Aruna kembali menangis di pelukan suaminya. "Aku membencinya, karena wajahnya mengingatkan aku pada sosok Yuda."
"Pria itu sudah mati. Kenapa wajah anakku harus seperti dia."Erland diam dengan tangan mengusap kepala Aruna. Dia tak berniat melarang istrinya untuk terus bicara, paling menasihati kalau Aruna bicara hal yang buruk."Rasanya aku sangat bersalah padamu, Erland."Jemari Erland semakin mengusap lembut. "Hst. Tidak Sayang, jangan katakan itu ya. Karena aku sama sekali tidak merasa dirugikam."Erland mengecup dahi Aruna dengan lembut. "Aku dapat istri yang cantik dan perhatian, kemudian anak yang sehat dan lucu. Siapa yang tidak senang coba?"Mata Aruna menatap suaminya dengan mata sedikit memerah karena banyak menangis. Kemudian, Aruna mencari gara-gara dengan mengelap ingus di baju suaminya. Namun, Erland sama sekali tidak marah dan hanya mengusap wajahnya saja."Sudah lebih tenang, hm?''Kepala Aruna langsung mengangguk. "Kamu tidak berbohoErland menarik napas dengan kesal. Kenapa pria tua itu kepikiran datang ke kantor. Pemikiran Erland hanya tertuju pada Aruna, pasti sang ayah datang karena itu."Perlu kita tutup akses untu masuk, Tuan?" daffa bertanya dengan ekspresi serius.Kepala Erland menggeleng. ''Tidak, biarkan saja. Aku ingn lihat dia datang ke sini untuk apa."Daffa nampak tak setuju, karena sangat tahu kalau pria tua itu datang untuk menyinggung perihal Aruna. Namun, tatapan mata Erland yang tajam, membuat Daffa mengangguk dan segera keluar untuk menyambut."Kamu juga kembali bekerjalah.""Baik Tuan."Ruang kerja Erland pun langsung kosong. Dia menyumbang udara dengan helaan napas, Erland memang harus menghadapi pria tua itu demi kelangsungan pernikahannya dengan Aruna.Tak begitu lama, pintu ruang kerja dibuka oleh Daffa. Diikuti ayah Erland di belakang, tatapan Erland menjadi tajam. Apalagi melihat emosi di wajah sang ayah."Aku dengar Irene sudah melahirkan," singgung sang ayah dengan raut kesal."Tutup p
Erland tertawa senang. Melihat sang istri hanya bisa mengomel tanpa bergerak dari atas ranjang. Aruna pun baru akan memukul jika Erland berada dalam jarak yang sangat dekat."Aku bicara faktanya, kalau seorang wanita sudah berubah jadi ibu. Pasti suaranya akan berubah lantang."Aruna menatap suaminya tajam. Namun, saat melihat Fira yang menangis karena waktunya disusui. Aruna pun langsung mengangkat sang putri dengan hati-hati.Ketika Aruna membuka bra untuk menampakkan dadanya. Bukan hanya Fira yang nampak menantikan. Tapi, Erland pun menatap sangat antusias ke arah sana."Ingat, aku kan belum boleh disentuh,'' ujarnya mengingatkan.Erland langsung tersenyum. "Sayang, siapa juga yang ingin menyentuh saat kondisi kamu seperti ini.""Baguslah kalau kamu sadar."Aruna menatap Fira yang begitu lahap meminum susu. Bibirnya mengulas senyum, gadis secantik ini bagaimana bisa Aruna berpikiran untuk menyia-nyiakan. Jemari Aruna mengusap wajah putrinya."Lahap ya Sayang, kamu haus ya?""Iya Ma
Aruna terpaksa menemui Faisal yang semula duduk di sofa ruang tamu. Langsung berdiri dari duduk, bahkan segera berjalan mendekati Erland yang menggendong Fira."Cucuku Sayang,'' bahkan nada suara Faisal pun terdengar sangat ceria.Sebelum menyerahkan Fira, Erland menatap ke arah Aruna dahulu. Meski mata Aruna sudah melotot, tidak ingin Fira dipegang oleh sang kakek. Tapi, Faisal yang sudah lebih dahulu meraih Fira, membuat Aruna menarik napas."Cucu kakek ini, sudah wangi. Sudah mandi ya, Nak?" Faisal bahkan bertanya pada Fira yang hanya bisa menggeliat.Erland menuntun Aruna untuk duduk di salah satu sofa panjang. Mata Aruna mengawasi Faisal yang sedang mengajak putrinya bicara, dengan bibir yang sesekali tersenyum. Bahkan suara tawa pun Faisal keluarkan.Aruna menatap pada pembantu yang langsung mengangguk dan mulai melangkah pergi. Tentu saja pembantu akan membuatkan minuman untuk ayahnya. Faisal kan sekali main, serasa tidak ingin pulang.Karena bagaimana pun. Fira adalah darah da
