Amara tiba-tiba datang dan menghadang jalan Alister dan Naomi. Sebagai salah satu anggota ‘keluarga’ Hardikusuma, ia juga masuk ke grup w******p keluarga konglomerat itu. Amara telah melihat rekaman yang Alister kirimkan di sana. Wanita itu mengetahui apa yang terjadi dari segelintir percakapan sepupu Alister dalam grup tersebut. “Apa kamu baru saja memeriksakan setiap inchi tubuh istri barumu itu, Sayang? Sejak kapan kamu sangat perhatian padanya? Padahal kalau aku lihat-lihat, sepertinya dia baik-baik saja.” Amara melipat kedua tangan di depan dada sembari menelisik Naomi dari atas sampai bawah. Tak ada lagi sorot lembut dan bersahabat dari tatapan Amara. Hanya tersisa sorot penuh perhitungan Suasana sekitar yang sepi sangat mendukung untuk dirinya berbicara serius. Sangat serius karena ingin menyangkut keberlangsungan hidupnya di masa depan. “Kamu mengikuti kami?” sahut Alister dengan mata memicing. Amara tergelak dan maju selangkah. “Untuk apa aku mengikuti kalian? Urusanku
Meskipun Naomi mengabaikan panggilan Amara, wanita itu tampak tak menyerah dan terus menghubunginya hingga ke-5 kalinya. Kegiatan membaca Naomi benar-benar terganggu karena wanita itu. Entah apa yang Amara inginkan sebenarnya sampai menghubunginya berkali-kali. Akhirnya, Naomi pun mengalah dan mengangkat telepon tersebut. Sebab, sepertinya Amara tidak akan puas sebelum ia mengangkat telepon dari wanita itu. “Ada apa?” tanya Naomi tanpa basa-basi setelah menggeser ikon hijau pada layar ponselnya. [“Wah, sepertinya kamu semakin berani padaku? Sengaja mengabaikan telponku? Jangan berlagak seperti orang penting yang sibuk!”] Suara Amara yang halus, kini terdengar sangat sinis. Helaan napas pelan lolos dari bibir Naomi. “Aku tidak selalu memegang ponselku, Nyonya. Meski aku tidak sibuk seperti dirimu, aku juga punya kegiatan. Kalau Nyonya merasa menghubungi menyita waktu, kenapa tidak mengirim pesan saja? Aku pasti membalasnya.” [“Lancang sekali kamu menjawab seperti itu! Dengar,
Beberapa foto candid Naomi dan Akister di berbagai tempat terpampang. Termasuk foto mereka di rumah sakit kemarin. Saat Amara tiba-tiba datang. Itu seakan menunjukkan jika Alister tengah berselingkuh dan dilabrak oleh istri sahnya. Alister memang mengenakan masker san topi yang menutupi sebagian wajah lelaki itu. Sedangkan dirinya, wajahnya terpampang meskipun tidak terlalu jelas. Namun, kemungkinan orang-orang yang sering melihatnya akan mengenalinya. Tangan Naomi yang sedang memegang remote pun kontan gemetar. Ia tak menyangka selama ini ada yang memotret mereka secara diam-diam. Dan sekarang sengaja meng-upload di media sosial hingga menjadi berita hangat sampai ke berita gosip di televisi juga.‘Alister Hardikusuma beberapa kali terlihat memasuki sebuah gedung apartemen mewah bersama seorang wanita. Mereka juga sering bersama di beberapa kesempatan. Hingga di sebuah rumah sakit, Amara tampak menghampiri Alister dan seorang wanita. Terlihat mereka sedang bertengkar hebat.’‘Belum
