“Ikut ke mana, Nyonya?” tanya Naomi bingung.
“Jangan banyak bertanya! Cepat ganti pakaianmu dan ikut dengan saya!” titah Miranda sembari menyeret Naomi kembali ke kamar dan mendorong sang menantu masuk ke sana hingga nyaris terjerembab di lantai. Naomi spontan berpegangan pada tembok untuk menyeimbangkan diri. Sikap Miranda yang sangat kasar membuatnya mengelus dada. Ia benar-benar tak menyangka akan mendapat perlakuan seperti itu dari mertuanya sendiri. Jangankan kasih sayang, melihatnya pun seolah enggan. Sebenarnya, Naomi enggan mengikuti keinginan Miranda. Akan tetapi, jika dirinya menolak, wanita paruh baya itu pasti semakin membuat kekacauan. Alhasil, ia terpaksa kembali mengganti pakaiannya dengan pakaian rumahan karena tak ingin mencari masalah. Kepalanya sudah pening dengan masalah yang ada, ia tidak mau memancing masalah baru. Bahkan, sebelum Naomi selesai mengganti pakaian, Miranda sudah menggedor kamar itu dan berteriak tak sabaran. Naomi pun segera mempercepat gerakannya dan bergegas keluar kamar. “Apa yang kamu lakukan di dalam sana? Kamu sengaja berlama-lama untuk mengulur waktu?!” sembur Miranda tajam. “Tidak, Nyonya. Tapi, aku perlu waktu,” jawab Naomi seadanya. Naomi sedang malas berdebat. Lebih baik ia menyimpan energinya untuk hal-hal yang lebih penting. Karena perbuatan Alister, sampai sekarang beberapa bagian tubuhnya masih terasa kebas. Itu membuatnya tak bisa bergerak secepat biasanya. Miranda berdecak pelan sebelum menarik Naomi pergi. “Jangan beralasan! Sudahlah, kamu harus ikut saya! Ingat, jangan membuat masalah atau kamu akan tahu akibatnya!” Naomi mengikuti Miranda dengan langkah nyaris terseok. Ketika berada di lift, Miranda menekan tombol menuju lantai dasar, tempat di mana basement gedung apartemen ini berada. Bersamaan dengan pintu lift yang berdenting dan terbuka, wanita paruh baya itu melepas cengkeraman pada tangan Naomi. “Jaga jarak! Jangan sampai ada yang tahu kalau kamu bersama saya!” peringat Miranda sebelum buru-buru melangkah agar tidak berjalan sejajar dengan Naomi. Seulas senyum miris tersungging di bibir Naomi. Tanpa perlu diminta, ia sudah paham. Miranda yang sedari tadi menyeretnya hingga membuatnya terpaksa mensejajarkan langkah dengan wanita paruh baya itu. Sesuai permintaan Miranda, Naomi sengaja memperlambat langkahnya. Jaraknya dengan wanita paruh baya itu sangat jauh. Sampai-sampai ia beberapa kali nyaris kehilangan jejak sang mertua. Namun, Naomi tak peduli, Miranda sendiri yang memintanya seperti itu. “Kamu lelet sekali! Cepatlah! Banyak yang harus kamu kerjakan!” omel Miranda yang sudah lebih dulu duduk di bangku mobil. Naomi tidak menyahut dan langsung duduk di samping wanita paruh baya itu. Mobil yang mereka tumpangi melaju tak lama kemudian. Perjalanan yang mereka tempuh cukup jauh. Naomi menerka-nerka apa yang ingin Miranda lakukan padanya. Mobil mewah itu berhenti dan membunyikan klakson di depan sebuah rumah mewah. Security yang berjaga langsung membuka pagar dan membiarkan mobil ini masuk. Pemandangan menakjubkan langsung menyapa netra Naomi ketika gerbang terbuka. Rumah ini benar-benar luas dan mewah. Seperti rumah-rumah yang sering ia lihat di televisi. “Bawa wanita ini ke dapur dan beritahu apa tugasnya. Pastikan dia mengerjakan semuanya dengan baik!” perintah Miranda pada seorang berseragam pelayan yang menghampirinya ketika turun dari mobil. Naomi masih menikmati keindahan rumah mewah itu ketika sang pelayan mengajaknya pergi. Ia