“Ke—kenapa kamu baru memberitahuku, Ayuni?” Andreas cukup lemas mendengar pernyataan dari Ayuni bahwa mereka sempat hampir memiliki anak.
“Aku … aku keguguran dan tidak bisa memiliki anak dalam waktu yang panjang.” Ayuni mengusap air mata di pipinya.
“Aku sudah pasrah, Mas. Sudah menerima keadaan bila nanti kita harus berpisah. Tapi, kamu sendiri yang memilih bertahan denganku. Karena ulah kamu juga karena terlalu semangat bila sedang menyentuhku.”
Ayuni kemudian mengusap air mata yang jatuh di pipinya. Sakit rasanya memberi tahu apa yang sebenarnya tengah dia alami. Menyimpan semua rahasia itu seorang diri karena tidak ingin melukai perasaan Andreas.
“Aku pernah meminta kita untuk berpisah. Tapi, kamu berjanji akan menerima aku apa adanya. Kenyataannya tidak seperti itu. Meski pernikahan itu bukan inginmu, tapi kamu sudah mengingkarinya.”
Ayuni kembali berbicara. Ia kemudian menatap Andreas dengan mata sayunya. “Aku ingin cerai, Mas. Lepaskan aku agar aku tidak menjadi beban kamu lagi.”
Andreas menggeleng dengan pelan. “Nggak. Kamu bukan beban aku, Sayang. Kita saling mencintai. Kamu harus tetap ada di sampingku.”
Ayuni tersenyum lirih. “Sudah ada Gita, untuk apa masih mengharapkanku.”
“Gita bukan alasan untuk kita berpisah.”
“Nyatanya karena kehadiran dia, aku memilih pergi.”
“Dan aku ingin kamu kembali lagi. Jangan pergi, aku mohon. Kamu boleh menjaganya selamanya, kalau kamu ingin. Untuk kesehatan kamu juga, Ayuni.”
Ayuni terdiam. Mendengar ucapan Andreas membuatnya merasa bersalah. Apa yang sebenarnya terjadi? Perasaan apa yang membuatnya seperti ini?
“Ayuni. Please.” Andreas memohon. Ia tidak ingin pergi. “Sampai seratus kali pun kamu menggugat cerai aku, tidak akan pernah aku kabulkan.”
Ayuni hanya menelan saliva dengan pelan. Tidak menjawab apa-apa lagi. Sebab rasanya tidak akan pernah berhenti.
**
Satu minggu sudah Ayuni dirawat di rumah sakit. Kini, perempuan itu tengah duduk menyandar di sandaran bangsalnya.
“Hei!” Ryan menghampiri Ayuni kemudian duduk di depan perempuan itu.
Ayuni tersenyum tipis. “Aku baru tahu, kalau istri kamu sudah pergi. Bagaimana dengan anakmu?”
“Shakira? Dia baik. Setiap minggu kami selalu mengunjungi makamnya.”
Ayuni mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pasti sulit sekali melepas kepergian dia. Tapi, mau gimana lagi. Tuhan lebih sayang dia.”
Ryan mengangguk seraya mengulas senyumnya. “Arumi sudah bahagia di sana. Aku pun harus bahagia di sini. Aku tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan karena kehilangan dia. Meski aku sangat mencintainya bahkan hingga kini pun masih belum bisa mencari penggantinya.”
“Sepertinya tidak akan, yaa. Fokus membesarkan Shakira saja. Dia juga kayaknya nggak minta mama baru lagi.”
Ryan terkekeh pelan. “Setahun lamanya Arumi pergi dari hidup kami, Shakira diasuh oleh Naina, adiknya Arumi. Kamu pasti kenal dengan dia. Selama ini, kalau aku sedang kerja, dialah yang merawatnya. Jadi, sepertinya mungkin tidak perlu mencari mama baru untuk dia.”
Ayuni mengulas senyum tipis. “Hebat!”
“How with you? Nggak jadi cerai, kan?”