Naomi mengerutkan kening. Entah dengan siapa Alister berbicara sampai marah-marah seperti itu. Sebelum suaminya menyadari dirinya telah terjaga, ia pun kembali memejamkan mata. Berpura-pura tidur, namun menajamkan pendengarannya. “Jangan pernah mencoba membongkarnya! Ingat perjanjian kita! Kamu tidak bisa mengancamku dengan cara nurahan seperti ini!” Suara Alister yang penuh peringatan kembali terdengar. Nadanya sangat menusuk, sarat akan ancaman yang pekat. Naomi pikir Alister akan pergi keluar kamar. Namun, ternyata lelaki itu melanjutkan pembicaraan alotnya di sini. Sepertinya Alister mengira dirinya masih tertidur pulas. Sekarang memang masih pagi-pagi buta. Naomi terbangun karena berpikir lelaki itu pergi meninggalkannya. “Jangan lupa kalau seluruh hidupmu masih bergantung padaku! Tanpa aku, kamu tidak akan bisa bersenang-senang tanpa memikirkan bagaimana uang itu datang!” sembur Alister dengan amarah yang semakin meluap-luap. Namun, ia masih menjaga intonasi bicaranya tetap r
[Hanya makanan seperti itu saja kamu minta padaku? Kamu pikir aku hanya mengurusimu saja?] [Jangan karena aku bersikap baik padamu, kamu bisa memerintahku seenaknya. Ingatlah siapa dirimu! Jangan terlalu manja!] Deg! Naomi tidak menyangka akan mendapat jawaban menohok seperti itu dari suaminya. Tak masalah jika lelaki itu keberatan memenuhi keinginannya. Namun, apa tidak ada jawaban lain yang lebih halus? Ia akan mengerti dan tak memaksa lagi. Naomi berusaha menarik sudut bibirnya, namun hanya terbentuk senyum kecut. Jawaban Alister menyadarkannya jika selama ini ia terlalu bersikap manja dan lupa diri. Sepertinya lelaki itu sudah muak dengan sikap tidak tahu dirinya. Tak apa, setelah ini ia tidak akan mengulanginya. “Abaikan saja permintaanku. Aku akan membuatnya sendiri. Maaf mengganggu waktumu, Tuan.” Ketik Naomi sebagai balasan. Wanita itu mematikan ponselnya dan membuka apron yang terpasang di tubuhnya. Kemudian, bergegas beranjak pergi dari dapur sembari membawa cheeseca
“Kamu marah? Aku salah apa?”Ingin sekali Naomi berteriak di depan wajah Alister. Meluapkan kekesalannya seharian ini. Namun, tentu saja ia tidak bisa. Tanpa sadar sorot mata Naomi berubah tajam. Setelah membuatnya sedih seharian ini. Suaminya itu masih bisa bertanya begitu. Seolah-olah Alister benar-benar lupa dengan pesan balasan yang dikirimnya beberapa jam lalu. Lelaki itu mungkin lupa, atau lebih tepatnya berpura-pura lupa. Namun, Naomi tidak akan melupakan pesan menohok yang membuatnya sadar untuk tak merepotkan lelaki itu. Seharusnya, tadi ia berpesan pada Attar agar tidak mengizinkan Alister masuk. Namun, itu akan membuat adiknya curiga. Naomi pun tak menyangka Alister akan menyusulnya kemari. Apalagi dengan membawa makanan yang diinginkannya sebagai sogokan. Sayangnya, ia tak menginginkan makanan itu lagi. “Kenapa aku harus marah, Tuan? Aku tidak marah,” jawab Naomi pada akhirnya. “Aku sudah ngantuk dan ingin istirahat. Tuan pulang saja. Supaya besok tidak terlambat bekerj
‘Alister Hardikusuma dan Amara Hardikusuma menghadiri undangan makan malam dari Mustika Grup setelah Hardikusuma Grup resmi menjalin kerja sama dengan Mustika Grup.’Seperti itulah yang sang pembawa berita sampainya. Kamera wartawan terus menyorot Alister dan Amara yang berbaur di antara pasangan konglomerat lainnya. Naomi tak mengenal orang-orang yang berada di sana meskipun mereka cukup sering berseliweran di layar kaca. Fokusnya tertuju pada Amara yang menggandeng erat Alister. Seulas senyum miris tersungging di bibir Naomi. “Bukankah semalam dia bilang lembur sampai pulang lebih larut? Tapi, kenyataannya dia sedang pergi bersama Nyonya Amara,” batinnya. “Kenapa harus berbohong? Kalau jujur pun aku tidak mungkin marah.” Naomi mengalihkan pandangannya dari televisi dan menatap lantai. “Ternyata dia memang sibuk. Pantas saja dia marah karena aku meminta yang aneh-aneh. Padahal dia bisa jujur. Aku akan mengerti.”“Tuan Alister dan istrinya sangat terkenal, wartawan selalu menyorot m
