"Itu ... tidak perlu khawatirkan. Yang jelas, sekarang, kita tinggal di sini."
Salsa tampak tersenyum. Dia tak sanggup berbohong. Sayangnya, itu membuat Dara semakin bingung. Dia hendak menanyakan sesuatu. Namun, Salsa sudah pergi dengan menumpangi taksi–menuju mansion mewah yang alamatnya telah diberikan oleh Indri. Sesampainya di sana, Salsa disambut rumah besar dengan desain modern yang sangat mewah. Salsa yang terbiasa dengan kesederhanaan kini sedikit terkejut karena mendatangi rumah besar dan tampak sangat mewah di hadapannya. Salsa pun memencet bel. Namun belum sempat dipersilahkan masuk, ternyata Indri sudah muncul. "Ikut aku!" katanya sinis. Salsa pun mengangguk dan mengikuti langkah kaki Indri. Ternyata Indri menunjukkan sebuah kamar pembantu yang letaknya berdekatan dengan dapur. "Sesuai dengan apa yang telah aku katakan sebelumnya, kau harus bersikap layaknya pembantu di rumah ini!" tegas Indri. Diiringi dengan tatapan matanya yang tajam mengarah padanya. "Iya, Nyonya." Salsa pun mengangguk mengerti. Indri lantas tersenyum puas mendengarnya. "Posisimu sebagai istri hanya sebagai orang yang melahirkan anak untuk aku dan suamiku, tidak lebih." "Jadi, jangan pernah bermimpi menjadi nyonya besar di rumah ini. Paham?" terang Indri dengan angkuhnya, “jangan pernah lupa diri!” Dia kembali mengingatkan posisi Salsa yang sebenarnya dan begitupun selamanya. Baru saja dia ingin menceramahi Salsa, Indri tak sengaja melihat seorang pembantu yang melintas di depan kamar. Gegas, dia pun memanggilnya, "Bik Iyem, tunggu!" Wanita paruh baya yang merupakan kepala pelayan di mansion itu, sontak menghentikan langkah kakinya dan menghampiri Indri. "Ya, Nyonya?" "Dia ini adalah pembantu baru di rumah ini!" terang Indri sembari menunjuk Salsa, “tolong diajarin.” "Baik, Nyonya," jawab Bik Iyem, hormat. Setelah bercakap-cakap, Indri pun berlalu pergi. Dia berharap Salsa akan repot dengan tugasnya dari Bik Iyem. Tugas seorang pembantu, meskipun adalah istri kedua dari suaminya. Ya, madu yang dipersiapkan oleh Indri sendiri. Tapi itu bukan untuk selamanya, hanya untuk sementara sampai waktu yang telah ditetapkan oleh Indri sendiri. Indri tersenyum bangga karena merasa menjadi pengendali dari semuanya. “Well… Nyonya Januartha itu ya cuma aku!” batinnya, puas kala sudah memperjelas bahwa Salsa benar-benar hanya pembantu. Sayangnya, dia tak tahu bahwa Salsa bukan gadis jelek biasa, seperti yang dipikirkannya saja. Dia hanyalah mutiara yang masih di dalam cangkang. Kilaunya belum terlihat saja. Seperti saat ini, Salsa sudah tampak akrab dengan kepala pembantu! Bik Iyem bahkan memintanya untuk menemaninya memasak untuk makan malam… Ini jelas jarang terjadi. Beberapa pembantu yang melihat itu bahkan menggosip, termasuk gadis muda yang sangat dekat dengan Nyonya Indri. Kebetulan setelah membersihkan halaman, dia juga mendapat pesan dari sang Nyonya untuk memerintah Salsa. "Hei, pembantu baru! Kamu diminta Nyonya Indri untuk membuat satu cangkir kopi. Antar langsung ke kamarnya!" Deg! “Kamu itu ya, Mayang kalau ngomong yang sopan," tergur Bik Iyem tiba-tiba. Mayang hanya tersenyum tanpa meminta maaf. Kemudian, dia segera pergi karena tugasnya adalah membersihkan halaman. "Saya buatkan dulu ya, Bik," kata Salsa pada akhirnya. Bik Iyem sontak tersenyum ramah. "Iya, buatkan. Nyonya tidak suka ada kata terlambat, cepat buat sekarang," katanya. Salsa pun mengangguk. Segera, dia membuatkan kopi kemudian segera mengantarkan ke kamar Indri sesuai dengan arahan dari Bik Iyem. Hingga kini dirinya telah sampai di lantai 3 Salsa yakin inilah kamar tuan rumah. Tok tok tok! Salsa pun mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum akhirnya pintu pun dibuka. "Letakkan di atas meja