tidak terlalu bodoh untuk mengerti maksud ucapan Miranda barusan. Namun, Naomi tak melayangkan protes sama sekali karena itu tidak berguna. Dan benar saja, ketika tiba di dapur, sang pelayan yang mengantarnya langsung memberi instruksi agar dirinya membantu pelayan lain. Hanya membantu memasak, itu bukanlah sesuatu yang sulit dikerjakan. Tadinya Naomi malah mengira Miranda akan mengerjainya. Naomi mengabaikan berbagai tatapan yang tertuju padanya. Ia mencoba untuk fokus pada tugasnya. Sepertinya para pelayan di rumah ini sudah menyadari siapa dirinya. Bahkan, beberapa di antara mereka juga berani memperlihatkan sorot sinis yang sangat kentara. “Tidak ada wanita baik-baik yang mau menjadi istri kedua.” “Apalagi menjadi istri kedua konglomerat, pasti hartanya yang diincar. Penampilannya saja yang polos, aslinya pasti tidak.” “Perbedaannya dengan Nyonya Amara bagaikan langit dan bumi. Aku heran kenapa Tuan Alister sudi memperistrinya.” Celetukan itu membuat Naomi menghentikan aktivitasnya sejenak. Seulas senyum miring tersungging di bibirnya. Semakin lama, para pelayan di sekitarnya kian berani membicarakannya secara terang-terangan. Tetapi, ia memilih mengabaikan dan kembali melanjutkan tugasnya. Naomi sudah bisa menebak hal-hal seperti ini akan terjadi. Mereka tidak tahu alasannya menerima tawaran gila itu, namun sudah bicara macam-macam. Ia terlalu malas untuk menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya. Lagipula, mereka akan tetap menilainya buruk. Dari sepenggal obrolan lain yang Naomi dengar, rupanya hari ini adalah hari ulang tahun sang nyonya besar—ibu mertuanya. Akan diadakan pesta meriah di rumah ini nanti malam. Oleh karena itu, para pelayan sudah sibuk mempersiapkan semuanya sejak pagi hari. Persiapan pesta mewah itu akhirnya rampung menjelang malam. Miranda yang sudah siap menyambut pestanya datang ke dapur dan langsung menghampiri Naomi yang sedang mencuci piring. Tanpa basa-basi, Miranda langsung menarik sang menantu ke tempat yang sepi. “Satu jam lagi pesta ini akan dimulai. Lakukan tugasmu dengan baik, jangan ada kesalahan. Dan satu hal yang perlu kamu ingat baik-baik, jangan sampai ada orang yang tahu siapa kamu sebenarnya!” peringat Miranda dengan suara berbisik, namun sangat menusuk. “Ya, aku mengerti,” jawab Naomi malas. Seharian ini sangat melelahkan baginya. Bahkan, hingga detik ini Naomi belum sempat beristirahat sama sekali. Ia tahu satu jam pesta akan dimulai. Oleh karena itu, ia sengaja cepat-cepat menyelesaikan sisa pekerjaannya agar bisa beristirahat sejenak sebelum kembali membantu para pelayan ketika pesta telah dimulai nanti. Namun, kedatangan Miranda malah menghambat pekerjaannya. “Bagus! Awas kalau kamu membuat masalah!” sahut Miranda sebelum meninggalkan Naomi begitu saja. Helaan napas pelan lolos dari bibir Naomi sebelum kembali ke dapur dan menyelesaikan pekerjaannya. Ada waktu sekitar 30 menit untuk beristirahat sebelum pesta dimulai. Ketika para tamu undangan sudah mulai berdatangan, Naomi bersama pelayan lain beranjak ke ruang tengah, mengantarkan minuman dan kue-kue untuk mereka. Kebetulan, Naomi mendapat bagian untuk mengantarkan minuman ke meja besar di mana Miranda berada. Mungkin di sana adalah tempat keluarga besar Alister berkumpul, ia juga tidak tahu. Naomi membagikan minuman yang dibawanya tanpa menatap wajah-wajah yang berada di sana. Tiba-tiba Miranda berdiri. Entah sengaja atau bagaimana, wanita itu menyenggol bahu Naomi yang berada di sampingnya. Untung saja Naomi mampu mempertahankan keseimbangan. Jika tidak, minuman yang ia bawa pasti tumpah. “Akhirnya, kamu datang juga! Mama pikir kamu lupa ulang tahun mama-mu sendiri!” seru Miranda seraya beranjak dari kursinya dan menghampiri pasangan yang baru datang. Naomi spontan menoleh. Di saat yang sama, Alister yang bergandengan mesra dengan Amara melangkah mendekat ke sana.