“Kamu mengenaliku? Baguslah. Jadi, aku tidak perlu mengenalkan diri lagi,” tutur Pamela.sembari melipat kedua tangan di depan dada. Manik matanya menyorot Naomi dan Attar dari atas sampai bawah dengan sorot menilai. “Tuan putri miskin dan saudaranya yang lumpuh. Kalian benar-benar tidak pantas menjadi bagian dari keluarga kami.” Tatapan Naomi berubah tajam. Kedua tangan wanita itu kontan mengepal sempurna. Tak terima dengan penghinaan yang Pamela lontarkan. “Jangan menghina adikku! Dia tidak lumpuh! Apa yang kamu inginkan? Tolong jangan ganggu kami.” Tawa sumbang lolos dari bibir Pamela yang dipoles lipstik merah darah. “Ini tempat umum. Kamu tidak berhak mengusirku!” Tiba-tiba Pamela menarik lengan Naomi. Memaksa wanita itu berdiri dengan gerakan kasar. Hingga kaki Naomi tak sengaja terkatuk kaki bangku taman itu. “Apa yang kamu lakukan sampai Alister sudi membelamu?! Karena kamu, dia tega menyakitiku!” Attar hendak menolong Naomi, namun malah terjatuh dari kursi roda. Tak menyer
“Kakak yakin ingin pindah ke sini?” tanya Attar sembari menatap bangunan menjulang di hadapannya. “Iya. Kurasa sekarang sudah waktunya,” jawab Naomi yang spontan turut melirik rumah megah di depannya. Sejak terakhir kali menginjakkan kaki di sini, Naomi belum pernah datang lagi. Baru kali ini dirinya memberanikan diri untuk kembali datang. Setelah berbulan-bulan memilih mengasingkan diri dan berpikir tak akan pernah kembali sampai kapan pun. “Kuharap ini keputusan terbaik. Katakan kalau dia menyakitimu. Aku tidak akan segan-segan memukul wajahnya. Lagi. Atau Kakak bisa melakukan itu sendiri,” balas Attar sembari berkelakar. Naomi berdecak pelan. Niatnya datang kemari bukan untuk mencari masalah. Namun, untuk menyelesaikan salah satu masalah besar yang dihadapinya. Lebih tepatnya berdamai dengan hatinya setelah sekian lama dibuat bingung dengan keputusannya sendiri.Naomi ingat Attar bercerita kalau pemuda itu pernah memukul Alister. Itu terjadi setelah Alister menjelaskan kenapa d
“Ibu tirimu mengatakan ayahmu sakit sejak seminggu lalu. Dia berusaha menghubungimu dan adikmu, tapi tidak bisa,” ucap Alister yang sedang menyetir. Naomi spontan merogoh tasnya dan mengambil ponselnya. Ia mencari nomor telepon ibu tirinya yang sengaja dirinya blokir sejak lama. Ibu tirinya itu pernah menghubunginya di awal-awal ayahnya masuk penjara. Tentunya ingin meminta tolong agar Naomi membantu mengeluarkan sang ayah dari penjara. Oleh karena itu, Naomi memilih memblokir kontak ibu tirinya. Sebab, bagaimana pun caranya, Naomi tak mungkin membantu membebaskan ayahnya. Attar pun melakukan hal yang sama. Bukannya ingin memutuskan hubungan, mereka hanya muak dengan gangguan itu. Mendengar ayahnya sakit membuat kekhawatiran Naomi pada sang ayah mencuat tanpa bisa dicegah. Walaupun ia juga tidak tahu sakit apa yang ayahnya derita. Barusan, Naomi juga sudah menghubungi adiknya mengatakan tentang kondisi ayah mereka. “Kamu tenang dulu. Ayahmu pasti baik-baik saja,” tutur Alister sem