itu," ucap Indri. Dia pun berjalan dan duduk di samping Raka dan bergelayut manja di lengannya. Namun, Raka masih fokus pada tab di tangannya. Meski demikian, Salsa merasakan kehangatan antara keduanya. Pemadangan ini membuat Salsa sontak terdiam. "Letakkan di atas meja! Kenapa kau malah diam saja?!" Deg! Ucapan dan raut wajah kesal Indri sontak menyadarkannya dari lamunan."I-iya, Nyonya." Dengan tangan yang bergetar hebat, Salsa pun mulai berjongkok dan meletakkan cangkir di meja.Gadis itu fokus pada pekerjaanya.Sayangnya, Indri tampak belum puas.Entah mengapa, dia tak suka tatapan Salsa pada suaminya tadi.Jadi, menyembunyikan senyum, wanita itu mendadak mendapatkan ide.Dilemparkan ular mainan yang biasa dia simpan ke arah Salsa saat Raka fokus dengan pekerjaanya! Prang!"Aaaa...!" panik Salsa melemparkan gelas di tangannya yang ternyata terkena Raka.Tanpa kata, pria itu pun meletakkan tab di tangannya sambil berdiri menepuk-nepuk kemejanya.Indri sendiri langsung menyembunyikan kembali ular itu. "Ma-Maaf, Tuan." Salsa pun ketakutan setelah mengetahui bahwa Raka terkena siraman kopi panas karena dirinya.Namun, pria itu hanya diam dan memilih untuk masuk ke dalam kamar mandi tanpa melirik ataupun berbicara sama sekali pada Salsa.Justru, Indri yang memekik kesal. "Bisa kerja nggak? Makanya kalau kerja hati-hati!" ucapnya penuh drama.Brak!Se
Di sisi lain, Salsa tidak menyadari itu semua.Gadis itu terbiasa minum sebelum tidur. Jadi, dia tengah ke luar dari kamar untuk mengambil mineral di dapur saat menemukan Raka tiba-tiba di depan pintunya.Seharusnya seorang istri tersenyum bahagia menyambut kedatangan suaminya, tapi tidak untuk Salsa.Wajah Salsa justru memucat. Langkah kaki yang seharusnya maju kini justru bergerak mundur. Rasa haus berubah menjadi rasa takut melihat wajah dingin Raka. Dalam hatinya, bertanya-tanya: apakah pria ini yang menikah dengan dirinya? Kenapa wajahnya begitu dingin? "Tuan, sedang apa di sini?" tanya Salsa dengan suara bergetar menahan rasa takut.Pertanyaan bodoh.Saking paniknya, Salsa tidak menyadari pertanyaannya barusan terdengar begitu konyol. Sayangnya, Raka tidak menjawab pertanyaan tersebut. Tanpa kata, pria tampan itu terus melangkah mendekati Salsa.Hanya satu yang di pikiran Raka saat ini.Memenuhi keinginan Indri agar bisa segera mengakhiri pernikahan dengan istri keduanya
Salsa pun memilih untuk memeluk adiknya, itulah cara untuk membuat dirinya kuat menahan beban yang tersimpan dalam hatinya. "Kakak kerja.""Tapi, Kakak nggak kerja jual diri kan?" tanya Dara sungguh-sungguh.. Deg! Namun, pertanyaan Dara berikutnya seakan mengguncangkan dunia Salsa. Untuk sejenak, dunia Salsa seakan berhenti berputar. "Kak?" Dara pun mengguncang tubuh Salsa, karena mendadak mematung setelah pertanyaannya. "Kamu ini bicara apa?!" Salsa pun menetralkan dirinya, bahkan raut wajahnya tampak marah akan pertanyaan adiknya. "Maaf," Dara pun merasa menyesal atas pertanyaannya, "soalnya temen Dara ada yang kerja jual diri, malam-malam nggak pulang, pulangnya pagi, seperti, Kakak. Jadi, Dara curiga."Ucapan Dara membuat Salsa merasa seperti tengah berada di tengah himpitan dinding. Salsa menahan sesak di dada, 'Kakak bukan hanya sekedar menjual diri, tapi juga menjual rahim,' batin Salsa perih. "Tapi nggak mungkin ya kan, Kak?" kini Dara pun tersenyum dan me
