"Sudah menerima sebagian bayarannya?" Raka memperjelas maksud Salsa yang dijawab anggukan kepala oleh gadis itu.Sebab, memang masih ada bayaran yang akan didapatkannya sampai akhirnya kontrak kerja sama mereka selesai. Lama Raka melihat wajah Salsa yang tampak begitu gelisah. Mungkin ... karena terlalu takut padanya?Hal ini membuat Raka menghela napas--merasa kasihan pada Salsa.Lagi-lagi, dia teringat kesalahannya sebelumnya. "Apa kau tidak ingin menyelesaikan skripsimu?" tanya Raka tiba-tiba.Mata Salsa membelalak--terkejut mendengar pertanyaan Raka.Dia merasa tidak pernah bercerita tentang perkuliahannya. Bahkan pada Indri sekalipun!Lantas Raka tahu dari mana? Sungguh menimbulkan pertanyaan besar di benaknya. Namun, Salsa tak berani mengutarakannya."Sebagai ucapan maaf, kau boleh melanjutkan kuliahmu," ungkap Raka. Salsa masih diam dalam pikirannya, tepatnya gadis itu masih bingung dengan apa yang dia dengar. "Kenapa hanya diam? Kau tidak mau?" tanya Raka yang m
Salsa sendiri berusaha berkonsentrasi dengan pekerjaannya.Namun saat sibuk mencuci piring, tiba-tiba saja ponselnya berbunyi. Salsa pun sejenak menghentikan aktivitasnya dan mengambil ponselnya yang tergeletak asal di atas meja. Dia menerima pesan tapi dari nomor yang tidak dikenal. [Tolong antarkan kopi] Salsa pun mencoba untuk melihat wajah yang ada di profil aplikasi hijau tersebut.Terpampang pria yang mengenakan kemeja putih di sana.Wajahnya begitu tampan.Tunggu... Pak Raka? Membuat Salsa pun semakin melihat dengan jelas agar tak salah dalam melihat orang. Saat itu untuk sejenak Salsa terdiam mematung memandangi pahatan wajah Raka yang sempurnan. Alis tebal, hidung mancung, dan rahang tegas. "Salsa?" panggil Bik Iyem. Seketika membuat Salsa pun terkejut bukan main. "Ya ampun, kamu sampai kaget begitu, maaf," ujar Bik Iyem merasa bersalah.Sedangkan Salsa menelan ludah dengan susah payah karena barusan dikejutkan dengan pesan dari Raka, serta kedatangan Bik
Mata Salsa terbelalak melihat pintu yang tertutup rapat. Dengan refleks dia pun melihat Raka. Tampan benar tampan, tapi juga sangat menyeramkan di mata Salsa. Membuat peluhnya pun mulai bercucuran menahan rasa takut yang terlintas di benaknya. Apakah yang akan terjadi selanjutnya? Salsa bertanya-tanya dalam benaknya. "Apakah saya terlalu menakutkan?" tanya Raka tiba-tiba.Pria itu bertanya demikian karena ketakutan Salsa begitu berlebihan saat melihat wajahnya. Bukankah seharusnya Salsa tidak perlu lagi takut begini setelah pertemuan mereka tadi siang? Penasaran, Raka menatap dalam mata Salsa. "Jawab!" titah pria itu dengan suara beratnya. Salsa meneguk saliva mendengar pertanyaan Raka. Dia bingung harus menjawab apa. Mungkinkah Raka main tangan padanya setelah menjawab jujur? Salsa takut dengan segala pikirannya yang benar-benar sangat menyiksanya. "Hey, kenapa hanya diam? Saya bertanya Salsa?" tanya Raka untuk yang ketiga kalinya, karena sampai saat inipun
Tak mau terlalu memikirkan ucapan Mayang, Salsa pun memilih segera ke kamarnya dan tidur.Dia ingin melupakan semuanya dan beristirahat sejenak--sebelum memulai hari esok untuk berkuliah.Hanya saja, dia agak sedikit telat karena perutnya tidak nyaman.[Kamu di mana?]Begitu selesai membersihkan diri, Salsa menemukan satu pesan masuk di ponselnya. Tanpa melihat kontaknya, Salsa sudah tahu bahwa yang mengirimkan pesan padanya adalah Raka. Tapi, dia bingung.Haruskah dia membalas pesan itu atau tidak? [Salsa!] Pesan kembali masuk membuat Salsa terbelalak. Segera, dia membalasnya.[Di rumah, Tuan] [Saya tunggu di persimpangan jalan!] Sesaat kemudian Salsa pun kembali menerima pesan balasan dari Raka. [Jangan membuat saya menunggu lebih lama!] Panik, Salsa pun gegas meraih tasnya kemudian segera berlari dengan sekuat tenaga untuk sampai di persimpangan jalan seperti yang dikatakan oleh Raka. Sayangnya, Salsa tidak menemukan keberadaan Raka. "Di mana--"Grap!Tiba-tiba saja,