Aruna menatap pada Erland yang tengah sibuk memakaikan baju untuk Fira. Hari ini, putrinya mengadakan akikah di rumah yang disewa oleh ayahnya. Kemungkinan tidak akan disaksikan oleh tetangga."Aku di sini saja memangnya tidak masalah?" tanya Aruna dengan cemas.Erland meliriknya. "Kamu kesulitan buat jalan, Sayang. Tidak perlu ikut ya, lagi pula acaranya kan cuma sebentar saja.""Tapi, kalau Fira ingin menyusu bagaimana?"Lantas tangan Aruna menunjuk. "Kamu kan tidak punya susu, seperti yang aku miliki."Otomatis Erland langsung menatap dada sendiri. Kemudian helaan napas terdengar dari suaminya."Ya mana mungkin, Sayang. Aku kan bukan seorang ibu."Tangan Erland mengusap kepalanya. "Sementara kasih Fira susu formula dulu ya.""Nanti kalau sudah dikasih formula, malah nantinya tidak mau punyaku."Mata Erland menatap dadanya. "Mustahil tidak mau. Ayahnya saja sampai ketagihan kok."Aruna terkekeh mendengar ucapan suaminya. Ya, mana mungkin ada kata bosan dalam diri Erland terhadapnya.
Sore harinya, lampu-lampu mulai dinyalakan. Karena cuaca nampak mendung, bahkan hampir hujan. Selagi menyusui, Aruna menatap ke arah suaminya yang tengah memakai baju setelah mandi."Mama tadi ke sini," ujar Aruna mulai memberi tahu.Begitu mendengar ucapan Aruna, kepala Erland langsung menoleh ke arahnya dengan ekspresi tidak senang."Untuk apa wanita itu datang ke mari?"Bahu Aruna mengedik. "Tidak tahu tuh. Kenapa tidak tanya pada ibu tirimu itu sendiri."Mata Erland menyipit, melihat reaksi dari sang istri yang menunjukkan kemarahan. Setelah menyudahi memakai baju, Erland langsung berbaring di atas ranjang. Memperhatikan Aruna yang menundukkan pandangan dan sibuk menatap putrinya."Pasti ada hal tidak enak yang wanita itu katakan padamu kan?" tebak Erland."Tidak ada."Erland semakin menatap curiga, kemudian meraih tangannya. Aruna melirik suaminya yang semakin merambat dan berakhir dengan menyentuh dadanya."Erland, apa yang kamu lakukan?" tegur Aruna dengan mata sudah melotot.E
Aruna yang semula duduk dengan raut cemas. Seketika langsung berdiri dari duduk, saat mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Mata Aruna langsung kembali memerah karena melihat Erland yang sudah ada di hadapannya."Fira," sebut Aruna dengan air mata sudah turun."Iya Sayang."Erland meraih tubuhnya, kemudian memeluk Aruna dengan tangan mengusap kepalanya. Aruna menangis, mendapati putrinya panas hebat. "Dokter bilang, untung kami membawa Fira tepat waktu, kalau telat sedikit saja--"Aruna yang tak bisa lagi bicara, membuat Erland menenangkannya."Fira tidak akan kenapa-kenapa, Sayang. Tenanglah ya, Fira sudah ditangani oleh dokter.""Aku sangat takut," adunya.Erland mengusap kepalanya dengan lembut lagi. "Sekarang aku sudah di sini, serahkan masalah mengurus Fira padaku ya."Kepala Aruna mengangguk. Erland melepaskan pelukan dan mengusap wajahnya. Erland menatap dengan lekat."Kamu sudah makan Sayang?"Kepala Aruna langsung menggeleng. "Aku tidak napsu makan, melihat Fira diinfu
