasar dan tidak sopan. Pelan-pelan Naomi melangkah tanpa suara. Mendekati Alister yang duduk membelakanginya. Ia ingin meminta maaf atas perkataan kasarnya. Naomi menghentikan langkah tepat di belakang Alister. Meremas kedua tangannya gugup. Dan lelaki itu belum me
“Attar?”Manik mata Naomi membulat sempurna. Ia mengerjapkan matanya berulang kali. Khawatir ada yang salah dengan indra penglihatannya. Namun, keberadaan adiknya itu benar-benar nyata. Bukanlah sekadar ilusi yang muncul karena terlalu rindu. Attar benar-benar ada di sini. Menatapnya dengan sorot sendu dari kursi roda yang pemuda itu miliki. Naomi membeku di tempatnya berdiri. Lidahnya kelu untuk berucap. Ia terkejut bukan main melihat kedatangan adiknya yang sangat mendadak. Alister yang sudah menyimpan koper mereka di kamar berdecak melihat Naomi yang hanya berdiri kaku di depan Attar. Ia langsung menghampiri dan menarik wanita itu ke arah Attar. Namun, atensinya teralih karena mendengar ringisan Naomi. “Kamu kenapa?” tanya Alister dengan mata memicing. Naomi dan Alister sama-sama memperhatikan kaki Naomi yang terdapat beberapa luka lecet memerah. Alister baru melihatnya karena sedari kemarin lelaki itu tidak memperhatikan kaki istrinya. Dan luka-luka itu malah baru terasa perih
Beberapa bulan lalu, Naomi pasti senang bukan main jika Alister pergi dalam waktu yang lama. Bahkan, berharap lelaki itu tak perlu cepat-cepat menemuinya. Namun, sekarang rasanya berbeda. Bukannya senang karena bebas melakukan apa pun. Ia malah kesepian. Seminggu telah berlalu sejak Alister pergi waktu itu. Hingga saat ini, Alister belum memberi kabar sama sekali. Lelaki itu menghilang bak ditelan bumi. Sedangkan Naomi tidak berani mengirim pesan apalagi menghubungi suaminya lebih dulu. Ia takut menggangguSelama seminggu ini pula Naomi rutin mengunjungi Attar lagi. Meskipun hubungan mereka belum benar-benar membaik. Tetapi, Attar sudah tidak lagi menunjukkan aura permusuhan padanya. Sayangnya, kunjungan itu tetap tak bisa membunuh kebosanan yang Naomi rasakan. Drrtt ... drrtt ...“Siapa yang menelpon malam-malam begini?” Naomi sudah bersiap memejamkan mata dan tidur. Meskipun malas, Naomi tetap meraih ponselnya yang berada di atas nakas dengan mata setengah terpejam. Siapa tahu sa
“Apa? Ke restoran? Itu tidak mungkin. Bagaimana kalau ada yang mengenaliku? Bukannya katanya Tuan Alister baru pulang minggu depan?” sahut Naomi yang terkejut bukan main. Bagaimana tidak. Semalam Alister mengatakan masih berada di luar kota sampai seminggu ke depan. Dan sekarang tiba-tiba saja supir lelaki itu berkata Alister sudah menunggunya. Dan harus datang ke restoran. Itu sama saja seolah membongkar hubungan mereka. “Saya hanya menyampaikan perintah Tuan, Nyonya,” jawab sang supir. “Tuan meminta Nyonya datang ke restorannya yang lain. Bukan tempat Nyonya bekerja. Silakan habiskan makanan Nyonya dulu. Saya tunggu di mobil.” Supir itu langsung pamit pergi setelahnya. Naomi yang sebenarnya masih ingin bertanya kembali mengatupkan bibirnya. Ia merogoh tasnya, mencari nomor Alister dan langsung menghubungi lelaki itu. Naomi ingin memastikan apakah Alister benar-benar memintanya datang atau mungkin supir itu hanya salah informasi. Beberapa pesan juga telepon darinya tak mendapat
Manik mata Naomi membulat sempurna mendengar suara ketukan pintu. Namun, dengan santainya Alister malah membuka pintu. Sedangkan Naomi kalang kabut memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai. Bukan untuk digunakan karena tak ada waktu. Melainkan karena ingin ia sembunyikan di balik selimutnya. Tak ada waktu untuk merapikan pakaiannya. Naomi menyembunyikan seluruh tubuhnya di dalam selimut. Tak ingin siapa pun yang datang itu melihatnya. Apalagi dengan penampilan yang berantakan seperti ini. Sudut bibir Alister berkedut menahan geli melihat kelakuan ajaib istrinya. “Ada apa?” tanya Alister pada sang pengetuk yang merupakan kepala chef di restoran ini. “Restoran sudah tutup dan semuanya sudah kami bereskan, Tuan,” papar sang kepala chef. “Oke. Kalian pulang saja. Berikan kuncinya padaku. Masih ada yang harus aku selesaikan,” balas Alister. Kepala chef itu langsung memberikan kunci restoran pada bosnya dan berpamitan pergi. Alister kembali menutup pintu sembari memutar kunci res