Hanya saja, Raka tak menyangka di tengah jam kerja, dirinya kembali mengingat saat Salsa sedang bersama dengan temanya yang tampak begitu akrab.Mengapa dia begitu terganggu?Bahkan, hingga pukul dua siang!Tak tahan, Raka lantas mengambil ponselnya dan mengirimkan sebuah pesan. [Kamu di mana?] [Saya mau pulang, Tuan] Membaca pesan Salsa, Raka pun segera bangkit dari duduknya dan menyambar kunci mobilnya.Namun sesampainya di pintu gerbang kampus, Raka tidak melihat keberadaan gadis itu. Mungkinkah Salsa masih berasa di dalam kelasnya?[Saya ada di gerbang kampus] Sekali lagi, Raka mengirimkan pesan pada gadis itu. * * *'Hah?'Di sisi lain, Salsa terkejut setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh Raka. Ia tak tahu Raka akan menjemputnya. Sedangkan, dirinya kini sudah pulang bersama dengan Evan. "Kamu kerja di mana?" tanya Evan sambil terus mengemudikan motornya.Salsa tersadar dari lamunannya dan segera menunjuk rumah besar. "Di sana."Cit!Evan pun menghentikan sepeda mot
Di sisi lain, Raka memejamkan mata sejenak.Wajahnya kini cukup ngilu.Jika itu orang lain, mungkin Raka sudah melemparnya dari ketinggian ini.Tapi, ini Salsa. Istri keduanya itu sudah sangat takut padanya. Menghela napas, Raka pun terpaksa menahan emosinya.Lagi."Tolong kompres wajahku," ucap Raka pada akhirnya. Mendengar itu, Salsa pun segera melakukannya."Kenapa kamu selalu ceroboh?" Pertanyaan Raka di sela proses pengompresan membuat Salsa makin merasa tak enak. "Maaf, Tuan." "Ck! Selalu saja mengatakan maaf!" gerutu Raka.Salsa gemetar.Dia pun memutuskan terus mengompres wajah Raka tanpa berbicara lagi. Hanya saja, tatapan keduanya tak sengaja bertemu.Secepat mungkin Salsa memutuskan pandangan karena itu sangat tidak nyaman. Sedangkan Raka tampak biasa saja. "Bagaimana hari ini di kampus?" tanya Raka berbasa-basi. "Apanya?" tanya Salsa bingung. "Perasaanmu seperti apa saat di kampus?" Raka pun memperjelas pertanyaannya, "Saya lihat kau tampak akrab dengan teman le
"Kenapa berdiri? Duduk!" Menyadari Salsa yang hanya berdiri saja, Raka pun menunjuk kursi yang berada di depannya.Hanya saja, baru beberapa menit Raka menikmati makan malamnya, sebuah suara mengaggetkan keduanya. "Kak Salsa!"Panik, Salsa pun gegas menuju kamar sang adik.Di sana, ia menemukan bahwa Dara ternyata haus dan ingin minum.Jadi, Salsa pun memberikan air mineral pada bocah itu. Setelahnya, Salsa kembali mengompresnya.Gadis itu tak menyadari jika Raka kini berdiri di depan pintu kamar--menyaksikan betapa telaten Salsa merawat sang adik.Bahkan, Salsa layaknya seorang Ibu yang begitu menyayangi anaknya. "Apa tidak sebaiknya dibawa ke rumah sakit saja?" Mendengar suara Raka, Salsa sontak menoleh. "Nggak usah, besok juga sudah lebih baik, Tuan," jawabnya, sopan. Raka tampak ingin mengatakan sesuatu. Namun, ditahannya.Dan tak lama, pria itu pun pergi dari sana.Sementara itu, Salsa kembali merawat sang adik.Cukup lama.Suasana rumah pun kembali hening. Mengira Raka t
