Hari operasi jantung Mike telah tiba, kegundahan hati Melody tidak terlakan. Meski ada kasus proses operasi jantung yang tidak berjalan lancar, setelah oasca operasi karena adanya ketidak cocokan dengan tubuh si pasien. Namun, dokter sudah meyakinkan Melody bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Jika operasi itu berhasil, maka Mike bisa bertahan hidup hingga berpuluh tahun kedepannya. Melody mondar-mandir di depan ruang operasi, tidak ada yang menemaninya. Dia memblokir nomer telepon Leo, setelah dia memutuskan hubungan keduanya secara sepihak. Melody tidak ingin diberatkan oleh rasa bersalahnya hingga dia goyah dengan jalan yang dis pilih. "Kumohon Tuhan, selamatkan Mike. Jangan bawa dia," gumam Melody. Tidak ada satu pun yang berada di samping Melody saat-saat seperti sekarang, jangankan Anderson yang akan menjadi suaminya. Diana pun tidak menunjukkan batang hidungnya. "Apa yang kamu harapkan dari orang yang hanya ingin menjadikanmu mesin pencetak anak, Melody. Bangun dari mimpimu," gumamnya lagi. Waktu terasa begitu lama bagi Melody hari ini, seolah jarum jam tidak bergerak sama sekali. Hal tersebut membuatnya makin frustasi. Ingin rasanya Melody berteriak dan meraung sekeras mungkin. Dia sudah lelah dengan semuanya, jika bukan karena Mike, mungkin Melody sudah menyerah akan hidupnya. Di saat suasana hatinya yang sedang terpuruk, seseorang menepuk bahunya. "T-tuan Anderson? Apa yang Anda lakukan di sini?" tanya Melody yang tidak percaya dengan apa yang dia lihat. "Aku ingin memberi undangan pernikahan kita. Diana menyuruhku, sebab dia ingin melihat gaun pengantin. Aku tidak tahu adikmu dioperasi hari ini," ujarnya. Melody tidak percaya, Anderson datang langsung memberi undangan pernikahan mereka. Apa lagi kalimat terakhir yang Anderson katakan, cukup membuat Melody ingin tertawa. "Tidak mungkin istrimu tidak tahu. Aku sudah mengatakannya berulang kali," gumam Melody. Melody mengambil paper bag yang dia perkirakan berisi undangan pernikahan. Dia kemudian menyuruh Anderson untuk kembali. Melody tidak ingin dia terlihat lemah di mata laki-laki tersebut. "Kamu mengusirku? Padahal aku bisa saja membantumu loh." Anderson dengan arogannya duduk di samping Melody, dia tidak bergeming sedikitpun saat Melody menarik tubuh kekarnya untuk pergi dari situ. "Apa lagi yang Anda inginkan? Anda ingin membuat masalah lagi? Tolong pergilah, saya tidak ingin berdebat hal yang tidak penting," ujar Melody. "Kata siapa aku ingin bertengkar denganmu. Hei, Melody, aku memang tidak suka dan tidak setuju dengan ide gila Diana. Namun, bukan berarti aku menutup mata saat salah satu karyawanku dalam kesusahan," tutur Anderson. Melody jengkel setengah mati mendengar jawaban Anderson, apa laki-laki itu lupa akan semua hinaan yang dia ucapkan sebelumnya? "Terserah, lakukan apapun yang kamu mau." Enggan meneruskan pertengkaran yang tidak ada ujungnya itu, membuat Melody terpaksa mengalah. Kali ini dia duduk di kursi yang lebih jauh dari Anderson. Anderson memperhatikan gelagat Melody yang terus menjauhinya, dia pun tahu telah menyakiti hati gadis itu. Namun, egonya yang besar membuat Anderson enggan untuk meminta maaf terlebih dahulu. "Kamu ini keras kepala ya, padahal kinerjamu sebagai sekretaris sangat sempurna. Aku harap urusan kita ini segera selesai, aku kerepotan selama kamu cuti," ujar Anderson. Laki-laki itu terus mengoceh atas ketidak terampilan sekretaris keduanya. "Tuan, bisakah Anda tidak membahas masalah pekerjaan dulu sekarang? Jika tidak ingin menenangkan situasi, setidaknya Anda paham kondisi saya saat ini." Melody tidak menyangka keegoisan pasangan itu makin terlihat