“Aku tidak mungkin lupa. Lagipula aku tidak terlambat, ‘kan?” sahut Alister menanggapi kalimat sang mama. Lelaki itu sedikit membungkuk dan memeluk mamanya sekilas seraya berucap, “Selamat ulang tahun, Ma. Kadonya tertinggal di mobil, aku sudah meminta pelayan mengambilnya.” “Mama tidak butuh kadonya! Yang penting kamu datang. Mama akan membatalkan pesta ini kalau kamu tidak datang. Ayo duduk, Mama akan menyapa para tamu dulu,” balas Miranda seraya memberi isyarat agar Aliater menempati kursi yang kosong, tepat di samping tempat duduknya. Seharusnya Naomi langsung beranjak pergi saja setelah mengetahui siapa yang datang. Namun, kakinya masih enggan beranjak. Ia spontan menunduk, menatap penampilannya sendiri. Pelayan yang menggunjingnya di dapur tadi benar, perbedaannya dengan Amara sangatlah kontras. Bahkan, di sini dirinya hanya dianggap pelayan dan berseragam sama seperti mereka. Sebelum membantu di dapur tadi, ia diminta mengganti pakaiannya dengan seragam pelayan. Ketika Al
Mengabaikan kepanikan Naomi, Alister malah membuka jas hitam yang membalut tubuhnya. Melempar jas tersebut ke sisi ranjang yang kosong. Kemudian, mengendurkan dasi yang terasa mencekik di lehernya. Setelah itu, ia kembali menarik Naomi mendekat dan mengambil sesuatu di laci nakas. Semburat kemerahan kontan muncul di wajah Naomi setelah mengetahui apa yang ingin Alister lakukan. Ia segera mengenyahkan pikiran aneh yang sempat terlintas di kepalanya. Ternyata lelaki itu mengeluarkan kotak obat kecil dengan isi lengkap dari laci nakas. Namun, lebih mengejutkannya lagi, Alister malah langsung mengobati lukanya tanpa basa-basi. Naomi meringis pelan ketika luka lecet di kakinya terkena alkohol. Ia tidak tahu telapak kakinya terluka, perihnya pun baru terasa sekarang. Naomi hanya merasa kebas saja sedari tadi. Sepertinya kakinya terluka ketika memaksakan berjalan kaki dengan jarak yang lumayan jauh.“Tuan, aku bisa mengobati lukaku sendiri.” Naomi berusaha menarik kakinya, namun Alister ma
“Eh? Bagaimana, Pak?” Naomi berbalik bertanya dengan wajah bingung. “Kamu ini bagaimana? Kamu yang sakit tapi kamu yang lupa?” sahut Rangga sembari berdecak. Lelaki itu membuka lagi meja kerjanya dan mengeluarkan sebuah amplop putih dari sana. “Kemarin ada yang datang dan memberikan surat doktermu.”Naomi mengambil amplop itu dan membukanya. Manik matanya membola sempurna melihat isi amplop tersebut. Ternyata Rangga tidak mengada-ada. Dalam surat dokter itu tertera namanya dan ada keterangan jika dirinya harus beristirahat selama dua hari. Yaitu kemarin dan hari ini. Entah siapa yang memberikan surat ini pada manajernya. Naomi tidak ke dokter apalagi meminta surat seperti ini. Jelas-jelas seharian kemarin ia sangat sibuk. Ia sampai melupakan keberadaan ponselnya dan tidak ingat untuk memberi kabar jika dirinya tak bisa berangkat bekerja. “Surat itu baru diantar kemarin malam. Untungnya restoran belum tutup dan saya masih ada di sini,” imbuh Rangga lagi. “Kenapa kamu tidak menelepon