“Aw!” Naomi spontan meringis ketika pinggangnya menabrak pinggiran wastafel. Lantai yang agak licin membuatnya hampir kehilangan keseimbangan jika tidak berpegangan pada tembok di sampingnya. Setelah kembali berdiri tegak, Naomi mengangkat kepala. Menatap orang gila yang tiba-tiba datang, mendorong dan mengatainya. Keningnya mengerut, ia merasa tak mengenal wanita berpakaian minim namun glamor yang berdiri di depannya. Firasat Naomi mengatakan jika wanita di hadapannya ini tidak jauh berbeda dengan wanita yang tiba-tiba mendatanginya di pesta ulang tahun anak Alex. Ia tidak menyangka akan bertemu lagi dengan wanita seperti ini di saat suasana hatinya sedang buruk. Naomi sedang tak ingin bertemu dengan siapa pun. Apalagi dengan orang-orang yang berpotensi memancing emosinya. Ia pergi ke toilet untuk menenangkan diri sejenak dan menghindari tatapan-tatapan penuh kebencian itu. Namun, malah bertemu orang tak waras di sini. “Kenapa kamu menatapku seperti itu? Tidak terima?” tantang
“Oke. Aku akan pulang sendiri. Permisi, Tuan,” tutur Naomi seraya melepas genggaman Alister. Kemudian melangkah pergi. Naomi tidak mau lagi berlama-lama di rumah ini. Kalau bisa ia tak ingin lagi menginjakkan kaki di tempat ini lagi. Wanita itu sudah tidak tahan. Lagipula, untuk apa juga berlama-lama di sini jika sang pemilik rumah bahkan ingin dirinya segera pergi. Alister kontan bergerak dan menghalangi langkah Naomi. Kembali mencengkram tangan wanita itu agar tidak bisa pergi ke mana-mana. “Tidak bisa. Sekarang sudah malam. Bagaimana kalau ada apa-apa di jalan? Kamu tidak boleh pulang sendiri. Kita menginap di sini.”Alister selalu saja keras kepala. Naomi yang sudah muak kini mulai berkaca-kaca. Rasanya ia ingin menangis karena sudah sangat lelah. Namun, Alister tak mengerti maksudnya. Naomi tidak suka dipaksa, apalagi jelas-jelas tak ada yang menerimanya. “Aku tidak mau!” jawab Naomi tegas. “Lepaskan aku, Tuan! Aku bisa pulang sendiri. Biasanya juga seperti itu dan aku baik-ba
Seharusnya, Naomi merasa baik-baik saja. Namun, entah ke mana matanya tiba-tiba memburam dan memanas. Kedua tangan yang berada di samping tubuhnya pun gemetar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun otaknya seolah ingin menyimpulkan sendiri. Amara menatap Naomi dengan senyum miring, kemudian berjalan melewati wanita itu. Dengan sengaja Amara menyenggol Naomi hingga wanita itu nyaris terhuyung. Senyum miring Amara kian mengembang setelah melewati Naomi. Cukup lama Naomi membeku di tempat. Alister pun tampak terkejut melihat kedatangannya. Setelah tersadar dari lamunannya, Naomi lantas berbalik bersiap melangkah pergi dari sana. Namun, Alister bergerak lebih cepat dan menahannya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alister pada Naomi. Naomi berdecih sinis. “Bukannya Tuan yang menyuruhku datang?” Bisa-bisanya Alister bertanya seperti itu seolah tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas-jelas lelaki itu sendiri yang memintanya datang. Ternyata, ia diminta datang hanya untuk menyaksikan Ali