Salsa tidak bisa tidur nyenyak semalaman karena itu.Ditambah lagi, adiknya yang sedang sakit, terus mengigau.Puncaknya, saat suhu tubuh Dara begitu panas dan mulai merasa sesak. "Kak, Dara nggak bisa napas," keluh bocah itu sambil memegang dadanya. "Ya ampun, Dara. Kita ke rumah sakit aja, ya," kata Salsa panik. Segera, Salsa mencari ponselnya untuk memesan taksi.Hanya saja, istri kedua Raka itu lupa di mana terakhir kali meletakkan ponselnya. Drrt!Untungnya, suara ponsel Salsa terdengar dari arah dapur. Ah, iya! Salsa baru ingat saat membuat nasi goreng untuk Raka ia meletakkan pada meja makan. Segera Salsa mengambilnya. Namun, dia terkejut saat menemukan bahwa Raka ternyata yang menghubunginya pagi-pagi sekali.Tidak hanya itu, ada banyak pesan di sana."Halo, Tuan?"Salsa segera mengangkat telepon dengan segera meski sejujurnya, dia ingin segera mengakhiri panggilan itu agar bisa menghubungi taksi. "Kenapa pesan saya tidak satu pun dibalas?" tanya Raka yang ternyat
Salsa merasa sedih karena Indri telah memutuskan untuk pergi. Tapi apa yang bisa dia lakukan untuk mencegahnya, meskipun telah berusaha untuk meyakinkan Indri tapi hasilnya tetap sia-sia. *** Kini Salsa telah menjadi istri satu-satunya, pernikahannya pun tak lagi menjadi rahasia, semua orang juga telah mengetahui bahwa Salsa lah istri Raka yang sah. Hingga beberapa bulan kemudian Salsa pun melahirkan seorang anak perempuan, keluarga besar Januartha sangat berbahagia menyambutnya. Salsa juga tidak lagi merasa takut, jelas terlihat semua anggota keluarga suaminya menerima anaknya penuh kehangatan. Salsa melahirkan anaknya secara normal, tapi Raka merasa kasihan terhadap istrinya tersebut karena menyaksikan sendiri bagaimana sebelumnya Salsa menahan sakit sendirian. Andai saja rasa sakit itu bisa dibagi dia mau mengurangi rasa sakitnya. "Terima kasih," ucap Raka sambil menggenggam tangan Salsa dengan sangat erat. Salsa pun tersenyum sebagai jawaban, dia merasa sempurna
"Kak Indri," ucap Salsa sambil berjalan masuk ke kamar Indri. Krang! Piring di tangannya seketika terjatuh dari tangganya, tak menyangka melihat Indri telah berdiri tegak. Dirinya seperti sedang dikejutkan dengan apa yang kini dia lihat. "Salsa," panggil Indri. Saat itu Salsa pun mulai tersadar dari keterkejutannya. Dia tak menyangka jika kini Indri bisa berdiri sendiri. "Salsa, ada apa?" tanya Sinta yang menyusul masuk setelah mendengar suara pecahan. Sinta takut jika saja Salsa yang terpeleset, bagaimana dengan keadaan janinnya? Bahkan Sinta juga sangat mengkhawatirkan keadaan Salsa. Semua pikiran buruknya benar-benar membuatnya panik bukan main. Tapi dia pun dibuat terkejut melihat Indri sudah bisa berdiri. Rasanya tak percaya dengan apa yang telah dia lihat saat ini. Ini seperti tidak mungkin, tapi itulah yang terjadi. "Indri?" Sinta menatap tidak percaya tapi inilah kenyataannya. Matanya membulat sempurna tanpa bisa berkedip sama sekali, sekarang dia men
Salsa pun tersenyum bahagia karena hari ini dirinya telah menjadi seorang sarjana, tidak ada yang menyangka bahwa dirinya mampu untuk menyelesaikan pendidikan. Bahkan dirinya sendiri sekalipun merasa ini adalah sebuah hal yang mengejutkan, siapa sangka ternyata disaat dirinya merasa terjatuh-sejatuh-jatuhnya ternyata ada setitik cahaya yang membawanya sampai di hari ini. Hari dirinya menjadi salah satu dari mereka yang menyelesaikan pendidikan seperti yang diinginkan oleh sang Nenek. Ya, air mata Salsa juga menetes haru seiring mengenang kembali wajah mending sang Nenek yang telah menghadap sang illahi. Semua ini juga tak lepas dari peran penting dalam proses pencapaian pendidikannya. Mendukungnya dalam segala hal, sayang kini Neneknya tak bisa mengucapkan selamat padanya. Padahal Salsa juga ingin mengucapkan selamat juga pada sang Nenek karena perjuangan Neneknya tidak sia-sia. Kini hasilnya dirinya telah seperti ini, bahagia rasanya tak dapat terucap oleh kata-kata.