Aruna mendengar yang sedikit ribut di luar ruang rawat. Sementara Fira menangis, membuat Aruna menggendong anaknya dengan Erland yang memastikan infus tidak lepas."Ayahku," ujar Aruna membuat Erland melirik dan mengangguk.Faisal terlihat datang bersama istri. Aruna butuh waktu yang lama untuk menerima keberadaan pria itu, tapi hari ini malah membawa ibu tiri serta ikut."Aruna, bagaimana keadaan cucu ayah?" tanya Faisal mendekat dengan raut cemas.Fira masih saja menangis di tangannya. Membuat, Faisal semakin mendekat dan meminta untuk menggendong."Coba ayah gendong, barangkali Fira bisa lebih tenang," ujar Faisal.Aruna pun memberikan Fira pada sang ayah. Karena memang biasanya, Fira begitu tenang di tangan Faisal. Namun, kali ini Fira tidak berhenti menangis sama sekali.Mata Aruna saling pandang dengan Faisal. Tidak biasanya putrinya menangis terus seperti ini. "Coba aku yang gendong," ujar Erland.Faisal memberikan Fira pada Erland. Sementara pria itu bertugas membawa tongkat
Aruna memejamkan mata. "Persetan dengan Erland marah atau tidak. Untuk marah dia harus hidup terlebih dahulu."Daffa menatap ke arah Aruna dengan pandangan sedih. Pilihan yang cukup sulit itu membuat Aruna sendiri pasti terluka.Meski begitu, Daffa mengerti kalau Aruna memutuskan untuk meninggalkan Erland hanya demi kelangsungan hidup pria itu."Tepati janji Papa," ujarnya dengan mata memandang serius.Ayah Erland mengangguk. "Bagaimana pun, dia anak satu-satunya untukku. Jadi, tenang saja, tanpa kamu ingatkan pun. Aku akan menyelamatkannya."Kemudian ayah Erland melirik ke arah istri yang sibuk tersenyum senang, atas berpisahnya Aruna dengan Erland dalam waktu dekat."Siap-siap ke rumah sakit dan periksakan dirimu," ujar ayah Erland sampai membuat sang istri heran."Ya? Untuk apa Mas?""Untuk memotong hatimu dan berikan pada Erland.""Mas!"***Pandangan Aruna tertunduk saat Faisal merusak salah satu karangan bunga. Beberapa kolega bisnis memberikan bunga atas kematian ibu tirinya. D
Tubuh Erland langsung membeku di tengah anak tangga saat mendengar ucapan dari Fira. Jantung Erland juga berdetak sangat kencang, mata saling pandangan dengan sang putri."Siapa yang beri tahu Fira hal konyol itu?"Fira diam sejenak, membaca ekspresi wajah Erland yang kali ini nampak marah. Perlahan pandangan Fira turun dan hanya berani menatap pundak Erland. "Semua orang membicarakannya pelan-pelan di sekitar Fira. Tapi, Fira mengerti maksud mereka."Erland menghela napas. "Itu hanya omong kosong Sayang. Kenapa Fira percaya? Fira kan anak papa."Tangan Fira meremas pundak Erland. "Papa jangan berusaha berbohong, aku sudah tahu semuanya kok.""Tapi, Papa janji ya. Jangan bilang kalau Fira tahu pada mama. Nanti mama bakal sedih."Erland memilih mengangguk. Ternyata dia tidak bisa menyembunyikan fakta dari anak sekecil Fira. Anak ini mengerti apa yang orang lain katakan, namun malah diam dan memendam semuanya sendiri."Tapi Fira tahu kan, kalau papa sayangnya beneran sama Fira. Mengang
Aruna mengawasi Erland yang membersihkan sisa kotoran yang menempel pada putranya. Kemudian mengganti popok. "Kabar Mitha gimana, Mas? Kamu sudah dengar belum," singgungnya.Kabarnya Mitha juga melahirkan di hari yang sama. Namun, Aruna ingin tahu lahirnya anak kembar seperti apa."Kata Daffa sudah lahir, anak laki-laki semua.""Lahir normal?" tanyanya.Kepala Erland menggeleng. "Caesar katanya."Mendengar hal itu, Aruna langsung meringis sembari menyentuh perutnya. Erland yang melihatnya, menggenggam tangan Aruna."Mikirin apa sih? Kamu kan lahirannya normal.""Ya tapi ngeri gitu, Mas," sahutnya.Erland memandangnya lama. "Jarang yang bisa lahir normal saat mengandung kembar. Zaman sekarang lebih merekomendasikan caesar."Memikirkannya, Aruna langsung menjawab, "kalau begitu aku tidak mau punya anak kembar."Erland ingin mengusap kepalanya. Namun, langsung Aruna genggam lengan suaminya. Erland sempat menunjukkan raut terheran, setelah mengingat tangan ini yang digunakan membersihkan