Naomi mengerjapkan matanya, khawatir salah mengenali orang. Namun, ia belum menghentikan langkah dan kian dekat jarak mereka, ia semakin yakin jika sosok yang berdiri di hadapannya adalah Alister. Apa yang lelaki itu lakukan di depan rumahnya? “Apa yang Tuan lakukan di sini?” Tanpa sadar Naomi menyuarakan isi kepalanya. Namun, ia tak berniat meralat karena dirinya memang sangat penasaran. Orang sekelas Alister tak mungkin memiliki urusan di tempat seperti ini. Terlebih, sekarang lelaki itu berada di depan rumah kontrakannya. Naomi benar-benar tak menyangka akan bertemu suaminya di sini. Awalnya, Naomi melihat sorot sangat tajam terpancar dari manik mata Alister. Akan tetapi, sepersekian detik kemudian tatapan lelaki itu berubah menjadi datar seperti biasanya. Tanpa menanggapi pertanyaannya, Alister berjalan melewatinya begitu saja. “Aku ada urusan di sini dan itu bukan urusanmu!” balas Alister datar. “Ayo pulang!” Semburat kemerahan muncul di wajah Naomi. Ia malu sendiri k
Dalam tidurnya, Naomi mengerutkan kening ketika merasa ada sesuatu yang menindih perutnya. Ia mencoba bergerak, namun seperti ada yang menahan pergerakannya. Akhirnya, matanya terbuka perlahan. Wanita itu melihat ke bawah untuk mengetahui apa yang menindih perutnya. Ia nyaris memekik kaget, namun untungnya ia dapat segera mengendalikan diri. Sebuah lengan kekar melingkari perutnya. Naomi tahu siapa pemiliknya. Akan tetapi, ia tak pernah tidur dengan lawan jenis sebelumnya. Bahkan, setelah malam pernikahannya dengan Alister, lelaki itu langsung pergi meninggalkannya setelah mendapat telepon dari Amara. Semalam, Alister dan Naomi benar-benar menginap di rumah kontrakan Naomi. Tidur berdua di ranjang sempit wanita itu. Dan mungkin karena terbawa suasana, semalam mereka kembali melakukan ‘itu’. Wajah Naomi terrasa2 memanas saat mengingatnya. “Kenapa pikiranku jadi seperti ini?” gumam Naomi merutuki otaknya yang berpikiran macam-macam. Perlahan-lahan, Naomi menoleh ke belakang. Waja
“Kenapa kamu menatapku seperti melihat hantu?” sindir Alister sinis. Naomi mengerjap pelan seraya kembali menetralkan ekspresinya. Ia sangat terkejut melihat Alister berada di mobil yang biasanya mengantar jemput dirinya. Seingatnya, lelaki itu hanya mampir sebentar ke restoran di siang hari dan setelahnya kembali pergi. “Maaf. Aku hanya terkejut,” jawab Naomi seraya memasuki mobil dan duduk di samping lelaki itu. Mobil yang mereka tumpangi mulai melaju dengan kecepatan normal. Alister tidak merespon lagi dan langsung fokus dengan ponsel di tangannya. Sedangkan Naomi sibuk memilih menatap pemandangan di sekitarnya untuk menghindari kecanggungan. Biasanya Naomi hanya duduk seorang diri di bangku belakang dan itu terasa lebih nyaman. Keberadaan Alister membuatnya merasa diawasi. Padahal sebenarnya sedari tadi lelaki itu masih menatap ponsel tanpa mengalihkan pandangan sama sekali. Naomi yang sudah kebosanan mulai mengantuk. Namun, ketika menyadari jika jalanan yang dilaluinya b
“Aku tidak menyangka ternyata dia mengajakmu.” Amara kembali bersuara sembari menatap Naomi yang diam membisu di hadapannya. Alih-alih menanggapi kata-kata Amara, Naomi malah sibuk menelisik penampilan wanita di hadapannya ini. Riasan tebal menghiasi wajah Amara seperti biasa. Namun ada yang sedikit berbeda. Pakaian wanita itu tampak lebih mewah dari yang pernah ia lihat. Seolah-olah Amara akan menghadiri pesta. Sejak pernikahannya dengan Alister berlangsung, ini adalah kali pertama Naomi berhadapan dengan Amara lagi. Wanita ini mengabaikannya begitu saja setelah dirinya menikah dengan Alister. Berulang kali dirinya berusaha menghubungi Amara namun tak ada respon sama sekali hingga akhirnya ia bosan melakukannya. “Kenapa diam? Alister ada di dalam atau tidak?” Karena Naomi tak kunjung menjawab, Amara kembali membuka suara dengan alis menukik. Wanita bergaun hitam dengan potongan cukup terbuka itu melipat kedua tangan di depan dada. Tampak tak sabar menunggu jawaban Naomi. “Eh? Iya