Alister menunjukkan bukti perceraiannya dengan Amara satu tahun lalu pada awak media. Seluruh wartawan langsung memotret bukti perceraian tersebut dari dekat hingga seluruh keterangan yang tertera di sana benar-benar terlihat. Dan tanggal perceraian itu tepat seminggu setelah Alister menikah dengan Naomi. Naomi terkejut bukan main. Yang ia tahu Alister dan Amara bercerai baru-baru ini. Bahkan, sebelumnya pun mereka masih tinggal bersama. Naomi tidak menyangka jika sejak lama Alister dan Amara telah berpisah. Bahkan, sebelum dirinya hamil. “Kami sudah lama berpisah dan perpisahan ini tidak ada kaitannya dengan Naomi. Istriku yang sekarang. Dia salah satu karyawanku dan kami menikah karena saling mencintai. Sedangkan hubunganku dan Amara sudah selesai,” papar Alister di depan seluruh awak media. “Kuharap di antara kalian tidak ada lagi yang berpikir kalau Naomi yang menghancurkan hubunganku dengan Amara. Dan satu lagi, istriku tidak suka terekspos. Jadi, tolong jangan terlalu mengg
“Aku akan menyelesaikannya,” tutur Alister yang kini sudah duduk di samping Naomi. Naomi berjingkat kaget dan spontan menoleh ke samping. Ia tak menyadari sejak kapan Alister terbangun. Apalagi sampai sudah mengintip ponselnya juga. Ia berdecak kesal seraya mematikan ponselnya dan meletakkan benda tersebut di atas meja kecil di dekat ranjangnya. Seperti biasa, Alister selalu menghadapi masalah dengan santai. Seakan-akan yang terjadi saat ini bukanlah masalah besar. Padahal permasalahan ini dapat sangat berpengaruh pada lelaki itu. Berbanding terbalik dengan Naomi yang sedari tadi sudah panik. “Tidak semudah itu, Tuan! Semuanya sudah menyebar. Orang-orang tidak akan mudah percaya,” jawab Naomi agak kesal. “Oh ya, sekalian aku juga ingin mengingatkan kalau aku adalah putri dari seseorang yang pernah menipu Tuan habis-habisan. Harusnya Tuan menjauhiku sebelum aku menguras harta Tuan juga. Aku bisa melakukannya kapan pun aku mau,” lanjut Naomi. Naomi tidak habis pikir kenapa Alister
Naomi tidak pernah merasa syok dan malu separah ini sebelumnya. Sampai-sampai ia tidak tahu harus melakukan apa dan hanya bisa duduk kaku di tempat duduknya. Sebab, untuk beranjak pergi pun tak mungkin meski dirinya benar-benar merasa tak nyaman. Naomi berusaha memaklumi Alister yang tiba-tiba membawanya ke tempat ini tanpa penjelasan di awal. Namun, seakan tak puas membuatnya syok, lelaki itu kembali berulah dan kali ini sangat fatal. Seakan sengaja ingin membuatnya menjadi bulan-bulanan semua orang. Wanita itu memberi isyarat pada suaminya akan berhenti atau meralat kalimat sebelumnya. Namun, lelaki itu bersikap masa bodoh dan terus melanjutkan pidato tanpa memedulikan dirinya. Padahal atmosfer yang melingkupi ruangan ini sudah tidak bersahabat. “Naomi bukan penyebab berakhirnya hubunganku dengan Amara. Sudah sejak lama aku dan Amara tidak cocok. Makanya, akhirnya kami memilih berpisah. Tapi, perpisahan kami baru terekspos akhir-akhir ini. Perpisahan itu tidak ada sangkut pautnya
“Kamu belum siap-siap?” tanya Alister ketika melihat Naomi malah sudah berbaring di ranjang dengan Arkana menggunakan baju tidur. Bahkan, sekarang sudah sedikit terlambat dari waktu janjian mereka karena Alister terjebak kemacetan di jalan. Namun, setelah sampai di sini, Naomi malah belum siap-siap. Lebih tepatnya memang tidak akan bersiap-siap karena wanita itu tidak mau pergi dengan Alister. Kemarin-kemarin Naomi sudah memberi kelonggaran pada Alister untuk berbuat seenaknya. Sekarang tidak lagi. Seharusnya sekarang proses perceraian mereka sudah berjalan. Dan pasangan yang akan berpisah tidak mungkin masih pergi ke mana-mana bersama. “Aku sudah makan. Tuan berangkat sendiri saja,” jawab Naomi seraya memejamkan mata. Padahal belum mengantuk sama sekali.Sekarang baru jam tujuh malam. Biasanya Naomi masih beraktivitas jam segini. Tentu saja ia belum mengantuk. Namun, ia sengaja menyelesaikan pekerjaan rumahnya lebih awal agar bisa bersiap tidur lebih awal juga. Supaya tidak perlu