Ayuni tersenyum miring lalu mengendikan bahunya. “Dia sudah tahu kalau aku menjaga kehamilan dan membiarkan itu asalkan tetap bersamanya. Tapi, sudah hampa, Ryan.”
“Ya. Aku paham dengan perasaanmu, Ayuni. Ada orang ketiga dalam hubungan itu memang tidak menyenangkan.”
“Begitulah. Aku akan pergi setelah Gita hamil, Ryan. Aku tidak ingin membuat anak itu kekurangan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Rasanya jahat kalau aku merawatnya, sementara dia masih memiliki ibu.”
Ryan menepuk-nepuk lengan Ayuni. “Yang sabar, yaa. Kamu perempuan hebat. Harusnya kamu bisa melewati itu semua.”
Ayuni mengangguk. “Iya. Terima kasih, atas moodboster-nya. Kamu ini cocoknya jadi psikiater daripada dokter bedah.”
Ryan terkekeh pelan. “Nggak gitu konsepnya, Ayuni.”
Perempuan lantas menerbitkan senyum kepada lelaki itu. “Ryan. Dulu, kamu itu orang paling kalem yang aku kenal. Sampai sekarang pun masih juga kalem.”
“Sudah dari sananya mungkin. Tapi, anakku aktif. Dia cepat sekali dekat dengan orang yang baru dia kenal. Kamu belum pernah ketemu dia, kan?”
Ayuni menggeleng dengan pelan. “Boleh, ketemu sama Shakira? Kayaknya anaknya manis-manis gimana gitu. Aku kenal baik sama Arumi. Tahu banget dia cantiknya kayak gimana. Shakira juga pasti cantik banget.”
Ryan menerbitkan senyumnya. Ia kemudian mengambil ponselnya dan memperlihatkan foto sang anak kepada Ayuni.
“Tuh, kan! Apa aku bilang. Astaga, imut banget. Jadi pengen culik.”
Ryan terkekeh pelan mendengarnya. “Boleh diculik. Asalkan dikembalikan lagi.”
Ayuni mengusapi wajah anak berusia tujuh tahun itu kemudian menghela napasnya dengan pelan. “Andai dia tumbuh dengan baik di rahimku, mungkin usianya tidak jauh dari Shakira. Bisa jadi mereka pasti sudah berteman baik dengan Shakira.”
Ryan kembali mengusapi lengan perempuan itu. “Suatu saat nanti, setelah luka itu sembuh, dia akan tumbuh lagi.”
Ayuni menyunggingkan senyum tipis. “Siapa yang tengoknya? Aku udah nggak berniat melayani Andreas lagi.” Ayuni mengusap wajahnya lalu mengembungkan pipinya.
“Kenapa? Nggak bisa membayangkan Andreas sama Gita lagi main?”
Ayuni lalu melirik Ryan dan menyunggingkan bibirnya.
Ryan tertawa pelan melihat ekspresi wajah Ayuni. “Sudahlah, tidak perlu dibayangkan. Akan membuat kamu jadi serba salah. Bukankah lebih cepat lebih baik?”
“Iya. Aku tidak akan membayangkan hal bodoh itu. Semua perempuan pasti merasakan itu dengan pasangannya.”
Ryan menganggukkan kepalanya. “Iya, Ayuni. Besok pagi kamu sudah boleh pulang. Kondisi kamu sudah semakin membaik.”
Ayuni mengangguk. “Iya, Dok.”
Ryan geleng-geleng kepala lalu tersenyum tipis. “Meski aku dokter, kalau kamu manggil aku kayak gitu, agak gimana gituu.”
Ayuni terkekeh pelan. “Terus, maunya dipanggil apa? Mas Ryan?”
“Itu apalagi.”
Ayuni kemudian mengerucutkan bibirnya. “Aku mau tidur dulu. Udah malam.”
Ryan menganggukkan kepalanya. “Nice dream, Ayuni. Jangan mimpiin Gita sama Andreas lagi main, yaa.”