“Apa?! Kenapa mendadak sekali?” pekik Naomi spontan karena terkejut. “Mohon maaf untuk itu. Tapi, Tuan Alister ingin Nyonya bersiap sekarang. Hanya itu yang ingin saya sampaikan. Setelah waktu makan siang nanti, saya akan kembali dan menjemput Nyonya. Saya permisi,” jawab Romi seraya pamit undur diri dan pergi dari sana. Naomi menatap kepergian Romi sembari menggerutu kesal. Bukan karena kesal pada lelaki itu, namun pada orang yang memerintah Romi untuk menemuinya. Sepertinya Alister hanya ingin mengerjainya dengan memaksanya ikut namun lebih banyak meninggalkannya. Bukannya kembali ke kamar untuk berkemas, Naomi malah melanjutkan langkah dan pergi keluar kawasan hotel. Kemarin, ia menemukan sebuah kedai makanan yang tidak terlalu mewah di dekat sini. Naomi memutuskan pergi ke sana untuk sarapan. Naomi sengaja memilih meja paling pojok yang berdekatan dengan jendela agar dapat menikmati pemandangan di luar. Ia hanya memesan sepiring sandwich dan secangkir cokelat hangat. Pesananny
Seharusnya, Naomi merasa baik-baik saja. Namun, entah ke mana matanya tiba-tiba memburam dan memanas. Kedua tangan yang berada di samping tubuhnya pun gemetar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, namun otaknya seolah ingin menyimpulkan sendiri. Amara menatap Naomi dengan senyum miring, kemudian berjalan melewati wanita itu. Dengan sengaja Amara menyenggol Naomi hingga wanita itu nyaris terhuyung. Senyum miring Amara kian mengembang setelah melewati Naomi. Cukup lama Naomi membeku di tempat. Alister pun tampak terkejut melihat kedatangannya. Setelah tersadar dari lamunannya, Naomi lantas berbalik bersiap melangkah pergi dari sana. Namun, Alister bergerak lebih cepat dan menahannya. “Kenapa kamu ada di sini?” tanya Alister pada Naomi. Naomi berdecih sinis. “Bukannya Tuan yang menyuruhku datang?” Bisa-bisanya Alister bertanya seperti itu seolah tidak tahu apa-apa. Padahal sudah jelas-jelas lelaki itu sendiri yang memintanya datang. Ternyata, ia diminta datang hanya untuk menyaksikan Ali
Alister menunjukkan bukti perceraiannya dengan Amara satu tahun lalu pada awak media. Seluruh wartawan langsung memotret bukti perceraian tersebut dari dekat hingga seluruh keterangan yang tertera di sana benar-benar terlihat. Dan tanggal perceraian itu tepat seminggu setelah Alister menikah dengan Naomi. Naomi terkejut bukan main. Yang ia tahu Alister dan Amara bercerai baru-baru ini. Bahkan, sebelumnya pun mereka masih tinggal bersama. Naomi tidak menyangka jika sejak lama Alister dan Amara telah berpisah. Bahkan, sebelum dirinya hamil. “Kami sudah lama berpisah dan perpisahan ini tidak ada kaitannya dengan Naomi. Istriku yang sekarang. Dia salah satu karyawanku dan kami menikah karena saling mencintai. Sedangkan hubunganku dan Amara sudah selesai,” papar Alister di depan seluruh awak media. “Kuharap di antara kalian tidak ada lagi yang berpikir kalau Naomi yang menghancurkan hubunganku dengan Amara. Dan satu lagi, istriku tidak suka terekspos. Jadi, tolong jangan terlalu mengg