Aruna tersenyum mendengar ucapan suaminya. "Benar, Fira pasti senang."Erland ikut tersenyum. "Iya Sayang."Aruna memandang Erland yang begitu betah memandang sang putra. Bibirnya tanpa sadar terus saja tersenyum karena pada akhirnya bisa melahirkan anak dari suami yang dirinya cintai.Bahkan ketika malamnya tiba. Aruna yang sibuk tidur, Erland tetap terjaga dan menjaga sang putra yang sangat lelap tidur di ranjang kecil. Bibir Erland tak pernah berhenti tersenyum, karena melihat fotokopi diri sendiri pada wajah sang putra."Tuan."Erland menoleh dan mendapati Sonya yang membawa tas, bersiap untuk pulang."Oh kamu sudah mau pulang," singgung Erland."Iya Tuan. Saya akan kembali pagi nanti."Erland berpikir sejenak, kemudian menyahut, "besok kamu di rumah saja, istirahat. Terima kasih karena sudah membantu menjaga Aruna."Meski Sonya sempat terkejut karena Erland baru saja mengucap terima kasih. Namun, Sonya langsung tersenyum dan mengangguk."Kembali kasih, Tuan."Erland kembali meman
Beberapa bulan telah berlalu. Kandungan Aruna sudah mencapai sembilan bulan dan sejak kemarin mulas, menunjukkan tanda melahirkan.Erland langsung membawa Aruna ke rumah sakit. Namun, sampai paginya lagi, Aruna tak kunjung pembukaan. Erland yang melihat Aruna kerap mengadu kesakitan karena kontraksi, membuat Erland bicara pada Sonya."Menurutmu, bukankah ini karmaku? Makanya Aruna kesulitan melahirkan begini," singgung Erland."Tuan, tidak boleh bicara seperti itu. Semua wanita yang melahirkan berbeda-beda, ada yang cepat ada juga yang lumayan lama," sahut Sonya."Sewaktu melahirkan nona Fira, Nyonya seperti ini juga."Erland yang semula memandang ke arah Aruna sedang tidur, langsung menoleh pada Sonya saat mendengar perkataan itu. Erland yang tidak memiliki ingatan soal itu langsung bertanya."Benarkah?"Sonya mengangguk. "Benar sekali Tuan. Makanya Nyonya sekarang nampak biasa saja, meski terkadang mengeluh sakit. Karena sebelumnya juga seperti ini."Erland langsung meraih tangan Ar
Erland mengerutkan dahi. "Anak kembar?""Iya."Mendadak Erland tersenyum. "Gimana mau anak kembar, kamu sudah hamil begini. Harus lahir dulu Sayang, baru bikin anak kembar lagi."Mendengarnya, Aruna jadi membuka matanya lebih lebar dan memandang ke arah Erland. Suaminya masih tersenyum, kemudian mengusap wajahnya."Memangnya siap melahirkan lagi? Yang lagi di kandung saja belum lahir," ujar Erland.Aruna langsung menggeleng. "Iya, harus lahirin dulu yang lagi dikandung."Erland mengangguk dan mengusap kepalanya. "Nah iya, habis lahiran. Kita baru pikirkan lagi ya soal anak kembar."Aruna memainkan kancing baju suaminya. "Tapi kata ayahku, katanya anak kembar merepotkan."Erland menumpu kepala dengan tangan. Mata memandangnya sangat lekat, sampai Aruna membalas."Kenapa merepotkan? Kan anak sendiri. Aku malah senang banyak anak, rumah akan ramai dan aku juga bakal bantu merawat anak-anak.""Kalau disuruh jaga anak, paling nanti kamu tidur," ujarnya."Tidak akan, aku jamin."Aruna kemba
