"Saya tidak tahu kenapa Anda bisa sekejam itu menuduh saya ini dan itu. Saya memang miskin, saya butuh uang untuk operasi adik saya. Anda tidak akan mengerti karena tidak berada di posisi saya.
"Kenapa Anda melampiaskan kekesalan Anda pada saya? Harusnya Anda bisa mengambil hati orang tua Anda, hingga mereka tidak mengancam Nyonya Diana." Anderson hampir saja kembali naik pitam, jika saja Diana menghentikannya. Diana tidak ingin situasinya makin tidak kondusif. Bisa gagal rencananya nanti. Bukan ini yang Diana inginkan. "Melody, jangan bilang begitu. Aku yakin ini hanya salah paham, kok. Kamu jangan diambil hati ya apa yang suamiku bilang. Dia sedang emosi, jadi ngomongnya ngelantur." Diana mendelik tajam pada suaminya, sudah susah payah dia menemukan orang yang cocok sebagai alat untuk mendapatkan keturunan. Jangan sampai Melody merubah pikirannya. Melody tidak menyahut, dia diam dan hanya memperhatikan pasangan suami istri itu saling adu mulut. Keduanya saling menyalahkan satu sama lain. Mereka bahkan tidak peduli bagaimana perasaan Melody, jika sebelumnya Anderson menyepelekan dirinya karena miskin. Maka hal yang sama pun bisa Melody lakukan, apakah semua orang kaya akan bersikap seegois itu? Melody sibuk melayan isi pikirannya sendiri, dia tidak mau menambah beban pikiran yang sudah menumpuk dengan masalahnya sendiri. Jadi Melody tidak ingin memikirkan urusan Anderson dan Diana yang sedang perang mulut itu. Melody jadi ingat apa yang dikatakan Anderson tentang apakah dia memiliki kekasih. Sampai akhirnya Melody teringat dia belum membalas pesan Leo Waldy, kekasihnya. Segera dia mengecek ponselnya. Benar saja, ada lima belas pesan belum dia buka dan ada tiga puluh panggilan tidak terjawab. Dalam posisinya saat ini, Melody tentu tidak bisa menelpon balik. Jadi dia membalas pesan Leo. Melody : [Maaf, Leo. Aku baru lihat chat-mu. Adikku masuk rumah sakit lagi, sekarang dia harus dioperasi.] Tidak butuh waktu lama sampai Melody menerima balasan Leo. Leo : [Hah? Kok kamu baru ngasih tahu sekarang? Rumah sakit mana? Biar aku jenguk sekalian. Sudah lama juga aku tidak bertemu dengan Mike.] Melody : [T-tidak usah sekarang, Leo. Aku akan menghubungimu lagi. Sekarang aku sedang keluar sebentar, bertemu dengan saudaraku.] Leo : [Hm ... begitukah? Baiklah, segera kabari aku ya, Sayang. I'll always on your side. I love you, Babe.] Melody :[Thank you, Leo. Aku pergi dulu ya.] Melody merasa bersalah atas kebohongan demi kebohongan yang dia buat, sampai dia tidak sanggup untuk membalas rasa cinta Leo. Bagaimana mungkin dia mengatakan hal yang sama, sementara dia kemungkinan besar akan menjadi istri orang. Membayangkannya saja sudah membuat Melody merasa bersalah yang teramat dalam, dia tidak sanggup melihat bagaimana terlukanya hati Leo. Kekasihnya itu laki-laki baik dan penuh pengertian. "Maaf, Leo. Aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita, aku telah mengkhianati cintamu," batin Melody. Bulir air mata sudah hampir menyeruak, tapi berhasil Melody tahan. Jangan sampai dia menangis di depan Anderson, entah berapa banyak caci maki yang bosnya itu tujukan padanya. Melody menarik napasnya dalam-dalam dan hembuskannya. Mengatur suasana hati yang kian hari kian membuatnya sesak ternyata sesulit ini. Gadis itu terkadang berpikir, apa yang telah dia lakukan di kehidupan sebelumnya hingga dia harus menerima semua ujian hidup yang teramat berat. "Pokoknya aku ingin kalian menikah. Jika kamu tidak mau menuruti keinginanku lebih baik aku mati dari pada aku bercerai denganmu!" Suara lantang Diana membuat Melody kembali dari lamunan panjangnya. Dia masih tidak percaya dua orang di depannya itu masih belum selesai dengan pertengkaran mereka. Waktu sudah menunjukkan pukul dua siang, yang artinya Melody sudah sejam meninggalkan adiknya sendirian. "Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang? Ide