nyata di pelupuk matanya. Kok bisa ada orang- yang sangat egois seperti mereka. Anderson ingin membalas ucapan Melody, tapi dia berusaha untuk menahannya. Lagi pula memang benar dirinya tidak tahu tempat membahas apa yang terjadi di kantor dan mentor selalu jawab, tidak tahu. Keadaan menegangkan itu berakhir, saat dokter yang menangani Mike telah keluar dari ruang operasi. "Dok, bagaimana keadaan adik saya, Dok? Dia baik-baik saja, 'kan? Tolong katakan sesuatu, Dokter." "Saya sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelamatkan adik Anda. Namun, sesuatu yang tidak menyenangkan terja—" "A-apa yang terjadi pada adik saya?" tanya Melody."Adik Anda tidak apa-apa, operasinya berjalan dengan lancar. Namun, kami akan terus memantau untuk perkembangan ke depannya."Melody tersenyum lega saat mendengar hal itu, dia bahkan hampir terjatuh jika saja Anderson tidak menopangnya. Setelahnya, dokter kembali menjelaskan kondisi Mike dengan lebih detail lagi sebelum dirinya pergi dan Mike diantar ke ruangan lain. ***Waktu berjalan dengan sangat cepat tanpa Melody sadari, hingga akhirnya hari pernikahannya dengan Anderson pun telah tiba.Melody mengatakan pada Mike bahwa dia akan menikah. Namun tidak sampai bercerita bagaimana dirinya mendapatkan uang untuk biaya pengobatan dan melunasi hutang. Apa yang Melody pastikan adalah Mike tidak perlu tahu apa pun. Mike yang juga sudah diperbolehkan pulang, sehingga dia bisa menghadiri pernikahan kakaknya. Dia saat ini menunggu di ruang rias pengantin perempuan. Memperhatikan kakaknya didandani sedemikian rupa. Cantik, sungguh sangat cantik. Riasan simple, gaun pengantin berwarna puti
Seusai Anderson keluar dari kamar mandi, dia tidak menemukan sosok istri barunya. Meski kamar itu temaram dengan penerangan lampu yang diatur sedemikian rupa. Namun, Anderson masih dapat melihat dengan jelas seisi kamar pengantin itu. Anderson menoleh ke sana ke mari mencari Melody, hingga dia menemukan tubuh mungil Melody tertidur dengan posisi yang pasti tidak nyaman. Laki-laki itu mendekati Melody dan membopongnya, dibaringkannya Melody di kasur king size yang memang untuk mereka gunakan. "Dasar, ini aku udah macem nikahin bocah saja. Lagian ngapain juga dia tidur di sofa kecil itu. Sudah tahu tubuhnya kecil, buat susah orang saja. Toh, tidur seranjang pun tidak akan membuatku terangsang," ucapnya. Anderson mendengus kesal dan beranjak dari ranjang, laki-laki itu mengambil botol vodka dan mencicipinya sambil menikmati pemandangan malam di luar hotel. Suasana begitu sunyi senyap, Anderson menghembuskan napasnya. Dia mengingat kembali apa yang istrinya katakan, sehari sebelum hari
Melody mendelik kasar pada Anderson, sungguh dia tidak sanggup jika harus berhadapan dengan manusia satu ini lebih lama lagi. Belum lagi saat pengajuan cutinya selesai, entah apa yang akan terjadi pada kewarasannya nanti. Anderson dikenal sebagai CEO yang tidak berperikemanusiaan jika itu menyangkut pekerjaan, sudah berapa banyak karyawan yang mengeluhkan akan hal itu. Apalagi jika ada proyek baru, bukan tidak main kerasnya Anderson memacu mereka agar lembur tiap hari. Di kantor saja sudah membuat kepala Melody pusing tujuh keliling, gimana nanti jika mereka terus bertemu setiap hari di luar jam kerja. Membayangkannya saja sudah membuat Melody kesal setengah mati. Jika bisa, ingin saja dia mencubit keras pinggang laki-laki yang sedang memamerkan seringainya yang paling menyebalkan."Ngapain sih kamu, sana tidur. Jangan pernah ganggu aku. Ini bagianmu, awas saja kalau melewati batas ini. Akan kuhajar," ancam Melody setelah memberi sekat di kasur yang akan mereka gunakan tersebut.