“Sialan!” Ayuni lantas memukul lengan Ryan.
Lelaki itu kemudian terkekeh lalu menarik selimut Ayuni hingga ke dada. “Good night!” ucapnya lalu keluar dari kamar rawat Ayuni.
Bersamaan dengan Ryan keluar dari kamar rawat Ayuni, Vita datang dan langsung menerbitkan senyum yang lebar kepada lelaki itu.
“Kenapa kamu?” tanya Ryan tampak aneh melihat Vita.
“Dih! Kamu sendiri ngapain cengar-cengir gitu abis keluar dari kamarnya Ayuni? Lagi nunggu jandanya Ayuni, yaa?” bisik Vita sembari menunjuk wajah Ryan.
Pipi Ryan lantas memerah mendengarnya. Ia kemudian tertawa canggung sembari mengibaskan tangannya.
“Kamu ini, dari dulu sampai sekarang masih saja bicara yang di luar nalar.” Ryan mengelak atas tebakan Vita.
Perempuan itu kemudian mengerucutkan bibirnya. “Ya udah, kalau emang nggak mau ngaku.”
“Kamu mau ke mana? Ayuni sudah tidur. Besok lagi saja kalau mau jenguk. Besok dia sudah diperbolehkan pulang.”
Ryan kemudian menarik tangan Vita dan membawanya ke kantin. Duduk saling berhadapan dan menatapnya lekat.
“Vita. Kamu tahu, kalau Ayuni sempat keguguran?” tanyanya kemudian.
Vita terdiam sejenak kemudian menghela napas kasar. “Tahu. Orang tua Ayuni juga tahu. Hanya Andreas yang nggak tahu karena saat itu memang usia kandungannya baru tiga minggu.”“Seharusnya Andreas diberitahu.”“Harusnya. Tapi, Ayuni juga harus ngasih tahu kalau dia dijaga. Lima tahun lamanya, Ryan. Udah lima tahun Ayuni dijaga karena kondisi rahimnya nggak baik kalau hamil lagi. Ayuni sempat kok, minta cerai sama Andreas.“Tapi dianya yang nggak mau dan akan menerima Ayuni apa adanya. Eeh! Ternyata semuanya bulshit. Dia nikah lagi bahkan tanpa sepengetahuan Ayuni. Kan kampret. Ayuni sempat mikir, katanya itu karma buat dia karena udah merahasiakan penyakit dia.”Ryan menghela napas dengan pelan. “Sebenarnya Ayuni masih mencintai suaminya, kan?”Vita mengendikan bahunya. “Entah. Hanya Ayuni yang tahu kalau soal itu.”Ryan tersenyum tipis kemudian pamit pergi. Pun dengan Vita yang akhirnya mengurungkan diri untuk menjenguk Ayuni sebab perempua itu rupanya sudah tidur.**Waktu sudah men
Di taman kota dekat permainan anak-anak, Ayuni duduk di kursi panjang menunggu Ryan dan juga Shakira yang ingin bertemu dengannya.Ya. Ayuni memilih bertemu dengan Shakira yang ingin bertemu dengannya. Entah memang Shakira yang ingin bertemu, atau Ryan sendiri yang ingin kembali menemui perempuan itu.“Hei! Sorry banget, baru sampai.” Ryan menghampiri Ayuni kemudian mengulas senyumnya.“Eh! Iya, nggak apa-apa.” Ayuni kemudian mengusapi pucuk kepala Shakira. “Halo, anak manis. Namanya Shakira, yaa?”Shakira mengangguk. “Halo, Tante. Tante namanya Ayuni, yaa? Cantik banget, mirip Mama.”Ayuni tersenyum malu-malu mendengar ucapan Shakira. “Shakira juga cantik. Mirip sekali sama mamanya.” Ayuni mengusapi pucuk kepala anak kecil itu.Ayuni kemudian menatap Ryan yang tengah menatapnya juga. “Eh! Kacamatanya ke mana? Kok nggak dipake?”“Hanya kalau lagi kerja saja. Kalau di luar, males pake.”Ayuni manggut-manggut. “Sini, duduk, Sayang. Kamu baru pulang sekolah, yaa?” tanyanya kepada Shakira