gila ini jadi dilakukan atau tidak. Tolong ambil keputusan, saya tidak bisa meninggalkan adik saya terlalu lama di weekend ini," ujar Melody yang mulai bosan akan pengulangan debat yang sama. Anderson tampak kesal saat percakapannya dengan sang istri di sela Melody. "Kamu sangat ingin menikah denganku bukan? Baiklah kita akan menikah, sebaiknya kamu ingat satu hal Melody Gray. Jangan berharap aku akan mencintaimu!" "Aku juga tidak sedikitpun berpikir ke arah sana, Tuan," sahut Melody dengan percaya diri. "Baguslah! Ingat, tugasmu hanya melahirkan anak-anakku! Tidak lebih dari itu, paham!" Setelah mengatakan hal tersebut, Anderson beranjak dari ruang tamu dan berjalan menuju lantai dua di mana kamar utama di rumah itu berada. Senyum puas terukir di wajah Diana, setelah sejam lamanya dia berseteru dengan sang suami. Akhirnya suaminyf tersebut setuju juga dengan rencana yang dia buat. Diana langsung mendekati Melody dan memeluknya penuh kehangatan, " Melody, mulai besok kita harus mempersiapkan pernikahan kalian. Jangan pedulikan Anderson. Dia akan menuruti semua yang aku katakan. Tinggal kamu yang ikuti alur kami saja." "Baik. Kalau boleh tahu kapan pernikahan di lakukan? Tiga hari lagi adik saya akan dioperasi dan saya tidak akan bisa ke mana-mana pada hari itu." "Oh, jangan khawatir, Melody. Serahkan saja semuanya padaku, kamu cukup beritahu aku berapa ukuran tubuhmu. Biar aku yang handle," ucap Diana dengan hati yang pastinya sedang berbunga-bunga. "Kapan pelaksanaan pernikahannya?" "Dua minggu lagi, aku tahu ini pernikahan yang tidak kamu inginkan. Namun, aku akan pastikan kamu akan mendapat upacara pernikahan yang layak." Melody ternganga, dua minggu lagi itu artinya dia tidak punya banyak waktu untuk menata hatinya. Mahu tidak mahu, Melody harus menyortir rasa cintanya pada Leo. Dia tidak ingin saat sudah menyandang istri seorang Anderson, tapi dia malah menyimpan nama laki-laki lain di hatinya. Walau Melody tidak yakin apakah dia bisa memenuhi semua tanggung jawab sebagai seorang istri, tapi dia setidaknya akan berusaha untuk menjadi istri yang setia. "Maaf ya, Mel. Jika kamu pikir waktunya terlalu cepat. Akan tetapi, aku rasa lebih cepat maka lebih baik. Selama persiapan pernikahan ini, kamu izin cuti saja dari perusahaan. Fokuskan dirimu pada acara pernikahan dan adikmu saja," tutur Diana. Melody hanya bisa mengangguk, ya dia bisa apa lagi. Toh hidupnya sekarang sudah dibeli Diana. "Aku tidak sabar untuk menggendong anak Anderson. Aku harap anak itu akan mirip dengan Anderson," ucap Diana tanpa memedulikan perasaan Melody. Melody yang tidak ingin terlalu lama di rumah yang membuatnya tidak nyaman itu memutuskan untuk pulang. "Terima kasih banyak, Melody. Mulai sekarang kita akan menjadi madu, aku akan menyiapkan rumah baru untukmu dan Mike. Tinggallah di rumah itu. Akan kuminta Anderson untuk mendatangimu untuk melakukan penyatuan." "Baik, Nyonya." "Panggil aku Diana saja, kita akan jadi madu. Jadi harus mengakrabkan diri. Oh iya, aku ingin punya 3 anak. Jadi kalian nanti harus lakukan promil setelah kalian menikah. Jadi tidak sering melakukan hubungan intim pun bisa." Ketika mengatakan hal itu, ada sedikit emosi yang ditangkap pendengaran Melody. "Sudah kuduga, dia juga tidak ikhlas dengan ide gila tersebut," batin Melody. Melody akhirnya pulang diantar oleh supir pribadi Anderson, sepanjang jalan itu Melody terus termenung. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan terjadi. "Kenapa sih hidup itu sulit, aku lelah," gumam Melody. Sungguh tidak pernah Melody sangka nasibnya terus menerus menurun. Dia terkadang berangan memiliki keluarga utuh, adik yang sehat, ayah yang selalu terlihat hebat di matanya. "Sadarlah, Melody. Hidup itu tidak seindah yang kamu bayangkan."Hari operasi jantung Mike telah tiba, kegundahan hati Melody tidak terlakan. Meski ada kasus proses operasi jantung yang tidak berjalan lancar, setelah oasca operasi karena adanya ketidak cocokan dengan tubuh si pasien. Namun, dokter sudah meyakinkan Melody bahwa semuanya akan baik-baik saja. Jika operasi itu berhasil, maka Mike bisa bertahan hidup hingga berpuluh tahun kedepannya. Melody mondar-mandir di depan ruang operasi, tidak ada yang menemaninya. Dia memblokir nomer telepon Leo, setelah dia memutuskan hubungan keduanya secara sepihak. Melody tidak ingin diberatkan oleh rasa bersalahnya hingga dia goyah dengan jalan yang dis pilih. "Kumohon Tuhan, selamatkan Mike. Jangan bawa dia," gumam Melody. Tidak ada satu pun yang berada di samping Melody saat-saat seperti sekarang, jangankan Anderson yang akan menjadi suaminya. Diana pun tidak menunjukkan batang hidungnya. "Apa yang kamu harapkan dari orang yang hanya ingin menjadikanmu mesin pencetak anak, Melody. Bangun dar
"Adik Anda tidak apa-apa, operasinya berjalan dengan lancar. Namun, kami akan terus memantau untuk perkembangan ke depannya."Melody tersenyum lega saat mendengar hal itu, dia bahkan hampir terjatuh jika saja Anderson tidak menopangnya. Setelahnya, dokter kembali menjelaskan kondisi Mike dengan lebih detail lagi sebelum dirinya pergi dan Mike diantar ke ruangan lain. ***Waktu berjalan dengan sangat cepat tanpa Melody sadari, hingga akhirnya hari pernikahannya dengan Anderson pun telah tiba.Melody mengatakan pada Mike bahwa dia akan menikah. Namun tidak sampai bercerita bagaimana dirinya mendapatkan uang untuk biaya pengobatan dan melunasi hutang. Apa yang Melody pastikan adalah Mike tidak perlu tahu apa pun. Mike yang juga sudah diperbolehkan pulang, sehingga dia bisa menghadiri pernikahan kakaknya. Dia saat ini menunggu di ruang rias pengantin perempuan. Memperhatikan kakaknya didandani sedemikian rupa. Cantik, sungguh sangat cantik. Riasan simple, gaun pengantin berwarna puti
Seusai Anderson keluar dari kamar mandi, dia tidak menemukan sosok istri barunya. Meski kamar itu temaram dengan penerangan lampu yang diatur sedemikian rupa. Namun, Anderson masih dapat melihat dengan jelas seisi kamar pengantin itu. Anderson menoleh ke sana ke mari mencari Melody, hingga dia menemukan tubuh mungil Melody tertidur dengan posisi yang pasti tidak nyaman. Laki-laki itu mendekati Melody dan membopongnya, dibaringkannya Melody di kasur king size yang memang untuk mereka gunakan. "Dasar, ini aku udah macem nikahin bocah saja. Lagian ngapain juga dia tidur di sofa kecil itu. Sudah tahu tubuhnya kecil, buat susah orang saja. Toh, tidur seranjang pun tidak akan membuatku terangsang," ucapnya. Anderson mendengus kesal dan beranjak dari ranjang, laki-laki itu mengambil botol vodka dan mencicipinya sambil menikmati pemandangan malam di luar hotel. Suasana begitu sunyi senyap, Anderson menghembuskan napasnya. Dia mengingat kembali apa yang istrinya katakan, sehari sebelum hari
Melody mendelik kasar pada Anderson, sungguh dia tidak sanggup jika harus berhadapan dengan manusia satu ini lebih lama lagi. Belum lagi saat pengajuan cutinya selesai, entah apa yang akan terjadi pada kewarasannya nanti. Anderson dikenal sebagai CEO yang tidak berperikemanusiaan jika itu menyangkut pekerjaan, sudah berapa banyak karyawan yang mengeluhkan akan hal itu. Apalagi jika ada proyek baru, bukan tidak main kerasnya Anderson memacu mereka agar lembur tiap hari. Di kantor saja sudah membuat kepala Melody pusing tujuh keliling, gimana nanti jika mereka terus bertemu setiap hari di luar jam kerja. Membayangkannya saja sudah membuat Melody kesal setengah mati. Jika bisa, ingin saja dia mencubit keras pinggang laki-laki yang sedang memamerkan seringainya yang paling menyebalkan."Ngapain sih kamu, sana tidur. Jangan pernah ganggu aku. Ini bagianmu, awas saja kalau melewati batas ini. Akan kuhajar," ancam Melody setelah memberi sekat di kasur yang akan mereka gunakan tersebut.