Naomi menyadari jika Alister berada di restoran yang dipenuhi hidangan mewah. Apa pun yang lelaki itu inginkan pasti ada di sana. Akan tetapi, tiba-tiba saja dirinya terdorong untuk membuat dan mengantarkan makanan pada lelaki itu. Sekarang Naomi sudah dalam perjalanan menuju ke salah satu restoran Alister, di mana lelaki itu berada. Ia pun datang tanpa mengatakan apa pun pada Alister. Mereka hanya sempat bertukar pesan sebelumnya hingga Naomi mengetahui di mana lelaki itu berada. Naomi pun tidak tahu suaminya itu sudah makan atau belum. Atau mungkin saja sudah berpindah ke restoran lain. Sebab, biasanya pun sering seperti itu. Ia melakukan ini sebagai bentuk terima kasihnya atas tutor bisnis dadakan yang lelaki itu lakukan belakangan ini. “Tuan Alister ada di ruangannya?” tanya Naomi pada salah seorang karyawan Alister yang sedang membuang sampah di luar restoran. “Eh, Nyonya? Tuan ada di ruangannya. Mau saya antar?” tawar sang pelayan dengan senyum ramah. Naomi langsung menggel
Naomi tahu Alister adalah perayu ulung. Lelaki itu berpengalaman melakukan negosiasi dengan puluhan, bahkan ratusan orang selama ini. Jelas saja, Alister memiliki banyak cara untuk membuat orang yang tadinya enggan menjadi setuju. Seperti itu juga yang dirasakan oleh Naomi. Tadinya, wanita itu bersikeras menolak keinginan Alister untuk mengelola restoran baru lelaki itu. Namun, dalam waktu singkat, Alister berhasil mengubah keputusannya. Naomi baru menyadari itu setelah dirinya memutuskan sesuatu yang berbanding terbalik dengan keinginan hatinya. Akhirnya, Naomi benar-benar mengelola restoran tersebut seperti yang lelaki itu inginkan. Setelah di pikir-pikir lagi, tawaran Alister tidak membuatnya rugi sama sekali. Malahan, dirinya bisa mendapat banyak ilmu dan pengalaman baru yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. “Bagian mana lagi yang belum kamu pahami?” tanya Alister membuyarkan lamunan Naomi. Naomi tersentak pelan dan langsung menunjuk satu bagian yang belum dirinya mengerti
“Kenapa Tuan mengajakku ke sini lagi?” tanya Naomi sembari menatap restoran mewah yang beberapa hari lalu ia kunjungi bersama Alister beberapa hari lalu. Bedanya, sekarang restoran tersebut telah beroperasi. Meskipun grand openingnya baru beberapa hari lalu, restoran ini sudah cukup ramai. Pengunjungnya pun terlihat berkelas dan bukan orang sembarangan. Naomi masih mengamati semuanya dari balik dinding kaca transparan yang mengelilingi restoran ini. Nama besar yang sudah Alister miliki membuat lelaki itu tak perlu terlalu mengeluarkan biaya untuk promosi. Bahkan, sepertinya tanpa promosi pun restoran ini tetap dapat beroperasi dengan baik. Bahkan, lelaki itu juga berhasil membuat restoran yang nyaris bangkrut kembali berjalan sebagaimana mestinya. Alkanna. Itulah nama restoran mewah ini. Alister mengatakan jika nama tersebut diambil dari gabungan namanya, nama putranya, dan Naomi. Alister, Ariana, dan Naomi. Entah itu benar atau tidak. Naomi pun tidak mempercayainya. Bahkan, masih
“Kamu pasti menerobos masuk tanpa izin!” tuduh Raga dengan sorot sinis. Dari semua sepupu Alister, hanya Raga yang berani menantang dan mengganggu Alister secara terang-terangan. Sedangkan sisanya tidak ada yang berani mendebat lelaki itu sama sekali. Bahkan, mereka cenderung menjauhi Alister jika tidak ada keperluan mendesak. Mereka akan berubah menjadi penjilat ulung jika membutuhkan bantuan Alister. Meskipun walau sudah berusaha keras, terkadang Alister mengabaikan permintaan mereka. Hanya Raga yang tak pernah melakukan itu karena merasa bisa mengatasi masalahnya sendiri. Sejak kecil mereka seolah bermusuhan dan bersaing untuk menjadi yang terbaik. Mungkin, lebih tepatnya hanya Raga yang melakukan itu. Sedangkan Alister tidak peduli dengan siapa pun, kecuali yang dianggapnya penting. Dan bersaing dengan Raga bukan salah satunya. “Jangan berisik! Istri dan anakku sedang tidur! Apa yang kamu inginkan? Pergi! Kami tidak menerima tamu!” Alister kembali melontarkan pengusiran pada R