Jantung Salsa berdegup kencang. Napasnya seakan memburu dengan tubuhnya gemetar.Tanpa sadar, Salsa melangkah lebih cepat, agar tidak terlalu lama melihat wajah Raka yang mengerikan itu. Namun...Bruk!Saking ketakutan, Salsa hilang fokus dan justru menabrak Indri yang berjalan dari arah berlawanan! "Ma-Maaf, Nyonya," ucap Salsa dengan gemetaran. Mata Indri menatap Salsa dengan begitu tajam, bahkan rasanya siap untuk mencekik leher madunya itu. Saat itu, Salsa pun berinisiatif untuk menolongnya dengan mengulurkan tangannya. Tentu saja, Indri tidak sudi menerima uluran tangan Salsa. Tangan Salsa baginya sangat menjijikkan. "Jijik banget, " gerutu Indri, kemudian melihat Raka yang kini berdiri tak jauh di belakang tubuh Salsa. Salsa memang masih ketakutan akan Raka, tapi dia tak tau jika saat ini Raka sudah selesai menuruni anak tangga. Tapi saat Indri memanggil Raka membuat Salsa pun segera pergi dari sana dengan berlari. "Raka, tolongin," pinta Indri dengan suara
Raka tidak dapat terlelap, pikirannya masih tertuju pada Salsa. Istri keduanya itu ternyata bukan seperti yang dia duga. Awalnya, Raka menganggap Salsa pastilah berasal dari dunia malam, sehingga wanita itu rela menjual dirinya demi uang.Pewaris klan Januartha itu lantas merasa jijik. Dicobanya mengundur waktu menyentuh Salsa. Bahkan, Raka ingin mengakhiri malam itu dengan menanam benihnya secepatnya.Hanya saja, dia salah.Salsa masih perawan saat malam pertama dia menyentuhnya.Isak tangis yang ditahannya malam itu juga terdengar begitu menyedihkan.Seolah, Salsa benar-benar tidak dapat memilih untuk menolak menjadi istri keduanya.....Puncaknya, saat berpapasan dan Salsa tampak ketakutan melihat Raka.Mungkinkah perempuan itu trauma?Jika demikian, Raka jadi bertanya-tanya, apa yang membuat Salsa sampai rela menjadi seorang wanita yang mau melahirkan anak untuknya dan Indri?"Eunghhh..."Mendengar gumaman Indri, Raka sontak menoleh.Ternyata, istrinya itu hanya meracau sebenta
"Saya hanya ingin minta maaf," kata Raka.Tak butuh waktu lama, pria itu kemudian keluar dari kamar Salsa.Wanita itu lantas tertegun. Maaf untuk apa?Salsa menggelengkan kepala, berusaha tak peduli.Cepat-cepat, ia menutup pintu kamar, tidak lupa menguncinya.Sungguh yang paling ditakutkan saat ini adalah Raka tiba-tiba kembali masuk ke kamarnya....Tak tahu saja wanita itu jika Raka tak seburuk yang ia kira.Bahkan, keesokan harinya, Raka masih khawatir pada Salsa.Diperintahkannya sang asisten untuk mendapatkan data lengkap tentang istri kedua yang disembunyikannya itu.[ Memiliki seorang adik di bangku Sekolah Dasar.]Di ruangan CEO, pria itu tampak fokus membaca biodata lengkap Salsa. Informasi tuntutan Indri pada Salsa juga di sana. Raka menebak jika Salsa tidak bisa keluar dari tuntutan Indri, dan juga mempertimbangkan apa yang akan dia dapatkan jika menyetujui kerja sama mereka. Justru yang paling diuntungkan dari pernikahan ini adalah Raka dan Indri karena Salsa harus me
"Sudah menerima sebagian bayarannya?" Raka memperjelas maksud Salsa yang dijawab anggukan kepala oleh gadis itu.Sebab, memang masih ada bayaran yang akan didapatkannya sampai akhirnya kontrak kerja sama mereka selesai. Lama Raka melihat wajah Salsa yang tampak begitu gelisah. Mungkin ... karena terlalu takut padanya?Hal ini membuat Raka menghela napas--merasa kasihan pada Salsa.Lagi-lagi, dia teringat kesalahannya sebelumnya. "Apa kau tidak ingin menyelesaikan skripsimu?" tanya Raka tiba-tiba.Mata Salsa membelalak--terkejut mendengar pertanyaan Raka.Dia merasa tidak pernah bercerita tentang perkuliahannya. Bahkan pada Indri sekalipun!Lantas Raka tahu dari mana? Sungguh menimbulkan pertanyaan besar di benaknya. Namun, Salsa tak berani mengutarakannya."Sebagai ucapan maaf, kau boleh melanjutkan kuliahmu," ungkap Raka. Salsa masih diam dalam pikirannya, tepatnya gadis itu masih bingung dengan apa yang dia dengar. "Kenapa hanya diam? Kau tidak mau?" tanya Raka yang m