“Keterlaluan kamu, Ayuni! Kamu bilang akan pulang. Tapi kenapa malah ke sini sama dia?” pekik Andreas naik pitam kala melihat dengan mata kepalanya sendiri bila Ayuni memang benar tengah bersama dengan Ryan.Ayuni menghela napas pelan. “Aku, keterlaluan? Kamu sendiri, harus disebut dengan apa kalau aku makan siang aja disebut keterlaluan? Sementara kamu, menikah lagi tanpa seizing aku. Lebih dari keterlaluan, kan?”Andreas lantas menyeret tangan Ayuni, membawa perempuan itu keluar dari resto tersebut dengan langkah lebarnya.Ryan kemudian mengejarnya. Menarik tangan Ayuni yang mengaduh sakit karena genggaman tangan yang erat.“Tidak baik memperlalukan wanita seperti itu, Andreas!” ucap Ryan sembari melepaskan tangannya dari tangan Ayuni.“Kamu tidak usah ikut campur, Ryan! Hubungan kalian hanya sampai di rumah sakit saja. Kamu hanya dokter yang merawat dia! Di luar itu, kalian tidak perlu bertemu apalagi sampai makan siang bersama!” pekik Andreas begitu marah.Ryan tersenyum tipis men
“Sudahlah, Ayuni. Kamu jangan seperti ratu yang semuanya ingin dituruti. Memangnya kamu bisa, menuruti keinginan Mas Andreas dan orang tuanya? Nggak, kan?”Ayuni menoleh kemudian menatap Andreas lagi. “Mas. Kamu bohong sama aku, huh? Kamu bohong, kalau dia udah nggak tinggal di sini lagi? Kurang ajar kamu, Mas! Aku mau kembali lagi ke sini karena kamu bilang dia sudah tidak tinggal di sini!”Ayuni geleng-geleng kemudian keluar lagi dari rumah itu.Andreas lantas mengejar Ayuni dan menarik tangan itu.“Lepas, Mas! Kamu sudah menyakiti tanganku di resto tadi. Kamu nggak lihat, luka karena kuku kamu di sini?” pekik Ayuni naik pitam.“Jangan pergi lagi aku mohon, Ayuni. Aku sudah membawanya perg—““Kalau memang sudah tidak tinggal di sini, kenapa dia masih ada di sini? Aku nggak akan pernah menginjakan kaki di sini lagi kalau ada dia!” ucapnya tegas.“Taksi!” Ayuni segera masuk ke dalam taksi tanpa peduli dengan Andreas yang berteriak memanggil namanya.“Ke mana, Bu?” tanya sopir itu.“Fl
“Saya ingin mengajukan cuti selama lima hari, Dok,” ucap Ryan pada Damian—pemilik rumah sakit tersebut.“Lama sekali. Mau ke mana, Dok? Mendadak sekali,” tanya Damian terheran-heran mendengar pengajuan cuti Ryan selama lima hari. Sebab tidak biasanya Ryan mengambil cuti selama itu.“Ya. Ada yang mesti saya lakukan di luar sana. Nanti tugas saya dialihkan pada Dokter Firman.”Damian menatap Ryan dengan lekat. “Mau ke mana, Dok? Nikah lagi, yaa?”Ryan terkekeh pelan kemudian menggeleng dengan pelan. “Tidak, Pak. Hanya ingin liburan saja. Menenangkan diri sejenak.”Damian manggut-manggut. “Beri izin. Saya ACC.”“Baiklah. Isi form-nya saja, Dok,” ucap Dokter Haris—kepala rumah sakit di sana.“Terima kasih, Dok. Pak Damian. Kalau begitu, saya pamit. Ada satu pasien yang mesti saya periksa.”Ryan kemudian keluar dari ruangan pimpinan di sana dan melangkah dengan lebar menuju ruangannya. Hendak mengisi form cuti meski hanya lima hari.Ia kemudian menghubungi Ayuni—berharap perempuan itu mau