Salsa langsung mengambil ponselnya dia tidak lagi menggunakan ponsel lamanya, karena kata Raka sudah butut. Lagi pula ponsel seharga 1 m nya juga harus digunakan, sebab dia sudah membayarnya mahal tadi malam. Tentu saja mahal karena dirinya harus bergoyang seperti orang gila, ah sudahlah. Salsa pun tidak lagi bisa berkata-kata. Dan ketika panggilan telepon tersambung dia langsung saja berbicara. "Abang, Salsa mau kasih tahu hal yang penting," ucap Salsa dengan cepat. "Kamu sakit? Mau melahirkan?" tanya Raka panik. Dia takut terjadi sesuatu pada istrinya tersebut. "Kok melahirkan? Hamil juga masih 6 bulan," gerutunya. "Jadi berapa bulan baru bisa melahirkan?" tanya Raka dengan bodohnya. Inilah Raka jika sudah berbicara dengan Salsa otaknya tak akan bisa bekerja dengan baik lagi. "Sembilan bulan, Abang!" kesal Salsa. "Oh iya, lupa," ucap Raka sambil menggaruk kepalanya. Dia sendiri bingung kenapa bisa bodoh seperti ini, tapi sudahlah saat ini dia ingin berbicar
Salsa pun tersenyum sambil melangkahkan kakinya, dia tak dapat menahan kebahagiaan yang tengah dia rasakan. Bahkan tidak menyangka jika hari ini keluarga suaminya begitu menyayangi dirinya. Hingga akhirnya langkah kakinya pun terhenti saat melihat Indri tengah berjemur di halaman. Segera Salsa pun melangkah mendekati Indri.Dia ingin melihat bagaimana keadaan Indri, semoga saja ada kemajuan. "Nyonya Indri, apa kabar?" tanya Salsa. Sebab, kemarin tidak bertemu dengan Indri sama sekali. Rasanya ada banyak hal yang harus dia tanyakan, terutama apakah sudah ada kemajuan.Meskipun sadar Indri tidak bisa menjawab pertanyaannya, tidak apa yang terpenting adalah kesehatan Indri baik. "Sa, aku ke toilet bentar ya," kata Mayang yang bertugas membantu Indri untuk melakukan segala sesuatunya. Termasuk berjemur juga. "Iya, nggak papa aku juga pengen berjemur dulu. Kamu istirahat dulu aja sekalian, nanti kalau ada sesuatu aku panggil kamu ya," jawab Salsa. "Siap, makasih Nyonya
Pagi ini rasanya sangat melelahkan karena malam panjang yang terlalu panas. Namun, meskipun sedemikian Salsa juga harus bangun pagi-pagi karena perutnya terasa lapar. Tentunya setelah dia mandi pagi. "Lho, kamu sudah sarapan pagi?" tanya Sinta ketika melihat Salsa sudah selesai sarapan. Padahal dirinya baru saja bangun dan sarapan pun tengah disiapkan oleh para Art. Sepertinya Salsa membuat sarapannya sendiri dan untuk dirinya sendiri saja agar lebih cepat prosesnya. "Iya, Ma. Maaf ya, Salsa sarapan duluan. Soalnya laper banget," ucap Salsa dengan perasaan tidak enak karena biasanya sarapan pagi bersama. "Tidak masalah, bahkan itu sangat bagus karena cucu Mama butuh nutrisi juga," balas Sinta. Kemudian dia pun segera duduk di samping Salsa Tentu saja karena ingin memegang perut buncit Salsa. "Cucu, Oma," katanya dengan senyuman penuh kebahagiaan. "Ma," panggil Salsa dengan ragu, dia ingin tahu apakah benar Sinta sudah tahu jenis kelamin calon anaknya seperti yan