Erland benar-benar membawa Aruna ke rumah sakit pada siang harinya. Tentunya untuk memeriksakan kandungan sang istri. Tepat seperti yang dokter katakan, usia kandungannya memasuki 6 minggu. Aruna dan Erland diminta oleh dokter untuk jangan berhubungan dulu, sebelum melewati trimester pertama.Aruna yang memang sudah pernah hamil, tahu masalah larangan itu. Bahkan Erland pun terlihat mengerti, jadi tidak berkomentar apa pun."Jadi, apakah istri dan anakku ini ingin makan sesuatu?"Begitu keluar dari ruangan dokter kandungan, Erland menawarkan. Tangan saling bergandengan dengan Aruna. Erland sampai melirik karena menantikan jawaban dari istri."Aku mau waffle," ujarnya."Hm, biasanya beli di mana?""Aku tidak tahu. Tapi, harusnya ada cafe atau resto yang jual kan."Erland mengangguk. "Nanti aku cari infonya di ponsel ya."Mereka berdua tetap berjalan bersama dan memutuskan untuk menjemput Fira di sekolah. Kebetulan putrinya pasti sudah pulang. Sepanjang mengemudi, Aruna bergelayut man
Aruna menemui putrinya yang ada di rumah Faisal. Mungkin selama seminggu ini, akan tetap di sana sampai Aruna dan Erland pulang ke rumah. "Fira sedang tidur siang," ujar Faisal memberi tahunya.Aruna mengangguk. "Begitu ya sudah.""Kamu tidak akan pergi lagi kan?""Mungkin sore akan ke sana lagi dan malamnya ke sini untuk menemani Fira tidur, Yah."Faisal menghela napas. "Sewaktu masih hidup, saling bermusuhan. Giliran sudah mati, malah begitu betah di sana."Aruna memandang ayahnya. "Jangan bicara begitu, Yah. Bagaimana pun Erland kan anaknya, kalau bukan Erland siapa yang mengurusi."Mendengar ucapannya, Faisal langsung mengangguk. "Iya, iya. Ayah hanya kesal dengan Erland dan ayahnya yang sering bertengkar itu."Aruna duduk di sofa dan menarik napas. "Bagaimana pun, anak tetaplah anak. Ditinggal ayahnya tentu saja sedih.""Kamu juga begitu memangnya?"Dahi Aruna langsung mengerut. "Ayah mau menyusul? Semua keluarga ingin Ayah panjang umur kok."Faisal langsung tersenyum, kemudian
Aruna berkeliling di rumah ayah mertuanya. Tempat Erland dahulu dibesarkan. Kemudian dirinya bertemu dengan ibu tiri dari suaminya. Aruna ingin menghindar, namun tangannya dicekal."Kamu merasa bangga ya, bisa keluar masuk rumah ini."Aruna memandang lekat. "Bangga?""Kenapa harus berbangga diri, aku menantu di rumah ini," lanjutnya.Ibu tiri Erland menyeringai. "Kamu hanya menantu yang tidak diakui.""Aku juga tidak ingin diakui oleh Anda."Kemudian Aruna menarik paksa tangannya dari ibu mertuanya. Hendak wanita ini main tangan, namun mendadak terhenti setelah ada langkah terdengar di belakang tubuhnya. Aruna langsung berbalik dan menemukan Erland berjalan mendekat dengan mata melotot tajam. Fira berlari di belakang suaminya sembari tertawa senang. Namun saat melihat ibu tiri Erland, Fira mendadak bersembunyi di belakangnya."Ayo aku antar ke kamar untuk istirahat," ujar Erland langsung menggiring Aruna dan Fira.Wanita itu mengepalkan tangan dengan wajah menunjukkan raut emosi. Nam
Aruna yang sedang memakaikan seragam sekolah pada putrinya, sesekali melirik jam. Karena suaminya tak kunjung pulang juga. Fira pun sampai bertanya karena melihat dirinya yang tak fokus."Mama menunggu papa ya?"Bibirnya langsung tersenyum. "Iya, Sayang. Mama nungguin papa, katanya pulang untuk ganti baju."Tepat saat itu, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah membuat mata Fira berbinar. Kemudian berlari darinya yang hendak memakaikan dasi. Aruna sendiri tersenyum dan mengikuti putrinya keluar.Namun, baru juga Aruna selesai menuruni anak tangga. Fira kembali berlari ke arahnya dengan raut ceria."Kata Papa hari ini tidak sekolah.""Eh? Kan bukan hari libur, mama juga tidak mendapat info apa pun dari sekolah." Aruna jelas bingung.Kemudian, Erland berjalan mendekat dan menyahut, "papa minta bertemu."Aruna memandang suaminya semakin tidak mengerti. "Dan kamu menyetujuinya?"Erland berjalan semakin dekat dan berhadapan dengannya. Kemudian meraih tangannya, karena Erland sangat