Aruna mendengar yang sedikit ribut di luar ruang rawat. Sementara Fira menangis, membuat Aruna menggendong anaknya dengan Erland yang memastikan infus tidak lepas."Ayahku," ujar Aruna membuat Erland melirik dan mengangguk.Faisal terlihat datang bersama istri. Aruna butuh waktu yang lama untuk menerima keberadaan pria itu, tapi hari ini malah membawa ibu tiri serta ikut."Aruna, bagaimana keadaan cucu ayah?" tanya Faisal mendekat dengan raut cemas.Fira masih saja menangis di tangannya. Membuat, Faisal semakin mendekat dan meminta untuk menggendong."Coba ayah gendong, barangkali Fira bisa lebih tenang," ujar Faisal.Aruna pun memberikan Fira pada sang ayah. Karena memang biasanya, Fira begitu tenang di tangan Faisal. Namun, kali ini Fira tidak berhenti menangis sama sekali.Mata Aruna saling pandang dengan Faisal. Tidak biasanya putrinya menangis terus seperti ini. "Coba aku yang gendong," ujar Erland.Faisal memberikan Fira pada Erland. Sementara pria itu bertugas membawa tongkat
Aruna memejamkan mata. "Persetan dengan Erland marah atau tidak. Untuk marah dia harus hidup terlebih dahulu."Daffa menatap ke arah Aruna dengan pandangan sedih. Pilihan yang cukup sulit itu membuat Aruna sendiri pasti terluka.Meski begitu, Daffa mengerti kalau Aruna memutuskan untuk meninggalkan Erland hanya demi kelangsungan hidup pria itu."Tepati janji Papa," ujarnya dengan mata memandang serius.Ayah Erland mengangguk. "Bagaimana pun, dia anak satu-satunya untukku. Jadi, tenang saja, tanpa kamu ingatkan pun. Aku akan menyelamatkannya."Kemudian ayah Erland melirik ke arah istri yang sibuk tersenyum senang, atas berpisahnya Aruna dengan Erland dalam waktu dekat."Siap-siap ke rumah sakit dan periksakan dirimu," ujar ayah Erland sampai membuat sang istri heran."Ya? Untuk apa Mas?""Untuk memotong hatimu dan berikan pada Erland.""Mas!"***Pandangan Aruna tertunduk saat Faisal merusak salah satu karangan bunga. Beberapa kolega bisnis memberikan bunga atas kematian ibu tirinya. D
Awalnya Mitha bertanya-tanya. Apa maksud dari Aruna yang berkata, kalau sebentar lagi mereka akan berkemas.Rupanya, begitu malam harinya. Mitha mendapat mandat dari sang ayah, untuk segera kembali ke Indonesia. Menyuruh Aruna untuk mengurus perusahaan yang jatuh ke tangan Erland."Ayah sialan itu, aku yakin otaknya sudah cuci oleh Erland," gerutu Mitha selagi mengemas pakaian.Aruna menoleh. "Aku rasa ayah sengaja melakukannya."Mitha menghela napas. Tujuannya pasti untuk menyatukan Aruna dengan Erland lagi. Hal itu membuat Aruna ikut menghela napas.Aruna sering mendengar berita dari Daffa, kalau mantan suaminya itu tersandung skandal dengan beberapa wanita. Namun, tidak sampai ke arah yang lebih serius."Mama."Mendengar suara dari Fira. Aruna dan Mitha pun saling menoleh, kemudian tersenyum. Melihat gadis kecil dengan piyama pita di bagian dada, menyeret boneka lina belle mendekat.Aruna menatap lekat putrinya. Setelah besar, justru wajah lebih mirip dengannya. Segala kenangan Yud
