Seperti Wanita Simpanan

Deringan nyaring dari ponsel Alister sontak mengalihkan atensi Naomi dan Alister yang masih mengatur napas. Alister yang menyembunyikan wajahnya di tengkuk Naomi mengumpat pelan sebelum menarik diri dengan ekspresi terpaksa.

Naomi spontan mengalihkan pandangan ketika dengan percaya dirinya Alister beranjak dari ranjang tanpa mengenakan apa pun. Alister bergerak cepat memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai dan mengenakannya kembali.

Alister yang telah selesai berpakaian kembali mendekati ranjang tanpa peduli dengan ponselnya yang masih meraung. Ia membungkuk di samping Naomi, lalu mengulurkan tangannya terulur untuk mengusap rambut wanita itu yang berantakan dan berkata, “Tidurlah.”

“Halo, Amara? Ada apa?” sahut Alister sembari menempelkan ponselnya di samping telinga. Tanpa menoleh lagi, Alister melangkah keluar kamar. Lelaki itu fokus berbincang dengan Amara tanpa menyadari jika air muka Naomi sudah berubah drastis.

Senyum miris tersungging di bibir Naomi bersamaan dengan pintu yang kembali tertutup. Sekarang dirinya benar-benar seperti wanita simpanan yang ditinggalkan begitu saja setelah puas dinikmati. Ia merasa bodoh karena tak bisa melawan, namun nasi sudah menjadi bubur.

Sejak kemarin Naomi terus berusaha menghubungi Amara, termasuk mengirim pesan. Namun, hingga saat ini masih belum ada respon sama sekali. Ia pikir wanita itu benar-benar sibuk sampai tidak sempat merespon pesannya sama sekali. Tetapi, sepertinya Amara memang sengaja melakukan itu.

“Dia pasti langsung pulang,” celetuk Naomi sembari menatap pintu.

Naomi mencoba memejamkan matanya, namun kantuknya tak kunjung datang. Padahal tubuhnya terasa remuk redam dan letih. Berbanding terbalik dengan matanya yang terasa segar. Ia tak menyangka dirinya akan kehilangan harta paling berharga yang dimiliki secepat ini. Meskipun melakukan itu bersama suaminya, perasaan tidak rela itu masih ada.

Karena sudah terlampau lelah, akhirnya Naomi dapat memejamkan mata dan menyelami alam mimpi. Kalau bukan karena alarm di ponselnya yang berbunyi nyaring, mungkin dirinya akan kesiangan. Matanya masih terasa lengket, tetapi ia tetap memaksakan bangun.

“Siapa yang merapikan pakaianku?” monolog Naomi heran ketika menyadari jika tubuhnya sudah berbalut piyama tidur lengkap.

Seingatnya, semalam ia terlalu lelah hingga malas beranjak dari ranjang untuk sekadar mengambil pakaian di lemari, apalagi mengenakannya. Tidak mungkin dirinya mengigau di kala tidur dan mengenakan pakaian tersebut. “Atau mungkin dia yang melakukannya?”

Naomi menggeleng cepat. Jelas-jelas Alister langsung pergi setelah menerima telepon dari Amara. Tidak mungkin lelaki itu kembali hanya untuk mengambil dan memakaikan pakaiannya. Mungkin ia tidak sengaja terbangun dan merapikan pakaiannya sendiri tanpa dirinya sadari.

Ketika menoleh ke arah nakas, Naomi mendapati menu sarapannya sudah tersedia di sana. Beserta segelas susu cokelat yang masih hangat ketika ia menyentuh gelasnya. Karena perutnya sudah menjerit kelaparan, ia pun langsung melahap hidangan tersebut tanpa berlama-lama.

Setelah menghabiskan sarapannya, Naomi beranjak dari ranjang untuk membersihkan diri. Sekujur tubuhnya terasa nyeri, lengket, dan tak nyaman. Ia tidak betah berlama-lama dengan kondisi seperti ini. Ketika membuka selimut, noda-noda kemerahan yang membekas di ranjang mencuri perhatiannya. Menjadi bukti nyata atas apa yang dirinya dan Alister lakukan semalam.

“Aku tidak boleh cengeng!” Naomi menghela napas kasar ketika air matanya nyaris menetes. “Tidak apa-apa, ini demi Attar.”

Ingin rasanya Naomi mengambil cuti lagi untuk hari ini karena tubuhnya masih letih. Akan tetapi, mengingat sudah banyak jatah curi yang dirinya ambil, ia pun mengurungkan niatnya. Lagipula berdiam diri di sini hanya akan membuatnya terus mengingat kejadian semalam.

Naomi berencana menjenguk Attar terlebih dahulu sebelum bertolak ke tempat kerjanya. Seharian kemarin, ia tidak sempat menjenguk sang adik sama sekali. Meskipun tak bisa sepenuhnya menjaga Attar, Naomi selalu bertukar pesan dengan perawat yang sengaja disewa Amara untuk mengurus Attar.

Naomi mengernyit heran ketika tak sengaja mendengar keributan dari arah ruang tamu. Sepertinya ada yang datang. Terdengar suara wanita yang berbicara dengan intonasi keras, namun ia yakin itu bukan suara Amara karena Naomi sangat mengenal suara wanita itu.

“Oh, jadi kamu perempuan yang menikah dengan putraku kemarin?” tutur seorang wanita paruh baya berpakaian necis yang kini berdiri tepat di hadapan Naomi. Wanita itu menatap penampilan Naomi dari atas sampai bawah dengan sorot menilai.

Kata ‘putraku' dari penuturan wanita di depannya ini membuat Naomi menyadari jika ia sedang berhadapan dengan ibu mertuanya. Saat pernikahannya dengan Alister kemarin, tidak ada satu pun anggota keluarga lelaki itu yang hadir, apalagi keluarganya. Jadi, ia memang belum mengetahui bagaimana rupa mertuanya.

Sorot tajam dan penuh penilaian dari wanita paruh baya itu membuat Naomi tak nyaman. Tanpa perlu dijelaskan ia sudah bisa menebak jika sang ibu mertua tidak menyukainya. Dirinya yang terjebak di sini, tetapi tatapan itu seolah menyiratkan jika ia lah yang bersalah.

“Selamat datang, Nyonya.” Naomi tidak yakin jika ibu mertuanya ini sudi dipanggil dengan sebutan ‘Mama’ atau sejenisnya olehnya.

Naomi hendak menyalami wanita paruh baya itu sebagai bentuk penghormatan, namun tangannya langsung mendapat tepisan kasar. Naomi pun kembali menegakkan tubuhnya, tak ingin harga dirinya semakin diinjak-injak. Walaupun ia menjadi istri kedua, tetapi dirinya bukankah wanita murahan yang gemar menempeli lelaki beristri. Kalau bukan karena terdesak keadaan, Naomi tidak akan sudi melakukan ini.

“Tidak perlu mencari muka di depan saya, saya tidak membutuhkannya!” sembur Miranda tanpa basa-basi.

Naomi hanya menyunggingkan senyum kaku. Ia tak menyangka akan bertemu dengan sang mertua di saat suasana hatinya sedang kacau balau. Ditambah lagi, wanita paruh baya itu terang-terangan menunjukkan gelagat tidak menyukainya.

“Emm ... aku permisi dulu. Aku harus pergi bekerja.” Karena tak ingin meladeni sang mertua, Naomi memilih menghindar dan pergi.

“Eh, tunggu dulu! Siapa yang mengizinkan kamu pergi?” sahut Miranda agak sinis. “Ganti pakaianmu, kamu harus ikut saya sekarang!”