Dengan terpaksa Salsa pun harus menuruti keinginan Raka. Bukan, mungkin lebih tepatnya dia harus memenuhi janji yang telah dia ucapkan sendiri dengan penuh kesadaran. Jika mungkin waktu bisa diputar kembali maka dia akan menarik ucapannya. Sayangnya itu tidak mungkin. Karena kenyataan kini Raka terus menagih janjinya. Malu rasanya tidak terkira dan tidak dapat terucapkan oleh kata-kata. Lihatlah kini dirinya harus memakai lingerie, warnanya begitu kontras dengan warna kulitnya. Dan membuat Raka semakin bersemangat untuk melihatnya. "Mana goyangannya?" pinta Raka sekaligus menggoda Salsa. Semakin Salsa merasa malu maka semakin membuatnya merasa gemas. "Aku tidak bisa gerak," ucap Salsa memberi alasan. "Benarkah?" tanya Raka lagi. "Hu'um," Salsa pun mengangguk cepat. Berharap Raka memintanya untuk segera menghentikan semua kekonyolan ini. "Coba dulu," ucap Raka. Ah! Batinnya pun mendesah pasrah karena ternyata Raka tidak memintanya untuk menghentikan semu
"Salsa." "Ya, Oma," jawab Salsa. Salsa pun merasa bahagia karena kedatangan Oma Mala cukup membantunya. Artinya dia bisa lolos dari Raka. "Ini Oma bawakan rujak, barusan Oma dan yang lainnya ngerujak," Oma Mala pun tersenyum sambil berjalan ke arah Salsa. "Wah terima kasih, Oma. Melihatnya saja udah ngiler," kata Salsa. Bertempat dengan Raka yang keluar dari kamar mandi, tentunya setelah menyelesaikan mandinya. "Kalau gitu Oma keluar dulu," pamit Oma Mala. "Lho, kok buru-buru?" tanya Salsa dengan panik. Padahal sebelumnya sudah begitu bersemangat karena merasa mendapatkan bantuan. Sayangnya tidak. "Memangnya kenapa?" Oma Mala terlihat bingung dengan pertanyaan Salsa. Salsa pun tersenyum kecut sambil menatap wajah Raka dengan horor. Padahal pria tampan itu hanya diam saja menyaksikan dirinya dan Oma Mala tengah berbicara. Tapi kenapa dia merasa bulu kuduknya berdiri? "Oma, jadikan ngajakin Salsa masak?" tanya Salsa tiba-tiba. Membuat sang Oma pun bingung
Perlahan Salsa pun mulai tersadar dari ingatannya, dia pun mengedarkan pandangannya untuk mencari ponsel yang telah dia jatuhkan. Hingga akhirnya menemukan ponsel tersebut. Kakinya pun kembali melangkah dan tangannya pun bergerak untuk meraih ponsel tersebut. Namun, karena perutnya yang sudah begitu membuncit membuatnya kesulitan untuk berjongkok. Raka yang dari tadi hanya berdiri di ambang pintu sambil memperhatikan seperti apa reaksi Salsa pun kini mulai melangkah lebih maju. Dengan cepat membantu Salsa untuk mengambil ponsel tersebut. Tapi Salsa yang dibuat sok bukan main, bukan karena takut pada Raka. Namun, ada ingatan yang membuatnya menjadi sulit untuk bernafas sekalipun. Bahkan untuk menerima ponsel yang diberikan Raka padanya pun sulit rasanya untuk menerimanya. "Ambil," kata Raka sambil menggerakkan ponsel di tangannya. Glek! Salsa dibuat meneguk saliva dengan begitu pahitnya, padahal Raka tidak marah, apa lagi suka memukulnya. Namun, tetap sa