"Apa?"Erland berdehem. "Tidak, soalnya aku seperti pernah bertemu denganmu."Aruna langsung tersenyum kecut. Jangankan pernah ketemu, bikin anak di atas ranjang saja sering. Namun, Aruna tidak mungkin mengatakannya. Bisa-bisa dirinya dikira mengada."Mungkin di suatu tempat iya," sahut Aruna dengan kepala mengangguk.Erland menatap Aruna dengan lekat. Mulai dari suara yang mirip dengan wanita yang selalu muncul dalam bayangan dan mimpi. Bahkan, postur tubuh juga mirip."Mengenai perusahaan, kebetulan ayah saya tidak pandai berjudi. Jadi, bisakah kita batalkan penyerahan kuasa perusahaan itu?" tanya Aruna.Erland yang semula mencoba mengingat sosok Aruna. Langsung menyeringai saat mendengar permintaan darinya."Kamu tahu Aruna. Meja judi juga punya aturannya sendiri. Persetan dengan ahli atau pemula, selama permainan dimulai. Maka harus rela kehilangan jika kalah."Aruna langsung diam. Jadi, mantan suaminya ini ingin bersikap keras kepala. Jika saja,
Aruna pagi ini sedang mematut diri di hadapan cermin. Kemudian tangan menengadah, meminta sesuatu. Mitha segera mengambilkan parfum yang semula dipegang."Serius dengan keputusanmu?" tanya Mitha dengan menatap lekat."Mau bagaimana lagi, dia yang menginginkannya."Mitha menatap Aruna heran. Tidak biasanya, Aruna begitu pasrah dengan sebuah masalah. Hingga Mitha yang mulai menyadari pun langsung tersenyum."Jangan bilang, kalau ini trik darimu?""Trik?" Aruna balik bertanya."Ya. Kamu setuju bekerja sebagai sekretaris dari Erland. Kamu pasti ingin menggoda dia kan? Begitu ada kesempatan," tuduh Mitha.Aruna langsung tersenyum sinis begitu mendengar tuduhan itu. Memang mulanya seperti itu saat melihat Erland lagi setelah sekian lama. Tapi, Aruna menyadari satu hal. Masa lalu bukanlah masa depan."Aku tidak ada niat menyimpang macam itu. Aku hanya ingin perusahaan ayah kembali ke tangan kita."Mitha menarik napas. "Ayolah Aruna. Bahkan ayah saja tidak peduli dengan nasib perusahaan itu,
"Kalau seperti itu, aku tidak akan bisa menikahi kamu," ujar Erland."Bisa. Karena itu silakan ingat-ingat kenangan Anda."Aruna yang hendak melangkah pergi, langsung ditarik oleh Erland. Hingga tubuhnya berbalik."Aku akan menikahi kamu, bagaimana pun caranya Aruna."Aruna tersenyum dan menarik paksa tangannya dari genggaman Erland. "Berhenti bicara omong kosong, dan mari bekerja. Karena saya sudah dapat jadwal Anda."Aruna terburu keluar dari ruang kerja mantan suaminya. Sebelum Erland semakin banyak bicara. Begitu keluar, Aruna memegang jantungnya yang berdetak lebih kencang."Dia mengajakku nikah," gumam Aruna dengan tidak percaya.Namun, mengingat ayah dari Erland. Aruna jadi murung, pria itu alasan mereka berdua sampai berpisah. Aruna tidak ingin kehidupan putrinya diusik hanya karena ia memutuskan untuk kembali pada Erland.Aruna menghela napas. "Harus sekaya apalagi aku, hingga menjadi pantas bersanding dengan Erland."Saat siang harinya. Aruna yang sedang membereskan dokumen
Aruna dibawa oleh Erland ke sebuah kamar di lantai atas. Aruna membeku sejenak, otaknya sedang mengajak bernostalgia. Kamar inilah yang dulu dihuni oleh Erland dan dirinya."Fira sedang tidur, jika kamu merasa lelah--"Ucapan Erland sempat terhenti karena menemukan Aruna yang berkaca-kaca. Aruna segera melengos saat menyadari tatapan mantan suaminya."Kamu bisa ikut istirahat," lanjut Erland.Aruna mengangguk. "Saya mengerti, jadi Anda bisa kembali."Dahi Erland mengerut. "Kembali ke mana, Aruna? Kamu lupa ini kamarku, ah lebih tepatnya kamar kita dulu."Mata Aruna menatap Erland lekat. "Apa Anda mengingatnya?"Erland tersenyum dan meraih pinggangnya. "Bakal ingat kalau sering kita gunakan nantinya."Aruna panik dan langsung mendorong tubuh Erland untuk menjauh. "Ini alasan saya tidak mau menikah sebelum ingatan Anda kembali.""Kenapa?"Mata Aruna menatap Erland dengan menantang. "Rasanya tidak adil.""Tidak adil?""Iya. Karena hanya saya yang mengingat semuanya."Erland mendekat memb