Naomi mengenal sapu tangan itu. Sapu tangan itu memang miliknya. Lebih tepatnya peninggalan ibunya yang telah hilang beberapa tahun lalu. Ia sempat menangis saat mengetahui sapu tangan itu hilang. Sebab, baginya sapu tangan tersebut adalah benda keberuntungannya. Sapu tangan itu membuat Naomi merasa dekat dengan ibunya yang telah tiada. Ia selalu membawa sapu tangan iru ke mana pun dirinya pergi. Oleh karena itu, ketika sapu tangannya hilang entah ke mana, Naomi sangat merasa bersalah dan sedih. Naomi tidak pernah mengira jika sapu tangan itu berada di tangan Alister. Lebih tidak percaya lagi lelaki itu masih menyimpannya sampai sekarang. Padahal benda itu sudah terlihat lusuh. Orang sekelas Alister pasti menganggapnya seperti sampah. “Kamu tidak sengaja menumpahkan kopi di kemejaku dan kamu memberikan sapu tangan itu untuk membersihkannya. Kamu ingat? Kalau di pikir-pikir lagi, perbuatanmu waktu itu sangat tidak sopan,” ucap Alister sembari terkekeh. “Kamu ingin mengembalikannya
Hawa dingin yang menerpa punggungnya membuat Naomi menggeliat pelan dan akhirnya terbangun. Seketika saja ia mengingat apa yang terjadi beberapa jam lalu. Wajahnya langsung bersemu. Namun, ranjang di sampingnya malah kosong. “Tidurlah, sekarang masih malam,” ucap Alister yang berdiri di sudut ruangan. Naomi spontan mengalihkan pandangan. Wanita itu mengira dirinya ditinggalkan di sini. Dalam cahaya remang-remang, ia dapat melihat siluet Alister di sudut kamar yang sedang menggendong Arkana. Mereka masih berada di kamar hotel Alister tadi. Naomi tidak tahu sejak kapan Arkana berada di sini. Ia tidak enak pada Attar jika adiknya yang membawa Arkana kemari. Ia telah mengganggu waktu istirahat pemuda itu dengan meminta dia menemani Arkana. Apalagi dirinya berjanji hanya pergi sebentar. Naomi tidak menyesal telah memaksakan jauh-jauh datang. Meskipun awalnya dibuat salah paham, setidaknya sekarang dirinya sudah lebih lega. Jika tidak begini, ia tidak akan tahu apa-apa. Walaupun masih b
Seharusnya, Naomi merasa baik-baik saja. Namun, entah ke mana matanya tiba-tiba memburam dan memanas. Kedua tangan yang berada di samping tubuhnya pun gemetar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun otaknya seolah ingin menyimpulkan sendiri. Amara menatap Naomi dengan senyum miring, kemudian berjalan melewati wanita itu. Dengan sengaja Amara menyenggol Naomi hingga wanita itu nyaris terhuyung. Senyum miring Amara kian mengembang setelah melewati Naomi. Cukup lama Naomi membeku di tempat. Alister pun tampak terkejut melihat kedatangannya. Setelah tersadar dari lamunannya, Naomi lantas berbalik bersiap melangkah pergi dari sana. Namun, Alister bergerak lebih cepat dan menahannya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alister pada Naomi. Naomi berdecih sinis. “Bukannya Tuan yang menyuruhku datang?” Bisa-bisanya Alister bertanya seperti itu seolah tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas-jelas lelaki itu sendiri yang memintanya datang. Ternyata, ia diminta datang hanya untuk menyaksikan Ali