Salsa sendiri berusaha berkonsentrasi dengan pekerjaannya.Namun saat sibuk mencuci piring, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Salsa pun sejenak menghentikan aktivitasnya dan mengambil ponselnya yang tergeletak asal di atas meja. Dia menerima pesan tapi dari nomor yang tidak dikenal. [Tolong antarkan kopi] Salsa pun mencoba untuk melihat wajah yang ada di profil aplikasi hijau tersebut.Terpampang pria yang mengenakan kemeja putih di sana.Wajahnya begitu tampan.Tunggu... Pak Raka? Membuat Salsa pun semakin melihat dengan jelas agar tak salah dalam melihat orang. Saat itu untuk sejenak Salsa terdiam mematung memandangi pahatan wajah Raka yang sempurnan. Alis tebal, hidung mancung, dan rahang tegas. "Salsa?" panggil Bik Iyem. Seketika membuat Salsa pun terkejut bukan main. "Ya ampun, kamu sampai kaget begitu, maaf," ujar Bik Iyem merasa bersalah.Sedangkan Salsa menelan ludah dengan susah payah karena barusan dikejutkan dengan pesan dari Raka, serta kedatangan Bik
Salsa merasa sedih karena Indri telah memutuskan untuk pergi. Tapi apa yang bisa dia lakukan untuk mencegahnya, meskipun telah berusaha untuk meyakinkan Indri tapi hasilnya tetap sia-sia. *** Kini Salsa telah menjadi istri satu-satunya, pernikahannya pun tak lagi menjadi rahasia, semua orang juga telah mengetahui bahwa Salsa lah istri Raka yang sah. Hingga beberapa bulan kemudian Salsa pun melahirkan seorang anak perempuan, keluarga besar Januartha sangat berbahagia menyambutnya. Salsa juga tidak lagi merasa takut, jelas terlihat semua anggota keluarga suaminya menerima anaknya penuh kehangatan. Salsa melahirkan anaknya secara normal, tapi Raka merasa kasihan terhadap istrinya tersebut karena menyaksikan sendiri bagaimana sebelumnya Salsa menahan sakit sendirian. Andai saja rasa sakit itu bisa dibagi dia mau mengurangi rasa sakitnya. "Terima kasih," ucap Raka sambil menggenggam tangan Salsa dengan sangat erat. Salsa pun tersenyum sebagai jawaban, dia merasa sempurna
"Kak Indri," ucap Salsa sambil berjalan masuk ke kamar Indri. Krang! Piring di tangannya seketika terjatuh dari tangganya, tak menyangka melihat Indri telah berdiri tegak. Dirinya seperti sedang dikejutkan dengan apa yang kini dia lihat. "Salsa," panggil Indri. Saat itu Salsa pun mulai tersadar dari keterkejutannya. Dia tak menyangka jika kini Indri bisa berdiri sendiri. "Salsa, ada apa?" tanya Sinta yang menyusul masuk setelah mendengar suara pecahan. Sinta takut jika saja Salsa yang terpeleset, bagaimana dengan keadaan janinnya? Bahkan Sinta juga sangat mengkhawatirkan keadaan Salsa. Semua pikiran buruknya benar-benar membuatnya panik bukan main. Tapi dia pun dibuat terkejut melihat Indri sudah bisa berdiri. Rasanya tak percaya dengan apa yang telah dia lihat saat ini. Ini seperti tidak mungkin, tapi itulah yang terjadi. "Indri?" Sinta menatap tidak percaya tapi inilah kenyataannya. Matanya membulat sempurna tanpa bisa berkedip sama sekali, sekarang dia men
Salsa pun tersenyum bahagia karena hari ini dirinya telah menjadi seorang sarjana, tidak ada yang menyangka bahwa dirinya mampu untuk menyelesaikan pendidikan. Bahkan dirinya sendiri sekalipun merasa ini adalah sebuah hal yang mengejutkan, siapa sangka ternyata disaat dirinya merasa terjatuh-sejatuh-jatuhnya ternyata ada setitik cahaya yang membawanya sampai di hari ini. Hari dirinya menjadi salah satu dari mereka yang menyelesaikan pendidikan seperti yang diinginkan oleh sang Nenek. Ya, air mata Salsa juga menetes haru seiring mengenang kembali wajah mending sang Nenek yang telah menghadap sang illahi. Semua ini juga tak lepas dari peran penting dalam proses pencapaian pendidikannya. Mendukungnya dalam segala hal, sayang kini Neneknya tak bisa mengucapkan selamat padanya. Padahal Salsa juga ingin mengucapkan selamat juga pada sang Nenek karena perjuangan Neneknya tidak sia-sia. Kini hasilnya dirinya telah seperti ini, bahagia rasanya tak dapat terucap oleh kata-kata.