Mata Erland yang semula terpejam karena menikmati. Mulai terbuka lebar dengan tubuh langsung bangkit, karena lidah merasa digigit oleh Aruna yang sudah bangun."Kenapa digigit?"Aruna ikut bangkit. Takut Erland melancarkan aksi yang lain, jika Aruna pasang badan. Sorot mata Aruna menjadi tajam. Bukan masalah ia tidak suka dicium pria yang dirinya cintai. Tapi, status mereka sudah bukan suami istri lagi. Hal seperti itu tidaklah lumrah untuk dilakukan."Anda tanya kenapa saya bisa sampai menggigit? Padahal Anda tahu sendiri alasannya apa."Aruna mengeluhkan kelakuan Erland dengan mata melotot, namun suara bicaranya pelan. Karena takut membangunkan Fira dari tidur.Erland menatap bibirnya. "Aku cuma cium saja, Aruna. Tidak sampai pegang sana sini loh.""Lagi pula aku ini kan calon suami kamu."Aruna menghela napas. "Saya bahkan belum setuju, Anda main seenaknya mengklaim."Mata Erland memandang Aruna yang mulai turun dari ranjang. Kemudian menarik dia untuk keluar dari kamar. "Lagi pu
Tubuh Erland langsung membeku di tengah anak tangga saat mendengar ucapan dari Fira. Jantung Erland juga berdetak sangat kencang, mata saling pandangan dengan sang putri."Siapa yang beri tahu Fira hal konyol itu?"Fira diam sejenak, membaca ekspresi wajah Erland yang kali ini nampak marah. Perlahan pandangan Fira turun dan hanya berani menatap pundak Erland. "Semua orang membicarakannya pelan-pelan di sekitar Fira. Tapi, Fira mengerti maksud mereka."Erland menghela napas. "Itu hanya omong kosong Sayang. Kenapa Fira percaya? Fira kan anak papa."Tangan Fira meremas pundak Erland. "Papa jangan berusaha berbohong, aku sudah tahu semuanya kok.""Tapi, Papa janji ya. Jangan bilang kalau Fira tahu pada mama. Nanti mama bakal sedih."Erland memilih mengangguk. Ternyata dia tidak bisa menyembunyikan fakta dari anak sekecil Fira. Anak ini mengerti apa yang orang lain katakan, namun malah diam dan memendam semuanya sendiri."Tapi Fira tahu kan, kalau papa sayangnya beneran sama Fira. Mengang
Aruna mengawasi Erland yang membersihkan sisa kotoran yang menempel pada putranya. Kemudian mengganti popok. "Kabar Mitha gimana, Mas? Kamu sudah dengar belum," singgungnya.Kabarnya Mitha juga melahirkan di hari yang sama. Namun, Aruna ingin tahu lahirnya anak kembar seperti apa."Kata Daffa sudah lahir, anak laki-laki semua.""Lahir normal?" tanyanya.Kepala Erland menggeleng. "Caesar katanya."Mendengar hal itu, Aruna langsung meringis sembari menyentuh perutnya. Erland yang melihatnya, menggenggam tangan Aruna."Mikirin apa sih? Kamu kan lahirannya normal.""Ya tapi ngeri gitu, Mas," sahutnya.Erland memandangnya lama. "Jarang yang bisa lahir normal saat mengandung kembar. Zaman sekarang lebih merekomendasikan caesar."Memikirkannya, Aruna langsung menjawab, "kalau begitu aku tidak mau punya anak kembar."Erland ingin mengusap kepalanya. Namun, langsung Aruna genggam lengan suaminya. Erland sempat menunjukkan raut terheran, setelah mengingat tangan ini yang digunakan membersihkan