Keesokan harinya, terbangun dengan wajah kusut dan mata pandanya. Semalaman dia tidak bisa tidur sama sekali, barulah saat mentari mulai terbit dia sempat tertidur selama tiga puluh menit. Semalaman itu Laura terus berjaga, sungguh dia takut tiba-tiba Anderson menyerangnya saat dia melelapkan matanya. Aksi ciuman yang dilakukan Anderson tanpa aba-aba sudah membuat gadis itu merinding disko, dia sangat tahu bagaimana pengaruh alkohol terhadap seseorang. Dulu, ayahnya selalu menganiaya ibunya ketika sang ayah dalam pengaruh alkohol. Meski keesokan harinya sang ayah meminta maaf pada ibunya, tapi hal tersebut tidak langsung menjadikan Melody memaklumi tindakan orang lain saat mabuk. Melody sungguh tidak habis pikir, kenapa orang lain sangat menyukai alkohol. Padahal minuman keras tersebut tidak baik bagi kesehatan si peminumnya. Melody menghela napas panjang, baru juga bangun tidur yang hanya sekelip mata. Dia mengutuk dirinya sendiri yang selalu banyak berpikir. Melody beranjak dari r
Setelah penyatuan keduanya, Melody masih berbaring di kasur yang sudah acak-acakan. Ditariknya selimut putih itu hingga menutupi sekujur tubuhnya, rasa sakit di bagian bawah sana tidak lebih sakit hati Melody saat ini. Tidak terasa air mata itu menyeruak tanpa diinginkan Melody, dia samar-samar mendengar percakapan Anderson dengan Diana. Isi percakapan yang sungguh mengiris hati wanitanya, dia tidak sanggup dan tidak ingin mendengar lebih jauh lagi. Namun, Anderson seolah-olah sengaja mengeraskan suaranya agar Melody juga mendengar apa saja yang dia katakan. "Tentu saja kamu yang terbaik, Sayang. Tidak mungkin kayu itu mampu memuaskanku, kamu tidak tahu apa yang aku rasakan selama aku having sex dengan dia kan? Kaku! Dia bukan hanya seperti kayu, tapi juga tidak beda jauh dengan kanebo yang sangat kering," tutur Anderson sambil melirik ke arah ranjang.Laki-laki itu dapat melihat bahu Melody beringsut-ingsut, Anderson dapat menebak pasti Melody pura-pura tidur dan menangis diam-diam
Anderson terbangun ketika mentari telah menyingsing, saat itu dia mencari keberadaan Melody. Namun, istri barunya itu telah meninggalkan kamar hotel tanpa satu pesan sama sekali. Anderson mendengus kesal, padahal dia masih ingin mengulangi aktivitas 'itu' sekali lagi. Walaupun dia sudah melakukannya berulang kali dan telah mengisi rahim Melody dengan cairannya. Ada sebuah kepuasan tersendiri di hati Anderson, ketika dirinya menyentuh istri keduanya itu. Hal yang belum pernah dia rasakan terhadap Diana. Anderson pun tidak yakin apakah karena Melody yang masih virgin atau bukan, yang jelas dia tidak bisa melupakan ingatan akan penyatuan mereka. Lihatlah, dengan mengingat hal itu saja sudah membuat bagian bawahnya mengeras. "Sialan, nih anak pasti pulang ke rumahnya. Istri tidak berguna," gerutu Anderson. Laki-laki itu beranjak dari kasur dengan bertelanjang bulat. Toh tidak ada siapapun pikirnya, ada hal yang lebih penting yang harus segera dia lakukan dari pada masalah menutupi tubu
Anderson mengemudi mobilnya dengan tampang datar, percakapan antara dirinya dan Diana membuat suasana hatinya tiba-tiba buruk. Anderson tidak mengira bahwa Diana menyuruh dia dan Melody bercerai, setelah Melody selesai dengan tugasnya. Jadi, Melody benar-benar dijadikan sebagai mesin pencetak anak semata. Tidak lebih dari itu. Namun, ada yang membuat Anderson tidak habis pikir, seharusnya dia setuju dengan usulan Diana. Toh memang kesepakatan awalnya hanya itu. Sedangkan apa yang dirasakan Anderson justru sebaliknya. Tidak mungkin juga dia tiba-tiba mencintai Melody hanya dengan hubungan seks sekali itu saja. Memang keduanya sudah mengenal satu sama lain di tempat kerja, tapi itu berbeda dengan hubungan sekarang. Keduanya tidak hanya terikat sebagai bos dan sekretaris. Melainkan suami istri, walau ada sebab dibaliknya. "Kenapa sih, dari tadi diam mulu?" tanya Diana yang sedari tadi mengamati perubahan raut wajah suaminya. Suaminya itu seperti orang lain, padahal mereka hanya berpis