“Aku akan menyelesaikannya,” tutur Alister yang kini sudah duduk di samping Naomi. Naomi berjingkat kaget dan spontan menoleh ke samping. Ia tak menyadari sejak kapan Alister terbangun. Apalagi sampai sudah mengintip ponselnya juga. Ia berdecak kesal seraya mematikan ponselnya dan meletakkan benda tersebut di atas meja kecil di dekat ranjangnya. Seperti biasa, Alister selalu menghadapi masalah dengan santai. Seakan-akan yang terjadi saat ini bukanlah masalah besar. Padahal permasalahan ini dapat sangat berpengaruh pada lelaki itu. Berbanding terbalik dengan Naomi yang sedari tadi sudah panik. “Tidak semudah itu, Tuan! Semuanya sudah menyebar. Orang-orang tidak akan mudah percaya,” jawab Naomi agak kesal. “Oh ya, sekalian aku juga ingin mengingatkan kalau aku adalah putri dari seseorang yang pernah menipu Tuan habis-habisan. Harusnya Tuan menjauhiku sebelum aku menguras harta Tuan juga. Aku bisa melakukannya kapan pun aku mau,” lanjut Naomi. Naomi tidak habis pikir kenapa Alister
Naomi tidak pernah merasa syok dan malu separah ini sebelumnya. Sampai-sampai ia tidak tahu harus melakukan apa dan hanya bisa duduk kaku di tempat duduknya. Sebab, untuk beranjak pergi pun tak mungkin meski dirinya benar-benar merasa tak nyaman. Naomi berusaha memaklumi Alister yang tiba-tiba membawanya ke tempat ini tanpa penjelasan di awal. Namun, seakan tak puas membuatnya syok, lelaki itu kembali berulah dan kali ini sangat fatal. Seakan sengaja ingin membuatnya menjadi bulan-bulanan semua orang. Wanita itu memberi isyarat pada suaminya akan berhenti atau meralat kalimat sebelumnya. Namun, lelaki itu bersikap masa bodoh dan terus melanjutkan pidato tanpa memedulikan dirinya. Padahal atmosfer yang melingkupi ruangan ini sudah tidak bersahabat. “Naomi bukan penyebab berakhirnya hubunganku dengan Amara. Sudah sejak lama aku dan Amara tidak cocok. Makanya, akhirnya kami memilih berpisah. Tapi, perpisahan kami baru terekspos akhir-akhir ini. Perpisahan itu tidak ada sangkut pautnya
“Kamu belum siap-siap?” tanya Alister ketika melihat Naomi malah sudah berbaring di ranjang dengan Arkana menggunakan baju tidur. Bahkan, sekarang sudah sedikit terlambat dari waktu janjian mereka karena Alister terjebak kemacetan di jalan. Namun, setelah sampai di sini, Naomi malah belum siap-siap. Lebih tepatnya memang tidak akan bersiap-siap karena wanita itu tidak mau pergi dengan Alister. Kemarin-kemarin Naomi sudah memberi kelonggaran pada Alister untuk berbuat seenaknya. Sekarang tidak lagi. Seharusnya sekarang proses perceraian mereka sudah berjalan. Dan pasangan yang akan berpisah tidak mungkin masih pergi ke mana-mana bersama. “Aku sudah makan. Tuan berangkat sendiri saja,” jawab Naomi seraya memejamkan mata. Padahal belum mengantuk sama sekali.Sekarang baru jam tujuh malam. Biasanya Naomi masih beraktivitas jam segini. Tentu saja ia belum mengantuk. Namun, ia sengaja menyelesaikan pekerjaan rumahnya lebih awal agar bisa bersiap tidur lebih awal juga. Supaya tidak perlu
“Jangan kerja dulu hari ini. Tuan harus istirahat supaya benar-benar pulih. Tapi, kalau Tuan mau pulang sekarang, silakan. Tuan bisa meminta supir menjemput,” tutur Naomi setelah mengecek suhu tubuh Alister menggunakan punggung tangannya. “Sekarang Tuan makan dulu.” Naomi membantu Alister mengubah posisi menjadi bersandar di tembok dengan bantal menjadi menopang. Naomi sudah membuatkan bubur untuk Alister. Tadinya ia ingin membeli saja agar lebih praktis. Namun, Naomi ingat jika Alister agak sensitif terhadap makanan saat sakit. Daripada lelaki itu tidak mau makan, lebih baik ia yang membuatkan bubur. Meski belum tentu juga rasanya enak. Naomi menyadari seharusnya dirinya tidak perlu repot-repot melakukan ini. Namun, ia tidak bisa berpura-pura tak peduli. Apalagi melihat kondisi lelaki itu yang terlihat sangat mengkhawatirkan. Naomi semakin tidak bisa menutup mata dan diam saja. Alister menerima suapan yang Naomi berikan tanpa membuka suara. Walaupun demam yang lelaki itu alami