“Jangan kerja dulu hari ini. Tuan harus istirahat supaya benar-benar pulih. Tapi, kalau Tuan mau pulang sekarang, silakan. Tuan bisa meminta supir menjemput,” tutur Naomi setelah mengecek suhu tubuh Alister menggunakan punggung tangannya. “Sekarang Tuan makan dulu.” Naomi membantu Alister mengubah posisi menjadi bersandar di tembok dengan bantal menjadi menopang. Naomi sudah membuatkan bubur untuk Alister. Tadinya ia ingin membeli saja agar lebih praktis. Namun, Naomi ingat jika Alister agak sensitif terhadap makanan saat sakit. Daripada lelaki itu tidak mau makan, lebih baik ia yang membuatkan bubur. Meski belum tentu juga rasanya enak. Naomi menyadari seharusnya dirinya tidak perlu repot-repot melakukan ini. Namun, ia tidak bisa berpura-pura tak peduli. Apalagi melihat kondisi lelaki itu yang terlihat sangat mengkhawatirkan. Naomi semakin tidak bisa menutup mata dan diam saja. Alister menerima suapan yang Naomi berikan tanpa membuka suara. Walaupun demam yang lelaki itu alami
Naomi berdeham pelan, lalu tersenyum kaku. Wanita itu berkedip pelan, benar-benar tak menyangka mertuanya sudi menginjakkan kaki di rumah sempitnya ini. Meskipun ia juga belum mengetahui apa tujuan kedatangan Miranda sebenarnya. “Maaf, Nyonya. Aku hanya terkejut. Silakan masuk.” Naomi membuka pintu lebih lebar, membiarkan Alister masuk dan mempersilakan Miranda untuk masuk juga. Naomi menatap Alister, bertanya lewat isyarat kenapa lelaki itu mengajak Miranda kemari. Bukannya Naomi antipati terhadap mertuanya sendiri. Tetapi, seharusnya sebelumnya Alister mengatakan jika akan mengajak Miranda juga agar Naomi bisa mempersiapkan sesuatu. Naomi tidak memiliki hidangan yang bisa disuguhkan. Ia hanya memasak sedikit untuk makan malamnya dengan Attar nanti. Seandainya Alister terus terang, dirinya pasti membeli sesuatu untuk disuguhkan. Dan yang sekarang bisa ia suguhkan hanya secangkir teh hangat dan kopi. Justru, malah Miranda dan Alister yang membawakan banyak makanan. Itu malah membu
“Kamu ingin mengundurkan diri? Kenapa? Apa gaji yang aku tawarkan kurang? Maksudku, kita bisa berdiskusi lagi. Bahkan, kamu belum mendapat gaji pertamamu,” tanya Raga spontan bahkan sebelum membaca surat pengunduran diri yang Naomi berikan. “Bukan. Bukan karena itu. Ini murni karena keputusan pribadiku,” jawab Naomi sembari menggeleng. Belum genap satu bulan bekerja, Naomi memilih mengundurkan diri. Tentu saja alasannya karena sekarang Naomi harus mengasuh Arkana. Jika dirinya masih bekerja, ia tidak mungkin memiliki waktu penuh untuk mengasuh putranya. Sebenarnya Naomi juga tidak mau melepas pekerjaan yang sudah membuatnya nyaman ini. Namun, dengan kondisinya saat ini tak memungkinkan untuk dipaksakan bekerja. Ia tahu penyerahan Arkana padanya juga salah satu cara Alister untuk membuatnya berhenti bekerja. “Sekarang aku harus mengasuh anakku juga. Aku tidak akan bisa membagi waktu untuk bekerja. Aku benar-benar minta maaf karena ini sangat mendadak. Terima kasih sudah memberiku k
Alister melangkah mendekati Naomi yang telah mengubah posisi menjadi duduk. “Aku tidak akan mengurus perceraian kita.”“Apa? Jangan gila, Tuan!” sahut Naomi spontan. Ekspresi santainya menghilang dan berganti dengan mimik kesal disertai tatapan tajam. Ucapan Alister membuat kantuk yang dirasakannya menghilang seketika. Matanya melotot tajam, benar-benar terkejut dengan kata-kata suaminya. Sedangkan sang tersangka yang berbicara seenak jidat kini memasang ekspresi datar tanpa beban. Naomi tak membahas persoalan itu lagi karena masih sibuk dengan Arkana. Namun, bukan berarti dirinya melupakan masalah tersebut. Bahkan, Naomi juga telah memikirkan jika dirinya harus mengajukan gugatan lebih dulu. Dan Alister malah berkata seperti ini padanya. “Tuan, kita sudah sepakat untuk berpisah secara baik-baik. Hanya tinggal meresmikannya saja. Sekarang urusan Arkana sudah selesai, kurasa tidak ada alasan lagi untuk menunda. Kalau Tuan tidak sempat mengurusnya, biar aku saja yang mengajukannya,”