Salsa langsung mengambil ponselnya dia tidak lagi menggunakan ponsel lamanya, karena kata Raka sudah butut. Lagi pula ponsel seharga 1 m nya juga harus digunakan, sebab dia sudah membayarnya mahal tadi malam. Tentu saja mahal karena dirinya harus bergoyang seperti orang gila, ah sudahlah. Salsa pun tidak lagi bisa berkata-kata. Dan ketika panggilan telepon tersambung dia langsung saja berbicara. "Abang, Salsa mau kasih tahu hal yang penting," ucap Salsa dengan cepat. "Kamu sakit? Mau melahirkan?" tanya Raka panik. Dia takut terjadi sesuatu pada istrinya tersebut. "Kok melahirkan? Hamil juga masih 6 bulan," gerutunya. "Jadi berapa bulan baru bisa melahirkan?" tanya Raka dengan bodohnya. Inilah Raka jika sudah berbicara dengan Salsa otaknya tak akan bisa bekerja dengan baik lagi. "Sembilan bulan, Abang!" kesal Salsa. "Oh iya, lupa," ucap Raka sambil menggaruk kepalanya. Dia sendiri bingung kenapa bisa bodoh seperti ini, tapi sudahlah saat ini dia ingin berbicar
Salsa pun tersenyum sambil melangkahkan kakinya, dia tak dapat menahan kebahagiaan yang tengah dia rasakan. Bahkan tidak menyangka jika hari ini keluarga suaminya begitu menyayangi dirinya. Hingga akhirnya langkah kakinya pun terhenti saat melihat Indri tengah berjemur di halaman. Segera Salsa pun melangkah mendekati Indri.Dia ingin melihat bagaimana keadaan Indri, semoga saja ada kemajuan. "Nyonya Indri, apa kabar?" tanya Salsa. Sebab, kemarin tidak bertemu dengan Indri sama sekali. Rasanya ada banyak hal yang harus dia tanyakan, terutama apakah sudah ada kemajuan.Meskipun sadar Indri tidak bisa menjawab pertanyaannya, tidak apa yang terpenting adalah kesehatan Indri baik. "Sa, aku ke toilet bentar ya," kata Mayang yang bertugas membantu Indri untuk melakukan segala sesuatunya. Termasuk berjemur juga. "Iya, nggak papa aku juga pengen berjemur dulu. Kamu istirahat dulu aja sekalian, nanti kalau ada sesuatu aku panggil kamu ya," jawab Salsa. "Siap, makasih Nyonya
Pagi ini rasanya sangat melelahkan karena malam panjang yang terlalu panas. Namun, meskipun sedemikian Salsa juga harus bangun pagi-pagi karena perutnya terasa lapar. Tentunya setelah dia mandi pagi. "Lho, kamu sudah sarapan pagi?" tanya Sinta ketika melihat Salsa sudah selesai sarapan. Padahal dirinya baru saja bangun dan sarapan pun tengah disiapkan oleh para Art. Sepertinya Salsa membuat sarapannya sendiri dan untuk dirinya sendiri saja agar lebih cepat prosesnya. "Iya, Ma. Maaf ya, Salsa sarapan duluan. Soalnya laper banget," ucap Salsa dengan perasaan tidak enak karena biasanya sarapan pagi bersama. "Tidak masalah, bahkan itu sangat bagus karena cucu Mama butuh nutrisi juga," balas Sinta. Kemudian dia pun segera duduk di samping Salsa Tentu saja karena ingin memegang perut buncit Salsa. "Cucu, Oma," katanya dengan senyuman penuh kebahagiaan. "Ma," panggil Salsa dengan ragu, dia ingin tahu apakah benar Sinta sudah tahu jenis kelamin calon anaknya seperti yan