Hari terakhir di Maldives ….Tampak Shakira tengah asyik bermain di pesisir pantai dengan riangnya. Ia yang sudah merindukan liburan itu akhirnya bisa menikmati waktu liburan dengan riang gembira.“Kamu mau tinggal di apartemen atau kembali ke rumah suamimu?” tanya Ryan kepada Ayuni yang tengah memasukan bajunya ke dalam koper.Ayuni mengendikan bahunya. “Entahlah. Aku bingung, Ryan. Seperti sudah tidak punya arah dan tujuan. Aku belum bisa menerima kehadiran Gita. Rasanya aneh saja kalau aku tinggal bersama dengan maduku.”Ryan menyunggingkan senyum tipis. “Aku ngerti perasaan kamu, Ayuni. Sebaiknya kamu tinggal di apartemen saja kalau memang Gita masih ada di rumah kalian.”Ayuni mengangguk kemudian mengulas senyumnya. “Iya. Kalian boleh main kapan pun ke sana. Kalau Shakira lagi kangen sama aku. Shakira anak yang baik dan periang. Mungkin karena aku memang menyukai anak kecil, merasa nyaman aja main sama Shakira.”Ryan kembali mengulas senyumnya. “Aku ingin berteman denganmu dan ti
“Kamu yang udah milih untuk nikah secara diam-diam. Dan sekarang kamu juga yang kayak orang gila,” sengal Malik—pria yang memberi tahu tentang pernikahan Andreas dan Gita.Andreas kemudian menghela napas kasar. “Kamu kan, yang udah kasih tahu dia soal itu? Kenapa sih, harus dikasih tahu?”“Dia nanya. Yaa aku jawab. Batin istri itu kuat, Andreas. Mau kamu sembunyikan sekuat tenaga pun dia pasti tahu kebenarannya. Ya udah, mending sekalian aja aku kasih tahu.”Andreas berdecak pelan lalu menuangkan beer kembali ke dalam gelasnya. Dan meneguknya dalam satu tegukan.“Aku nggak mau pisah sama Ayuni. Aku nggak berniat punya dua istri. Itu semua hanya perintah dari Mama dan Papa aja.”“Karena mereka cuma punya kamu doang, Andreas. Mereka butuh keturunan dari kamu. Ayuni kenapa sih, nggak bisa punya anak?”Andreas menghela napas kasar. “Rahimnya luka. Tuba falopinya tersumbat. Nggak bisa hamil dengan normal. Kalau hamil, akan membahayakan kondisinya.”Malik menganga mendengarnya. “Cukup berba
“Masuk,” titahnya kemudian. Meski sebenarnya dia masih sangat terkejut Ryan ada di depan apartemennya secara mendadak.Ayuni menoleh ke kanan dan ke kiri sekitarnya lalu menutup pintu itu menghampiri Ryan yang tengah berdiri di ruang tengah.“Kok gelap?” tanya Ryan kemudian.“Belum dinyalakan. Aku baru bangun dan langsung lari keluar waktu kamu bilang ada di depan,” ucapnya lalu segera mencari saklar lampu.Prang!“Aww!” Ayuni menyenggol gelas di atas meja dan pecahan itu mengenai kakinya.Ryan lantas mencari saklar lampu di sana dan menyalakannya. “Astaga, Ayuni.” Ia segera menggendong tubuh perempuan itu membawanya ke atas sofa. “Sorry, yaa. Malah jadi luka gini.”“Nggak apa-apa. Cuma luka sedikit.”“Robek, Ayuni. Ada P3K?”Ayuni mengangguk canggung. “Ada. Di laci paling bawah di sana.” Ayuni menunjuk laci dekat televisi.Ryan kemudian mengambilnya dan membawa untuk mengobati luka di kaki Ayuni. “Luka pecahan gelas seperti ini jangan diabaikan. Bisa infeksi. Harusnya sih dijahit.”“