Keesokan harinya, terbangun dengan wajah kusut dan mata pandanya. Semalaman dia tidak bisa tidur sama sekali, barulah saat mentari mulai terbit dia sempat tertidur selama tiga puluh menit. Semalaman itu Laura terus berjaga, sungguh dia takut tiba-tiba Anderson menyerangnya saat dia melelapkan matanya. Aksi ciuman yang dilakukan Anderson tanpa aba-aba sudah membuat gadis itu merinding disko, dia sangat tahu bagaimana pengaruh alkohol terhadap seseorang. Dulu, ayahnya selalu menganiaya ibunya ketika sang ayah dalam pengaruh alkohol. Meski keesokan harinya sang ayah meminta maaf pada ibunya, tapi hal tersebut tidak langsung menjadikan Melody memaklumi tindakan orang lain saat mabuk. Melody sungguh tidak habis pikir, kenapa orang lain sangat menyukai alkohol. Padahal minuman keras tersebut tidak baik bagi kesehatan si peminumnya. Melody menghela napas panjang, baru juga bangun tidur yang hanya sekelip mata. Dia mengutuk dirinya sendiri yang selalu banyak berpikir. Melody beranjak dari r
Setelah penyatuan keduanya, Melody masih berbaring di kasur yang sudah acak-acakan. Ditariknya selimut putih itu hingga menutupi sekujur tubuhnya, rasa sakit di bagian bawah sana tidak lebih sakit hati Melody saat ini. Tidak terasa air mata itu menyeruak tanpa diinginkan Melody, dia samar-samar mendengar percakapan Anderson dengan Diana. Isi percakapan yang sungguh mengiris hati wanitanya, dia tidak sanggup dan tidak ingin mendengar lebih jauh lagi. Namun, Anderson seolah-olah sengaja mengeraskan suaranya agar Melody juga mendengar apa saja yang dia katakan. "Tentu saja kamu yang terbaik, Sayang. Tidak mungkin kayu itu mampu memuaskanku, kamu tidak tahu apa yang aku rasakan selama aku having sex dengan dia kan? Kaku! Dia bukan hanya seperti kayu, tapi juga tidak beda jauh dengan kanebo yang sangat kering," tutur Anderson sambil melirik ke arah ranjang.Laki-laki itu dapat melihat bahu Melody beringsut-ingsut, Anderson dapat menebak pasti Melody pura-pura tidur dan menangis diam-diam
Anderson terbangun ketika mentari telah menyingsing, saat itu dia mencari keberadaan Melody. Namun, istri barunya itu telah meninggalkan kamar hotel tanpa satu pesan sama sekali. Anderson mendengus kesal, padahal dia masih ingin mengulangi aktivitas 'itu' sekali lagi. Walaupun dia sudah melakukannya berulang kali dan telah mengisi rahim Melody dengan cairannya. Ada sebuah kepuasan tersendiri di hati Anderson, ketika dirinya menyentuh istri keduanya itu. Hal yang belum pernah dia rasakan terhadap Diana. Anderson pun tidak yakin apakah karena Melody yang masih virgin atau bukan, yang jelas dia tidak bisa melupakan ingatan akan penyatuan mereka. Lihatlah, dengan mengingat hal itu saja sudah membuat bagian bawahnya mengeras. "Sialan, nih anak pasti pulang ke rumahnya. Istri tidak berguna," gerutu Anderson. Laki-laki itu beranjak dari kasur dengan bertelanjang bulat. Toh tidak ada siapapun pikirnya, ada hal yang lebih penting yang harus segera dia lakukan dari pada masalah menutupi tubu
Anderson mengemudi mobilnya dengan tampang datar, percakapan antara dirinya dan Diana membuat suasana hatinya tiba-tiba buruk. Anderson tidak mengira bahwa Diana menyuruh dia dan Melody bercerai, setelah Melody selesai dengan tugasnya. Jadi, Melody benar-benar dijadikan sebagai mesin pencetak anak semata. Tidak lebih dari itu. Namun, ada yang membuat Anderson tidak habis pikir, seharusnya dia setuju dengan usulan Diana. Toh memang kesepakatan awalnya hanya itu. Sedangkan apa yang dirasakan Anderson justru sebaliknya. Tidak mungkin juga dia tiba-tiba mencintai Melody hanya dengan hubungan seks sekali itu saja. Memang keduanya sudah mengenal satu sama lain di tempat kerja, tapi itu berbeda dengan hubungan sekarang. Keduanya tidak hanya terikat sebagai bos dan sekretaris. Melainkan suami istri, walau ada sebab dibaliknya. "Kenapa sih, dari tadi diam mulu?" tanya Diana yang sedari tadi mengamati perubahan raut wajah suaminya. Suaminya itu seperti orang lain, padahal mereka hanya berpis
Pintu bel dibunyikannya berkali-kali dengan kesal, tapi masih belum juga ada yabg membukakan pintu untuknya. Anderson bahkan sudah berencana untuk mendobrak pintu terkutuk itu. Emosinya yang memang setipis tisu dibqgi dua itu sudah tidak bisa ditahan lagi, saat dia hendak menggedor pintu apartemen Melody. Di saat yang bersamaan, Melody muncul dari dalam. "T-tuan ... bagaimana Anda bisa tahu saya di rumah?" tanya Melody yang panik dan kalut akan kedatangan Anderson yang tiba-tiba. "Hah! Kamu menanyakan hal bodoh begitu? Hei, Melody kamu ini pintar. Masa hak remeh begini, kamu itu 'kan sekretarisku, apa ini kemampuan daya tangkap sekretaris dan istri Anderson Gretchen?" sindir Anderson dengan nada sinisnya yang menusuk relung kalbu. Raut wajah Melody masam dari awal dia membuka pintu, bahkan sekarang dia bertambah kesal. Dia tidak ingin Anderson memandang rendah dirinya, setidaknya di depan adiknya saja. Melody tidak ingin membuat adiknya khawatir. Melody menarik Anderson agar men