Dengan terpaksa Salsa pun harus menuruti keinginan Raka. Bukan, mungkin lebih tepatnya dia harus memenuhi janji yang telah dia ucapkan sendiri dengan penuh kesadaran. Jika mungkin waktu bisa diputar kembali maka dia akan menarik ucapannya. Sayangnya itu tidak mungkin. Karena kenyataan kini Raka terus menagih janjinya. Malu rasanya tidak terkira dan tidak dapat terucapkan oleh kata-kata. Lihatlah kini dirinya harus memakai lingerie, warnanya begitu kontras dengan warna kulitnya. Dan membuat Raka semakin bersemangat untuk melihatnya. "Mana goyangannya?" pinta Raka sekaligus menggoda Salsa. Semakin Salsa merasa malu maka semakin membuatnya merasa gemas. "Aku tidak bisa gerak," ucap Salsa memberi alasan. "Benarkah?" tanya Raka lagi. "Hu'um," Salsa pun mengangguk cepat. Berharap Raka memintanya untuk segera menghentikan semua kekonyolan ini. "Coba dulu," ucap Raka. Ah! Batinnya pun mendesah pasrah karena ternyata Raka tidak memintanya untuk menghentikan semu
"Salsa." "Ya, Oma," jawab Salsa. Salsa pun merasa bahagia karena kedatangan Oma Mala cukup membantunya. Artinya dia bisa lolos dari Raka. "Ini Oma bawakan rujak, barusan Oma dan yang lainnya ngerujak," Oma Mala pun tersenyum sambil berjalan ke arah Salsa. "Wah terima kasih, Oma. Melihatnya saja udah ngiler," kata Salsa. Bertempat dengan Raka yang keluar dari kamar mandi, tentunya setelah menyelesaikan mandinya. "Kalau gitu Oma keluar dulu," pamit Oma Mala. "Lho, kok buru-buru?" tanya Salsa dengan panik. Padahal sebelumnya sudah begitu bersemangat karena merasa mendapatkan bantuan. Sayangnya tidak. "Memangnya kenapa?" Oma Mala terlihat bingung dengan pertanyaan Salsa. Salsa pun tersenyum kecut sambil menatap wajah Raka dengan horor. Padahal pria tampan itu hanya diam saja menyaksikan dirinya dan Oma Mala tengah berbicara. Tapi kenapa dia merasa bulu kuduknya berdiri? "Oma, jadikan ngajakin Salsa masak?" tanya Salsa tiba-tiba. Membuat sang Oma pun bingung
Perlahan Salsa pun mulai tersadar dari ingatannya, dia pun mengedarkan pandangannya untuk mencari ponsel yang telah dia jatuhkan. Hingga akhirnya menemukan ponsel tersebut. Kakinya pun kembali melangkah dan tangannya pun bergerak untuk meraih ponsel tersebut. Namun, karena perutnya yang sudah begitu membuncit membuatnya kesulitan untuk berjongkok. Raka yang dari tadi hanya berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan seperti apa reaksi Salsa pun kini mulai melangkah lebih maju. Dengan cepat membantu Salsa untuk mengambil ponsel tersebut. Tapi Salsa yang dibuat sok bukan main, bukan karena takut pada Raka. Namun, ada ingatan yang membuatnya menjadi sulit untuk bernafas sekalipun. Bahkan untuk menerima ponsel yang diberikan Raka padanya pun sulit rasanya untuk menerimanya. "Ambil," kata Raka sambil menggerakkan ponsel di tangannya. Glek! Salsa dibuat meneguk saliva dengan begitu pahitnya, padahal Raka tidak marah, apa lagi suka memukulnya. Namun, tetap sa