“Happy birthday, Sayang.” Ryan memakaikan kalung di leher Ayuni yang tengah melipat baju milik Melvin.Ia terkejut karena Ryan datang dengan tiba-tiba kemudian memberinya sebuah kalung di lehernya. “Mas!” Ayuni kemudian membalikan tubuhnya yang kini berhadapan dengan sang suami.“Selamat ulang tahun ya, Sayang. Di usia yang ketiga puluh tahun ini, kamu diberi hadiah yang luar biasa. Hadirnya Melvin di hidup kita, menjadi pelengkap sempurnanya rumah tangga kita. Menjadikan kita orang tua yang sempurna, dan menjadikan Shakira sebagai kakak.”Ryan lalu mengecup kening perempuan itu dan memeluknya. Senyum bahagia terukir di bibir perempuan itu. Bagaimana tidak, di malam ulang tahunnya itu ia diberi kejutan yang cukup membuatnya bahagia luar biasa.“Terima kasih, Mas. Terima kasih sudah menjadi pelengkap hidup aku. Terima kasih sudah menjaga aku sampai kita bisa melewati semuanya.”Ayuni kemudian mencium punggung tangan Ryan dan menatapnya lagi dengan senyum di bibir perempuan itu. “Ucapka
Anggota keluarga Ayuni dan juga Ryan tengah menyambut cucu kedua mereka. Usia kandungan Ayuni sudah memasuki tujuh bulan. Karena kondisi rahim Ayuni yang semakin parah, Dokter Mia memutuskan untuk melalukan operasi Caesar di hari ini.Ya. Ayuni harus melahirkan bayi secara premature. Sebab kondisi Ayuni yang sudah tidak tahan lagi menahan sakit itu. Ryan pun menyetujui hal itu. Daripada Ayuni mengalami hal yang tak diinginkan, sebaiknya bayi mungil itu segera dikeluarkan.Di ruang operasi. Yang mengambil alih bedah perut Ayuni adalah Dokter Firman ditemani oleh Dokter Mia. Sementara Ryan hanya menginteruksi apa saja yang mesti dilakukan.“Kamu masih kuat, Sayang? Sabar, yaa. Sebentar lagi bayinya akan keluar. Setelah itu, kamu tidak akan mengalami sakit luar biasa itu,” bisik Ryan yang terus mengajak Ayuni bicara. Jangan sampai perempuan itu tertidur dalam keadaan lemas seperti itu.Ayuni menggenggam tangan Ryan dengan erat. Tak bisa bicara karena kondisinya yang sudah tak karuan. Ker
Dua bulan kemudian.Ayuni terbangun karena mendengar suara percikan air di dalam kamar mandi juga Ryan yang tidak ada di kamar.“Baru jam enam dia udah mandi jam segini? Mau ke mana emang dia?” gumamnya kemudian beranjak dari tempat tidur dan masuk ke dalam kamar mandi.“Mas. Kamu lagi apa?” tanya Ayuni menghampiri Ryan yang tengah berdiri di depan wastafel.“Mau gosok gigi,” jawabnya singkat.Ayuni mengerutkan keningnya. “Gosok gigi? Kamu ada kerjaan di jam tujuh apa gimana? Ini baru jam enam, Mas. Tumben banget jam segini udah ada di kamar mandi. Biasanya jug—”Ayuni memegang perutnya karena nyeri. “Ssstth!” lirihnya sembari memegang perutnya.Ryan menoleh kemudian segera berkumur. “Kembali ke kamar, Sayang.” Ryan menuntun Ayuni lalu mendudukan perempuan itu di tepi tempat tidur.“Perut aku sakit, Mas. Nyeri.”Ryan menganggukkan kepalanya. Ia lalu merebahkan tubuh sang istri dan mengambil stetoskop di dalam laci. Hendak memeriksa kondisi Ayuni yang tiba-tiba saja nyeri.“Aku tadi ha