Aruna tersenyum mendengar ucapan suaminya. "Benar, Fira pasti senang."Erland ikut tersenyum. "Iya Sayang."Aruna memandang Erland yang begitu betah memandang sang putra. Bibirnya tanpa sadar terus saja tersenyum karena pada akhirnya bisa melahirkan anak dari suami yang dirinya cintai.Bahkan ketika malamnya tiba. Aruna yang sibuk tidur, Erland tetap terjaga dan menjaga sang putra yang sangat lelap tidur di ranjang kecil. Bibir Erland tak pernah berhenti tersenyum, karena melihat fotokopi diri sendiri pada wajah sang putra."Tuan."Erland menoleh dan mendapati Sonya yang membawa tas, bersiap untuk pulang."Oh kamu sudah mau pulang," singgung Erland."Iya Tuan. Saya akan kembali pagi nanti."Erland berpikir sejenak, kemudian menyahut, "besok kamu di rumah saja, istirahat. Terima kasih karena sudah membantu menjaga Aruna."Meski Sonya sempat terkejut karena Erland baru saja mengucap terima kasih. Namun, Sonya langsung tersenyum dan mengangguk."Kembali kasih, Tuan."Erland kembali meman
Beberapa bulan telah berlalu. Kandungan Aruna sudah mencapai sembilan bulan dan sejak kemarin mulas, menunjukkan tanda melahirkan.Erland langsung membawa Aruna ke rumah sakit. Namun, sampai paginya lagi, Aruna tak kunjung pembukaan. Erland yang melihat Aruna kerap mengadu kesakitan karena kontraksi, membuat Erland bicara pada Sonya."Menurutmu, bukankah ini karmaku? Makanya Aruna kesulitan melahirkan begini," singgung Erland."Tuan, tidak boleh bicara seperti itu. Semua wanita yang melahirkan berbeda-beda, ada yang cepat ada juga yang lumayan lama," sahut Sonya."Sewaktu melahirkan nona Fira, Nyonya seperti ini juga."Erland yang semula memandang ke arah Aruna sedang tidur, langsung menoleh pada Sonya saat mendengar perkataan itu. Erland yang tidak memiliki ingatan soal itu langsung bertanya."Benarkah?"Sonya mengangguk. "Benar sekali Tuan. Makanya Nyonya sekarang nampak biasa saja, meski terkadang mengeluh sakit. Karena sebelumnya juga seperti ini."Erland langsung meraih tangan Ar
Erland mengerutkan dahi. "Anak kembar?""Iya."Mendadak Erland tersenyum. "Gimana mau anak kembar, kamu sudah hamil begini. Harus lahir dulu Sayang, baru bikin anak kembar lagi."Mendengarnya, Aruna jadi membuka matanya lebih lebar dan memandang ke arah Erland. Suaminya masih tersenyum, kemudian mengusap wajahnya."Memangnya siap melahirkan lagi? Yang lagi di kandung saja belum lahir," ujar Erland.Aruna langsung menggeleng. "Iya, harus lahirin dulu yang lagi dikandung."Erland mengangguk dan mengusap kepalanya. "Nah iya, habis lahiran. Kita baru pikirkan lagi ya soal anak kembar."Aruna memainkan kancing baju suaminya. "Tapi kata ayahku, katanya anak kembar merepotkan."Erland menumpu kepala dengan tangan. Mata memandangnya sangat lekat, sampai Aruna membalas."Kenapa merepotkan? Kan anak sendiri. Aku malah senang banyak anak, rumah akan ramai dan aku juga bakal bantu merawat anak-anak.""Kalau disuruh jaga anak, paling nanti kamu tidur," ujarnya."Tidak akan, aku jamin."Aruna kemba
Erland benar-benar membawa Aruna ke rumah sakit pada siang harinya. Tentunya untuk memeriksakan kandungan sang istri. Tepat seperti yang dokter katakan, usia kandungannya memasuki 6 minggu. Aruna dan Erland diminta oleh dokter untuk jangan berhubungan dulu, sebelum melewati trimester pertama.Aruna yang memang sudah pernah hamil, tahu masalah larangan itu. Bahkan Erland pun terlihat mengerti, jadi tidak berkomentar apa pun."Jadi, apakah istri dan anakku ini ingin makan sesuatu?"Begitu keluar dari ruangan dokter kandungan, Erland menawarkan. Tangan saling bergandengan dengan Aruna. Erland sampai melirik karena menantikan jawaban dari istri."Aku mau waffle," ujarnya."Hm, biasanya beli di mana?""Aku tidak tahu. Tapi, harusnya ada cafe atau resto yang jual kan."Erland mengangguk. "Nanti aku cari infonya di ponsel ya."Mereka berdua tetap berjalan bersama dan memutuskan untuk menjemput Fira di sekolah. Kebetulan putrinya pasti sudah pulang. Sepanjang mengemudi, Aruna bergelayut man