Naomi berdeham pelan, lalu tersenyum kaku. Wanita itu berkedip pelan, benar-benar tak menyangka mertuanya sudi menginjakkan kaki di rumah sempitnya ini. Meskipun ia juga belum mengetahui apa tujuan kedatangan Miranda sebenarnya. “Maaf, Nyonya. Aku hanya terkejut. Silakan masuk.” Naomi membuka pintu lebih lebar, membiarkan Alister masuk dan mempersilakan Miranda untuk masuk juga. Naomi menatap Alister, bertanya lewat isyarat kenapa lelaki itu mengajak Miranda kemari. Bukannya Naomi antipati terhadap mertuanya sendiri. Tetapi, seharusnya sebelumnya Alister mengatakan jika akan mengajak Miranda juga agar Naomi bisa mempersiapkan sesuatu. Naomi tidak memiliki hidangan yang bisa disuguhkan. Ia hanya memasak sedikit untuk makan malamnya dengan Attar nanti. Seandainya Alister terus terang, dirinya pasti membeli sesuatu untuk disuguhkan. Dan yang sekarang bisa ia suguhkan hanya secangkir teh hangat dan kopi. Justru, malah Miranda dan Alister yang membawakan banyak makanan. Itu malah membu
“Kamu ingin mengundurkan diri? Kenapa? Apa gaji yang aku tawarkan kurang? Maksudku, kita bisa berdiskusi lagi. Bahkan, kamu belum mendapat gaji pertamamu,” tanya Raga spontan bahkan sebelum membaca surat pengunduran diri yang Naomi berikan. “Bukan. Bukan karena itu. Ini murni karena keputusan pribadiku,” jawab Naomi sembari menggeleng. Belum genap satu bulan bekerja, Naomi memilih mengundurkan diri. Tentu saja alasannya karena sekarang Naomi harus mengasuh Arkana. Jika dirinya masih bekerja, ia tidak mungkin memiliki waktu penuh untuk mengasuh putranya. Sebenarnya Naomi juga tidak mau melepas pekerjaan yang sudah membuatnya nyaman ini. Namun, dengan kondisinya saat ini tak memungkinkan untuk dipaksakan bekerja. Ia tahu penyerahan Arkana padanya juga salah satu cara Alister untuk membuatnya berhenti bekerja. “Sekarang aku harus mengasuh anakku juga. Aku tidak akan bisa membagi waktu untuk bekerja. Aku benar-benar minta maaf karena ini sangat mendadak. Terima kasih sudah memberiku k
Alister melangkah mendekati Naomi yang telah mengubah posisi menjadi duduk. “Aku tidak akan mengurus perceraian kita.”“Apa? Jangan gila, Tuan!” sahut Naomi spontan. Ekspresi santainya menghilang dan berganti dengan mimik kesal disertai tatapan tajam. Ucapan Alister membuat kantuk yang dirasakannya menghilang seketika. Matanya melotot tajam, benar-benar terkejut dengan kata-kata suaminya. Sedangkan sang tersangka yang berbicara seenak jidat kini memasang ekspresi datar tanpa beban. Naomi tak membahas persoalan itu lagi karena masih sibuk dengan Arkana. Namun, bukan berarti dirinya melupakan masalah tersebut. Bahkan, Naomi juga telah memikirkan jika dirinya harus mengajukan gugatan lebih dulu. Dan Alister malah berkata seperti ini padanya. “Tuan, kita sudah sepakat untuk berpisah secara baik-baik. Hanya tinggal meresmikannya saja. Sekarang urusan Arkana sudah selesai, kurasa tidak ada alasan lagi untuk menunda. Kalau Tuan tidak sempat mengurusnya, biar aku saja yang mengajukannya,”