Ryan hanya menggaruk pelipisnya mendengar pertanyaan Ayuni yang berhasil membuat bulu kuduknya merinding. Bukan Ayuni yang tegang, Ryan lah yang tegang kala mendengarnya.Ayuni melihat tingkah laku Ryan hanya tertawa kemudian geleng-geleng. “Mas bojo memang sangat alim. Digoda seperti itu saja langsung panas dingin. Padahal memang benar, kalau sudah main pasti akan panas.”Ryan menghela napas pelan. “Kamu jangan macam-macam. Minta berapa ronde kayak yang iya. Sekali main langsung tidur, aku pukul bokong kamu.”Ayuni lantas tertawa. “Oh, yaa? Memangnya kamu berani, pukul aku? Mau aku laporin ke Komnas HAM?”“Nggak ada hubungannya, Sayang. Kalau kamu mau laporin aku ke Komnas HAM hanya karena memukul bokong, setiap kita main juga aku sering mukul. Harus ada bukti juga dan memangnya kamu mau kasih bukti saat kita lagi main?”Ayuni kalah telak. Ia kemudian mengibaskan tangannya karena tidak bisa menjawab pertanyaan dari sang suami.Ryan yang melihatnya hanya terkekeh lalu geleng-geleng. S
Tiga bulan setelah Ayuni mengalami koma selama satu tahun. Kondisinya sudah dibilang membaik setelah beberapa kali melakukan perawatan dengan sangat telaten dan Ayuni pun selalu menuruti perintah dari sang suami.“Mama. Kemarin aku ketemu sama Kak Cakra. Itu pun nggak sengaja ketemu.” Shakira menghampiri sang mama yang tengah merapikan bajunya di dalam kamar.“Oh, ya? Terus, dia ngomong apa aja ke kamu? Sudah lama sekali sepertinya kalian tidak bertemu.”Shakira mengangguk. “Iya. Dia nanya kabar Mama. Dia senang karena Mama udah sembuh. Tadinya mau aku ajak ke rumah buat ketemu Mama. Tapi, katanya dia lagi ada urusan. Mau ketemu sama kakeknya.”Ayuni manggut-manggut dengan pelan. “Ya sudah biarkan saja. Yang penting Cakra masih ingat sama kamu. Lagian kalian ini pada kecil. Belum waktunya untuk saling dekat. Biar saja dulu masing-masing. Kamu menikmati masa kecil kamu dan Cakra fokus sama pendidikannya.”Ayuni mengusapi rambut Shakira dengan lembut seraya menasihatinya agar anaknya pa
Satu minggu setelah Ayuni sadarkan diri, ia akhirnya sudah bisa pulang dan dirawat di rumah saja. Ayuni sudah jenuh dan bosan bila harus dirawat di rumah sakit. Sudah terlalu lama bahkan satu tahun lebih dia ada di sana.“Apa yang masih kamu rasa sakit, Sayang?” tanya Ryan setelah membawa Ayuni duduk di tempat tidur.“Ini.” Ayuni menunjuk kepalanya. “Terus ini.” Kemudian menunjuk kening, pipi hingga bibir. “Dan terakhir ini.”Ryan lantas geleng-geleng. “Baru juga sembuh udah mikir yang jorok. Nanti kita bulan madu lagi.”Ayuni menghela napas kasar. “Aku masih harus menunggu dua tahun lagi buat punya anak, Mas. Jadi, nggak usah ada bulan madu lagi.”Ryan kemudian memberikan secarik kertas hasil pemeriksaan terakhir kondisi rahim Ayuni. “Kamu sudah bisa hamil, Sayang.”Ayuni menganga kemudian menutup mulutnya. “Beneran, Mas? I—ini, ini nggak bohong, kan?”Ryan terkekeh pelan. “Nggak dong, Sayang. Rahim kamu sudah siap menampung bayi meski harus tetap dijaga dan dirawat sampai sembilan b