Aruna menemui putrinya yang ada di rumah Faisal. Mungkin selama seminggu ini, akan tetap di sana sampai Aruna dan Erland pulang ke rumah. "Fira sedang tidur siang," ujar Faisal memberi tahunya.Aruna mengangguk. "Begitu ya sudah.""Kamu tidak akan pergi lagi kan?""Mungkin sore akan ke sana lagi dan malamnya ke sini untuk menemani Fira tidur, Yah."Faisal menghela napas. "Sewaktu masih hidup, saling bermusuhan. Giliran sudah mati, malah begitu betah di sana."Aruna memandang ayahnya. "Jangan bicara begitu, Yah. Bagaimana pun Erland kan anaknya, kalau bukan Erland siapa yang mengurusi."Mendengar ucapannya, Faisal langsung mengangguk. "Iya, iya. Ayah hanya kesal dengan Erland dan ayahnya yang sering bertengkar itu."Aruna duduk di sofa dan menarik napas. "Bagaimana pun, anak tetaplah anak. Ditinggal ayahnya tentu saja sedih.""Kamu juga begitu memangnya?"Dahi Aruna langsung mengerut. "Ayah mau menyusul? Semua keluarga ingin Ayah panjang umur kok."Faisal langsung tersenyum, kemudian
Aruna berkeliling di rumah ayah mertuanya. Tempat Erland dahulu dibesarkan. Kemudian dirinya bertemu dengan ibu tiri dari suaminya. Aruna ingin menghindar, namun tangannya dicekal."Kamu merasa bangga ya, bisa keluar masuk rumah ini."Aruna memandang lekat. "Bangga?""Kenapa harus berbangga diri, aku menantu di rumah ini," lanjutnya.Ibu tiri Erland menyeringai. "Kamu hanya menantu yang tidak diakui.""Aku juga tidak ingin diakui oleh Anda."Kemudian Aruna menarik paksa tangannya dari ibu mertuanya. Hendak wanita ini main tangan, namun mendadak terhenti setelah ada langkah terdengar di belakang tubuhnya. Aruna langsung berbalik dan menemukan Erland berjalan mendekat dengan mata melotot tajam. Fira berlari di belakang suaminya sembari tertawa senang. Namun saat melihat ibu tiri Erland, Fira mendadak bersembunyi di belakangnya."Ayo aku antar ke kamar untuk istirahat," ujar Erland langsung menggiring Aruna dan Fira.Wanita itu mengepalkan tangan dengan wajah menunjukkan raut emosi. Nam
Aruna yang sedang memakaikan seragam sekolah pada putrinya, sesekali melirik jam. Karena suaminya tak kunjung pulang juga. Fira pun sampai bertanya karena melihat dirinya yang tak fokus."Mama menunggu papa ya?"Bibirnya langsung tersenyum. "Iya, Sayang. Mama nungguin papa, katanya pulang untuk ganti baju."Tepat saat itu, terdengar suara mobil berhenti di depan rumah membuat mata Fira berbinar. Kemudian berlari darinya yang hendak memakaikan dasi. Aruna sendiri tersenyum dan mengikuti putrinya keluar.Namun, baru juga Aruna selesai menuruni anak tangga. Fira kembali berlari ke arahnya dengan raut ceria."Kata Papa hari ini tidak sekolah.""Eh? Kan bukan hari libur, mama juga tidak mendapat info apa pun dari sekolah." Aruna jelas bingung.Kemudian, Erland berjalan mendekat dan menyahut, "papa minta bertemu."Aruna memandang suaminya semakin tidak mengerti. "Dan kamu menyetujuinya?"Erland berjalan semakin dekat dan berhadapan dengannya. Kemudian meraih tangannya, karena Erland sangat