Sudah satu tahun berlalu. Ayuni masih enggan untuk membuka matanya. Masih betah tidur dengan alat bantu medis yang mengelilingi tubuhnya.“Ayuni sudah melewati masa pengobatannya, Ryan. Dan dia masih belum ingin membuka matanya. Ayuni pasti kesiksa karena alat-alat ini.”Biru menghampiri Ryan yang tengah memeriksa kondisi Ayuni. Ia lalu menoleh dan melepas stetoskop di telinganya.“Jantungnya masih berdetak normal, Biru. Aku sudah melepas beberapa alat yang ada di tubuh Ayuni. Dia hanya masih lemas saja. Belum bisa buka matanya.” Ryan menatap wajah Ayuni dengan wajah sendunya.Biru kemudian mengusapi bahu lelaki itu. “Kalau dia udah nggak kuat, jangan dipaksa. Kasihan Ayuni. Harus kesiksa karena alat-alat ini.”Ryan menelan salivanya. “Aku tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya, Biru. Ayuni sudah jadi yang terakhir untukku. Aku akan usahakan untuk menyembuhkan dia apa pun akan aku lakukan.”Biru menganggukkan kepalanya kemudian menolehkan matanya kepada Ayuni. Mulutnya menganga se
Delapan bulan kemudian.“Happy anniversary, Sayang. Hari ini adalah hari pernikahan kita ke satu tahun. Aku punya hadiah buat kamu.”Ryan mengusapi pucuk kepala Ayuni dengan lembut sembari menyimpan hadiah di atas nakas berupa kotak musik sebagai hadiah satu tahun pernikahan mereka. Dan Ayuni masih terbaring di atas bangsal, di ruang ICU.“Aku ada sedikit cerita. Shakira dan Cakra harus berpisah karena Cakra sudah masuk SMP. Dia sering ke sini jengukin kamu, nemenin Shakira ngobrol dan dia sedikit terhibur karena ada Cakra. Tapi, sekarang Cakra udah menghilang. Dia masih belum ingin memberi tahu di mana dia sekolah. Kasihan Shakira, harus LDR dulu sama Cakra.”Ryan kemudian terkekeh pelan seraya mengusap air matanya. Ia yang selalu bercerita semua kejadian yang dia lewati selama Ayuni koma. Agar Ayuni tahu, apa saja yang dia lewati selama delapan bulan itu.Tok tok tok!Ryan menoleh ke arah pintu. Andreas tengah berdiri di sana dan akhirnya ia harus bangun dari duduknya menghampiri le
Dua belas tahun yang lalu ….“Ayuni?”Perempuan yang tengah makan choki-choki itu kemudian menoleh. “Ryan? Lagi ngapain di sini?” tanyanya sembari menyodorkan choki-choki itu kepada Ryan.“Makasih. Kamu sendiri lagi ngapain di sini?” tanyanya kemudian duduk di samping perempuan itu.“Lagi bete sama dosen kampret satu itu. Cuma salah satu doang, tetep aja dihukum. Killer-nya minta ampun memang.”Ryan terkekeh pelan. “Daripada bete begitu, mending ikut aku, yuk! Aku nemu tempat bagus banget. Mau lihat?”“Di mana?”“Dekat panti. Ada danau buatan di sana, tapi bagus banget meski hanya buatan.”“Oh, yaa? Boleh deh! Tapi, memangnya kamu nggak ada jam kuliah?”Ryan menggeleng pelan. “Nggak ada. Dosennya lagi rapat. Mata kuliah terakhir juga. Setelah itu nggak ada lagi.”“Oh! Ayolah kalau begitu.” Ayuni kemudian menerbitkan cengiran kepada lelaki itu.Keduanya pergi dari kampus menuju danau buatan yang disebutkan Ryan tadi. Mengenakan sepeda milik lelaki itu yang sering ia pakai untuk pergi k